Beranda / Romansa / Istri Simpanan Sang CEO / 4. Perjanjian Pernikahan

Share

4. Perjanjian Pernikahan

Penulis: Roesaline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

    Pagi sekali Intan sudah berada di rumah sakit. Kali ini dia tidak sendiri, melainkan bersama Indrayana, papanya. Sebelum menemui Ishita, Intan membicarakan kepada Indrayana rencana Intan mengenai keinginannya meminjam rahim Ishita untuk melahirkan anak Ahem.

    Indrayana mendukung keinginan putri semata wayangnya. Sebelum proses lebih jauh Indrayana yang kebetulan kepala rumah sakit dan seorang dokter, mengusulkan untuk cek up kesehatan rahim Ishita.  Dan Ishita menyetujuinya. Dengan tidak membuang waktu lagi, akhirnya hari itu juga diadakan cek up. Padahal tubuh Ishita belum pulih, dia duduk di kursi roda. Dan seorang asisten lelaki membantu mendorong kursi rodanya, menuju ruang periksa dokter.

    Intan dan asistennya menunggu di luar sambil memain ponselnya. Tiba-tiba ponsel Intan bergetar dan Intan segera mengangkatnya.

   "Iya sayang?" sapanya begitu telepon diangkat.

   "Kamu masih di rumah sakit,  sayang?" tanya Ahem.

   "Iya masih, ini ngantar Ishita cek up ditemeni papa." 

   "Aku perlu cek up tidak?" tanya Ahem menggoda.

   "Ih ngebet juga kamu ya, bikin aku cemburu aja!" seru Intan.

   "Ha..ha..ha...seneng deh kalau kamu cemburu gitu, pasti bibirmu lagi manyun." tebak Ahem menggoda.

   "Awas ya kamu!" ancam Intan.

   "Kamu tetap harus cek up juga, Ahem. Kalau kalian berdua dinyatakan sehat  maka menikahlah!" titah Intan pelan menahan perasaan cemburu dan takut kehilangan.

   "Baiklah istriku tersayang. Aku menurut apapun rencanamu. Kau nanti jangan pulang terlambat lagi ya. Aku tidak mau menunggu....jenuh tau!"ketus Ahem.

   "Iya aku nanti cepet pulang, jangan khawatir!" Intan menenangkannya.

   "Kutunggu di rumah sayang, by..by..!" ujarnya sambil menutup teleponnya.

    Tak lama kemudian Ishita keluar dari ruangan periksa. Dan perawat membawanya kembali ke kamar. Sedang Intan dan papanya berjalan menelusuri lorong rumah sakit. 

    "Hasil USG sangat bagus, Intan. Kita menunggu hasil cek darah nanti siang sudah keluar." Ujar Indrayana optimis.

    "Pa, Ahem harus cek up juga nggak?" tanya Intan.

    "Ya iyalah sayang, takutnya suamimu ternyata juga ada masalah. Akhirnya nggak juga punya anak, terlanjur menikah lagi. Kan kamu juga yang rugi, terlanjur diduakan." Ungkap Indrayana.

    "Menurut papa apakah Ishita bisa dipercaya, pa?" tanya Intan ragu.

    "Manusia bisa berubah kapan saja, Intan? Kita harus hati-hati! Buatlah surat perjanjian yang benar-benar mengikat dia, agar dia tidak bisa berkutik. Ayo kita bicarakan di ruangan papa!" ajak Indrayana kepada anaknya.

    Akhirnya ayah dan anak ini membuat surat perjanjian di ruangan Indrayana. Benar-benar pasal-pasalnya sangat merugikan dan penuh jeratan serta mengikat kuat Ishita sehingga benar-benar tidak bisa berkutik.

     Pukul 14.00, hasil tes darah keluar, semua bagus dan sehat. Akhirnya Intan dan Indrayan datang ke kamar Ishita untuk menyampaikan kabar baik itu, dan sekalian membawa surat perjanjian pranikah. 

    "Ishita, ini surat perjanjian pranikah, kau harus menandatangani!" kata Intan sambil menyodorkan beberapa lembar kertas yang harus Ishita tandatangani.

