Beranda / Romansa / Istri Simpanan Sang CEO / 1. Pertemuan Yang Tak Terduga

Share

Istri Simpanan Sang CEO
Istri Simpanan Sang CEO
Penulis: Roesaline

1. Pertemuan Yang Tak Terduga

Penulis: Roesaline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Awas, Nek!" 

Ishita menjerit dan mendorong seorang nenek yang sedang menyeberang jalan.

Bragk! Ishita tertabrak dan jatuh terguling di atas jalan aspal. Dia tak sadarkan diri.

Masyarakat berkerumun mulai menolongnya. Ada beberapa pemuda geram dengan ulah sopir yang mengebut.

"Turun kamu! Tadi kamu nyetir sambil main telpon kan?" hardik salah seorang.

"Dia perempuan!" seru yang lain.

"Ayo turun, atau kita hancurkan mobil ini! Tanggungjawab dong!" sahut yang lain lagi.

"Iya saya tanggungjawab, jangan main hakim sendiri dong!" ketus sopir wanita itu. "Bawa dia masuk ke mobilku, aku akan bawa dia ke rumah sakit!" lanjutnya lebih ketus lagi.

Mereka membantu Ishita masuk ke mobil dan dua orang sedang menemaninya.

Sesampai di rumah sakit sopir cantik yang bernama Intan itu berteriak,

"Dokter ... Suster ...!" 

Dua orang perawat datang dengan membawa brankar. Dengan hati-hati Ishita dipindahkan ke brankar dan bergegas mendorong ke ruang tindakan. Di dalam dokter sedang menanganinya.

Tak lama perawat memanggil," Keluarga pasien!"

"Iya saya." Intan menjawab dengan tegas sambil berjalan menghampiri perawat.

"Ditunggu dokter di dalam, Bu!" ujar perawat.

"Baik," jawabnya sambil berjalan masuk ke ruangan dokter.

"Selamat siang, Dokter Alex!" sapa Intan.

"Oh Mbak Intan? Putri pemilik rumah sakit ini? Pasien itu saudaranya atau temen, Mbak Intan?" tanya dokter.

"Dia teman saya, Dokter, bagaimana keadaannya?" tanya Intan.

"Dia harus segera dioperasi, Mbak. Kaki sebelah kiri patah," ujar dokter.

Tapi dia tidak parah kan, Dokter? Kenapa dia belum sadar?"

"Benturan di kepalanya sangat kuat, Mbak. Tolong selesaikan administrasi dan tanda tangan persetujuan tindakan, ya Mbak? Maaf, hanya sebagai formalitas saja!" pinta dokter.

"Iya Dokter Alex, aku akan segera menyelesaikan administrasinya. Tolong segera operasi dia ya, Dok!" katanya sambil beranjak pergi.

***

Keesokan harinya Ishita baru sadar setelah menjalani operasi. Semua serasa mimpi, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dengan heran.

"Rumah sakit? Jadi aku kemarin tertabrak saat menolong nenek itu?" tanya Ishita dalam hati.

"Siapa yang membawa aku ke sini? Bagaimana aku mencari uang untuk biayaku di sini? Bagaimana juga dengan operasi ayah? Kenapa aku malah tiduran di sini sih?" lanjutnya.

Ketika dia hendak bangun, dia merasakan sakit di sana-sini, kepalanya masih pusing karena benturan yang teramat keras. Belum lagi rasa sakit di kaki karena operasi. "Bagaimana aku mencari uang, untuk bangun saja aku tidak bisa? Kenapa ini harus terjadi padaku?" jeritnya dalam hati. 

Dengan menggigit bibir bawahnya dengan kuat seolah dia ingin mengalihkan rasa sakit dan galau di hatinya.

Dret ... Dret ... Dret ..! Ponsel Ishita berdering, tampak profil Ririn adiknya. 

Hatinya seperti tercabik, "Bagaimana aku menjawabnya? Jangankan untuk biaya operasi ayah, bahkan untuk biaya perawatan aku di sini aku tidak tahu?" tanyanya pada diri sendiri, hingga membuatnya sesak bernafas 

"Assalamualaikum, Ririn?" sapa Ishita ragu.

