Setelah acara ijab kabul nikah, Ahem berpamitan untuk pulang dulu kepada keluarga Ishita dan tanpa berpamitan pada Ishita. Kepada Intan, Ahem berpamitan lewat telepon. Ishita pun belum sempat melihat wajah suami yang dinikahi beberapa jam yang lalu. Saat ijab kabul ada tirai putih yang memisahkan mereka. Saat ijab diucapkan dengan lantang, Ishita hanya mendengarkan tanpa melihat wajahnya. Ada debar- debar di jantung yang muncul saat ikrar ijab dan serempak undangan berteriak sah.
Ahem meninggalkan masjid dan para tamu undangan pun menyusulnya. Tinggal Ishita dan Ririn serta pamannya yang masih bercengkrama membicarakan tentang ayahnya.yang belum juga sadarkan diri.
Intan masih menunggu di mobilnya, yang terparkir di halaman masjid. Dia harus membawa Ishita pulang kembali ke Jakarta. Padahal dia masih harus menempuh perjalanan panjang dan lama sekitar empat jam.
"Ayolah Ishita! Kita nanti masih perjalanan jauh dan lama!" teriak Intan yang menunggu dengan kesal.
Ishita keluar, diikuti Ririn, bibi dan pamannya. Kemudian Ishita memeluk Ririn, bibi Jamilah dan pamannya sebelum kemudian berpamitan pergi dan mengucapkan salam perpisahan.
Ishita dengan bantuan kruknya masuk ke mobil dan melambaikan tangan kepada Ririn, paman dan bibi. Mobil mewah itu perlahan membawanya pergi. Air matanya meleleh teringat ayahnya yang tidak bisa menikahkan dirinya. Dia diam terpaku hatinya sedih, pasrah dengan apapun yang akan terjadi dengan keputusannya menikah.
Mobil mulai masuk gang menuju tempat kosan Ishita. Gang memang kecil tidak cukup untuk berpapasan mobil lain. Mobil sudah berhenti tepat di rumah kos Ibu Dewi, tapi Intan masih menahannya.
"Sebentar, masih ada yang ingin aku bicarakan!" kata Intan sambil memegang lengan Ishita.
"Iya Mbak?" Ishita berhenti dan kembali duduk tenang di mobil.
"Berarti minggu depan kamu sudah masa subur. Apakah kamu sudah siap? Aku tidak mau menunda-nunda lagi. Bila fisikmu sudah bagus saya kira semakin cepat semakin baik." Kata Intan dengan kaku dan tegas.
"Kalau minggu depan aku siap, aku akan belajar berjalan lepas dari kruk." Katanya berjanji.
"Ya sudah, aku akan siapkan semuanya. Pergilah!" Perintah Intan.
"Baik." Jawabnya sambil mengeluarkan kruknya dan menatanya untuk menopang tubuhnya agar bisa keluar dari mobil. Baru beberapa jejak kakinya melangkah teman-temannya datang menghampiri dan menyambutnya.
"Ishita, selamat!
"Ishita, selamat!
"Sahabatku selamat ya!" seru ketiga sahabatnya bergantian mengucapkan selamat.
Ishita kebingungan tidak tahu harus bahagia atau bersedih atas ucapan teman-temannya. Apalagi dia juga tidak tahu dari mana berita mengenai pernikahannya, tiba-tiba tercium oleh orang lain. Ishita merasa tidak nyaman takut Intan beranggapan dia telah menyebarkan berita itu. Ishita melirik Intan dan memberi kode ke teman-temannya.
"Dari mana kalian tahu sih mengenai pernikahanku?" tanya Ishita heran.
'Dari Ririn, dia mengunggahnya di IG nya. Aku kan mengikuti IG dia." Jawab Nana teman kerja juga teman sekosannya.
"Iyakah?" tanyanya tak percaya sambil menggandeng teman-temannya setengah berlari menjauh dari Intan dan mereka diajak masuk. Kebetulan Ishita mengenakan gaun putih gaun pernikahan, yang sederhana tapi lebih nampak kharismatik dan bersinar. Sayang suaminya tidak bisa melihat kecantikannya, dan betapa bersinarnya Ishita dengan gaun pengantin.
