Violet memutuskan untuk tidak lagi banyak berbicara, ucapan Reiner barusan sudah cukup membuatnya sadar diri.
Harusnya, Violet bukanlah orang yang pantas membicarakan tentang perceraian mengingat semua yang terjadi ini juga karena kesalahan anggota keluarganya. “Jangan membuatku menanggung kerugian yang terlalu banyak, kau seharusnya menyadari itu sejak awal sebelum kau mengatakan seperti barusan, kan?” ujar Reiner sinis. Semakin tertunduk, Violet kehabisan kata-kata. “Jangan khawatir, pada akhirnya memang pernikahan ini tidak akan bertahan lama. Hanya saja, setidaknya aku harus merasa sedikit untung.” timpalnya. Violet mendengar ucapan Reiner dengan seksama, sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menatap wajah pria itu. “Baik, Presdir Reiner.” jawab Violet teSore harinya, Reiner dan juga Violet meminta izin kepada Alenta dan juga Edward untuk kembali ke apartemen. Ini adalah kali pertama Violet bahkan bisa masuk ke kamar Reiner yang ada di apartemennya. Merasa risih, ingin menawarkan diri apakah perlu di tidur di kamar lain, namun tidak berani mengatakan apapun untuk saat ini. “Susun saja barangmu, letakkan di lemari paling ujung!” titah Reiner. Violet langsung menganggukkan kepalanya, melakukan apa yang disuruh Reiner tanpa banyak bicara. Melihat Violet sibuk, Reiner kembali mengingat pesan yang dikirimkan oleh Jordan. “Ngomong-ngomong, malam nanti aku ingin makan malam dengan menu dari restauran seafood langganan, kau harus temani aku ke sana karena untuk pesan biasanya butuh antri. namun, aku paling tidak suka antri!” Violet terdiam sejenak, dia sendiri ingat dengan pesan Jordan yang mengajaknya untuk bertemu.
Violet menatap Reiner dengan tatapan tak percaya, ada pula rasa kesal yang begitu jelas dia rasakan. Padahal, Reiner sudah memberikan izin untuknya keluar sebentar. Lantas, untuk apa Reiner juga ada di kafe tempat dia dan juga Jordan berada sekarang? Reiner menghindari kontak mata secara langsung dengan Violet, rasanya dia benar-benar malu, dan kesal terhadap dirinya sendiri. “Kenapa Presdir Reiner ada di sini?” tanya Violet, matanya menuntut agar Reiner menjawab pertanyaan itu dengan jujur. Reiner terdiam sejenak, tengah berpikir keras bagaimana dia akan menanggapi pertanyaan dari Violet. Namun, tentunya dia harus terlihat benar apapun alasannya. Reiner berdehem lebih dulu, “Kenapa memangnya?” Reiner menatap Violet dengan tatapan berani. “Aku merasa suntuk di dalam apartemen, aku ke sini cuma ingin meminum kopi. Lalu, tidak sengaja mendengar percakapan kalian, aku cuma risih saja karena p
Aruna perlahan membuka matanya, merasakan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia berdesis pelan, mencoba menahan rasa sakit yang terasa. Di sampingnya, Ron masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari kesakitan yang dialami Aruna. Rasa marah dan kecewa membuncah dalam hati Aruna. “Dia bahkan bisa tertidur dengan nyenyak setelah apa yang dilakukan?” bisik Aruna di dalam hati. “Padahal, ini benar-benar sangat menyakitkan untukku,” Aruna mencengkram selimut yang menutupi tubuhnya. Pemaksaan yang dilakukan Ron kepadanya semalam begitu brutal dan menyakitkan. Aruna mulai berpikir keras, mencari jalan keluar untuk mengakhiri semua penderitaan ini. “Bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini?” Dengan perlahan, Aruna bangkit dari tempat tidurnya. “Shhhhhh ah!” Rasa sakit menjalar pada tubuhnya. Dia menyadari bahwa tubuhnya telanjang bulat, tidak ada sehelai benang pun y
