Selamat membaca good readers.... ^=^
Sudah tak bisa di deskripsikan lagi betapa bahagianya Firheith mendengar harapan yang selama ini ia pupuk pada Mutia, akhirnya dapat terwujud. Firheith memandangi Mutia penuh arti dan lebih dalam, dengan senyuman lepas hingga kedua lesung pipinya terlihat. Begitupun juga Mutia yang tak merasakan dilema lagi di hatinya. Setelah belakangan ia kerap menyimpan dan meyakinkan perasaannya yang abu-abu.Cup!Bibir Mutia dikecup dengan tiba-tiba oleh Firheith secara tiba-tiba dan sensasi kejutan itu membuat Mutia tertegun dalam sesaat.“Aku juga sangat mencintaimu, Baby,” kata Firheith Lander yang kemudian mendaratkan kecupan di kening Mutia.Mutia mengerjap, Firheith pun menciumi pipi kanan dan kirinya hingga Mutia memejamkan mata. Desir di hatinya membuat Mutia kini memasrahkan diri, sehingga Firheith kemudian memberi ciuman intens di bibir sensual Mutia yang lezat.Ciuman luar biasa ketika lama kelamaan dapat menggugurkan seluruh pakaian keduanya. Lantaran Firheith yang mudah terbakar gair
Firheith langsung mengikuti telunjuk Mutia yang menuding dibalik pohon palem. Adam terlihat hanya berdua dengan Celine tanpa Niel, meskipun Firheith merasa aneh jika Adam mau diajak bertemu Celine di tempat ramai seperti ini. Apalagi adiknya itu yang tidak biasa bangun pagi jika weekend. “Dengarkan baik-baik apa yang mereka ributkan,” ujar Mutia dengan setengah berbisik pada Firheith yang ia tatap serius. Firheith mengangguk sambil merengkuh pinggang Mutia. Terlihat diam namun menguping semua pembicaraan adik dan pria yang dianggapnya tak tahu malu itu. “Aku tidak mencintaimu Celine! Kau terlalu muda untukku!” Adam bersikeras menolak, kepala Celine terus-menerus menggeleng.“Tapi aku mencintaimu, Adam…,” rengek Celine dengan mengejar pria itu walau berjalan menjauh. “Dasar brengsek! Keras kepala sekali kau ini!” Adam terpaksa berbalik badan dengan emosi yang mati-matian ia tahan. “Bisa kau tidak mengikuti terus, huh?!”Sebenarnya Adam juga merasa sial tak sengaja bertemu Celine di
Teriakan Niel membuat panik Mutia dan Celine. Seketika menoleh pada Adam yang sudah terkulai lemah tak sadarkan diri di atas rerumputan dengan Neil yang menangis histeris. Bukan hanya itu, teriakan Niel tadi pun lantas membuat orang di sekitar berkerumun menolong Adam. Dikarenakan pengasuh Neil juga meminta bantuan pada mereka. Celine tidak bisa tinggal diam, lalu ia pun memaksa tangannya terlepas dari Firheith kemudian berlari menyongsong Adam. "Permisi, saya keluarganya!" Celine menyibak kerumunan orang-orang dengan wajah panik. Mendengar itu, mereka memberi celah. Celine akhirnya bisa memapah kepala Adam di pangkuan, sambil menepuk pipi pria itu yang terlihat lemah dengan terisak-isak. "Bangun, Adam! Bangun!" panggil Celine penuh khawatir. Air matanya berderaian jatuh sehingga Neil yang sedang ditenangkan oleh pengasuhnya pun mengarahkan tatapan bingung pada Celine. "Kau siapa?" Pertanyaan itu membuat Celine mengangkat pandangannya ke depan Neil yang terlihat begitu sedih.