"Dasar orang udik, ember ...aku lupa memberitahu bahwa dia harus merahasiakan pernikahan ini." Pikir Intan dalam hati.
"Mana suamimu, Ishita? Dia tadi kakaknya ya? Kenapa kamu tidak langsung ke rumah suamimu justru pulang ke kosan?" Nana menyerbu dengan pertanyaan.
"Kapan-kapan aku cerita, sekarang mari kalian semua aku traktir. Untuk sementara kita makan di rumah makan sederhana, tapi sebentar lagi aku ajak kalian semua makan di restoran ternama untuk orang-orang kelas atas.
"Memangnya suami kamu orang kaya? Termasuk kalangan orang atas?" tanya Susi salah satu temannya.
"Aku tidak tahu Susi, tapi aku harus kerja keras untuk mengumpulkan uang agar aku bisa traktir kalian di restouran berkelas." Ungkapnya seolah menyembunyikan sesuatu. Dia tidak mungkin mengatakan kepada teman-temannya bahwa dirinya hanyalah istri simpanan. Yang hanya menyewakan rahimnya untuk seseorang demi uang.
"Aku bersiap dulu, mandi dan ganti baju. Setelah itu kita makan malam!" ujar Ishita kemudian berlalu pergi ke kamar mandi.
"Kamu yakin sudah baikan, kamu sudah bisa jalan?" tanya Susi memeriksa.
"Santai aja, yang penting pelan-pelan. Soalnya masih sedikit ngilu dan sakit. Tapi kuat kok....kita bersenang-senang!" seru Ishita.
"Oke tarik....!" Seru ketiga temannya.
***
Akhirnya mereka berempat berboncengan naik motor. Ishita berboncengan dengan Nana, dan Susi berboncengan dengan Tika. Sambil berkeliling untuk cuci mata sebelum kemudian mencari tempat makan.
Ishita dan Nana memang sudah kenal lama karena mereka kebetulan berasal dari desa yang sama. Sepanjang perjalanan mereka berdua bercanda kesana kemari dengan akrabnya. Tiba-tiba mobil mewah mengerem mendadak, membuat Ishita yang pegang setir tidak kuasa mengendalikan rem.
Brag!
Ishita menubruk mobil mewah sedan hitam BMW X6.
"Ishita, apa yang kau lakukan? Kau menubruk mobil mewah!" seru Nana.
"Diam, aku tidak salah dia mengerem mendadak." Bentak Ishita.
Bersamaan itu muncul pemilik mobil mewah itu menghampiri dengan muka seram dan garang, dia adalah Ahem Alfarizi.
"Apa yang kau lakukan dengan mobilku?" bentaknya dengan emosi. "Oh si hitam manis ku! Lihat, buka matamu... sampai penyok begini ....aduh tergores parah. Kalian harus bertanggungjawab. Ini mobil mahal, untuk catnya saja saya harus inden lama."
"Kenapa harus aku yang bertanggungjawab? Kan situ yang ngerem mendadak, siapa tahu situ mau berhenti? Tuh ada rambu-rambu dilarang berhenti, tau rambu-rambu ndak?" hardik Ishita berusaha mengelak.
"Eh orang udik...tolol sok pintar, itu rambu-rambu artinya dilarang parkir disini, sok tau. Dan Kamu tahu aku tidak parkir, aku mengerem. Sok pinter! Harusnya tuh, kamu jaga jarak."
"Situ yang salah kenapa orang lain yang disuruh bertanggungjawab?" bentak Ishita.
"Tidak bisa, kamu harus bertanggungjawab! Apa aku lapor ke polisi saja?" tantang Ahem.
"Waduh kalau lapor polisi urusannya jadi panjang dong, kan SIM ku udah mati dua tahun yang lalu." Pikir Ishita dalam hati.
"Gimana? Mau aku panggil polisi? Aku tahu orang kayak kalian pasti SIM aja tidak punya. Sok kaya.... jangan-jangan motor juga pinjam, bukan punya sendiri?" umpat Ahem.
"Dasar sombong! Angkuh! Mobil bagus paling juga hasil menipu! Baik aku ganti, aku minta waktu!" jawab Ishita.
