Share

6. Malam Pertama

Penulis: Roesaline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

     Siang ini banyak mata memandang iri, saat Ishita pergi menemani Afan makan siang di suatu restouran yang tak jauh dari kantornya. Banyak bisik-bisik usilnya membuat panas telinga. tapi Ishita tidak perduli. Dia berlenggang santai  menuju mobil dan mobilpun sebentar kemudian berlalu meluncur pergi.

    "Kamu ingin makan apa, Ishita?" tanya Afan yang hatinya lagi berbunga-bunga.

   'Terserah Pak Afan, saya sih apa saja oke." Jawab Ishita.

   "Jangan panggil pak dong, apalagi suasana di luar kantor begini. Panggil mas atau namaku Afan." titah Afandy.

    "Baik mas Afan."

    "Nah begitu dong." Ungkap Afan puas. Kita makan masakan Korea?" lanjutnya bertanya.

    "Masakan Jawa aja mas, lidah kita belum tentu cocok dengan lidah orang Korea.  Dari pada buang-buang uang bila tidak kemakan.

    "Cerdas juga kamu, terus enaknya kita makan apa?" Afan minta pendapat.

    "Waktu istirahat kita kan tidak banyak, kita cari saja yang simpel. Masakan Padang misalnya, kan dekat dari kantor. Kita makan siang habis itu kita masih punya waktu untuk sholat dan istirahat." Usul Ishita 

    "Itu yang kusuka dari kamu, pemikran yang cerdas." Gumam Afan.

    "Ah cuma gitu aja, nggak usah dibesar-besarkan! Ayo kita ke restourant masakan Padang aja!" ajak Ishita.

    "Ayo!" sambutnya sambil meraih tangan Ishita dan menggandengnya. Menolong Ishita keluar dari mobil agar berjalan tanpa kruknya.

    "Kamu bisa berjalan tanpa kruk? Atau kugendong saja mau?" tawar Afan.

    "Oh tidak perlu, aku bisa berjalan tanpa kruk. Tapi harus pelan-pelan dan hati-hati, Mas Afan!" kata Ishita memohon.

    "Baik dengan sabar aku membantumu." Kata Afan yang memegangi tangan Ishita. Dia menggandeng Ishita masuk ke restourant Padang. Kemudian menata dan menarik kan kursi buat Ishita duduk. Akhirnya mereka memesan makan dan menikmatinya.

    Ditengah-tengah makan tiba-tiba "cling" tanda ada chat masuk. Segera diambil ponsel di saku jaketnya dan ditatap layar ponsel. Terbaca notifikasi dari Nana, dan Ishita buru-buru membukanya.

    Nana: "Ishita, hati-hati kamu sudah menikah. Jangan beri harapan apapun pada Mas Afan. Kasihan nanti dia terlanjur menggantungkan harapannya kepadamu."

    Ishita: "Beres, kita cuma makan siang saja kok. Habis ini langsung pulang kok."

    Nana: "Hati-hati kalau ketahuan suamimu, Ishita!" kata Nana mengingatkan dalam chatnya.

    Ishita: "Ok." Jawab Ishita singkat.

    Ishita menaruh ponselnya kembali ke saku jaketnya, dan melanjutkan makannya.

    ***

    Di suatu restourant mewah, Ahem bersama klien sedang mengadakan pertemuan ditemani Intan.

    Intan memang istri berkelas dan berpendidikan tinggi. Dia tahu cara memperlakukan teman bisnisnya, melebihi Ahem. Makanya Ahem sering mengajaknya menemui kliennya. Selain penampilannya yang menarik dia juga cerdas dan pandai bergaul dan bernegosiasi.

    "Terima kasih sayang, kamu benar-benar membantuku!" ucapnya sambil menggenggam tangan Intan, setelah tamu menandatangani kontrak dan pergi.

    "Santai saja. Aku akan selalu mendukungmu dalam suka mau duka senantiasa bersamamu. Itu karena kamu mengerti aku juga, sayang!" balas Intan meremas tangan Ahem seolah memberi kekuatan.

    "Besuk Ishita masa subur, kamu harus tidur dengannya." Ujar Intan dengan berat hati. Seolah ada sebongkah batu yang mengganjal di dadanya.

