Aruna berlutut di depan Ron dengan air mata mengalir deras di pipinya, tangannya terangkat memohon ampun. “Tuan Ron, tolong jangan sakiti keluargaku, aku benar-benar meminta maaf,” ucap Aruna dengan suara serak karena tangisannya. “Aku tahu, aku salah karena meninggalkan Reiner tepat di hari pernikahan, tapi aku sudah memikirkan keputusan itu dengan matang-matang.”
Tubuh Aruna gemetar hebat, air matanya mengalir deras. Di hadapannya, Ron menatap Aruna dengan tatapan tajam, tidak menginginkan penjelasan apapun. Kenyataan yang sudah terjadi tidak akan bisa di ubah, itulah yang terasa menjengkelkan. Ron tersenyum miring, kemarahan seolah tersalurkan lewat sorot matanya, membuat tubuh yang gemetar itu semakin tidak berdaya. “Apa kau pikir aku perduli?” Aruna menggigit bibir bawahnya, tahu kalau Ron bahkan jauh lebih dingin dan tidak berperasaan dibanding Reiner. Penjelasan apapun tiada makna, memohon ampun di“Reiner, kalau dia adalah Aruna, apa sikapmu akan sama?”Pertanyaan Alenta itu membuat Reiner terdiam. “Nak, walaupun memang benar Violet bukanlah wanita yang sebenarnya ingin kau nikahi, tapi kenyataannya dia adalah istrimu sekarang.” Alenta menatap dengan tatapan yang dalam kepada Reiner lalu melanjutkan, “Perlakukan lah dia dengan baik, karena itu adalah kewajibanmu sebagai seorang suami.” Reiner menghela nafasnya, malas sebenarnya di pagi hari ini harus membicarakannya hal yang serius seperti itu. “Bu, bisakah pagi ini kita sarapan saja dengan damai?” pinta Reiner. Mendengar ucapan putranya itu, Alenta pun berdecih sebal. “Masalahnya, wajahmu itu sama sekali tidak membuat Ibu merasa butuh perasaan santai. Sebagai bocoran sedikit, dulu ayahmu juga memperlakukan ibu dengan sangat tidak baik. Jadi, Ibu tahu sekali bagaimana rasanya menjadi istri yang harus mengalami nasib menyedihkan seperti itu,” bisik Alenta kepada Reiner. Edward m
Aruna memekik kesakitan ketika kakinya terpeleset dan tubuhnya terjatuh di area kandang anjing milik Ron. “Ah! Aduh....” Anjing itu terus menggonggong keras, membuat Aruna semakin ketakutan. Kandang itu tidak terlalu luas, Aruna sudah berusaha berhati-hati, namun nasib buruk tetap menimpanya. “Ya Tuhan, bagaimana ini?” gumam Aruna, memegangi bagian belakangnya yang terasa sakit. Air mata Aruna mengalir deras, ia merasa sangat takut dan tertekan. Tugasnya untuk membersihkan kandang anjing tersebut terasa sangat menakutkan.Anjing itu terikat, namun nyalakannya semakin keras dan terus mencoba melepaskan diri untuk menyerang Aruna. ‘Guk guk guk guk’ nyalak anjing itu semakin menakutkan. Aruna menahan napas sejenak, menyeka air matanya, dan mencoba mengumpulkan keberanian untuk mendekati anjing itu. Sambil menggenggam sapu dan alat pembersih lainnya, ia melangkah perlahan ke depan. Hatinya berdebar kencang
“Bukan begitu cara memberi makan, kau perlu masuk ke dalam.” ucap seseorang di belakang Aruna. Mendengar itu, Aruna membalikkan tubuhnya. Orang itu adalah, Ron! Terkejut, namun tidak berani bereaksi berlebihan. “Masuklah kedalam, sepertinya daging yang kau berikan masih kurang,” Ron tersenyum smirk, matanya yang penuh dengan kebencian menggulung keberanian Aruna yang hanya seujung kuku itu. “A-Aku, minta maaf karena tidak berani masuk sampai dalam kandangnya, Tuan Ron,” ucap Aruna. Tubuhnya gemetar takut, tapi Ron tidak perduli. Tatapan sinis, seolah tidak begitu perduli dengan nyawa Aruna membuat Gadis itu semakin tak berani terlalu lama melihat ekspresi Ron.