Kelopak mata Mutia mengerjap haru memerhatikan keseriusan ekspresi Firheith saat berusaha meyakinkannya. Hati Mutia bergetar, secara refleks Mutia melingkarkan tangannya di lengan Firheith dan menimpakan kepala dengan manja. Bahkan setelah itu seraya menaikkan pandangannya ke wajah tampan Firheith, Mutia lalu berkata dengan tatapan imut yang membuat Firheith gemas. "Umm… Aku mencintaimu, Fir." "Aku malah lebih mencintaimu, Baby…,” balas Firheith seraya mencubit dagu Mutia. “Sangat dan menggilaimu.” Mutia tersipu. Cup! Bibir merah delima Mutia yang tampak segar itu dikecup Firheith. Mutia pun memejamkan matanya saat merasakan bibirnya dipagut lembut, sehingga Firheith memperdalam ciumannya. “Rasa sayangku bahkan tak bisa diukur dengan apapun. Terlebih rasa takutku bila kehilangan dirimu, Baby," balas Firheith kemudian melumat bibir Mutia lagi yang sudah membuatnya ketagihan. Mutia pasrah-pasrah saja menikmatinya, tapi juga membalas setiap hisapan Firheith di bibirnya ya
Mutia yang napasnya terengah-engah itu pun tak sengaja melirik nama yang terpampang di layar ponsel Firheith dengan mata membulat setelahnya. “Honey…” Mutia bicara dengan susah payah, Firheith telah membuatnya tak berdaya ketika tangan Firheith membelai paha bagian dalamnya. “Tapi … itu dari papamu. Sepertinya penting, ugh….” “Oh, Baby… Nanti saja aku mengangkat telepon itu. Kita harus bercinta dulu.” Firheith sudah tak sabar, tangannya masuk kian dalam. Membuka lipatan itu yang telah basah karena ulahnya bermain di sana dengan penuh gairah. Namun saat Firheith merebahkan Mutia ke atas ranjang itu, tiba-tiba saja mereka berdua mendengar kamarnya diketuk dari luar. “Fir, ini papa!” Mutia lalu menggelengkan kepala memberi isyarat agar Firheith menunda kegiatan panasnya yang akan menguras banyak peluh. “Sial!” Firheith merutuk kesal. Ia terpaksa bangun dari atas tubuh Mutia, dengan kondisi tanggung menahan hasrat di tubuhnya yang masih membara. Mutia langsung memakai kemb
“Oh, sial!” Firhieth mengumpat sambil meraup wajahnya dengan kasar mendengar itu dengan luapan amarah yang bercokol dalam dada. Ia sudah bisa menduga kalau Adam tak akan benar-benar ikhlas menikahi Celine tanpa suatu tujuan. “Pa, kenapa kau menuruti ide si duda gila itu?” tanya Firheith penuh kecewa. “Bagaimana cara papa menolak sebagai orang tua jika adikmu sendiri mengancam akan bunuh diri, Fir!” terang Gabriel menekankan, “Dia sudah cinta mati dengan Adam Janssen. Padahal banyak pria lain yang bisa papa carikan untuk Celine jika mau menuruti papa. Sayangnya adikmu itu sama keras kepala sepertimu dan mamamu.” Terkatup sudah bibir Firheith menyadari hal itu. Seketika mengingatkan asal muasal Firheith bisa menikahi Mutia. Ya, tidak jauh berbeda dengan yang Celine lakukan. Oh, ternyata semua wanita sama-sama suka mengancam sebagai andalan jika menginginkan sesuatu, pikir Firheith. Bedanya, Mutia itu wanita yang sangat tulus dan baik dari semenjak Firheith mengenalnya du