"Waalaikum salam, Kak Ishi! Bagaimana biaya operasi ayah, Kak Ishi? Kanker ayah sudah menyebar ke paru-paru. Operasi ini tidak bisa ditunda lagi! Kita harus siapkan uang 100 juta, Kak Ishi." Ririn menjelaskan sambil menahan tangisnya.

"Darimana Kakak mendapat uang sebesar itu? Baru empat bulan kakak bekerja, tidak mungkin mengajukan pinjaman," ujarnya memekik sedih.

"Bagaimana kalau kakak bicara sama Kak Affan? Bukankah dia lelaki yang mencintai Kak Ishita dengan tulus? Bukannya minta, namun kita pinjam, Kak Ishi," usul Ririn.

"Kita baru pendekatan, Ririn ... dia memang mencintai aku, tapi aku belum menerimanya. Aku tidak bisa melakukan itu, Ririn," jawab Ishita pelan.

"Terserah Kak Ishi, hidup dan mati ayah ada di tanganmu. Orangtua kita tinggal dia satu-satunya. Dia adalah segalanya bagi kita, Kak Ishi! Hiks ... Hiks... Hiks!" Ririn menangis.

"Ririn, aku juga ingin ayah tetap hidup untuk kita. Kalau saja ada orang yang menginginkan ginjalku, aku akan berikan asal dia bisa membiayai operasi ayah. Dia juga segalanya bagiku, Ririn. Tapi Kak Ishi tidak berdaya," jawab Ishita menangis histeris.

Ternyata sakit tubuhnya karena kecelakaan tidak seberapa dibanding sakit hatinya karena ketidakberdayaannya menyelamatkan ayahnya yang sekarat.

"Sekarang Kak Ishi dimana?" tanya Ririn pelan menahan kecewa.

"Kak Ishi lagi kerja di kantor, sudah dulu ya, nanti kita bicara lagi," katanya berbohong kemudian menutup teleponnya.

Tak kuat lagi menahan perasaannya Ishita menangis histeris. "Bagaimana aku membayar biaya rumah sakit ini? Apalagi untuk operasi ayahku? Bagaimana? Hiks ... Hiks ... Hiks ...!"

"Kamu tidak perlu menjual ginjalmu, Ishita!" Kata Intan yang ternyata sudah lama berdiri di depan pintu.

"Kamu ... kamu siapa? Kok tahu namaku?" tanya Ishita sambil mengusap air matanya.

Maaf, aku mengambil ID kamu di dompet, saat mengurus administrasi. Jangan khawatir biaya rumah sakit sudah beres kok," kata Intan dengan datar.

"Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Ishita seolah tak percaya.

"Kok begitu bilangnya, terima kasih kek!" sahut Intan.

"Baik, terima kasih ...." 

"Namaku Intan," sahutnya.

"Terima kasih, Mbak Intan."

"Harusnya nenek itu yang aku tabrak, kamu sih sok baik hati pake' nolongin dia. Jadi kamu kan yang celaka, jadi nggak bisa cari uang untuk operasi ayahmu. Tapi untuk operasi besar seperti ayahmu biayanya besar juga lo, dimana kamu mau cari uang sebanyak itu?" tanya Intan seolah mengejek.

"Aku baru empat bulan kerja di Jakarta, Mbak," ujar Ishita.

"Iya aku udah tahu. Kamu pernah dengar ada istilah, kejamnya ibu kota lebih kejam dari ibu tiri?"

"Iya," jawab Ishita pelan.

"Baru kerja empat bulan butuh uang sebanyak itu, dimana kamu mencarinya?" tanya Intan seolah mengejek lagi.

Ishita hanya terdiam, tiba-tiba air matanya bergulir jatuh di pipinya yang putih perona.

"Kamu tidak perlu menjual ginjalmu, cukup sewakan rahimmu untukku! Aku akan membiayai seluruh pengobatan ayahmu sampai sembuh," tawar Intan.

"Apa maksutnya, Mbak?"

"Aku wanita yang kurang beruntung, Ishi, karena sakit polip rahim, membuat rahimku harus diangkat. Sedang aku dan suamiku adalah anak tunggal, kami butuh penerus generasi keluarga. Aku pinjam rahimmu untuk melahirkan benih suamiku. Kamu pernah mendengar istilah inseminasi?" tanya Intan kepada Ishita.