Ketiga temannya saling berbisik, seolah dia mengetahui sesuatu dan ingin disampaikan kepada Ishita. Tapi Ishita tetap fokus pada perdebatan yang akhirnya menyudutkan dirinya.
" Apa hasil menipu? Mau disumpal itu mulut.....!" Hardik Ahem emosi. "Minta waktu sampai kapan, hah? Satu tahun ...dua tahun? Kalau tidak mampu bilang aja, biar kujadikan kau tukang cuci di rumahku!" ujarnya dengan sombong.
"Aku pasti tanggungjawab, ini KTP ku cari aku, kalau kau takut aku lari. Dan ingat daripada jadi tukang cuci di rumah kamu mending jadi pengamen jalanan." Gumamnya menahan geram.
"Pantas! Aku sekarang lagi sibuk, tidak punya waktu, kalau saja aku longgar pasti akan segera kuselesaikan!" katanya dengan sombong dan berlalu pergi meninggalkan Ishita dan kawan-kawannya.
Ahem kembali duduk di kursi kemudi, tak sadar dia menyelipkan KTP Ishita di dalam dompetnya dan kemudian melajukan mobilnya dengan kencang.
"Ishita, kayaknya om tadi wajahnya kok familier sekali ya?" kata Nana seolah sedang mengingat-ingat.
"Kamu tuh kalau ada lelaki agak bening dikit pasti ngefans...langsung hafal diluar kepala." Ketus Ishita.
"Ih kamu bisa aja." Sahut Nana sambil nyengir.
"Ishita, hari ini apa hari naas mu ya? Kamu ada mimpi ndak semalem? Trus nanti kalau kamu harus ganti rugi mahal sekali, gimana? Tapi kamu kan sudah punya suami, bisa dibicarakan sama dia nanti!" ujar Susi. Tika dan Susi adalah teman sesama kos disitu, mereka bekerja di Supermarket.
"Iya deh, anggap saja hari ini hari naas ku. Tapi tidak usah dipikirin, kita makan-makan aja!" hibur Ishita pada teman-temannya dan dirinya sendiri.
Akhirnya mereka berempat makan malam di restouran masakan Padang.
Membayangkan seandainya mereka tahu, bahwa lelaki yang barusan diajak berantem adalah lelaki yang dinikahinya tadi siang. Dan wanita yang sedang dipersulit barusan adalah wanita yang baru dinikahinya. Dia adalah istrinya yang diharapkan keturunannya.
***
Ini hari pertama Ishita kembali masuk kerja. Dia masih menggunakan kruk meskipun jalannya sudah mulai normal hanya sedikit linu.
Tak lupa Ishita berpesan pada Nana agar berita mengenai pernikahannya, harus dirahasiakan. Dan sebagai sahabat itu merupakan permintaan yang tidak sulit.
"Pagi Ishita?" sapa Afandy yang nampak bahagia melihat Ishita sudah masuk kerja. Saat Ishita sakit, Afandy sering juga menjenguk. Saat di tumah sakit dia sekali menjenguk. Tapi kalau di rumah dia sudah tiga kali menjenguk. Kini dia sudah mulai masuk kerja. Hati Afandy mulai lega dan nampak bahagia, tidak seperti hari-hari sebelumnya saat Ishita cuti selalu mendung.
"Kamu yakin sudah sehat, Ishita?" tanya Afandy menghampiri Ishita.
"Sudah Pak Afan, saya sudah tidak apa-apa." Jawab Ishita.
"Alhamdulillah, kalau begitu nanti boleh dong temani aku makan siang?" pinta Afan merajuk.
"Boleh, Pak Afan." Jawab Ishita.
"Aku harus menerima ajakan pak Afan, aku harus tetap berbaur pada mereka semua. Tidak apa-apa aku sudah menikah. Toh aku belum melihat siapa suamiku. Mungkin suamiku juga belum melihat wajah aku. Aku harus tetap berbaur pada mereka seolah tidak pernah terjadi apa-apa." Batin Ishita.
Tiba-tiba ponsel Ishita bergetar, dan sesaat dia menatap layar ponselnya. Tertulis nama Mbak Intan pada layar ponsel Ishita.