    "Apa isinya, Mbak? Aku boleh baca dulu kan?" tanya Ishita memohon.

    "Isinya, bahwa kamu akan meninggalkan kita, setelah anak Ahem lahir. Kamu sudah tidak berhak atas bayi itu. Dan kamu harus bercerai begitu bayi Ahem terlahir. Pergi dari rumah tanpa membawa apapun." Ungkap Intan berbohong.

    Karena banyak hal yang per pasalnya lebih keras tapi tidak disebutkan oleh Intan. Dan dengan percayanya tanpa sedikit pun curiga Ishita menandatanganinya. 

   "Ishita, keadaanmu sekarang  bagaimana? Masih sakitkah?" tanya Intan. 

   "Sudah berkurang banyak, Mbak." Jawabnya.

   "Syukurlah, ayahku memberimu obat yang terbaik, Ishita." Ujarnya.

   "Terima kasih mbak."

   "Ishita, ada aturan main yang harus kau ketahui sebelum menikah. Nanti kalau sekiranya ada yang keberatan katakan saja!" 

   "Iya Mbak, katakan saja!" titah Ishita.

    "Nanti setelah kalian menikah, aku hanya mempertemukan kalian pada saat kamu masa subur, ingat itu! Dan setelah kamu hamil, kamu tidak boleh bertemu suamiku lagi sampai anak itu lahir dan sampai akhirnya kalian bercerai. Sampai disini kau setuju?" tanya Intan seolah menekan.

    "Iya, aku setuju." Jawab Ishita tegas.

    'Dan lagi...saat kalian berhubungan aku ingin menutup matamu. Agar kamu tidak melihat suamiku, aku takut kamu jatuh cinta pada suamiku. Aku beri kalian waktu pukul 23.00 sampai pukul 01.00 dengan mata tertutup saat masuk rumahku maupun keluar rumahku. Nanti ada asisten yang menemani dan memandu kamu. Sampai disini kamu bisa terima?" tanya Intan lagi.

    Karena niatan merebut suami orang juga tidak ada, ingin dicumbu suaminya  orang juga tidak, maka bagi Ishita ini adalah syarat yang tidak sulit. "Malah lebih baik kalau aku tidak melihat wajah dia, jangan-jangan dia sudah berumur. Atau aku risih dicumbu lelaki yang sama sekali tidak kukenal. Hih membayangkannya saja aku geli. Daripada aku memejamkan mata, lebih baik mataku ditutup. Itu merupakan ide yang bagus." Batin Ishita justru senang dengan aturan itu.

    "Aku sangat setuju, Mbak. Aku sendiri tidak bisa membayangkan dicumbu lelaki yang sama sekali tidak aku kenal." Ujar Ishita.

    "Baik. Aku tenang mendengarnya.  Nanti kamu tidak perlu banyak komunikasi, diam lebih baik." Pinta Intan.

    "Setuju!" Jawabnya tegas.

    "Baik, sementara itu syarat-syarat dari aku, bila ada tambahan nanti menyusul. Setelah pernikahan uang 1M tak transfer di rekening kamu. Dan setelah kamu hamil, aku sewakan rumah yang layak untuk kamu tinggali." Janji Intan.

    "Iya mbak, aku menurut." Jawabnya tegas.

    "Ishita, apakah kamu sudah punya pacar?" tanya Indrayana tiba-tiba.

    "Sudah Om." Jawabnya berbohong. Agar mereka tidak ketakutan akan merebut suaminya.

    "Bagus, trus apa yang akan kamu katakan bila nanti kamu harus menikah dengan orang lain?" tanya Indrayana penasaran.

    "Saya akan terus terang Om, saya tidak mau berbohong, semua ini aku lakukan untuk menolong ayahku. Juga untuk masa depanku." Jawab Ishita.

     "Ya sudah, kita pulang dulu Intan, biarkan Ishita istirahat!" usul Indrayana memberi kode, seolah ingin berbicara lagi empat mata.

    Akhirnya ayah dan anak itu berjalan beriringan keluar kamar inap Ishita.

     ***

     Tiga hari kemudian, ganti Ahem yang datang untuk cek up ke rumah sakit. Dan hasilnya memuaskan, semua baik dan sehat.