    "Besuk? Emangnya dia sudah sembuh?" tanya Ahem seolah tidak percaya.

    "Kita jangan buang-buang waktu dengan menunda-nunda nya, Ahem. Aku tidak mau kamu terlalu lama dalam ikatan pernikahan dengannya." Ujarnya sedih.

    "Begtu ya? Tapi aku tidak yakin aku bisa tidur dengannya, Intan." Ujar Ahem ragu.

    "Sayang, kan mata kalian ditutup, kamu bisa bayangkan bercinta denganku. Ishita sendiri juga belum mengenalmu mungkin berat juga buat dia. Makanya dia juga kututup matanya." Titah Intan. "Waktumu pukul 23.00 sampai 01.00." Lanjunya. 

   "Begitu ya...." Kata Ahem ragu.

   "Lebih kayak mau maju perang saja penuh aturan .... protokoler." Batin Ahem.

    "Sudahlah yang penting menurut apa kata Hamid. Aku menyerahkan semuanya padanya." Gumam Intan.

    " Yah terserahlah aku tidak bisa berpikir sampai kesana. Aku cari yang praktis tidak mau banyak berpikir."

     "Kamu tidak perlu banyak berpikir sayang, serahkan semua padaku sama Hamid." Kata Intan sombong.

     Akhirnya begitu usai makan siang, Ahem dan Intan keluar restourant. Intan kembali pulang ke rumah, sedang Ahem kembali ke kantor.

    ***

   Siang ini Intan menunggu Ishita di rumah makan favorit langganan Intan. Dengan naik taksi Ishita akhirnya sampai di tempat tujuan. Nampak Intan sudah memesan dua gelas minuman.

    "Siang Mbak Intan?" sapa Ishita sambil menarik kursi yang ada dihadapan Intan.

    "Siang Ishita. Duduklah!" perintah Intan.

    "Makasih."

    "Hamid!" teriak Intan memanggil.

    "Iya Nyonya." Jawab seorang lelaki bertubuh tegap bak bodyguard dengan stelan jas hitam, datang menghampiri Intan.

    "Duduklah!" perintah Intan kepada Hamid. Akhirnya mereka bertiga duduk dalam meja bundar.

    "Ishita, ini Hamid ...dia yang akan memandumu selama kamu tidur dengan suamiku. Dia akan menjemputmu dari tempat kos. Dia juga yang akan menutup matamu selama perjalanan dari tempat kosmu sampai kembali pulang. Waktu bersama kalian dari pukul 23.00 sampai pukul 01.00. Dan nanti Hamid yang akan selalu mengingatkan waktunya. Sampai disini kamu ada pertanyaan?" tanya Intan datar.

    "Tidak Mbak Intan." Jawab Ishita penuh tanda tanya. "Sebegitu takutnya dia kehilangan suaminya, sampai memperlakukan aku seperti ini" kesalnya dalam hati.

    "Hamid, Ishita harus menurut apa pun kata kamu. Dan kamu harus selalu menginformasikan setiap kejadian kepadaku, tanpa aku harus bertanya. Kamu mengerti?" tanya nya masih dingin.

    "Saya mengerti Nyonya." Jawabnya tegas.

    "Ishita, kamu tidak boleh membuka penutup mata sendiri. Biar Hamid yang membukakan!"pesannya kepada Ishita. "Kau tahu, suamiku pun nanti akan memakai penutup mata. Dia tidak bisa bercinta selain dengan istrinya. Dia orangnya selera tinggi, aku takut kamu bukan kriterianya." Lanjutnya seolah punya maksut agar Ishita tau diri. 

   "Baik Mbak."

   "Pelayan, siapkan makanan pesanan kami!" perintah Intan kepada pelayan.

     Tak lama kemudian, pelayan pun  datang membawakan makanan. Dan mereka bertiga mulai menyantapnya. Kalau saja bukan karena demi seorang bayi, Intan tak akan pernah sudi duduk semeja makan dengan orang yang rendahan kayak Ishita dan Hamid.

    ***

    Hamid mulai menutup mata Ishita saat berada di tengah kota. Dia merasa kasihan kalau harus menutup matanya sejak di kosan. Ini pertama kalinya dia melanggar aturan Intan.

