Maaf ya, kemalaman. Soalnya lagi kurang fit. Happy reading buat kalian semua yang membaca buku ini, dukungan kalian untuk terus membacanya dan memberi ulasan bintang adalah semangat terbesarku melanjutkan novel ini. Terima kasih banyak ^=^
Tolong cubit pipi Mutia, apakah yang dikatakan Firheith barusan itu nyata ataukah hanya ilusi? Pria yang dulu merebut first kiss Mutia di pesawat waktu itu. Mutia yang ketakutan pertama kalinya naik pesawat ke Kongo, menemani Alda dan ayahnya untuk menemui Richard—yang waktu itu hampir menikahi wanita lain.Terjadi guncangan pada pesawat yang melewati langit mendung. Dan bermula dari kecupan di bibir itulah, getarannya sampai ke mata dan kemudian turun ke hati. Bahkan dari kecupan yang membekas itulah. Berkembang menjadi rasa yang tak biasa setiap kali mereka saling berdekatan. “Wow, Fir. Prank mu sangat keren! Hampir saja aku terlena,” kekeh Mutia tiba-tiba membuat Firheith keheranan. Ia tidak mau besar kepala, mengira pernyataan cinta Firheith palsu. Kedua mata Firheith membelalak begitu Mutia juga akan melepas tangannya dari perut. “Mati-matian aku berusaha mengungkapkan cintaku padamu, tapi malah kau anggap prank?” Gerakan tangan Mutia yang akan menyingkirian tangan Firheith
Tadi malam perasaan Mutia dan Firheith hanya melakukan sekali. Namun kenapa sampai pagi ini ketika bangun rasanya bekas penyatuan itu masih melekat? Mengulum bibirnya, Mutia memandangi Firheith yang wajahnya berada di samping lehernya. Firheith masih memeluknya erat saat baru membuka kelopak mata. Anehnya, kali ini Mutia tak bisa marah seperti biasanya, karena Firheith memenuhi janjinya yang tidak akan meminta lebih. Tidak seperti lalu yang tidak cukup sekali berhubungan. "Ogh!" Firheith menggeliat, Mutia menahan napas ketika kulitnya yang masih polos bersentuhan dengan Firheith. Walau malam itu sudah jelas tahu bagaimana bentuk tubuh masing-masing. Tetap saja Mutia merasa canggung. "Kau sudah bangun, hum?" Dengan suara serak yang terdengar jantan itu, Firheith menyapa Mutia tepat di telinganya. Mutia menyeret ludahnya susah payah dan mengangguk. "Iya," jawabnya lirih. "Selamat pagi istriku tercinta." Kemudian Firheith mengatakan itu dengan manis dan mengecup pipi Mutia. Pipi
Mutia tersipu malu kemudian pergi menuju gerbang setelah Firheith melepas pelukan. Bahkan Mutia yang biasa menyapa Adam, kali ini sampai lupa karena perhatiannya terus menuju pada Firheith. "Bye, Baby. Jangan lupa mengabariku kalau pulang nanti!" Tak ingin Mutia lupa, Firheith kembali mengingatkan sambil melambaikan tangan dan mengawasinya hingga benar-benar masuk ke dalam gerbang sekolah. Si lesung pipi ini menjadi over protektif karena adanya Adam yang Firheith yakini masih mengincar istrinya itu. "Kau sudah lihat kemesraan kami berdua?" sindir Firheith sengaja melewati Adam dengan menyenggol bahunya. Adam menoleh kesal. "Kemesraan palsu?" ejeknya. Rahang Firheith mengetat. "Matamu buta, tidak bisa membedakan mana yang sungguhan dan tidak, huh?" Dengan mudahnya Firheith tersulut emosi lalu melayangkan pukulan di bibir Adam tanpa dapat dihindari. "Ouch!" erang Adam terhuyung langkah, karena pukulan Firheith yang begitu keras. "Itu baru peringatan untukmu! Jika kau sampai beran