"Iya mbak?" sapa Ishita dengan suara pelan.
"Aku di kosan kamu, kamu dimana?" tanya Intan.
"Saya masuk kerja Mbak Intan?" Jawabnya.
"Kamu sudah masuk kerja? Berarti tubuhmu sudah sehat kan, Ishita?" tanya nya.
"Maaf Pak Afan, saya terima telepon dulu!" pamit Ishita sambil berdiri dan meninggalkan Afan.
"Siapa dia... pacar mu?" tiba-tiba Intan menanyakan itu.
"Kepala ruangan, Mbak Intan. Ada apa Mbak Intan?
"Persiapkan dirimu, kamu sudah selesai haid kan? Hitunglah masa suburnya mulai kapan, kamu bisa sampaikan kepadaku. Nanti aku atur pertemuannya dengan suamiku!" pinta Intan penuh rencana.
"Besuk mulai masa subur, Mbak Intan."
"Benarkah? Persiapkan dirimu. Besuk siang kita ketemuan. Membahas masalah ini. Ya sudah, selamat bekerja!" ujar Intan.
Setelah telepon ditutup, Ishita mulai ganti baju kerja dan mulai kerja. Afan tidak memberikan pekerjaan berat, dikarenakan kondisinya.
Seperti yang dijanjikan Afan mengajak Ishita makan siang bersama. Akhirnya dia pergi keluar naik mobil Afan untuk pergi makan siang.
Bagaimana suasana malam pertama Ishita dan Ahem?
Bersambung....
Siang ini banyak mata memandang iri, saat Ishita pergi menemani Afan makan siang di suatu restouran yang tak jauh dari kantornya. Banyak bisik-bisik usilnya membuat panas telinga. tapi Ishita tidak perduli. Dia berlenggang santai menuju mobil dan mobilpun sebentar kemudian berlalu meluncur pergi. "Kamu ingin makan apa, Ishita?" tanya Afan yang hatinya lagi berbunga-bunga. 'Terserah Pak Afan, saya sih apa saja oke." Jawab Ishita. "Jangan panggil pak dong, apalagi suasana di luar kantor begini. Panggil mas atau namaku Afan." titah Afandy. "Baik mas Afan." "Nah begitu dong." Ungkap Afan puas. Kita makan masakan Korea?" lanjutnya bertanya. "Masakan Jawa aja mas, lidah kita belum tentu cocok dengan lidah orang Korea. Dari pada buang-buang uang bila tidak kemakan. "Cerdas juga kamu, terus enaknya kita makan
Ahem segera menangkap tangan Ishita setelah dengan kerasnya menampar wajah Ahem. Dia mencengkeram dengan kuat pegelangan tangan Ishita. "Auh sakit, Kak!" pekiknya. "Beraninya kamu menampar aku, emangnya siapa kamu? Baru pertama kali seumur hidupku ada orang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah melakukannya. Siapa kau berani melakukannya!" bentak Ahem sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Ishita setengah di pelintir. "Auh sakit, Kak!" jerit Ishita. "Kamu harus tahu diri siapa kamu? Aku bisa lakukan apapun kepadamu bila aku mau!" ancamnya. "Ok, Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau, kamu boleh sakiti tubuhku. Tapi jangan sampai kamu menghina Ayahku. Perlu kamu tahu, aku ada disini sekarang karena demi menyelamatkan nyawa ayahku. Uang 1 Milyar yang dijanjikan Mbak Intan bukan aku yang minta, tapi Mbak Intan sendiri yang menawarkannya. Dan itu b