    Dan Ishita sudah pulang ke kosannya. Dia sementara menggunakan kruk untuk jalan. Karena dia belum sembuh benar. Dan dari kantor dia mendapat izin istirahat karena kecelakaan.

    Ishita membaringkan tubuhnya di ranjang kecil yang sederhana. Dia menghubungi Ririn menanyakan ayahnya. Ternyata ayahnya belum sadarkan diri paska operasi.

    Padahal Intan sudah mendesak untuk segera melangsungkan pernikahannya. Dari pihak Ahem surat-surat sudah lengkap. Akhirnya Ishita minta tolong pamannya untuk mengurus surat-surat dan sekaligus menjadi wali nikah.

    Setelah surat-surat sudah beres, pamannya memberitahu dan menata tempat pernikahannya, yaitu masjid yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

   Hari pernikahan sudah ditentukan. Undangan hanya khusus keluarga sendiri. Intan mendesint lokasi pernikahan dengan memisahkan tamu lelaki dan wanita.

    Pernikahan itu atas persetujuan istri pertama, dengan alasan karena istri pertama tidak punya keturunan.

   Dan pernikahan ini dibatasi tirai putih yang membuat pengantin wanita dan para tamu wanita terpisah. Mereka tidak bisa saling melihat dengan pengantin pria maupun tamu pria.

    Setelah penghulu menyatakan pernikahan sudah sah, pengantin pria dan wanita dipandu untuk saling berjabat tangan. Tapi segera Intan berdiri sambil berkata, "Pak penghulu gimana kalau jabat tangannya nanti saja biar bertemu di kamar." Usul Intan. "Lagian pengantin wanitanya sedang sakit habis kecelakaan, Pak!" Intan menjelaskan.

     "Oh begitu? Ya sudah terserah....yang penting sekarang kalian berdua sudah sah menjadi suami istri menurut negara maupun agama." Penghulu mengumumkan.

    Entah kenapa tiba-tiba Ishita menangis, seolah bagai mimpi. Semua begitu cepat terjadi. Ririn menghampiri kakaknya sambil menangis tersedu-sedu. Ishita dipeluknya dengan erat dan diciuminya.

    "Maafkan aku ya Kak, karena keadaan seperti ini kakak harus berkorban. Aku tidak bisa membantu apa-apa Kak!" Bisik Ririn sambil menangis.

    "Kamu jangan menyalahkan diri kamu sendiri, kakak baik-baik saja kok."

     Pelukannya makin erat dan tangisannya pun makin menjadi-jadi. Ishita menarik tubuhnya dan mengusap airmata Ririn. 

     "Kakak melakukan ini semua karena uang, Ririn. Hidup kita terlalu miskin, sehingga untuk berobat ayah saja kita tak berdaya. Maafkan kakak yang tidak bisa memberi contoh yang baik buatmu, Ririn!' bisik Ishita di telinga Ririn.

    "Tidak Kak, kakak adalah kakak terbaik bagiku." Pekiknya.

     "Ishita, kita pulang bersama!" ajak Intan. Pengawal Ahem membawa Ishita dengan kursi rodanya. Mereka semobil bertiga, Intan, Ishita dan pengawal. Ahem pulang duluan bersama pengawalnya juga. Karena Intan tidak pernah memberi kesempatan mereka untuk saling bertemu.

    "Ishita, kapan terakhir kamu menstruasi?" tanya Intan didalam mobil.

    "Sekarang saya sedang menstruasi, Mbak." Jawabnya.

    "Apa? Sudah berapa hari?" tanya Intan tak percaya.

    "Baru dua hari, Mbak."

    "Masa suburmu berarti Minggu depan. Kamu harus segera sembuh, Ishita. Agar tidak memakai kursi roda ataupun kruk pada saat malam pertama dengan suamiku. Ingat kamu harus menurut apapun petunjuk dariku!" desak Intan.

    "Baik Mbak, jangan khawatir!" jawab Ishita pelan.

     "Sementara kamu tetap tinggal di kosanmu, nanti aku antar!" gumamnya.

     "Baik Mbak."