Suara desahan Mutia melengking seksi di kamar hotel itu. Kala Firheith lah pelakunya yang masih betah di bawah sana menekan titik sensitif Mutia dengan sentuhan yang semakin dalam. "Baby, di sini sangat lezat. Apa kau suka permainanku tadi?" tanya Firheith dengan menengadahkan wajahnya memandang Mutia yang napasnya tersengal setelah pelepasan itu. Mutia tak menjawab apapun, tapi semburat di wajahnya menjawab segalanya jika tadi Firheith sangat mengesankan. Ekspresi yang menggemaskan. Firheith kemudian merangkak ke atas tubuh setengah polos Mutia yang seksi dan membelai perut Mutia yang mulai membuncit. "Anak kita masih sangat kecil. Tapi aku sudah tak sabar ia cepat lahir," ujar Firheith terlihat senang sekali menciumi perut Mutia. "Benarkah sekarang kau menginginkan bayi ini, Fir?" Meski berulang kali Firheith mengatakan iya. Tetapi karena Firheith dulunya terpaksa menikahinya karena ia ancam, rasanya mustahil. "Bayi kita, Mutia. Bukan bayi ini," ralat Firheith cepat. Ia lebih
“Tentu saja aku mau kau suapi, Fir. Mungkin, bawaan bayi mintanya begitu,” jawab Mutia sambil mengelus perutnya dan tersenyum senang. Akhirnya, keinginannya segera terkabulkan. Akan tetapi Firheith tak memberi respon apapun. Mutia heran, lalu menatap suaminya itu yang duduk di sisinya. Di matanya, Firheith seperti melihat sesuatu dengan serius. Lalu Mutia coba mengikuti arah matanya ke depan. Dan begitu Mutia tahu, kedua netranya pun terbeliak. “Bukanya… Itu Celine, ya?”Firheith langsung menoleh pada Mutia, kepalanya mengangguk tapi cenderung masih diam. “Lantas, pria yang bersama Celine itu juga… Kalau dilihat dari belakang, sepertinya aku kenal,” gumam Mutia sambil mengetuk-ngetuk telunjuk di dagu. Firheith juga tahu siapa sosok yang bertemu Celine. Hanya saja ia tak mengatakannya. Namun dalam hatinya membatin, mengapa Adam sampai membuat adiknya menangis?Sejak kapan mereka berdua saling mengenal? Celine masih SMA, sedangkan Adam Janssen berkepala empat. Dilihat dari perbandin
Firheith mengangguk, karena ia telah mendengar sendiri betapa marahnya Gabriel kali ini pada Celine. Namun, perhatiannya tersita ketika ia merasakan sebuah usapan lembut di bahu. “Ya, Baby?”“Sebaiknya, kita jangan masuk ke dalam rumah dulu, ya. Aku tidak enak pada papa dan mama, jika melihat kita lewat. Lagi pula, kita juga tidak tahu apa yang terjadi di dalam, bukan?” usul Mutia berbisik, “Mereka pasti canggung.”“Kau benar, Mutia.”“Apa kita pergi lagi saja? Aku tak enak takut dianggap lancang ketahuan menguping, Fir,” kata Mutia yang tak suka ikut campur urusan orang lain. “Tidak akan ada yang berani mengatakan itu, Baby.” Firheith menenangkan Mutia, dengan menarik bahunya ke dalam dekapan. Puncak kepala Mutia dikecupnya dengan lembut, kehangatan pelukan Firheith sekejap saja memberi rasa nyaman bagi Mutia di dada Firheith. Namun, pelukan mereka berdua tak berlangsung lama. Kedekatan Firheith dan Mutia terkacaukan bunyi tamparan yang sangat keras. “Fir…,” sebut Mutia dengan