     Sebelum menjemput Ishita, Hamid sudah menyiapkan kamar tamu yang bersih penuh wewangian dan beberapa vas bunga segar.  

     Ahem meraih ponselnya di atas meja dan menelepon Intan. Karena sejak siang hari ponselnya tidak aktif.

Ahem: "Kamu dimana sayang?" tanya Ahem penasaran.

Intan: "Aku di Singapura, sayang." 

Ahem: "Apa? Kamu bercanda ya?

Intan: "Kita video call ya? Biar kamu percaya. 

Ahem: "Kamu gila! Apa yang kamu lakukan Intan?" 

Intan: "Hello Sayang!" sapanya sambil melambaikan tangan begitu video menyala. "Nih lihat sekitar ku pertokoan di Singapura dan itu restourant nya. Sudahlah nikmati saja, dan bayangkan wajahku selalu sayang! Aku merindukanmu, I love you!" 

Ahem: "Jaga dirimu Sayang! By..by..

    Mobil yang membawa Ishita sudah sampai di halaman rumah besar dan mewah dengan cat putih dan pagar besi yang tinggi. Dua  orang satpam berjaga di pintu masuk. Halamannya sangat luas dengan rerumputan hijau di tengahnya.

    "Mbak Ishita, tunggu di mobil sebentar ya? Saya mau melihat ke dalam sebentar!" pinta Hamid.

    "Iya Pak Hamid." 

     Kemudian Hamid masuk dan memberitahukan kedatangan Ishita. Hamid meminta Ahem untuk standby di kamar tamu yang sudah disiapkan Hamid.  Setelah Ahem masuk ruang tamu Hamid membantu Ahem menutup matanya. Setelah Ahem siap dengan mata tertutup, Hamid membawa Ishita masuk.

    "Mbak Ishita, ini Tuan Ahem sudah ada di dekatmu. Sudah saya tinggal dulu ya mbak!" pamit Hamid.

     "Pak Hamid!" pekiknya.

      Namun Hamid yang dipanggil tidak menggubrisnya. Dia pergi keluar dan menutup pintunya. 

      Suasana menjadi hening dan kaku. Ishita merasa takut dan cemas. Mungkin pengaruh matanya yang tertutup lama. Memang dalam kegelapan sangatlah menakutkan. Jantungnya berdesir, bayangan terburuk melintas.

    "Kenapa aku harus mengalami nasib seperti ini? Apa aku sanggup disentuh lelaki yang sama sekali tidak kukenal, bahkan tidak boleh aku lihatnya. Ini pernikahan macam apa? Kenapa aku terjebak didalamnya? Andai ayah tahu, pasti dia tidak akan mengijimkan!" batinnya tiba-tiba menangis tak tertahankan.

     Perlahan Ahem mendekat dan meraba Ishita. Ishita yang tersentuh tangannya, sontak terperanjat dan melompat.

    Dan Ahem pun ikut terperanjat kaget. Tapi tangannya sigap meraih tangan Ishita dan menariknya hingga tubuh Ishita terpelanting ke dalam pelukan Ahem.

     Ini pertama kalinya Ishita disentuh lelaki. Ketakutannya membuatnya menangis, tubuhnya bergetar.

     Karena Ahem penasaran dengan gadis yang dinikahi seminggu yang lalu, membuatnya berani meraba wajahnya. Ternyata wajah itu basah air mata.

     Sontak Ahem mendorong tubuh Ishita dengan kuat.

     "Kenapa kamu menangis? Apakah aku memaksamu? Apa aku memperkosa kamu? Katakan kenapa kamu menangis?" hardik Ahem emosi.

    "Ini untuk pertama kalinya bagiku. " Ujar Ishita.

     Oh iya? Aku tidak salah dengar kan? Kamu yang saat ini berada disini karena uang, bisa bicara seperti itu? Memangnya aku percaya?  Bahkan ayahmu saja tega menjual kamu." Ujarnya menghina.

     Spontan tanpa berpikir lagi tangan Ishita mendarat dengan kuat di wajah Ahem karena kesal dan tersinghung.

    Plagh!

Bagaimana akhir malam pertama mereka?

    Bersambung...