“Meminta nomor telepon, terus mengajak bicara, apa anda tahu bahwa tindakan semacam itu juga bisa menjadi tindak kriminal?” Reiner semakin menajamkan tatapan matanya kepada Rey. Dahi Violet menurut bingung mendengar ucapan Reiner barusan. Mungkin, dipaksa untuk dihubung-hubungkan memang bisa masuk dalam tindakan menganggu kenyamanan. Tapi, Kenapa juga Reiner bereaksi terlalu keras terhadap Rey. Kesal, Rey membalas tatapan Reiner yang menunjukkan permusuhan itu. “Tuan Presdir, sebenarnya Anda ini kenapa, sih?” tanyanya keheranan. Reiner terlihat semakin tidak suka, membuat Violet langsung bisa menyadarinya. Violet merasa tidak nyaman, dia tidak ingin Rey mendapatkan masalah nantinya. Reflek Violet meraih pergelangan tangan Rey, membawanya untuk menjauh dari Reiner. Melihat itu, Reiner hanya bisa tersenyum kesal. “Violet, berani sekali kau memegang lengan pria di depan mataku. Walaupun kita bukan pasangan suami ist
“Jadi, itu yang saat ini sedang kau pikirkan, Violet?” Mendengar pertanyaan dari Reiner, Violet pun menelan ludahnya. “Bu-Bukan seperti itu, Presdir Reiner. Saya cuma,” Violet ragu untuk meneruskan ucapannya. Reiner tersenyum miring, tahu sekali bahwa yang sedang dirasakan oleh Violet adalah, malu! “Cepat naik ke atas tempat tidur, pijat tubuhku!” titah Reiner. Ucapan Reiner barusan benar-benar membuat wajah Violet memerah. Malu sekali, sampai-sampai dia tidak berani melihat Reiner sekarang. “B-Baik, Presdir Reiner!” Violet mulai melangkahkan kakinya. Sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi bersimpuh menghadap ke Reiner. Sudah dalam posisi tengkurap, Violet langsung menggerakkan tangannya untuk memijat kaki Reiner. Takut kalau nanti akan terasa sakit, dia benar-benar memijat dengan lembut. “Aku jelas mengatakan padamu untuk memijat, ta
Violet dan Reiner tiba di tempat bermain ski yang dipenuhi dengan salju putih yang luas dan menggoda. Banyak pengunjung yang datang pada hari itu, menjadikan suasana semakin meriah. Namun, Violet merasa terasing dari kebahagiaan itu. Dia tak bisa menikmati bulan madu mereka, sebab dia tidak pandai bermain ski, berbeda dengan Reiner yang terampil dan mahir. “Sudahlah, bagus aku duduk saja dan melihat Presdir Reiner. Kakiku masih sangat aku butuhkan, jangan sampai patah,” gumamnya. Reiner dengan lincahnya meluncur di atas salju, menunjukkan trik-trik bermain ski yang memukau. Violet hanya bisa memandangi pria yang kini adalah suaminya dari kejauhan, menyesali ketidakmampuannya untuk bergabung dengannya. Senyum tipis terukir di wajahnya, mencoba menutupi rasa kecewanya. “Presdir Reiner memang berbakat dalam banyak hal, sayang sekali Kak Aruna justru memilih pilihan yang tidak masuk akal,
Violet menatap ‘sesuatu yang panas’ menurut Reiner. “Mau sampai kapan kau akan memelototinya?” tanya Reiner. Violet menelan salivanya sendiri, tidak menyangka kalau sesuatu yang panas menurut Reiner adalah bubur abalon yang terkenal di negara itu. “Cepatlah, kita tidak banyak waktu lagi karena hotel juga jauh dari sini. Malam nanti, kita juga harus datang untuk makan malam,” ucap Reiner mengingatkan Violet tentang daftar kegiatan yang disiapkan oleh Alenta. Mengangguk dengan cepat, Violet tidak ingin kalau Reiner sampai bicara dua kali. Mudah emosi, tentu tidak perlu untuk dipancing, kan. Batinnya. Reiner bangkit dari duduknya, “Aku ke toilet dulu,” ucap Reiner. “Baik, Presdir Reiner.” jawabnya. Violet kembali memakan bubur abalon panas yang masih banyak di mangkuknya. Tidak
Aruna menarik napas dalam-dalam, merasakan sakit di dadanya yang sesak akibat menangis. Di bawah tekanan Ron, ia terpaksa naik ke loteng untuk membersihkannya, meskipun jelas-jelas Ron tahu bahwa ia sangat takut ketinggian. “Aku benar-benar meremehkan Tuan Ron. Dia ternyata sangat jahat, bahkan tidak lebih baik ketimbang iblis!” gumam Aruna di dalam hati. Walaupun loteng rumah dua lantai itu tidak terlalu tinggi, langkah Aruna terasa berat dan gemetar karena kejadian yang baru saja dilakukan Ron padanya. “Ahhhhh” Aruna berpegangan pada tuang penyangga, tubuhnya semakin gemetar sehingga takut sekali Aruna untuk melangkah lagi. Nekat, sejenak menyingkirkan rasa takutnya dengan tidak mengingat bahwa dia berada di loteng, Aruna mulai bisa sedikit lega, dan mulai mengerjakan itu. Setelah selesai mem
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y