"Memasukkan sperma ke rahim? Artinya aku harus mengandung anak dari suamimu, begitu?" 

"Tolong aku, Ishita, please!" pintanya memohon sambil mendekap tangan Ishita.

"Aku Belum mau hamil Mbak, usiaku masih terlalu muda untuk hamil. Aku baru lulus SMA enam bulan yang lalu. Aku masih pingin bekerja sambil kuliah. Maaf!" tolak Ishita dengan pelan.

"Cuma butuh waktu sepuluh bulan, Ishi. Tolong!" kembali Intan mengiba.

"Tapi aku sudah punya pacar, Mbak, aku yakin dia tidak akan setuju," jawab Ishita menolak.

"Pikirkan dulu, kamu tidak harus menjawab sekarang. Perlu kamu ingat bahwa nyawa ayahmu sedang kamu pertaruhkan. Aku berjanji tidak hanya membiayai operasi ayah kamu, tapi saat kamu dinyatakan hamil, aku akan memberi uang satu milyar. Kamu bisa kuliah kan dengan uang itu? Pikirkan baik-baik, kesempatan tidak datang dua kali," janjinya kemudian pergi meninggalkan Ishita.

"Tidak ... tidak mungkin aku hamil di usiaku saat ini. Bagaimana perasaan Mas Affan? Apa kata orang-orang di kampungku? Itu tidak mungkin, aku tidak mau ...!" monolognya.

***

Keesokan harinya,

Dret ... Dret ... Dret! Ponsel Ishita berdering, Ishita terperanjat kaget, takut telepon itu akan membawa kabar buruk tentang ayahnya. Hatinya berdebar kencang, "Bagaimana kalau telepon Ririn ternyata mengabarkan kalau ayah ... oh tidak!" pikir Ishita.

"Iya Ririn, ada kabar apa?" tanyanya saat telepon diangkat.

"Ayah kritis, Kak Ishi, dia harus pindah di ICU, kita butuh biaya," ujar Ririn sambil menangis.

"Dokter kemarin sore menanyakan lagi, kapan siap uang untuk operasi ayah? Kita video call ya, biar Kak Ishi tahu kondisi ayah?" pinta Ririn calling video.

Dan Ishita ragu untuk menerimanya, karena selama ini dia menyembunyikan dari Ririn kalau dia kecelakaan. Tapi dia ingin tahu keadaan ayahnya. Dengan terpaksa Ishita menerima panggilan video dari Ririn.

"Ririn?" sapa Ishita begitu panggilan video diterima.

Betapa terkejutnya Ririn melihat Kakaknya terbaring dengan kondisi mengenaskan.

"Apa yang terjadi denganmu, Kak Ishi?" tanya Ririn.

"Kak Ishi tidak apa-apa Ririn, cuma kecelakaan kecil," jawab Ishita menenangkan.

"Kok bisa, bagaimana ceritanya, Kak Ishi?" sahut Ririn.

"Ah tidak penting, jangan khawatir! Tolong video arahkan ke ayah, Ririn!" pinta Ishita.

Ririn segera mengarahkan kamera ke ayahnya yang sedang terbaring koma dengan nafas yang tersengal-sengal. Sontak hancur lebur hati Ishita melihat ayahnya yang terbaring tak berdaya untuk berjuang hidup.

Lima bulan yang lalu dia adalah sosok perkasa yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Sosok lelaki penyayang yang siap berkorban apa saja buat anak-anaknya.

"Ayah ... Ayah ...Ayah! Hiks...hiks...hiks..!" tangis Ishita histeris.

"Jalan satu-satunya dia harus operasi, Kak Ishi! Kita tidak bisa berbuat apa-apa, kita pasrah saja menyaksikan ayah kita kesakitan seperti itu. Hiks ... Hiks ... Hiks...!" kata Ririn disela tangisnya.

Tak kuasa lagi menyaksikan penderitaan ayahnya, dalam tiap tarikan nafasnya sangat menyiksanya. Ishita segera memutus sambungan video call, tangisnya semakin histeris.