     

     

    

   

Komen (2)
goodnovel comment avatar
irfan amsyar
poin poin poin
goodnovel comment avatar
Shegan
masih kurang rapi tulisannya, ada bbrp tanda kutip yg terlewat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Simpanan Sang CEO   7. Malam Kedua

    Ahem segera menangkap tangan Ishita setelah dengan kerasnya menampar wajah Ahem. Dia mencengkeram dengan kuat pegelangan tangan Ishita. "Auh sakit, Kak!" pekiknya. "Beraninya kamu menampar aku, emangnya siapa kamu? Baru pertama kali seumur hidupku ada orang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah melakukannya. Siapa kau berani melakukannya!" bentak Ahem sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Ishita setengah di pelintir. "Auh sakit, Kak!" jerit Ishita. "Kamu harus tahu diri siapa kamu? Aku bisa lakukan apapun kepadamu bila aku mau!" ancamnya. "Ok, Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau, kamu boleh sakiti tubuhku. Tapi jangan sampai kamu menghina Ayahku. Perlu kamu tahu, aku ada disini sekarang karena demi menyelamatkan nyawa ayahku. Uang 1 Milyar yang dijanjikan Mbak Intan bukan aku yang minta, tapi Mbak Intan sendiri yang menawarkannya. Dan itu b

  • Istri Simpanan Sang CEO   8. Malam Ketiga

    Ishita masih berada di dekapan dada bidang dan berotot itu. Kepalanya dibenamkannya sambil tangan Ishita memeluk erat tubuh kekar itu. Sebentar-sebentar Ahem mencium dengan hangat kening Ishita. "Aku semakin ragu dengan perasaanku, bagaimana kalau aku nyaman dengannya dan jatuh cinta padanya?" tanya Ahem dalam hati. "Aku penasaran ingin melihat wajahmu, Ishita!" bisiknya di telinga Ishita. "Jangan Kak, jangan sekarang! Suatu saat pasti kita akan dipertemukan." Jawab Ishita menenangkan. Entah kenapa Ahem tiba-tiba mencium dan melumat kembali bibir Ishita. Seakan ingin mengulang kembali pergulatannya yang sangat terkesan itu. Ishita pun tidak menolak dengan apa yang dilakukan Ahem kepadanya, bahkan dia menyambutnya. Dan pergulatan itu pun terjadi lagi. Bak kesetanan Ahem mulai dengan ganasnya melahap tubuh Ishita tak

  • Istri Simpanan Sang CEO   9. Malam Keempat

    Seperti biasa pagi sekali Ishita sudah bangun untuk membuat sarapan. Ponsel di meja bergetar keras, Dret... Dret.... Dret.... Ishita mengambil ponsel dan dibawa ke dapur sambil memasak. "Ririn, bagaimana kabar ayah?" tanya Ishita begitu telepon diangkat. "Itu dia yang ingin aku ceritakan Mbak!" jawabnya. "Iya bagaimana?" tanya Ishita penasaran. "Mbak, ayah sudah siuman. Dia mencarimu. Dia ingin kamu datang bersama suamimu!" ujar Ririn. "Iyakah, Alhamdulillah! Coba kontrol kan kembali ke dokternya, Ririn!" usul Ishita. "Iya Mbak, rencananya nanti sepulang sekolah." Jawab Ririn. "Ririn, katakan pada ayah, aku dan suamiku harus pengajuan cuti dulu kalau mau pulang. Sabar dulu ya Ririn, pasti kita akan pulang." Ishita berjanji dan menghiburny

  • Istri Simpanan Sang CEO   10. Kesan Malam Keempat

    Malam ini bagi Ahem ada kesan yang mendalam, itu mungkin karena perasaannya sedang dibalut cemburu. Bukan itu saja tak sadar dia mulai merindukannya. Harum tubuh yang alami bukan karena parfum ataupun sabun, tapi seolah pancaran dari tubuhnya. Jam sudah menunjukan 01.00 lebih, tapi Intan belum juga memberi peringatan dengan panggilan telepon. Demikian juga dengan Hamid sedang menunggu sidak dari sang nyonya besar. "Sampai pukul 01.30, nyonya belum juga telepon? Haruskah aku biarkan ataukah aku mengingatkan. Aneh sekali tadi siang mereka bertemu tapi malah bermasalah. Bagaimana kalau dia tahu ternyata dia adalah istrinya?" batin Hamid sambil tertawa geli. "Apakah dia hari ini belum juga membuka penutup mata? Seandainya mereka berdua ingin membukanya bukan hal yang sulit sih, tapi kenapa mereka berdua tidak melakukannya? Aduh kisah cinta yang aneh, aku yakin bos Ahem akan jatuh cinta bila melihat kecantikan Mbak Ishi