“Cepat sekali berubah pikiran? Apakah calon suamimu yang duda itu memaksamu untuk ikut dengan kami?” tanya Firheith yang tak suka berbasa-basi itu penuh selidik pada Celine. "Jangan berpikiran buruk terus pada Adam, Fir! Dia tidak memaksaku, tapi aku yang mengajaknya. Karena biar dia mengenal keluarga nenek!" sangkal Celine tak terima, baginya Adam itu pria yang sangat baik dan tahu etika. Firheith sekalipun tak percaya. Bahkan Firheith tampak posesif merengkuh pinggang Mutia, ketika Adam keluar dari mobil dan menggandeng Neil berjalan menghampiri Celine. Adam diam-diam tertangkap olehnya sedang memperhatikan Mutia. “Miss Mutia!” sapa Neil antusias, sehingga Celine yang akan menyapa bocah itu hanya bisa menahan suaranya dalam hati. Terlihat kesal sekali karena usahanya mendekati Neil selalu gagal. “Hey—” “Baby?" potong Firheith. Seketika menghalangi pandangan Mutia dari Niel, dengan tubuhnya. Ia lalu mencium kedua punggung tangan Mutia dengan kecupan lembut. “Honey, jan
Mainan yang telah dibeli untuk buah tangan sang keponakan sudah Firheith bayar di kasir. Ia dan Mutia lalu melanjutkan perjalanannya ke kota Gent. "Fir, kota ini sangat indah, ya?" kata Mutia mengamatinya di balik kaca mobil sore itu. Bangunan tua, rumah-rumah, kastil di tengah kota, lampu jalanan yang antik dan jalanan yang terbuat dari batu terlihat menakjubkan menghiasi kota Gent. "Karena Gent adalah kota yang sangat tua, Baby. Dan kebetulan sekali kita ke sini, saat musim panas sebelum seminggu lagi resepsi pernikahan kita digelar." "Maksudnya bagaimana?" Mutia bertanya dengan beralih mengarahkan tatapannya pada Firheith yang fokus menyetir. "Saat musim panas tiba, di kota Gent terdapat Gentse Feesten dan festival-festival lainnya, Baby." Mutia semakin tidak mengerti. "Apa itu?" "Gentse Feesten adalah festival yang puncaknya ada di musim panas selama sepuluh hari. Semua penduduk tidak tidur dan tidak bekerja. Ya, hanya berpesta!" papar Firheith mengejutkan Mutia, b
Gabriel langsung keluar dari mobil pasca berhenti. Situasi jalanan yang ramai membuat Gabriel yang buru-buru harus berhati-hati menyebrang. "Pak, tunggu!" Gabriel memanggil seseorang yang dikenalinya dengan pakaian compang-camping. "Berhenti! Tolong berhenti sebentar saya ingin bicara!" Sayangnya orang itu sekalipun tak menggubris Gabriel. Sopir keheranan dengan yang dilakukan Gabriel lalu menahan senyum. "Dia pergi sejauh ini hanya ingin mencari orang gila? Pakai bahasa Inggris lagi? Mana dia mengerti? Ada-ada saja kelakuan bule zaman sekarang." Tanpa sopir itu tahu, sebenarnya orang yang dianggap tak waras itu mengerti perkataan Gabriel. Bahkan mengenalnya tapi berpura-pura sebaliknya. "Aku harus cepat pergi sebelum Gabriel menemuiku," kata orang itu berjalan dengan cepat saat Gabriel mengikutinya dari belakang. "Goddamn it! Dia memang Ekadanta, walau rambutnya menggimbal, wajah dan tubuhnya burik seperti pakaiannya itu? Ck, gila!" gumam Gabriel mengatainya, "Apa tujuan dia beg
Sejurus kemudian mobil telah sampai di rumah Mutia. Kedua jantung Ayah dan putranya itu berdebar kencang padahal hanya melihat depan rumah itu. "Kita turun, Fir!" suruh Gabriel duluan tanpa menunggu dibukakan sopir. Firheith menyusulnya. Gabriel berdiri di tepi jalan, mengatur napas dan nyalinya sebelum menemui istri dari mendiang temannya. Rumah itu tampak sepi dan pintunya tertutup rapat. Mungkinkah penghuninya keluar? Dan tak ada siapapun di dalam! "Pa."Gabriel menoleh pada Firheith. Seakan tahu arti tatapan putranya, Gabriel langsung menjawab, "Ketuklah pintunya."Firheith mengangguk. Hanya dengan sekali ketukan, seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya putih membuka pintu. "Siapa?" tanya Ida sebelum pintunya terbuka dengan lebar. Firheith dan Gabriel sesaat bertukar pandangan. "Saya, Bu." "Fi-Fir??"Tubuh Ida tersentak dan membeku melihat Firheith di hadapannya tiba-tiba. "Maafkan saya, Bu." Gegas Firheith merendahkan diri dengan memegangi tangan Ida. "Saya tidak be