Panas! Gairah di tubuh Firheith menyala berkat lidah Mutia yang meliuk di dada. Firheith tak menyangka Mutia bisa melakukan ini, setelah beberapa kali pergulatannya di atas ranjang hanya Firheith yang mendominasi. Seolah tak mau kalah dengan tingkah nakal istrinya. Tangan Firheith mulai menjelajah ke dalam dress Mutia dan mendapatkan yang ia mau. "Kau sudah basah, Baby?" Firheith bertanya dengan suara parau tanpa berhenti membelai permukaan lembut itu."Nghhh...," lenguh Mutia semakin liar, mencumbu kulit dada Firheith sampai ke leher.Firheith mengerang pelan, menikmati sentuhan Mutia yang provokatif. "Ohh! Baby... Maukah kau mengisap yang lain?" tanyanya ketika ia mendambakan itu menjadi nyata. Ia ingin merasakan hangatnya mulut Mutia menyandera hal yang paling istimewa dalam dirinya. Mendengar itu, Mutia segera menghentikan aktivitasnya. Dengan wajah sayu ia memandangi suaminya yang tampan. Tak luput melalui senyumannya yang begitu manis, selegit gula jawa itu pula. Mampu menje
Rupanya mengejar kenikmatan itu masih berlanjut di kamar mandi. Setelah alibi Firheith yang masih ketagihan ingin mengulang, mengatasnamakan mandi bersama di dalam bathub. Nyatanya bukan sekadar gosokan sabun biasa, tatkala sentuhan Firheith merambah ke mana-mana. Terutama di bagian sensitif Mutia yang dengan cepat tersulut gairah. Di kesunyian kamar mandi, tepukan kulit beradu keras. Menyaingi desahan keduanya yang bertukar peluh deras saat klimaks itu akan datang. “Honey… Ahhhh!”“Aku mencintaimu, Baby,” bisik Firheith sambil memeluk erat dada Mutia di kala entakannya yang terakhir.Napas mereka berdua kencang berderu. Hingga tetes terakhir, Firheith barulah melepas Mutia dan memandikannya dalam artian sesungguhnya. Berjanji tak akan memintanya lagi, mengingat Mutia yang sedang hamil. “Terima kasih untuk segala cintamu yang luar biasa hari ini,” kata Firheith setelah itu menciumi kening Mutia dan menariknya ke dalam pelukan. Berharap kalimat cintanya juga terbalas saat ini. Nam
Gabriel langsung keluar dari mobil pasca berhenti. Situasi jalanan yang ramai membuat Gabriel yang buru-buru harus berhati-hati menyebrang. "Pak, tunggu!" Gabriel memanggil seseorang yang dikenalinya dengan pakaian compang-camping. "Berhenti! Tolong berhenti sebentar saya ingin bicara!" Sayangnya orang itu sekalipun tak menggubris Gabriel. Sopir keheranan dengan yang dilakukan Gabriel lalu menahan senyum. "Dia pergi sejauh ini hanya ingin mencari orang gila? Pakai bahasa Inggris lagi? Mana dia mengerti? Ada-ada saja kelakuan bule zaman sekarang." Tanpa sopir itu tahu, sebenarnya orang yang dianggap tak waras itu mengerti perkataan Gabriel. Bahkan mengenalnya tapi berpura-pura sebaliknya. "Aku harus cepat pergi sebelum Gabriel menemuiku," kata orang itu berjalan dengan cepat saat Gabriel mengikutinya dari belakang. "Goddamn it! Dia memang Ekadanta, walau rambutnya menggimbal, wajah dan tubuhnya burik seperti pakaiannya itu? Ck, gila!" gumam Gabriel mengatainya, "Apa tujuan dia beg
Sejurus kemudian mobil telah sampai di rumah Mutia. Kedua jantung Ayah dan putranya itu berdebar kencang padahal hanya melihat depan rumah itu. "Kita turun, Fir!" suruh Gabriel duluan tanpa menunggu dibukakan sopir. Firheith menyusulnya. Gabriel berdiri di tepi jalan, mengatur napas dan nyalinya sebelum menemui istri dari mendiang temannya. Rumah itu tampak sepi dan pintunya tertutup rapat. Mungkinkah penghuninya keluar? Dan tak ada siapapun di dalam! "Pa."Gabriel menoleh pada Firheith. Seakan tahu arti tatapan putranya, Gabriel langsung menjawab, "Ketuklah pintunya."Firheith mengangguk. Hanya dengan sekali ketukan, seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya putih membuka pintu. "Siapa?" tanya Ida sebelum pintunya terbuka dengan lebar. Firheith dan Gabriel sesaat bertukar pandangan. "Saya, Bu." "Fi-Fir??"Tubuh Ida tersentak dan membeku melihat Firheith di hadapannya tiba-tiba. "Maafkan saya, Bu." Gegas Firheith merendahkan diri dengan memegangi tangan Ida. "Saya tidak be