  • Istri Simpanan Sang CEO   11. Menjelang Malam Terakhir

    Akhirnya Ahem mengangkat telepon dari Intan. Dia bisa menahan perasaannya untuk suatu tujuan yaitu memiliki anak. "Halo sayang?" sapa Intan. 'Kenapa sih ponsel kamu tidak aktif sejak kemarin malam?" hardik Ahem. "Sayang, ponsel aku ketinggalan di butik saat aku membeli baju. Dan aku baru saja mengambilnya pagi ini. Kamu pasti gelisah ya? Aku yakin kamu pasti merindukan aku, meskipun ada wanita lain disishmu, iya kan?" tanya Intan menggoda. "Kamu sudah mengenalku luar dalam, Intan? Sehingga apa yang aku rasakan kamu pun mengetahuinya. Kapan kamu pulang?" tanya Ahem datar. "Besuk Ahem. Bukankah malam ini adalah malam terakhir buat kamu dan Ishita?" tanya Intan seolah mengingatkan. "Iya aku ingat, Intan." Kata Ahem sedih. "Kenapa kamu bersedih? Tidak rela ini menjadi malam terakhir? Udah waktunya ganti aku sayang?

  • Istri Simpanan Sang CEO   12. Malam Kelima Adalah Malam Terakhir

    Ahem mulai ditutup matanya dan duduk di bibir ranjang. Hamid mengetuk pintu dan mengajak Ishita masuk. Dia membawa Ishita duduk disamping Ahem. "Bos, saya pergi dulu!" pamit Hamid, kemudian menutup pintu. "Ishita?" sapa Ahem lirih serupa mendesah. Sambil tanganya maraba mencari tangan Ishita. Dan Ishita pun menyambutnya. Setelah tangan mereka bertemu, Ahem pun menarik tubuh Ishita untuk dipeluknya. Akhirnya mereka saling berpelukan. Malam ini Ahem sudah berencana untuk banyak berbagi hati. "Gimana kalau penutup mata ini kita buka saja, Ishita! Kita akhiri permainan gila ini, Ishita!" usul Ahem. "Tidak Kak! Jangan!" sahut Ishita. "Biarkan permainan ini sampai usai. Bila bulan ini aku belum hamil, kita masih akan bertemu lagi. Baru kita buka penutup matanya." Usul Ishita. "Tapi aku ingin sekali melihat wajahmu, Ishita!" pekik Ahem. "Sa

  • Istri Simpanan Sang CEO   13. Kesan Malam Kelima

    Ahem kembali meraih Ishita dan mendekap erat tubuhnya. "Aku ingin sekali melihat wajahmu, Ishita! Aku takut kita ketemu di jalan aku tidak bisa mengenalimu." Bisik Ahem ditelinga Ishita. "Aku belum siap, Kak!" jawab Ishita lembut. "Sementara ini aku lebih nyaman seperti ini." Lanjutnya. "Baiklah, aku tidak memaksamu. Tapi yang satu ini aku harus memaksamu." Kata Ahem sambil mengangkat dan menggendong tubuh Ishita dan membawanya masuk kamar mandi. Perlahan kaki melangkah karena dia harus hati-hati agar tidak terbentur dinding ataupun pintu. "Apa yang kau lakukan Kak? Kakak ini matanya masih tetap tertutup kan?" tanya Ishita ragu. "Ya iyalah sayang, kau ragu kenapa aku bisa berjalan dengan mata tertutup? Ini rumah aku, tanpa melihat aku hafal." Kata Ahem sambil menurunkan Ishita dibawah shower dan segera membuka krannya. "A