"Kau yakin dengan keputusanmu bercerai dari Fir, Muti?" tanya Ida pada putrinya yang beranjak ke ruang tamu menemui Jerome siang itu. Ida sengaja menemui Mutia di kamar dan membahas topik itu sebelum Mutia keluar. Tapi Mutia tetap kukuh bercerai, bahkan kedatangan Jerome bermaksud untuk menemani putrinya ke kantor polisi membuka kembali laporan kematian Ekadanta yang sudah ditutup sejak lama. "Keputusan Mutia sudah benar, Bu Ida." Jerome menyahut ketika Mutia terlihat berjalan ke arah ruang tamu. Pandangan Ida dan Mutia tersapu ke Jerome yang bangkit dari duduk. Menyapa Ida dengan anggukan dan senyuman. Tapi entah kenapa dari awal bertemu Jerome, Ida tak begitu menyukainya walau pria itu bersikap ramah? "Maaf Nak Jerome, ini urusan keluarga kami. Tolong jangan ikut campur," ucap Ida sopan.Tapi Mutia yang tak enak dengan Jerome, karena ibunya yang terlalu sarkas. Lalu membisikkan sesuatu pada ibunya, "Bu, jangan begitu. Jerome ke sini niatnya baik.""Iya, Bu. Tolong maafkan saya
Firheith teralihkan suara Celine yang begitu geger. Kini ia sendiri pun dapat melihat Glady berdiri tegak di depannya setelah lama lumpuh, sehingga pria itu refleks menjatuhkan ponselnya ke lantai. “Ma.”Sepasang mata Glady basah memandangi putranya, tangannya menggapai wajah Firheith yang bergeming sebelum ia peluk. “Tolong dengarkan mama kali ini, Sayang. Percaya mama, kalau papamu tidak membunuh ayahnya Mutia? Tolong jangan salah paham, ya?” bisik Glady coba membujuk. Sontak Firheith melepas tangan Glady dari tubuhnya. Dan tanpa berkata apapun Firheith sedikit menjauhi ibunya itu, hingga Glady merasa cemas karena ia melihat ketidak percayaan Firheith dari tatapannya yang lesu. “Jika papa terbukti membunuh Tuan Ekadanta, silakan kau bunuh papa,” ucap Gabriel tiba-tiba mengejutkan keluarganya.Celine syok dan hampir terhuyung lalu Adam merangkulnya. “Kau baik-baik saja, Celine?” tanya Adam khawatir. Hubungan keduanya kini membaik lantaran Celine berhasil memenangkan hati duda
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K
“Honey, kau dari mana saja?” tanya Mutia yang duduk di atas ranjang, menoleh ke arah pintu saat Firheith masuk ke dalam kamar dan menutupnya.Firheith melempar senyumnya pada Mutia lalu berkata, “Tadi aku hanya berbincang dengan Rich, Baby.”“Oh, jadi dia belum pulang? Lalu ke mana Noah? Apa masih di sini juga?” tanya Mutia beruntun yang pertanyaanya terhenti sewaktu Firheith memeluknya dari belakang.Memeluk istri di saat kalut adalah obat mujarab yang membuat hati gelisah menjadi tentram. Nyatanya hal itu yang belakangan inis sering Firheith lakukan.“Kenapa malah diam?” Mutia menoleh, Firheith menaikkan wajahnya yang semula terbenam di ceruk Mutia dan mencium bibir istrinya dengan lumatan lembut.Ciuman Firheith memang memabukkan, Mutia mengimbanginya dengan lidah yang bertali di mulut suaminya itu dan hanya berakhir ketika Mutia kehabisan napas.“Ahh, kau menciumku sangat brutal, Honey,” keluh Mutia napasnya terengah-engah saat Firheith merebahkannya di atas ranjang dan menarik ta