"Aku tidak mau menyesal gara-gara keegoisanku. Ayah adalah segalanya bagiku," monolog Ishita.

"Selamat pagi, Ishi?

"Mbak Intan?"

Jawaban apa yang diberikan Ishita buat Intan?

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suwati van Rooij
nice story thor!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Simpanan Sang CEO   2. Bernegosiasi

    Wajah ayahnya yang tersiksa dengan nafas yang tersengal-sengal, seolah nyawanya sudah di ujung kerongkongan, selalu terbayang jelas di mata Ishita. Kalau terjadi apa-apa dengan ayah bukan saja Ishita yang terluka, tapi Ririn akan lebih menderita dan selalu menyalahkannya. Ishita terus meruntuki dirinya sendiri yang masih ragu dan dilema dengan pilihannya. Jalan keluar yang tidak akan terbuka untuk kedua kalinya, masih membuat Ishita ragu dan terus berkecambuk dalam benaknya. "Bagaimana kalau aku terlambat karena terlalu banyak berpikir? Apakah perlu Mas Affan mengetahui semua ini?" pikirnya dalam hati. Wajah ayahnya kembali hadir di pelupuk mata Ishita. Menambah lengkap penderitaan dan rasa sakitnya. Luka karena operasi dan sakit di seluruh tubuh Ishita, tidaklah sesakit menyaksikan ayahnya yang tak berdaya dengan nafasnya di ujung kerongkongan. "Sampai kapan kamu terus berpikir, Ishi? Ayahmu sudah separah itu, apa sih yang menjadi pert

  • Istri Simpanan Sang CEO   3. Ahem Menerima Perjodohan

    Intan dengan suasana hati yang berbunga-bunga mulai masuk ke kamarnya. Kamar gelap dan lampunya belum dinyalakan, sehingga Intan berpikir bahwa Ahem belum pulang ke rumah. "Hah....jam segini Ahem belum pulang juga?" gerutu Intan. Intan berjalan pelan menuju saklar listrik untuk menyalakan lampu. Saat tangan mulai meraba dinding, seseorang datang mendekapnya dari belakang sambil berbisik di telinga, "Aku merindukanmu, sayang." "Ahem?" pekik Intan terkejut. Intan masih berusaha meraba dinding untuk menemukan saklar lampu. Tapi Ahem bergerak cepat membalikkan tubuh Intan dan mencium bibirnya dengan ganas. Intan pun tak berdaya, ciuman itu bagai ada magnetnya sehingga makin kuat dan sulit untuk dilepasnya. Perlahan Ahem menggeser tubuhnya dan mendekat ke dinding hingga menghimpit tubuh Intan, kemudian menekan saklatnya. Tiba-tiba

  • Istri Simpanan Sang CEO   4. Perjanjian Pernikahan

    Pagi sekali Intan sudah berada di rumah sakit. Kali ini dia tidak sendiri, melainkan bersama Indrayana, papanya. Sebelum menemui Ishita, Intan membicarakan kepada Indrayana rencana Intan mengenai keinginannya meminjam rahim Ishita untuk melahirkan anak Ahem. Indrayana mendukung keinginan putri semata wayangnya. Sebelum proses lebih jauh Indrayana yang kebetulan kepala rumah sakit dan seorang dokter, mengusulkan untuk cek up kesehatan rahim Ishita. Dan Ishita menyetujuinya. Dengan tidak membuang waktu lagi, akhirnya hari itu juga diadakan cek up. Padahal tubuh Ishita belum pulih, dia duduk di kursi roda. Dan seorang asisten lelaki membantu mendorong kursi rodanya, menuju ruang periksa dokter. Intan dan asistennya menunggu di luar sambil memain ponselnya. Tiba-tiba ponsel Intan bergetar dan Intan segera mengangkatnya. "Iya sayang?" sapanya begitu telepon diangkat. "Kamu masih di r