  • Istri Simpanan Sang CEO   14. Intan Pulang Dari Singapura

    Ishita sampai rumah, langsung tidur tanpa mengecek hadiah dari Ahem. Badannya terlalu capek dan mengantuk. Paginya, seperti biasa dia bangun pagi sekali, setelah sholat subuh dia tidak pergi memasak. Melainkan membongkar hadiah dari Ahem. Dia mulai membongkar kotak perhiasan. Ada gelang dan giwang cantik. Sambil tersenyum Ishita memandangi gelang dan giwang cantik itu. Dia sadar bahwa Ahem sedang memanjakan dirinya. Dirabanya kalung yang sudah dikenakan Ahem, juga cincin berlian yang disematkan semalam. Dia merasa bahagia, bukan karena perhiasannya, tapi kehangatan cinta yang dirasakan semalam masih membekas. Satu persatu paperbag dibukanya, dia membuka gaun-gaun indah dan berkelas yang dibelikan Ahem untuknya. "Aku semakin mencintaimu, Kak Ahem. Kamu memperlakukan aku seperti Cinderella, Kak." Batinnya. Pagi ini, dia malas untuk pergi ke dapur. Badannya terlalu capek dan mengantuk, tapi dia

Bab terbaru

  • Istri Simpanan Sang CEO   87. Akhir Cinta Sejati

    Indrayana dengan menahan geram dan benci menatap Ahem dan Ishita bergantian. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang! Hanya demi lelaki tak punya hati dan pelakor murahan seperti dia! Biarkan papa yang melakukannya, anakku!" Indrayana menenangkan Intan. "Tidak Pa, biarkan aku mati bersama anak kesayangannya ini!" ujar Intan masih mencengkeram Saga dan perlahan melangkah mundur. "Berhenti, Mbak! Hati-hati jangan lakukan itu! Bicaralah apa yang harus aku lakukan, katakan!" teriak Ishita tercekam panik. "Apa kamu saja yang melompat dari sini, menggantikan anak kamu?" tawar Intan. "Kamu gila ya! Kenapa tidak kamu saja yang melompat sendiri?" sahut Affan berteriak. "Oh ya kamu masih hidup, Affan? Lantang sekali suara kamu, udah sehat?" tanya Indrayana mengejek. "Malang sekali Intan punya orang tua sebengis kamu, tidak salah kalau Intan menjadi seperti itu, ternyata karena mencontoh orang tuanya," olok Affan. "Biarkan aku

  • Istri Simpanan Sang CEO   86. Yang Mana Cinta Sejati

    Ahem menatap Affan dengan kebencian yang ditahan. Dia tidak bisa melihat orang yang paling dicintai ada di dekatnya. Tapi Ahem melihat semua mata tertuju padanya, dia merasa harus bisa mengendalikan perasaannya. "Kabarku, baik," jawab Ahem sambil menyambut tangan Affan. "Kamu sendiri kelihatannya sehat-sehat saja," lanjutnya. "Iya beginilah," jawab Affan asal. "Bagaimana keadaanmu, Kak Nazim? Maaf kamu jadi menderita gara-gara keluargaku," kata Ishita lembut. "Jangan begitu, Ishi! Selamat ya, semoga kamu bahagia," ucap Nazim. "Terima kasih, Kak Nazim." Ishita kikuk akan menyapa Ahem, tapi karena dia adalah tamu yang datang belakangan, harusnya dia menyapa semuanya tanpa terkecuali. "Kak Ahem, kok sendirian? Dimana Bella dan Arjun?" tanya Ishita basa-basi tanpa berani menatap wajah Ahem. "Ada di rumah," jawab Ahem datar, juga tanpa melihat wajah Ishita. Kini hubungan mereka tiba-tiba terasa dingin dan asing seper