"Kau yakin dengan keputusanmu bercerai dari Fir, Muti?" tanya Ida pada putrinya yang beranjak ke ruang tamu menemui Jerome siang itu. Ida sengaja menemui Mutia di kamar dan membahas topik itu sebelum Mutia keluar. Tapi Mutia tetap kukuh bercerai, bahkan kedatangan Jerome bermaksud untuk menemani putrinya ke kantor polisi membuka kembali laporan kematian Ekadanta yang sudah ditutup sejak lama. "Keputusan Mutia sudah benar, Bu Ida." Jerome menyahut ketika Mutia terlihat berjalan ke arah ruang tamu. Pandangan Ida dan Mutia tersapu ke Jerome yang bangkit dari duduk. Menyapa Ida dengan anggukan dan senyuman. Tapi entah kenapa dari awal bertemu Jerome, Ida tak begitu menyukainya walau pria itu bersikap ramah? "Maaf Nak Jerome, ini urusan keluarga kami. Tolong jangan ikut campur," ucap Ida sopan.Tapi Mutia yang tak enak dengan Jerome, karena ibunya yang terlalu sarkas. Lalu membisikkan sesuatu pada ibunya, "Bu, jangan begitu. Jerome ke sini niatnya baik.""Iya, Bu. Tolong maafkan saya
Firheith teralihkan suara Celine yang begitu geger. Kini ia sendiri pun dapat melihat Glady berdiri tegak di depannya setelah lama lumpuh, sehingga pria itu refleks menjatuhkan ponselnya ke lantai. “Ma.”Sepasang mata Glady basah memandangi putranya, tangannya menggapai wajah Firheith yang bergeming sebelum ia peluk. “Tolong dengarkan mama kali ini, Sayang. Percaya mama, kalau papamu tidak membunuh ayahnya Mutia? Tolong jangan salah paham, ya?” bisik Glady coba membujuk. Sontak Firheith melepas tangan Glady dari tubuhnya. Dan tanpa berkata apapun Firheith sedikit menjauhi ibunya itu, hingga Glady merasa cemas karena ia melihat ketidak percayaan Firheith dari tatapannya yang lesu. “Jika papa terbukti membunuh Tuan Ekadanta, silakan kau bunuh papa,” ucap Gabriel tiba-tiba mengejutkan keluarganya.Celine syok dan hampir terhuyung lalu Adam merangkulnya. “Kau baik-baik saja, Celine?” tanya Adam khawatir. Hubungan keduanya kini membaik lantaran Celine berhasil memenangkan hati duda
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K
“Honey, kau dari mana saja?” tanya Mutia yang duduk di atas ranjang, menoleh ke arah pintu saat Firheith masuk ke dalam kamar dan menutupnya.Firheith melempar senyumnya pada Mutia lalu berkata, “Tadi aku hanya berbincang dengan Rich, Baby.”“Oh, jadi dia belum pulang? Lalu ke mana Noah? Apa masih di sini juga?” tanya Mutia beruntun yang pertanyaanya terhenti sewaktu Firheith memeluknya dari belakang.Memeluk istri di saat kalut adalah obat mujarab yang membuat hati gelisah menjadi tentram. Nyatanya hal itu yang belakangan inis sering Firheith lakukan.“Kenapa malah diam?” Mutia menoleh, Firheith menaikkan wajahnya yang semula terbenam di ceruk Mutia dan mencium bibir istrinya dengan lumatan lembut.Ciuman Firheith memang memabukkan, Mutia mengimbanginya dengan lidah yang bertali di mulut suaminya itu dan hanya berakhir ketika Mutia kehabisan napas.“Ahh, kau menciumku sangat brutal, Honey,” keluh Mutia napasnya terengah-engah saat Firheith merebahkannya di atas ranjang dan menarik ta