Ishita masih berada di dekapan dada bidang dan berotot itu. Kepalanya dibenamkannya sambil tangan Ishita memeluk erat tubuh kekar itu. Sebentar-sebentar Ahem mencium dengan hangat kening Ishita. "Aku semakin ragu dengan perasaanku, bagaimana kalau aku nyaman dengannya dan jatuh cinta padanya?" tanya Ahem dalam hati. "Aku penasaran ingin melihat wajahmu, Ishita!" bisiknya di telinga Ishita. "Jangan Kak, jangan sekarang! Suatu saat pasti kita akan dipertemukan." Jawab Ishita menenangkan. Entah kenapa Ahem tiba-tiba mencium dan melumat kembali bibir Ishita. Seakan ingin mengulang kembali pergulatannya yang sangat terkesan itu. Ishita pun tidak menolak dengan apa yang dilakukan Ahem kepadanya, bahkan dia menyambutnya. Dan pergulatan itu pun terjadi lagi. Bak kesetanan Ahem mulai dengan ganasnya melahap tubuh Ishita tak
Seperti biasa pagi sekali Ishita sudah bangun untuk membuat sarapan. Ponsel di meja bergetar keras, Dret... Dret.... Dret.... Ishita mengambil ponsel dan dibawa ke dapur sambil memasak. "Ririn, bagaimana kabar ayah?" tanya Ishita begitu telepon diangkat. "Itu dia yang ingin aku ceritakan Mbak!" jawabnya. "Iya bagaimana?" tanya Ishita penasaran. "Mbak, ayah sudah siuman. Dia mencarimu. Dia ingin kamu datang bersama suamimu!" ujar Ririn. "Iyakah, Alhamdulillah! Coba kontrol kan kembali ke dokternya, Ririn!" usul Ishita. "Iya Mbak, rencananya nanti sepulang sekolah." Jawab Ririn. "Ririn, katakan pada ayah, aku dan suamiku harus pengajuan cuti dulu kalau mau pulang. Sabar dulu ya Ririn, pasti kita akan pulang." Ishita berjanji dan menghiburny
Malam ini bagi Ahem ada kesan yang mendalam, itu mungkin karena perasaannya sedang dibalut cemburu. Bukan itu saja tak sadar dia mulai merindukannya. Harum tubuh yang alami bukan karena parfum ataupun sabun, tapi seolah pancaran dari tubuhnya. Jam sudah menunjukan 01.00 lebih, tapi Intan belum juga memberi peringatan dengan panggilan telepon. Demikian juga dengan Hamid sedang menunggu sidak dari sang nyonya besar. "Sampai pukul 01.30, nyonya belum juga telepon? Haruskah aku biarkan ataukah aku mengingatkan. Aneh sekali tadi siang mereka bertemu tapi malah bermasalah. Bagaimana kalau dia tahu ternyata dia adalah istrinya?" batin Hamid sambil tertawa geli. "Apakah dia hari ini belum juga membuka penutup mata? Seandainya mereka berdua ingin membukanya bukan hal yang sulit sih, tapi kenapa mereka berdua tidak melakukannya? Aduh kisah cinta yang aneh, aku yakin bos Ahem akan jatuh cinta bila melihat kecantikan Mbak Ishi
Akhirnya Ahem mengangkat telepon dari Intan. Dia bisa menahan perasaannya untuk suatu tujuan yaitu memiliki anak. "Halo sayang?" sapa Intan. 'Kenapa sih ponsel kamu tidak aktif sejak kemarin malam?" hardik Ahem. "Sayang, ponsel aku ketinggalan di butik saat aku membeli baju. Dan aku baru saja mengambilnya pagi ini. Kamu pasti gelisah ya? Aku yakin kamu pasti merindukan aku, meskipun ada wanita lain disishmu, iya kan?" tanya Intan menggoda. "Kamu sudah mengenalku luar dalam, Intan? Sehingga apa yang aku rasakan kamu pun mengetahuinya. Kapan kamu pulang?" tanya Ahem datar. "Besuk Ahem. Bukankah malam ini adalah malam terakhir buat kamu dan Ishita?" tanya Intan seolah mengingatkan. "Iya aku ingat, Intan." Kata Ahem sedih. "Kenapa kamu bersedih? Tidak rela ini menjadi malam terakhir? Udah waktunya ganti aku sayang?