  • Istri Simpanan Sang CEO   5. Pernikahan Kedua Ahem

    Setelah acara ijab kabul nikah, Ahem berpamitan untuk pulang dulu kepada keluarga Ishita dan tanpa berpamitan pada Ishita. Kepada Intan, Ahem berpamitan lewat telepon. Ishita pun belum sempat melihat wajah suami yang dinikahi beberapa jam yang lalu. Saat ijab kabul ada tirai putih yang memisahkan mereka. Saat ijab diucapkan dengan lantang, Ishita hanya mendengarkan tanpa melihat wajahnya. Ada debar- debar di jantung yang muncul saat ikrar ijab dan serempak undangan berteriak sah. Ahem meninggalkan masjid dan para tamu undangan pun menyusulnya. Tinggal Ishita dan Ririn serta pamannya yang masih bercengkrama membicarakan tentang ayahnya.yang belum juga sadarkan diri. Intan masih menunggu di mobilnya, yang terparkir di halaman masjid. Dia harus membawa Ishita pulang kembali ke Jakarta. Padahal dia masih harus menempuh perjalanan panjang dan lama sekitar empat jam. "Ayolah Ishita! Kita nant

  • Istri Simpanan Sang CEO   6. Malam Pertama

    Siang ini banyak mata memandang iri, saat Ishita pergi menemani Afan makan siang di suatu restouran yang tak jauh dari kantornya. Banyak bisik-bisik usilnya membuat panas telinga. tapi Ishita tidak perduli. Dia berlenggang santai menuju mobil dan mobilpun sebentar kemudian berlalu meluncur pergi. "Kamu ingin makan apa, Ishita?" tanya Afan yang hatinya lagi berbunga-bunga. 'Terserah Pak Afan, saya sih apa saja oke." Jawab Ishita. "Jangan panggil pak dong, apalagi suasana di luar kantor begini. Panggil mas atau namaku Afan." titah Afandy. "Baik mas Afan." "Nah begitu dong." Ungkap Afan puas. Kita makan masakan Korea?" lanjutnya bertanya. "Masakan Jawa aja mas, lidah kita belum tentu cocok dengan lidah orang Korea. Dari pada buang-buang uang bila tidak kemakan. "Cerdas juga kamu, terus enaknya kita makan

  • Istri Simpanan Sang CEO   7. Malam Kedua

    Ahem segera menangkap tangan Ishita setelah dengan kerasnya menampar wajah Ahem. Dia mencengkeram dengan kuat pegelangan tangan Ishita. "Auh sakit, Kak!" pekiknya. "Beraninya kamu menampar aku, emangnya siapa kamu? Baru pertama kali seumur hidupku ada orang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah melakukannya. Siapa kau berani melakukannya!" bentak Ahem sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Ishita setengah di pelintir. "Auh sakit, Kak!" jerit Ishita. "Kamu harus tahu diri siapa kamu? Aku bisa lakukan apapun kepadamu bila aku mau!" ancamnya. "Ok, Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau, kamu boleh sakiti tubuhku. Tapi jangan sampai kamu menghina Ayahku. Perlu kamu tahu, aku ada disini sekarang karena demi menyelamatkan nyawa ayahku. Uang 1 Milyar yang dijanjikan Mbak Intan bukan aku yang minta, tapi Mbak Intan sendiri yang menawarkannya. Dan itu b

  • Istri Simpanan Sang CEO   8. Malam Ketiga

    Ishita masih berada di dekapan dada bidang dan berotot itu. Kepalanya dibenamkannya sambil tangan Ishita memeluk erat tubuh kekar itu. Sebentar-sebentar Ahem mencium dengan hangat kening Ishita. "Aku semakin ragu dengan perasaanku, bagaimana kalau aku nyaman dengannya dan jatuh cinta padanya?" tanya Ahem dalam hati. "Aku penasaran ingin melihat wajahmu, Ishita!" bisiknya di telinga Ishita. "Jangan Kak, jangan sekarang! Suatu saat pasti kita akan dipertemukan." Jawab Ishita menenangkan. Entah kenapa Ahem tiba-tiba mencium dan melumat kembali bibir Ishita. Seakan ingin mengulang kembali pergulatannya yang sangat terkesan itu. Ishita pun tidak menolak dengan apa yang dilakukan Ahem kepadanya, bahkan dia menyambutnya. Dan pergulatan itu pun terjadi lagi. Bak kesetanan Ahem mulai dengan ganasnya melahap tubuh Ishita tak