“Presdir Reiner, maaf baru datang untuk menyapa anda,” ucap seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah Ayahnya Althea dan Abigail. Kedatangan pria itu membuat Reiner terpaksa melepaskan lengan Violet. Reiner kini mulai fokus untuk berbicara dengan pria paruh baya bernama Samuel tersebut. Mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, Reiner berusaha untuk menunjukkan sisi terbaiknya. Samuel adalah pembisnis nomor satu di negaranya, Reiner akan menjalin hubungan baik juga dengan pria tersebut agar bisa melancarkan bisnisnya. “Senang bisa berjumpa dengan anda, Tuan Samuel.” ucap Reiner ramah. Samuel tersenyum, menganggukkan kepalanya. “Saya juga tidak kalah bahagia bertemu dengan pebisnis muda yang hebat seperti anda,” ungkap Samuel. Violet terdiam, sadar tidak boleh terlalu dekat jaraknya dengan Reiner untuk saat ini. Althea sempat menatap Violet dengan tatap
“Hal semacam ini adalah biasa untuk salam perpisahan, kan?” ucap Althea setelah mengecup singkat bibir Reiner. Reiner terdiam sejenak, menganggukan kepalanya setelahnya tanpa bisa memaksakan senyumnya. “Apa mau mampir sebentar?” tawar Althea. Reiner menggelengkan kepalanya. “Maaf, ada hal yang harus aku kerjakan setelah ini,” ucapnya beralasan. Althea menghela nafasnya, “Baiklah, hati-hati di jalan, ya. Sampai bertemu besok malam,” ucapnya lalu keluar dari mobil Reiner. Begitu Althea keluar dari mobilnya, Reiner langsung menghubungi Violet, namun sampai panggilan ke-3 pun Violet masih belum memberikan jawaban. “Kenapa Violet tidak menerima panggilan telepon dariku? Jangan bilang, dia dan juga Abigail pergi ke suatu tempat untuk berkencan? Tapi, rasanya violet bukanlah perempuan yang akan langsung setuju untuk pergi berkenca
Mendengar ucapan Aruna, Ron pun menjadi kesal. “Apa kau bilang barusan, Aruna?” Matanya melotot tajam. Aruna membuang nafasnya, meski dia merasa takut berbuat tidak sopan terhadap Ron, nyatanya perasaan kesal yang dia miliki semakin menjadi-jadi. “Anda selalu menolak saat aku ingin membantu, juga tidak mau kalau dokter datang untuk memeriksa, apalagi pergi ke rumah sakit. Jadi, jika memang tujuan Anda adalah ingin mati, maka cepat saja matinya. Dengan anda tidak ada lagi di dunia ini, maka aku juga bebas setelahnya!” Semakin kesal mendengar ucapan Aruna yang kesal mendengar ucapan Aruna yang bertambah lancang, Ron mengulurkan tangannya untuk meraih Aruna. Namun, Aruna bergegas untuk memundurkan langkahnya sehingga Ron tidak bisa menggapainya. “Simpan saja perasaan kesal anda untuk nanti, Tuan Ron. Aku cuma ingin membantu, jadi tidak usah terbebani!” Ron menatap tajam, semakin ke
“Presdir Reiner?” Violet seketika bangun, kini dalam posisi duduk. Ekspresi wajahnya jelas terkejut, tidak menyangka kalau Reiner akan datang ke rumah kedua orang tuanya. Semalam, Violet benar-benar tidur dengan sangat nyaman dan juga nyenyak karena perasaan lelah yang dia rasakan. Tidak sedetikpun dia terbangun, entah kapan juga Reiner datang ke kamarnya. Begitu violet membuka mata saat bangun tidur, wajah Reiner langsung terlihat saat itu juga. Reiner membuang nafasnya, ingin melanjutkan tidur tapi matahari sudah sangat silau menyusup masuk ke dalam kamar, bahkan mengenai wajahnya. “Kita Sudah setiap hari tidur di ranjang yang sama, melakukan aktivitas panas juga. Reaksi terkejut mu itu sangat aneh untuk kau lakukan sekarang,” sautnya. Violet mengusap wajahnya de
“Mungkin bagi Presdir Reiner dan kalian, Violet itu cuma seorang asisten sekretaris saja. Tapi, bagiku dia benar-benar berbeda,” Abigail tesenyum, matanya penuh kekaguman saat membicarakan tentang Violet. Reiner mengepalkan tangannya yang tersembunyi di bawah meja makan. Ada rasa kesal yang dirasakan Reiner melihat ekspresi wajah Abigail saat ini. Althea memutar bola matanya, jengah dengan Abigail yang gila hanya karena seorang Violet. “Bicara apa kau ini, Abigail?” ujar Samuel keheranan dengan tingkah putranya itu. Abigail tersenyum, sorot matanya menerawang seolah tengah mengingat sesuatu yang penting. “Dulu, saat pertama kali aku bertemu Violet, dia benar-benar terlihat sangat polos, dan juga naif.” Abigail terkekeh. “Waktu itu aku mabuk parah, tapi dia mengira aku sedang demam, lalu mengantarkan aku ke rumah sakit.” Mendengar itu, Reiner semakin menahan diri, rahangnya mengeras. Samuel
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y