Ahem mulai ditutup matanya dan duduk di bibir ranjang. Hamid mengetuk pintu dan mengajak Ishita masuk. Dia membawa Ishita duduk disamping Ahem. "Bos, saya pergi dulu!" pamit Hamid, kemudian menutup pintu. "Ishita?" sapa Ahem lirih serupa mendesah. Sambil tanganya maraba mencari tangan Ishita. Dan Ishita pun menyambutnya. Setelah tangan mereka bertemu, Ahem pun menarik tubuh Ishita untuk dipeluknya. Akhirnya mereka saling berpelukan. Malam ini Ahem sudah berencana untuk banyak berbagi hati. "Gimana kalau penutup mata ini kita buka saja, Ishita! Kita akhiri permainan gila ini, Ishita!" usul Ahem. "Tidak Kak! Jangan!" sahut Ishita. "Biarkan permainan ini sampai usai. Bila bulan ini aku belum hamil, kita masih akan bertemu lagi. Baru kita buka penutup matanya." Usul Ishita. "Tapi aku ingin sekali melihat wajahmu, Ishita!" pekik Ahem. "Sa
Ahem kembali meraih Ishita dan mendekap erat tubuhnya. "Aku ingin sekali melihat wajahmu, Ishita! Aku takut kita ketemu di jalan aku tidak bisa mengenalimu." Bisik Ahem ditelinga Ishita. "Aku belum siap, Kak!" jawab Ishita lembut. "Sementara ini aku lebih nyaman seperti ini." Lanjutnya. "Baiklah, aku tidak memaksamu. Tapi yang satu ini aku harus memaksamu." Kata Ahem sambil mengangkat dan menggendong tubuh Ishita dan membawanya masuk kamar mandi. Perlahan kaki melangkah karena dia harus hati-hati agar tidak terbentur dinding ataupun pintu. "Apa yang kau lakukan Kak? Kakak ini matanya masih tetap tertutup kan?" tanya Ishita ragu. "Ya iyalah sayang, kau ragu kenapa aku bisa berjalan dengan mata tertutup? Ini rumah aku, tanpa melihat aku hafal." Kata Ahem sambil menurunkan Ishita dibawah shower dan segera membuka krannya. "A
Indrayana dengan menahan geram dan benci menatap Ahem dan Ishita bergantian. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang! Hanya demi lelaki tak punya hati dan pelakor murahan seperti dia! Biarkan papa yang melakukannya, anakku!" Indrayana menenangkan Intan. "Tidak Pa, biarkan aku mati bersama anak kesayangannya ini!" ujar Intan masih mencengkeram Saga dan perlahan melangkah mundur. "Berhenti, Mbak! Hati-hati jangan lakukan itu! Bicaralah apa yang harus aku lakukan, katakan!" teriak Ishita tercekam panik. "Apa kamu saja yang melompat dari sini, menggantikan anak kamu?" tawar Intan. "Kamu gila ya! Kenapa tidak kamu saja yang melompat sendiri?" sahut Affan berteriak. "Oh ya kamu masih hidup, Affan? Lantang sekali suara kamu, udah sehat?" tanya Indrayana mengejek. "Malang sekali Intan punya orang tua sebengis kamu, tidak salah kalau Intan menjadi seperti itu, ternyata karena mencontoh orang tuanya," olok Affan. "Biarkan aku
Ahem menatap Affan dengan kebencian yang ditahan. Dia tidak bisa melihat orang yang paling dicintai ada di dekatnya. Tapi Ahem melihat semua mata tertuju padanya, dia merasa harus bisa mengendalikan perasaannya. "Kabarku, baik," jawab Ahem sambil menyambut tangan Affan. "Kamu sendiri kelihatannya sehat-sehat saja," lanjutnya. "Iya beginilah," jawab Affan asal. "Bagaimana keadaanmu, Kak Nazim? Maaf kamu jadi menderita gara-gara keluargaku," kata Ishita lembut. "Jangan begitu, Ishi! Selamat ya, semoga kamu bahagia," ucap Nazim. "Terima kasih, Kak Nazim." Ishita kikuk akan menyapa Ahem, tapi karena dia adalah tamu yang datang belakangan, harusnya dia menyapa semuanya tanpa terkecuali. "Kak Ahem, kok sendirian? Dimana Bella dan Arjun?" tanya Ishita basa-basi tanpa berani menatap wajah Ahem. "Ada di rumah," jawab Ahem datar, juga tanpa melihat wajah Ishita. Kini hubungan mereka tiba-tiba terasa dingin dan asing seper