  • Istri Simpanan Sang CEO   9. Malam Keempat

    Seperti biasa pagi sekali Ishita sudah bangun untuk membuat sarapan. Ponsel di meja bergetar keras, Dret... Dret.... Dret.... Ishita mengambil ponsel dan dibawa ke dapur sambil memasak. "Ririn, bagaimana kabar ayah?" tanya Ishita begitu telepon diangkat. "Itu dia yang ingin aku ceritakan Mbak!" jawabnya. "Iya bagaimana?" tanya Ishita penasaran. "Mbak, ayah sudah siuman. Dia mencarimu. Dia ingin kamu datang bersama suamimu!" ujar Ririn. "Iyakah, Alhamdulillah! Coba kontrol kan kembali ke dokternya, Ririn!" usul Ishita. "Iya Mbak, rencananya nanti sepulang sekolah." Jawab Ririn. "Ririn, katakan pada ayah, aku dan suamiku harus pengajuan cuti dulu kalau mau pulang. Sabar dulu ya Ririn, pasti kita akan pulang." Ishita berjanji dan menghiburny

Bab terbaru

  • Istri Simpanan Sang CEO   87. Akhir Cinta Sejati

    Indrayana dengan menahan geram dan benci menatap Ahem dan Ishita bergantian. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang! Hanya demi lelaki tak punya hati dan pelakor murahan seperti dia! Biarkan papa yang melakukannya, anakku!" Indrayana menenangkan Intan. "Tidak Pa, biarkan aku mati bersama anak kesayangannya ini!" ujar Intan masih mencengkeram Saga dan perlahan melangkah mundur. "Berhenti, Mbak! Hati-hati jangan lakukan itu! Bicaralah apa yang harus aku lakukan, katakan!" teriak Ishita tercekam panik. "Apa kamu saja yang melompat dari sini, menggantikan anak kamu?" tawar Intan. "Kamu gila ya! Kenapa tidak kamu saja yang melompat sendiri?" sahut Affan berteriak. "Oh ya kamu masih hidup, Affan? Lantang sekali suara kamu, udah sehat?" tanya Indrayana mengejek. "Malang sekali Intan punya orang tua sebengis kamu, tidak salah kalau Intan menjadi seperti itu, ternyata karena mencontoh orang tuanya," olok Affan. "Biarkan aku

  • Istri Simpanan Sang CEO   86. Yang Mana Cinta Sejati

    Ahem menatap Affan dengan kebencian yang ditahan. Dia tidak bisa melihat orang yang paling dicintai ada di dekatnya. Tapi Ahem melihat semua mata tertuju padanya, dia merasa harus bisa mengendalikan perasaannya. "Kabarku, baik," jawab Ahem sambil menyambut tangan Affan. "Kamu sendiri kelihatannya sehat-sehat saja," lanjutnya. "Iya beginilah," jawab Affan asal. "Bagaimana keadaanmu, Kak Nazim? Maaf kamu jadi menderita gara-gara keluargaku," kata Ishita lembut. "Jangan begitu, Ishi! Selamat ya, semoga kamu bahagia," ucap Nazim. "Terima kasih, Kak Nazim." Ishita kikuk akan menyapa Ahem, tapi karena dia adalah tamu yang datang belakangan, harusnya dia menyapa semuanya tanpa terkecuali. "Kak Ahem, kok sendirian? Dimana Bella dan Arjun?" tanya Ishita basa-basi tanpa berani menatap wajah Ahem. "Ada di rumah," jawab Ahem datar, juga tanpa melihat wajah Ishita. Kini hubungan mereka tiba-tiba terasa dingin dan asing seper