Bagaimana malam pertama Ishita dan Ahem?

      Bersambung......

    

    

    

     

   

     

    

   

Bab terkait

  • Istri Simpanan Sang CEO   5. Pernikahan Kedua Ahem

    Setelah acara ijab kabul nikah, Ahem berpamitan untuk pulang dulu kepada keluarga Ishita dan tanpa berpamitan pada Ishita. Kepada Intan, Ahem berpamitan lewat telepon. Ishita pun belum sempat melihat wajah suami yang dinikahi beberapa jam yang lalu. Saat ijab kabul ada tirai putih yang memisahkan mereka. Saat ijab diucapkan dengan lantang, Ishita hanya mendengarkan tanpa melihat wajahnya. Ada debar- debar di jantung yang muncul saat ikrar ijab dan serempak undangan berteriak sah. Ahem meninggalkan masjid dan para tamu undangan pun menyusulnya. Tinggal Ishita dan Ririn serta pamannya yang masih bercengkrama membicarakan tentang ayahnya.yang belum juga sadarkan diri. Intan masih menunggu di mobilnya, yang terparkir di halaman masjid. Dia harus membawa Ishita pulang kembali ke Jakarta. Padahal dia masih harus menempuh perjalanan panjang dan lama sekitar empat jam. "Ayolah Ishita! Kita nant

  • Istri Simpanan Sang CEO   6. Malam Pertama

    Siang ini banyak mata memandang iri, saat Ishita pergi menemani Afan makan siang di suatu restouran yang tak jauh dari kantornya. Banyak bisik-bisik usilnya membuat panas telinga. tapi Ishita tidak perduli. Dia berlenggang santai menuju mobil dan mobilpun sebentar kemudian berlalu meluncur pergi. "Kamu ingin makan apa, Ishita?" tanya Afan yang hatinya lagi berbunga-bunga. 'Terserah Pak Afan, saya sih apa saja oke." Jawab Ishita. "Jangan panggil pak dong, apalagi suasana di luar kantor begini. Panggil mas atau namaku Afan." titah Afandy. "Baik mas Afan." "Nah begitu dong." Ungkap Afan puas. Kita makan masakan Korea?" lanjutnya bertanya. "Masakan Jawa aja mas, lidah kita belum tentu cocok dengan lidah orang Korea. Dari pada buang-buang uang bila tidak kemakan. "Cerdas juga kamu, terus enaknya kita makan

  • Istri Simpanan Sang CEO   7. Malam Kedua

    Ahem segera menangkap tangan Ishita setelah dengan kerasnya menampar wajah Ahem. Dia mencengkeram dengan kuat pegelangan tangan Ishita. "Auh sakit, Kak!" pekiknya. "Beraninya kamu menampar aku, emangnya siapa kamu? Baru pertama kali seumur hidupku ada orang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah melakukannya. Siapa kau berani melakukannya!" bentak Ahem sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Ishita setengah di pelintir. "Auh sakit, Kak!" jerit Ishita. "Kamu harus tahu diri siapa kamu? Aku bisa lakukan apapun kepadamu bila aku mau!" ancamnya. "Ok, Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau, kamu boleh sakiti tubuhku. Tapi jangan sampai kamu menghina Ayahku. Perlu kamu tahu, aku ada disini sekarang karena demi menyelamatkan nyawa ayahku. Uang 1 Milyar yang dijanjikan Mbak Intan bukan aku yang minta, tapi Mbak Intan sendiri yang menawarkannya. Dan itu b

  • Istri Simpanan Sang CEO   8. Malam Ketiga

    Ishita masih berada di dekapan dada bidang dan berotot itu. Kepalanya dibenamkannya sambil tangan Ishita memeluk erat tubuh kekar itu. Sebentar-sebentar Ahem mencium dengan hangat kening Ishita. "Aku semakin ragu dengan perasaanku, bagaimana kalau aku nyaman dengannya dan jatuh cinta padanya?" tanya Ahem dalam hati. "Aku penasaran ingin melihat wajahmu, Ishita!" bisiknya di telinga Ishita. "Jangan Kak, jangan sekarang! Suatu saat pasti kita akan dipertemukan." Jawab Ishita menenangkan. Entah kenapa Ahem tiba-tiba mencium dan melumat kembali bibir Ishita. Seakan ingin mengulang kembali pergulatannya yang sangat terkesan itu. Ishita pun tidak menolak dengan apa yang dilakukan Ahem kepadanya, bahkan dia menyambutnya. Dan pergulatan itu pun terjadi lagi. Bak kesetanan Ahem mulai dengan ganasnya melahap tubuh Ishita tak