Affan masih tertegun menatap Ishita yang kelelahan mengangkat baju pengantin yang panjang. Wajah cantik dan bersinar cerah bagai mutiara, membuat Affan tertegun penuh kekaguman. "Baik, kalau memang kamu menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Aku akan menghubungi Wahyu dan kawan-kawannya agar mengatakan ini kepada tamu dan penghulu. Aku tidak mau mereka menunggu lama," hardik Ishita emosi. "Biar Pak Wahyu segera mengabarkan kepada Kak Ahem tentang batalnya pernikahan ini, biar puas dia," ujar Ishita sambil mencet telepon kepada Wahyu. "Iya Nyonya?" jawab Wahyu setelah telepon Ishita diangkat. "Pak Wahyu, tolong ...," "Hentikan Ishi!" sahut Affan berteriak. "Kita menikah, sekarang!" lanjutnya pelan sambil menatap Ishita penuh penyesalan. "Kamu yakin?" tanya Ishita ragu, kemudian menutup telepon dengan Wahyu. Perlahan Affan menghampiri Ishita kemudian mbopongnya menuju mobil. Ishita membiarkan Affan membuktikan kesungguhannya. Dia
Asisten pribadi Affan membantu mengurus acara pernikahan Affan dan Ishita. Affan sudah bisa berjalan layaknya orang sehat. Apalagi di balik tubuhnya yang kuat dan kekar siapa menyangka dia punya penyakit yang mengintai nyawanya. "Tuan Affan, semua persiapan pernikahan sudah selesai. "Baiklah, terima kasih, Ali," jawab Affan. "Duduklah, Mas Affan! Kamu jangan sampai capek!" pinta Ishita. "Kamu jangan memperlakukan aku seolah aku sedang sakit, Ishi! keluh Affan. "Iya udah, yang penting kamu harus bahagia, Mas Affan. Kita sebentar lagi menikah?" ujar Ishita. "Tapi kamu sendiri bahagia juga kan?" tanya Affan penasaran. "Ya iyalah, sangat bahagia," sahut Ishita. "Menurut kamu perlukah anak-anak tahu tentang pernikahan kita ini?" tanya Affan. "Kayaknya tidak perlu deh, Mas, kan mereka tahunya papa dan mamanya suami istri. Tahu-tahu baru menikah kan menjadi tanda tanya mereka?" jawab Ishita. "Benar juga s
Satpol PP mengirim Nazim ke rumah sakit, Kini dia terbaring tak berdaya dengan luka bakar di tubuhnya. Ishita mengetahui dari berita media sosial maupun berita di televisi. Ditemani Wahyu dan anak buahnya, Ishita menuju rumah sakit. Dia melihat Nazim tergolek tak berdaya. Dari jendela kaca Ishita hanya bisa memandangnya. "Kak Nazim, bagaimana keadaan anak-anakku?" gumam Ishita lirih. "Dimanakah mereka, Kak Nazim?" lanjutnya. Ishita masih terpaku, dia tidak menyangka kepulangannya ke Indonesia akan menemui masalah seberat ini. Ishita juga sedang memikirkan Affan yang harus menyembunyikan sakitnya karena tidak mau membuatnya bersedih. "Bagaimana keadaanmu, Ishi?" tanya Ahem yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Ishita. Ishita terdiam bergeming, dia tidak mau menatap mata Ahem. Dia tidak mau hatinya akan luluh dan melupakan Affan yang sudah banyak mempertaruhkan hidupnya. "Aku baik. Kapan semua ini berakhir, Kak Ahem? Semua ini bermula