  • Istri Simpanan Sang CEO   85. Akad Nikah

    Affan masih tertegun menatap Ishita yang kelelahan mengangkat baju pengantin yang panjang. Wajah cantik dan bersinar cerah bagai mutiara, membuat Affan tertegun penuh kekaguman. "Baik, kalau memang kamu menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Aku akan menghubungi Wahyu dan kawan-kawannya agar mengatakan ini kepada tamu dan penghulu. Aku tidak mau mereka menunggu lama," hardik Ishita emosi. "Biar Pak Wahyu segera mengabarkan kepada Kak Ahem tentang batalnya pernikahan ini, biar puas dia," ujar Ishita sambil mencet telepon kepada Wahyu. "Iya Nyonya?" jawab Wahyu setelah telepon Ishita diangkat. "Pak Wahyu, tolong ...," "Hentikan Ishi!" sahut Affan berteriak. "Kita menikah, sekarang!" lanjutnya pelan sambil menatap Ishita penuh penyesalan. "Kamu yakin?" tanya Ishita ragu, kemudian menutup telepon dengan Wahyu. Perlahan Affan menghampiri Ishita kemudian mbopongnya menuju mobil. Ishita membiarkan Affan membuktikan kesungguhannya. Dia

  • Istri Simpanan Sang CEO   84. Pernikahan Yang Tertunda

    Asisten pribadi Affan membantu mengurus acara pernikahan Affan dan Ishita. Affan sudah bisa berjalan layaknya orang sehat. Apalagi di balik tubuhnya yang kuat dan kekar siapa menyangka dia punya penyakit yang mengintai nyawanya. "Tuan Affan, semua persiapan pernikahan sudah selesai. "Baiklah, terima kasih, Ali," jawab Affan. "Duduklah, Mas Affan! Kamu jangan sampai capek!" pinta Ishita. "Kamu jangan memperlakukan aku seolah aku sedang sakit, Ishi! keluh Affan. "Iya udah, yang penting kamu harus bahagia, Mas Affan. Kita sebentar lagi menikah?" ujar Ishita. "Tapi kamu sendiri bahagia juga kan?" tanya Affan penasaran. "Ya iyalah, sangat bahagia," sahut Ishita. "Menurut kamu perlukah anak-anak tahu tentang pernikahan kita ini?" tanya Affan. "Kayaknya tidak perlu deh, Mas, kan mereka tahunya papa dan mamanya suami istri. Tahu-tahu baru menikah kan menjadi tanda tanya mereka?" jawab Ishita. "Benar juga s

  • Istri Simpanan Sang CEO   83. Pertemuan Affan dan Ishita di Singapura

    Satpol PP mengirim Nazim ke rumah sakit, Kini dia terbaring tak berdaya dengan luka bakar di tubuhnya. Ishita mengetahui dari berita media sosial maupun berita di televisi. Ditemani Wahyu dan anak buahnya, Ishita menuju rumah sakit. Dia melihat Nazim tergolek tak berdaya. Dari jendela kaca Ishita hanya bisa memandangnya. "Kak Nazim, bagaimana keadaan anak-anakku?" gumam Ishita lirih. "Dimanakah mereka, Kak Nazim?" lanjutnya. Ishita masih terpaku, dia tidak menyangka kepulangannya ke Indonesia akan menemui masalah seberat ini. Ishita juga sedang memikirkan Affan yang harus menyembunyikan sakitnya karena tidak mau membuatnya bersedih. "Bagaimana keadaanmu, Ishi?" tanya Ahem yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Ishita. Ishita terdiam bergeming, dia tidak mau menatap mata Ahem. Dia tidak mau hatinya akan luluh dan melupakan Affan yang sudah banyak mempertaruhkan hidupnya. "Aku baik. Kapan semua ini berakhir, Kak Ahem? Semua ini bermula

  • Istri Simpanan Sang CEO   82. Keluarga Baru

    Tifa berdiri di dekat orang-orang yang nongkrong di pagar lokasi pemakaman Cina. Langkahnya terhenti, dia tidak jadi masuk ke lokasi dimana Nazim berbaring sakit. "Kak mau tanya, apa yang kakak ceritakan itu orang yang sedang sakit di bangunan putih dan hijau itu?" tanya Tifa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang lumayan bagus. "Iya betul seorang lelaki yang sakit di bangunan itu tadi diciduk Satpol PP,' ujar salah seorang diantaranya. Tifa sambil mengedarkan pandangannya, takut kalau ada poster yang menempel yang mengumumkan sayembara untuk menemukan dirinya. Dengan penasaran Tifa tetap menempuh jalan setapak menghampiri gubug itu. Betapa terkejutnya Tifa, dia mendapati tempat itu sudah kosong. "Om Nazim ...!" tangisnya memanggil. "Dimanakah kamu? Harusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian," lanjutnya. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya seseorang yang sedang membersihkan makam itu. "Saya mencari Om Nazim, dia om saya se