  • Istri Simpanan Sang CEO   9. Malam Keempat

    Seperti biasa pagi sekali Ishita sudah bangun untuk membuat sarapan. Ponsel di meja bergetar keras, Dret... Dret.... Dret.... Ishita mengambil ponsel dan dibawa ke dapur sambil memasak. "Ririn, bagaimana kabar ayah?" tanya Ishita begitu telepon diangkat. "Itu dia yang ingin aku ceritakan Mbak!" jawabnya. "Iya bagaimana?" tanya Ishita penasaran. "Mbak, ayah sudah siuman. Dia mencarimu. Dia ingin kamu datang bersama suamimu!" ujar Ririn. "Iyakah, Alhamdulillah! Coba kontrol kan kembali ke dokternya, Ririn!" usul Ishita. "Iya Mbak, rencananya nanti sepulang sekolah." Jawab Ririn. "Ririn, katakan pada ayah, aku dan suamiku harus pengajuan cuti dulu kalau mau pulang. Sabar dulu ya Ririn, pasti kita akan pulang." Ishita berjanji dan menghiburny

  • Istri Simpanan Sang CEO   10. Kesan Malam Keempat

    Malam ini bagi Ahem ada kesan yang mendalam, itu mungkin karena perasaannya sedang dibalut cemburu. Bukan itu saja tak sadar dia mulai merindukannya. Harum tubuh yang alami bukan karena parfum ataupun sabun, tapi seolah pancaran dari tubuhnya. Jam sudah menunjukan 01.00 lebih, tapi Intan belum juga memberi peringatan dengan panggilan telepon. Demikian juga dengan Hamid sedang menunggu sidak dari sang nyonya besar. "Sampai pukul 01.30, nyonya belum juga telepon? Haruskah aku biarkan ataukah aku mengingatkan. Aneh sekali tadi siang mereka bertemu tapi malah bermasalah. Bagaimana kalau dia tahu ternyata dia adalah istrinya?" batin Hamid sambil tertawa geli. "Apakah dia hari ini belum juga membuka penutup mata? Seandainya mereka berdua ingin membukanya bukan hal yang sulit sih, tapi kenapa mereka berdua tidak melakukannya? Aduh kisah cinta yang aneh, aku yakin bos Ahem akan jatuh cinta bila melihat kecantikan Mbak Ishi

  • Istri Simpanan Sang CEO   11. Menjelang Malam Terakhir

    Akhirnya Ahem mengangkat telepon dari Intan. Dia bisa menahan perasaannya untuk suatu tujuan yaitu memiliki anak. "Halo sayang?" sapa Intan. 'Kenapa sih ponsel kamu tidak aktif sejak kemarin malam?" hardik Ahem. "Sayang, ponsel aku ketinggalan di butik saat aku membeli baju. Dan aku baru saja mengambilnya pagi ini. Kamu pasti gelisah ya? Aku yakin kamu pasti merindukan aku, meskipun ada wanita lain disishmu, iya kan?" tanya Intan menggoda. "Kamu sudah mengenalku luar dalam, Intan? Sehingga apa yang aku rasakan kamu pun mengetahuinya. Kapan kamu pulang?" tanya Ahem datar. "Besuk Ahem. Bukankah malam ini adalah malam terakhir buat kamu dan Ishita?" tanya Intan seolah mengingatkan. "Iya aku ingat, Intan." Kata Ahem sedih. "Kenapa kamu bersedih? Tidak rela ini menjadi malam terakhir? Udah waktunya ganti aku sayang?