  • Istri Simpanan Sang CEO   85. Akad Nikah

    Affan masih tertegun menatap Ishita yang kelelahan mengangkat baju pengantin yang panjang. Wajah cantik dan bersinar cerah bagai mutiara, membuat Affan tertegun penuh kekaguman. "Baik, kalau memang kamu menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Aku akan menghubungi Wahyu dan kawan-kawannya agar mengatakan ini kepada tamu dan penghulu. Aku tidak mau mereka menunggu lama," hardik Ishita emosi. "Biar Pak Wahyu segera mengabarkan kepada Kak Ahem tentang batalnya pernikahan ini, biar puas dia," ujar Ishita sambil mencet telepon kepada Wahyu. "Iya Nyonya?" jawab Wahyu setelah telepon Ishita diangkat. "Pak Wahyu, tolong ...," "Hentikan Ishi!" sahut Affan berteriak. "Kita menikah, sekarang!" lanjutnya pelan sambil menatap Ishita penuh penyesalan. "Kamu yakin?" tanya Ishita ragu, kemudian menutup telepon dengan Wahyu. Perlahan Affan menghampiri Ishita kemudian mbopongnya menuju mobil. Ishita membiarkan Affan membuktikan kesungguhannya. Dia

  • Istri Simpanan Sang CEO   84. Pernikahan Yang Tertunda

    Asisten pribadi Affan membantu mengurus acara pernikahan Affan dan Ishita. Affan sudah bisa berjalan layaknya orang sehat. Apalagi di balik tubuhnya yang kuat dan kekar siapa menyangka dia punya penyakit yang mengintai nyawanya. "Tuan Affan, semua persiapan pernikahan sudah selesai. "Baiklah, terima kasih, Ali," jawab Affan. "Duduklah, Mas Affan! Kamu jangan sampai capek!" pinta Ishita. "Kamu jangan memperlakukan aku seolah aku sedang sakit, Ishi! keluh Affan. "Iya udah, yang penting kamu harus bahagia, Mas Affan. Kita sebentar lagi menikah?" ujar Ishita. "Tapi kamu sendiri bahagia juga kan?" tanya Affan penasaran. "Ya iyalah, sangat bahagia," sahut Ishita. "Menurut kamu perlukah anak-anak tahu tentang pernikahan kita ini?" tanya Affan. "Kayaknya tidak perlu deh, Mas, kan mereka tahunya papa dan mamanya suami istri. Tahu-tahu baru menikah kan menjadi tanda tanya mereka?" jawab Ishita. "Benar juga s

  • Istri Simpanan Sang CEO   83. Pertemuan Affan dan Ishita di Singapura

    Satpol PP mengirim Nazim ke rumah sakit, Kini dia terbaring tak berdaya dengan luka bakar di tubuhnya. Ishita mengetahui dari berita media sosial maupun berita di televisi. Ditemani Wahyu dan anak buahnya, Ishita menuju rumah sakit. Dia melihat Nazim tergolek tak berdaya. Dari jendela kaca Ishita hanya bisa memandangnya. "Kak Nazim, bagaimana keadaan anak-anakku?" gumam Ishita lirih. "Dimanakah mereka, Kak Nazim?" lanjutnya. Ishita masih terpaku, dia tidak menyangka kepulangannya ke Indonesia akan menemui masalah seberat ini. Ishita juga sedang memikirkan Affan yang harus menyembunyikan sakitnya karena tidak mau membuatnya bersedih. "Bagaimana keadaanmu, Ishi?" tanya Ahem yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Ishita. Ishita terdiam bergeming, dia tidak mau menatap mata Ahem. Dia tidak mau hatinya akan luluh dan melupakan Affan yang sudah banyak mempertaruhkan hidupnya. "Aku baik. Kapan semua ini berakhir, Kak Ahem? Semua ini bermula

  • Istri Simpanan Sang CEO   82. Keluarga Baru

    Tifa berdiri di dekat orang-orang yang nongkrong di pagar lokasi pemakaman Cina. Langkahnya terhenti, dia tidak jadi masuk ke lokasi dimana Nazim berbaring sakit. "Kak mau tanya, apa yang kakak ceritakan itu orang yang sedang sakit di bangunan putih dan hijau itu?" tanya Tifa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang lumayan bagus. "Iya betul seorang lelaki yang sakit di bangunan itu tadi diciduk Satpol PP,' ujar salah seorang diantaranya. Tifa sambil mengedarkan pandangannya, takut kalau ada poster yang menempel yang mengumumkan sayembara untuk menemukan dirinya. Dengan penasaran Tifa tetap menempuh jalan setapak menghampiri gubug itu. Betapa terkejutnya Tifa, dia mendapati tempat itu sudah kosong. "Om Nazim ...!" tangisnya memanggil. "Dimanakah kamu? Harusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian," lanjutnya. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya seseorang yang sedang membersihkan makam itu. "Saya mencari Om Nazim, dia om saya se