  • Istri Simpanan Sang CEO   81. Sayembara Dari Ahem

    Ahem sudah tidak mau lagi bertemu dengan Intan semenjak Bella mengirimkan rekaman video itu. Ahem bersama Bella tinggal di rumah yang dibeli Ahem untuk Ishita. Beberapa bodyguard mengamankan rumahnya. Hendrakusuma dan Wina ikut tinggal bersama karena mengawasi Bella dan merawat Ahem. Karena kecelakaan itu Ahem terkena gegar otak ringan. Tapi kini sudah berangsur membaik. Kabar mengenai Nazim dan Saga serta Tifa belum juga ada titik terang. Tapi Ahem sedikit lega karena mereka selamat dari rencana pembunuhan Intan dan Indrayana. "Kumpulkan semua bukti kejahatannya untuk menjerat mereka ke jalur hukum, Ahem," usul Hendrakusuma. "Iya Pa, kita bisa mencari celah agar saat dia melakukan kejahatan kita menangkap basah, sehingga dia tidak bisa berkelit dan hukuman yang berat menanti," ujar Ahem bersiasat "Pa, kenapa mama Ishi belum kembali bersama Saga dan Tifa?" tanya Bella sedih. "Sabar ya sayang, mama sama Om Wahyu masih mencari Om Naz

  • Istri Simpanan Sang CEO   80. Lolos Dari Rencana Pembunuhan.

    Ahem membuka video yang dikirim Bella ke ponselnya. Ternyata pembicaraan antara Intan dan Indrayana. "Pa, hidupku dalam bahaya kalau Ishita dan anaknya kembali. Singkirkan mereka secepatnya, Pa! Semua Pa, tanpa ampun, meskipun si bocah cacat yang merepotkan itu juga," pinta Intan dengan geram. "Mereka sudah menemukan persembunyiannya, kamu jangan khawatir, serahkan semuanya kepada papa!" ujar Indrayana. "Apa yang papa rencanakan?" tanya Intan. "Anak buahku membakar rumah yang ditempati mereka. Aku yakin sebentar lagi mereka terpanggang di dalamnya." jawab Indrayana. "Kalau di depan mamamu kamu jangan kelihatan membenci Affan, bagaimanapun dia adalah keponakannya," pesan Indrayana. "Iya Pa, saya mengerti," jawab Intan dengan lirih penuh siasat. "Biarkan Affan mati dengan sendirinya, kanker darah itu dengan sendirinya akan membunuhnya," ujar Indrayana. Sambil tersenyum puas. "Apa? Jadi Affan terkena kanker darah?" Ahem te

  • Istri Simpanan Sang CEO   79. Memory Yang Telah Kembali

    Akhirnya rasa kemanusiaan bisa mengalahkan kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. Ahem yang terkapar tak berdaya membuat Ishita luluh. "Bagaimanapun dia adalah mantan suamiku, pasti dulu aku pun mencintaimu, kamu ganteng dan kaya,' batin Ishita. "Pak, bantu aku bawa ke rumah sakit ya? Nanti aku bayar tiga kali lipat," pinta Ishita kepada sopir taksi. "Tapi kepalanya banyak darahnya, Mbak, takutnya nanti kena jok mobil susah dibersihkan," kata sopir taksi ragu. "Jangan khawatir kepalanya aku pangku, lagian ada kain untuk bantalan kok," ujar Ishita meyakinkan. "Tapi tolong hati-hati ya, Mbak," pesan sopir taksi. "Jangan khawatir, Pak, aku janji!" jawab Ishita. "Pak, jangan berlebihan deh, bayangkan dia adalah keluargamu!" teriak salah seorang diantara mereka. "Iya Mas, baik aku tolong! Jangan nyumpahi gitu dong! Ayo bantu masukin ke mobil!" pinta sopir taksi kemudian. Begitu Ahem dibawa masuk ke taksi kepalan

DMCA.com Protection Status