Tifa berdiri di dekat orang-orang yang nongkrong di pagar lokasi pemakaman Cina. Langkahnya terhenti, dia tidak jadi masuk ke lokasi dimana Nazim berbaring sakit. "Kak mau tanya, apa yang kakak ceritakan itu orang yang sedang sakit di bangunan putih dan hijau itu?" tanya Tifa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang lumayan bagus. "Iya betul seorang lelaki yang sakit di bangunan itu tadi diciduk Satpol PP,' ujar salah seorang diantaranya. Tifa sambil mengedarkan pandangannya, takut kalau ada poster yang menempel yang mengumumkan sayembara untuk menemukan dirinya. Dengan penasaran Tifa tetap menempuh jalan setapak menghampiri gubug itu. Betapa terkejutnya Tifa, dia mendapati tempat itu sudah kosong. "Om Nazim ...!" tangisnya memanggil. "Dimanakah kamu? Harusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian," lanjutnya. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya seseorang yang sedang membersihkan makam itu. "Saya mencari Om Nazim, dia om saya se
Ahem sudah tidak mau lagi bertemu dengan Intan semenjak Bella mengirimkan rekaman video itu. Ahem bersama Bella tinggal di rumah yang dibeli Ahem untuk Ishita. Beberapa bodyguard mengamankan rumahnya. Hendrakusuma dan Wina ikut tinggal bersama karena mengawasi Bella dan merawat Ahem. Karena kecelakaan itu Ahem terkena gegar otak ringan. Tapi kini sudah berangsur membaik. Kabar mengenai Nazim dan Saga serta Tifa belum juga ada titik terang. Tapi Ahem sedikit lega karena mereka selamat dari rencana pembunuhan Intan dan Indrayana. "Kumpulkan semua bukti kejahatannya untuk menjerat mereka ke jalur hukum, Ahem," usul Hendrakusuma. "Iya Pa, kita bisa mencari celah agar saat dia melakukan kejahatan kita menangkap basah, sehingga dia tidak bisa berkelit dan hukuman yang berat menanti," ujar Ahem bersiasat "Pa, kenapa mama Ishi belum kembali bersama Saga dan Tifa?" tanya Bella sedih. "Sabar ya sayang, mama sama Om Wahyu masih mencari Om Naz
Ahem membuka video yang dikirim Bella ke ponselnya. Ternyata pembicaraan antara Intan dan Indrayana. "Pa, hidupku dalam bahaya kalau Ishita dan anaknya kembali. Singkirkan mereka secepatnya, Pa! Semua Pa, tanpa ampun, meskipun si bocah cacat yang merepotkan itu juga," pinta Intan dengan geram. "Mereka sudah menemukan persembunyiannya, kamu jangan khawatir, serahkan semuanya kepada papa!" ujar Indrayana. "Apa yang papa rencanakan?" tanya Intan. "Anak buahku membakar rumah yang ditempati mereka. Aku yakin sebentar lagi mereka terpanggang di dalamnya." jawab Indrayana. "Kalau di depan mamamu kamu jangan kelihatan membenci Affan, bagaimanapun dia adalah keponakannya," pesan Indrayana. "Iya Pa, saya mengerti," jawab Intan dengan lirih penuh siasat. "Biarkan Affan mati dengan sendirinya, kanker darah itu dengan sendirinya akan membunuhnya," ujar Indrayana. Sambil tersenyum puas. "Apa? Jadi Affan terkena kanker darah?" Ahem te
Akhirnya rasa kemanusiaan bisa mengalahkan kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. Ahem yang terkapar tak berdaya membuat Ishita luluh. "Bagaimanapun dia adalah mantan suamiku, pasti dulu aku pun mencintaimu, kamu ganteng dan kaya,' batin Ishita. "Pak, bantu aku bawa ke rumah sakit ya? Nanti aku bayar tiga kali lipat," pinta Ishita kepada sopir taksi. "Tapi kepalanya banyak darahnya, Mbak, takutnya nanti kena jok mobil susah dibersihkan," kata sopir taksi ragu. "Jangan khawatir kepalanya aku pangku, lagian ada kain untuk bantalan kok," ujar Ishita meyakinkan. "Tapi tolong hati-hati ya, Mbak," pesan sopir taksi. "Jangan khawatir, Pak, aku janji!" jawab Ishita. "Pak, jangan berlebihan deh, bayangkan dia adalah keluargamu!" teriak salah seorang diantara mereka. "Iya Mas, baik aku tolong! Jangan nyumpahi gitu dong! Ayo bantu masukin ke mobil!" pinta sopir taksi kemudian. Begitu Ahem dibawa masuk ke taksi kepalan