  • Istri Simpanan Sang CEO   81. Sayembara Dari Ahem

    Ahem sudah tidak mau lagi bertemu dengan Intan semenjak Bella mengirimkan rekaman video itu. Ahem bersama Bella tinggal di rumah yang dibeli Ahem untuk Ishita. Beberapa bodyguard mengamankan rumahnya. Hendrakusuma dan Wina ikut tinggal bersama karena mengawasi Bella dan merawat Ahem. Karena kecelakaan itu Ahem terkena gegar otak ringan. Tapi kini sudah berangsur membaik. Kabar mengenai Nazim dan Saga serta Tifa belum juga ada titik terang. Tapi Ahem sedikit lega karena mereka selamat dari rencana pembunuhan Intan dan Indrayana. "Kumpulkan semua bukti kejahatannya untuk menjerat mereka ke jalur hukum, Ahem," usul Hendrakusuma. "Iya Pa, kita bisa mencari celah agar saat dia melakukan kejahatan kita menangkap basah, sehingga dia tidak bisa berkelit dan hukuman yang berat menanti," ujar Ahem bersiasat "Pa, kenapa mama Ishi belum kembali bersama Saga dan Tifa?" tanya Bella sedih. "Sabar ya sayang, mama sama Om Wahyu masih mencari Om Naz

  • Istri Simpanan Sang CEO   80. Lolos Dari Rencana Pembunuhan.

    Ahem membuka video yang dikirim Bella ke ponselnya. Ternyata pembicaraan antara Intan dan Indrayana. "Pa, hidupku dalam bahaya kalau Ishita dan anaknya kembali. Singkirkan mereka secepatnya, Pa! Semua Pa, tanpa ampun, meskipun si bocah cacat yang merepotkan itu juga," pinta Intan dengan geram. "Mereka sudah menemukan persembunyiannya, kamu jangan khawatir, serahkan semuanya kepada papa!" ujar Indrayana. "Apa yang papa rencanakan?" tanya Intan. "Anak buahku membakar rumah yang ditempati mereka. Aku yakin sebentar lagi mereka terpanggang di dalamnya." jawab Indrayana. "Kalau di depan mamamu kamu jangan kelihatan membenci Affan, bagaimanapun dia adalah keponakannya," pesan Indrayana. "Iya Pa, saya mengerti," jawab Intan dengan lirih penuh siasat. "Biarkan Affan mati dengan sendirinya, kanker darah itu dengan sendirinya akan membunuhnya," ujar Indrayana. Sambil tersenyum puas. "Apa? Jadi Affan terkena kanker darah?" Ahem te

  • Istri Simpanan Sang CEO   79. Memory Yang Telah Kembali

    Akhirnya rasa kemanusiaan bisa mengalahkan kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. Ahem yang terkapar tak berdaya membuat Ishita luluh. "Bagaimanapun dia adalah mantan suamiku, pasti dulu aku pun mencintaimu, kamu ganteng dan kaya,' batin Ishita. "Pak, bantu aku bawa ke rumah sakit ya? Nanti aku bayar tiga kali lipat," pinta Ishita kepada sopir taksi. "Tapi kepalanya banyak darahnya, Mbak, takutnya nanti kena jok mobil susah dibersihkan," kata sopir taksi ragu. "Jangan khawatir kepalanya aku pangku, lagian ada kain untuk bantalan kok," ujar Ishita meyakinkan. "Tapi tolong hati-hati ya, Mbak," pesan sopir taksi. "Jangan khawatir, Pak, aku janji!" jawab Ishita. "Pak, jangan berlebihan deh, bayangkan dia adalah keluargamu!" teriak salah seorang diantara mereka. "Iya Mas, baik aku tolong! Jangan nyumpahi gitu dong! Ayo bantu masukin ke mobil!" pinta sopir taksi kemudian. Begitu Ahem dibawa masuk ke taksi kepalan

DMCA.com Protection Status