Violet dan Reiner tiba di tempat bermain ski yang dipenuhi dengan salju putih yang luas dan menggoda.
Banyak pengunjung yang datang pada hari itu, menjadikan suasana semakin meriah. Namun, Violet merasa terasing dari kebahagiaan itu. Dia tak bisa menikmati bulan madu mereka, sebab dia tidak pandai bermain ski, berbeda dengan Reiner yang terampil dan mahir. “Sudahlah, bagus aku duduk saja dan melihat Presdir Reiner. Kakiku masih sangat aku butuhkan, jangan sampai patah,” gumamnya. Reiner dengan lincahnya meluncur di atas salju, menunjukkan trik-trik bermain ski yang memukau. Violet hanya bisa memandangi pria yang kini adalah suaminya dari kejauhan, menyesali ketidakmampuannya untuk bergabung dengannya. Senyum tipis terukir di wajahnya, mencoba menutupi rasa kecewanya. “Presdir Reiner memang berbakat dalam banyak hal, sayang sekali Kak Aruna justru memilih pilihan yang tidak masuk akal,Violet menatap ‘sesuatu yang panas’ menurut Reiner. “Mau sampai kapan kau akan memelototinya?” tanya Reiner. Violet menelan salivanya sendiri, tidak menyangka kalau sesuatu yang panas menurut Reiner adalah bubur abalon yang terkenal di negara itu. “Cepatlah, kita tidak banyak waktu lagi karena hotel juga jauh dari sini. Malam nanti, kita juga harus datang untuk makan malam,” ucap Reiner mengingatkan Violet tentang daftar kegiatan yang disiapkan oleh Alenta. Mengangguk dengan cepat, Violet tidak ingin kalau Reiner sampai bicara dua kali. Mudah emosi, tentu tidak perlu untuk dipancing, kan. Batinnya. Reiner bangkit dari duduknya, “Aku ke toilet dulu,” ucap Reiner. “Baik, Presdir Reiner.” jawabnya. Violet kembali memakan bubur abalon panas yang masih banyak di mangkuknya. Tidak
Aruna menarik napas dalam-dalam, merasakan sakit di dadanya yang sesak akibat menangis. Di bawah tekanan Ron, ia terpaksa naik ke loteng untuk membersihkannya, meskipun jelas-jelas Ron tahu bahwa ia sangat takut ketinggian. “Aku benar-benar meremehkan Tuan Ron. Dia ternyata sangat jahat, bahkan tidak lebih baik ketimbang iblis!” gumam Aruna di dalam hati. Walaupun loteng rumah dua lantai itu tidak terlalu tinggi, langkah Aruna terasa berat dan gemetar karena kejadian yang baru saja dilakukan Ron padanya. “Ahhhhh” Aruna berpegangan pada tuang penyangga, tubuhnya semakin gemetar sehingga takut sekali Aruna untuk melangkah lagi. Nekat, sejenak menyingkirkan rasa takutnya dengan tidak mengingat bahwa dia berada di loteng, Aruna mulai bisa sedikit lega, dan mulai mengerjakan itu. Setelah selesai mem
“Apa kau sangat suka tebar pesona?” tanya Reiner sinis. Mendengar pertanyaan itu, Violet pun merasa kesal. Sudah cukup dia bersabar, sejak tadi terus mendengarkan ocehan Reiner tentang pertanyaan yang sama. Tebar pesona, rasanya Violet sendiri jadi kesal mendengar kata itu. Padahal, dia tidak pernah melakukan hal semacam itu, tapi selalu dituduh berkali-kali. “Sebenarnya, Saya ingin sekali melakukan itu. Namun, sebelum saya sempat melakukannya, para pria itu saja yang selalu datang lebih dulu.” Reiner melotot kaget, biasanya Violet tidak seberani itu. “Kau, siapa yang memberikan keberanian padamu?!” Violet tidak ingin menjawab, sudah terlalu menumpuk kekesalan yang ia rasakan. Melihat Violet tidak ingin merespon, Reiner pun jadi semakin kesal. “Berani kau mengacuhkan