  • Istri Simpanan Sang CEO   12. Malam Kelima Adalah Malam Terakhir

    Ahem mulai ditutup matanya dan duduk di bibir ranjang. Hamid mengetuk pintu dan mengajak Ishita masuk. Dia membawa Ishita duduk disamping Ahem. "Bos, saya pergi dulu!" pamit Hamid, kemudian menutup pintu. "Ishita?" sapa Ahem lirih serupa mendesah. Sambil tanganya maraba mencari tangan Ishita. Dan Ishita pun menyambutnya. Setelah tangan mereka bertemu, Ahem pun menarik tubuh Ishita untuk dipeluknya. Akhirnya mereka saling berpelukan. Malam ini Ahem sudah berencana untuk banyak berbagi hati. "Gimana kalau penutup mata ini kita buka saja, Ishita! Kita akhiri permainan gila ini, Ishita!" usul Ahem. "Tidak Kak! Jangan!" sahut Ishita. "Biarkan permainan ini sampai usai. Bila bulan ini aku belum hamil, kita masih akan bertemu lagi. Baru kita buka penutup matanya." Usul Ishita. "Tapi aku ingin sekali melihat wajahmu, Ishita!" pekik Ahem. "Sa

Bab terbaru

  • Istri Simpanan Sang CEO   87. Akhir Cinta Sejati

    Indrayana dengan menahan geram dan benci menatap Ahem dan Ishita bergantian. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang! Hanya demi lelaki tak punya hati dan pelakor murahan seperti dia! Biarkan papa yang melakukannya, anakku!" Indrayana menenangkan Intan. "Tidak Pa, biarkan aku mati bersama anak kesayangannya ini!" ujar Intan masih mencengkeram Saga dan perlahan melangkah mundur. "Berhenti, Mbak! Hati-hati jangan lakukan itu! Bicaralah apa yang harus aku lakukan, katakan!" teriak Ishita tercekam panik. "Apa kamu saja yang melompat dari sini, menggantikan anak kamu?" tawar Intan. "Kamu gila ya! Kenapa tidak kamu saja yang melompat sendiri?" sahut Affan berteriak. "Oh ya kamu masih hidup, Affan? Lantang sekali suara kamu, udah sehat?" tanya Indrayana mengejek. "Malang sekali Intan punya orang tua sebengis kamu, tidak salah kalau Intan menjadi seperti itu, ternyata karena mencontoh orang tuanya," olok Affan. "Biarkan aku

  • Istri Simpanan Sang CEO   86. Yang Mana Cinta Sejati

    Ahem menatap Affan dengan kebencian yang ditahan. Dia tidak bisa melihat orang yang paling dicintai ada di dekatnya. Tapi Ahem melihat semua mata tertuju padanya, dia merasa harus bisa mengendalikan perasaannya. "Kabarku, baik," jawab Ahem sambil menyambut tangan Affan. "Kamu sendiri kelihatannya sehat-sehat saja," lanjutnya. "Iya beginilah," jawab Affan asal. "Bagaimana keadaanmu, Kak Nazim? Maaf kamu jadi menderita gara-gara keluargaku," kata Ishita lembut. "Jangan begitu, Ishi! Selamat ya, semoga kamu bahagia," ucap Nazim. "Terima kasih, Kak Nazim." Ishita kikuk akan menyapa Ahem, tapi karena dia adalah tamu yang datang belakangan, harusnya dia menyapa semuanya tanpa terkecuali. "Kak Ahem, kok sendirian? Dimana Bella dan Arjun?" tanya Ishita basa-basi tanpa berani menatap wajah Ahem. "Ada di rumah," jawab Ahem datar, juga tanpa melihat wajah Ishita. Kini hubungan mereka tiba-tiba terasa dingin dan asing seper