Restoran mewah dengan dekorasi yang lengkap dan indah menjadi saksi bisu kegiatan Reiner dan Violet. Cahaya lampu yang temaram dan nyala lilin di meja makan menambah suasana romantis. Reiner dan Violet berada di sana, menikmati makan malam seperti yang diinginkan Alenta. Lantunan musik mengiringi kegiatan berdansa yang diadakan di restoran tersebut. “Kegiatan aneh macam apa ini?” gerutu Reiner. Violet tidak berani memberikan tanggapan, dia sendiri juga tidak terlalu nyaman dengan kegiatan malam itu. “Cepat berdiri!” Titah Reiner, mengulurkan tangan kepada Violet. Violet pun mengangguk, bangkit untuk meraih tangan Reiner yang diulurkan padanya. Reiner dan Violet terpaksa melakukan itu karena harus direkam dan dikirimkan kepada Alenta. Mereka berdansa dengan canggung
Violet memejamkan matanya. Meski sempat menolak dan ciuman bibir itu berhenti sejenak, nyatanya smua berjalan begitu saja. Meski tidak bisa mengimbang ciuman bibir Reiner yang begitu bersemangat, Violet cukup mendominasi untuk hal itu. “Emm” desah Violet dengan bibirnya yang tertutup saat Reiner menjalankan tangannya, mendapati benda kenyal miliknya. Mungkin terbawa suasana, Reiner terlalu kuat mencengkeram dada Violet. Meski tidak begitu sakit, namun rasa nyeri dan geli menjadi satu. Tidak nyaman, tapi sulit untuk menolak. Reiner membawa Violet menuju ke tempat tidur, menghempaskan tubuh Violet di sana. Cepat dia mulai naik, mengunci tubuh Violet dengan erat. Kembali menyatukan bibir mereka, Reiner dalam situasi yang tidak bisa
“Kenapa kau mendorongnya tadi?” tanya Ron kepada Sarah. Tidak ada ekspresi wajah yang jelas, Sarah sendiri sampai merasa bingung. Dia pikir, Aruna cuma seorang pelayan yang cukup menganggu sehingga bisa bebas untuk menindas. Namun, setelah melihat bagaimana Ron memperhatikan Aruna di balik sikapnya yang kasar dan juga emosional, Sarah menyadari jika ada sesuatu yang tidak biasa di antara mereka. Sarah menatap Ron yang terus berekspresi dingin. “Apa ada hal seru yang terjadi di antara kalian berdua, Ron?” Mendengar pertanyaan itu, sontak sepasang mata Ron tertuju kepada Sarah. “Tujuanmu menanyakan itu apa?” Menyadari bahwa Ron tidak memiliki minat untuk menjawab pertanyaan darinya, Sarah memutuskan untuk tidak mendesak. Mengambil posisi duduk di sebelah Ron, Sarah tersenyum manis, menunjukkan sisiny
Sarah berkata dengan nada merendahkan, "Ron, kau tahu aku bisa memberikan lebih daripada yang kau inginkan. Kau mau apa, kepuasan? Hubungan yang panas, dan penuh kejutan? Aku bisa memberikannya padamu, kau tidak akan mendapatkan semua itu dari wanita yang lain.” Ucapan itu membuat darah Ron mendidih. Ia merasa jengkel dan tidak ingin meladeni Sarah yang terus berusaha mendapatkan apa yang dia inginkan. Dalam amarah, Ron berteriak memanggil Aruna, “Aruna!” Menggunakan nada tinggi, “Cepat datang kesini, sekarang!” Mendengar teriakan Ron, Aruna yang baru saja kembali ke kamarnya buru-buru berlari keluar dan menghampiri Ron. “Apa ada yang bisa aku bantu, Tuan Ron?” tanya Aruna gugup. Begitu melihat Aruna datang, Ron langsung bangkit dari duduknya, meraih tengkuk Aruna dan mencium bibir Aruna dengan ganas. “Emh...” Aruna membulatkan matanya, ter
Violet memutuskan untuk tidak lagi banyak berbicara, ucapan Reiner barusan sudah cukup membuatnya sadar diri. Harusnya, Violet bukanlah orang yang pantas membicarakan tentang perceraian mengingat semua yang terjadi ini juga karena kesalahan anggota keluarganya. “Jangan membuatku menanggung kerugian yang terlalu banyak, kau seharusnya menyadari itu sejak awal sebelum kau mengatakan seperti barusan, kan?” ujar Reiner sinis. Semakin tertunduk, Violet kehabisan kata-kata. “Jangan khawatir, pada akhirnya memang pernikahan ini tidak akan bertahan lama. Hanya saja, setidaknya aku harus merasa sedikit untung.” timpalnya. Violet mendengar ucapan Reiner dengan seksama, sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menatap wajah pria itu. “Baik, Presdir Reiner.” jawab Violet te
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y