  • Istri Simpanan Sang CEO   85. Akad Nikah

    Affan masih tertegun menatap Ishita yang kelelahan mengangkat baju pengantin yang panjang. Wajah cantik dan bersinar cerah bagai mutiara, membuat Affan tertegun penuh kekaguman. "Baik, kalau memang kamu menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Aku akan menghubungi Wahyu dan kawan-kawannya agar mengatakan ini kepada tamu dan penghulu. Aku tidak mau mereka menunggu lama," hardik Ishita emosi. "Biar Pak Wahyu segera mengabarkan kepada Kak Ahem tentang batalnya pernikahan ini, biar puas dia," ujar Ishita sambil mencet telepon kepada Wahyu. "Iya Nyonya?" jawab Wahyu setelah telepon Ishita diangkat. "Pak Wahyu, tolong ...," "Hentikan Ishi!" sahut Affan berteriak. "Kita menikah, sekarang!" lanjutnya pelan sambil menatap Ishita penuh penyesalan. "Kamu yakin?" tanya Ishita ragu, kemudian menutup telepon dengan Wahyu. Perlahan Affan menghampiri Ishita kemudian mbopongnya menuju mobil. Ishita membiarkan Affan membuktikan kesungguhannya. Dia

  • Istri Simpanan Sang CEO   84. Pernikahan Yang Tertunda

    Asisten pribadi Affan membantu mengurus acara pernikahan Affan dan Ishita. Affan sudah bisa berjalan layaknya orang sehat. Apalagi di balik tubuhnya yang kuat dan kekar siapa menyangka dia punya penyakit yang mengintai nyawanya. "Tuan Affan, semua persiapan pernikahan sudah selesai. "Baiklah, terima kasih, Ali," jawab Affan. "Duduklah, Mas Affan! Kamu jangan sampai capek!" pinta Ishita. "Kamu jangan memperlakukan aku seolah aku sedang sakit, Ishi! keluh Affan. "Iya udah, yang penting kamu harus bahagia, Mas Affan. Kita sebentar lagi menikah?" ujar Ishita. "Tapi kamu sendiri bahagia juga kan?" tanya Affan penasaran. "Ya iyalah, sangat bahagia," sahut Ishita. "Menurut kamu perlukah anak-anak tahu tentang pernikahan kita ini?" tanya Affan. "Kayaknya tidak perlu deh, Mas, kan mereka tahunya papa dan mamanya suami istri. Tahu-tahu baru menikah kan menjadi tanda tanya mereka?" jawab Ishita. "Benar juga s

  • Istri Simpanan Sang CEO   83. Pertemuan Affan dan Ishita di Singapura

    Satpol PP mengirim Nazim ke rumah sakit, Kini dia terbaring tak berdaya dengan luka bakar di tubuhnya. Ishita mengetahui dari berita media sosial maupun berita di televisi. Ditemani Wahyu dan anak buahnya, Ishita menuju rumah sakit. Dia melihat Nazim tergolek tak berdaya. Dari jendela kaca Ishita hanya bisa memandangnya. "Kak Nazim, bagaimana keadaan anak-anakku?" gumam Ishita lirih. "Dimanakah mereka, Kak Nazim?" lanjutnya. Ishita masih terpaku, dia tidak menyangka kepulangannya ke Indonesia akan menemui masalah seberat ini. Ishita juga sedang memikirkan Affan yang harus menyembunyikan sakitnya karena tidak mau membuatnya bersedih. "Bagaimana keadaanmu, Ishi?" tanya Ahem yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Ishita. Ishita terdiam bergeming, dia tidak mau menatap mata Ahem. Dia tidak mau hatinya akan luluh dan melupakan Affan yang sudah banyak mempertaruhkan hidupnya. "Aku baik. Kapan semua ini berakhir, Kak Ahem? Semua ini bermula

  • Istri Simpanan Sang CEO   82. Keluarga Baru

    Tifa berdiri di dekat orang-orang yang nongkrong di pagar lokasi pemakaman Cina. Langkahnya terhenti, dia tidak jadi masuk ke lokasi dimana Nazim berbaring sakit. "Kak mau tanya, apa yang kakak ceritakan itu orang yang sedang sakit di bangunan putih dan hijau itu?" tanya Tifa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang lumayan bagus. "Iya betul seorang lelaki yang sakit di bangunan itu tadi diciduk Satpol PP,' ujar salah seorang diantaranya. Tifa sambil mengedarkan pandangannya, takut kalau ada poster yang menempel yang mengumumkan sayembara untuk menemukan dirinya. Dengan penasaran Tifa tetap menempuh jalan setapak menghampiri gubug itu. Betapa terkejutnya Tifa, dia mendapati tempat itu sudah kosong. "Om Nazim ...!" tangisnya memanggil. "Dimanakah kamu? Harusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian," lanjutnya. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya seseorang yang sedang membersihkan makam itu. "Saya mencari Om Nazim, dia om saya se

  • Istri Simpanan Sang CEO   81. Sayembara Dari Ahem

    Ahem sudah tidak mau lagi bertemu dengan Intan semenjak Bella mengirimkan rekaman video itu. Ahem bersama Bella tinggal di rumah yang dibeli Ahem untuk Ishita. Beberapa bodyguard mengamankan rumahnya. Hendrakusuma dan Wina ikut tinggal bersama karena mengawasi Bella dan merawat Ahem. Karena kecelakaan itu Ahem terkena gegar otak ringan. Tapi kini sudah berangsur membaik. Kabar mengenai Nazim dan Saga serta Tifa belum juga ada titik terang. Tapi Ahem sedikit lega karena mereka selamat dari rencana pembunuhan Intan dan Indrayana. "Kumpulkan semua bukti kejahatannya untuk menjerat mereka ke jalur hukum, Ahem," usul Hendrakusuma. "Iya Pa, kita bisa mencari celah agar saat dia melakukan kejahatan kita menangkap basah, sehingga dia tidak bisa berkelit dan hukuman yang berat menanti," ujar Ahem bersiasat "Pa, kenapa mama Ishi belum kembali bersama Saga dan Tifa?" tanya Bella sedih. "Sabar ya sayang, mama sama Om Wahyu masih mencari Om Naz

  • Istri Simpanan Sang CEO   80. Lolos Dari Rencana Pembunuhan.

    Ahem membuka video yang dikirim Bella ke ponselnya. Ternyata pembicaraan antara Intan dan Indrayana. "Pa, hidupku dalam bahaya kalau Ishita dan anaknya kembali. Singkirkan mereka secepatnya, Pa! Semua Pa, tanpa ampun, meskipun si bocah cacat yang merepotkan itu juga," pinta Intan dengan geram. "Mereka sudah menemukan persembunyiannya, kamu jangan khawatir, serahkan semuanya kepada papa!" ujar Indrayana. "Apa yang papa rencanakan?" tanya Intan. "Anak buahku membakar rumah yang ditempati mereka. Aku yakin sebentar lagi mereka terpanggang di dalamnya." jawab Indrayana. "Kalau di depan mamamu kamu jangan kelihatan membenci Affan, bagaimanapun dia adalah keponakannya," pesan Indrayana. "Iya Pa, saya mengerti," jawab Intan dengan lirih penuh siasat. "Biarkan Affan mati dengan sendirinya, kanker darah itu dengan sendirinya akan membunuhnya," ujar Indrayana. Sambil tersenyum puas. "Apa? Jadi Affan terkena kanker darah?" Ahem te

  • Istri Simpanan Sang CEO   79. Memory Yang Telah Kembali

    Akhirnya rasa kemanusiaan bisa mengalahkan kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. Ahem yang terkapar tak berdaya membuat Ishita luluh. "Bagaimanapun dia adalah mantan suamiku, pasti dulu aku pun mencintaimu, kamu ganteng dan kaya,' batin Ishita. "Pak, bantu aku bawa ke rumah sakit ya? Nanti aku bayar tiga kali lipat," pinta Ishita kepada sopir taksi. "Tapi kepalanya banyak darahnya, Mbak, takutnya nanti kena jok mobil susah dibersihkan," kata sopir taksi ragu. "Jangan khawatir kepalanya aku pangku, lagian ada kain untuk bantalan kok," ujar Ishita meyakinkan. "Tapi tolong hati-hati ya, Mbak," pesan sopir taksi. "Jangan khawatir, Pak, aku janji!" jawab Ishita. "Pak, jangan berlebihan deh, bayangkan dia adalah keluargamu!" teriak salah seorang diantara mereka. "Iya Mas, baik aku tolong! Jangan nyumpahi gitu dong! Ayo bantu masukin ke mobil!" pinta sopir taksi kemudian. Begitu Ahem dibawa masuk ke taksi kepalan

DMCA.com Protection Status