Firheith yang melihat Mutia datar-datar saja, menjadikannya geram. Pria itu melempar testpack di tangannya ke meja dengan kasar. Berdiri mendekati Mutia yang duduk di seberangnya dan menaikkan dagu Mutia dengan jari telunjuk. "Jika kau ingin bercerai dariku karena tergiur merebut Hotel Crousant? Maka selamanya aku tidak akan menceraikanmu Mutia!""Tapi aku ingin bebas Fir? Aku ingin pulang ke Indonesia. Aku rindu ibuku," kata Mutia, suaranya terdengar penuh harap ketika Firheith melihat kilauan di mata wanita ayu itu. "Memangnya aku memenjarakanmu di sini?" Firheith yang tersinggung berubah menatap dingin pada Mutia.Napas Firheith yang menderu kasar bisa dirasakan di wajah Mutia yang kemudian berpaling. "Kau mau mengajar? Aku setuju. Kau ingin bekerja membantu di rumah ini? Silakan. Lalu di mananya aku memejarakanmu, huh?!""Lalu kenapa kau tidak berterus terang soal warisan yang menjadikanku alat untuk mendapatkannya?" tanya Mutia lantang, kini ia tidak gentar membalas tatapan taj
Firheith begitu kesal, karena Saviar malah menelepon dr. Lera yang kini sedang memeriksa kondisi Mutia yang belum sadarkan diri. Alhasil, entah bagaimana ceritanya Gabriel sekalian ikut datang ke hotel itu. "Brengsek kau, Saviar! Kau memang pengacara tidak berguna!" geram Firheith, menatap pria berkumis tipis di sebelahnya dengan tatapan bak mata pisau."Ma-maafkan saya, Mr. Fir. Sungguh, saya tidak sengaja," ujar Saviar begitu menyesal sekaligus takut. Gabriel yang sejak tadi memperhatikan Mutia beralih menatap Firheith. "Cepat ikut papa keluar! Ada yang ingin papa bicarakan padamu!""Oke." Firheith mengikuti Gabriel dari belakang. Namun saat mencapai pintu, Gabriel mengejutkan Firheith begitu ia tiba-tiba berbalik badan. "Anda juga harus ikut, Mr. Saviar Gonzales!" tekan Gabriel. "Ba-baik, Mr. Lander." Saviar mengangguk pasrah dengan wajah nyaris pucat. Ia tidak berkutik melawan Ayah dan anak yang sangat berpengaruh itu. Dan di lorong depan kamar ini persis, ketiga pria itu sal
Beruntung wanita paruh baya itu tidak ambruk ke lantai. Tangan Gabriel cekatan menahan bobot tubuh Glady ke dalam pelukan. “Mama!” pekik Celine dan Firheith panik, berhamburan menghampiri Glady yang telah digendong oleh Gabriel. Sementara itu, Mutia dan Espen yang tidak kalah terkejut kemudian menyusul mereka untuk mengetahui kondisi Glady selanjutnya. Mengesampingkan sikap jahat ibu mertuanya itu yang tidak pernah berlaku baik padanya selama ini. Mungkinkah ini sebuah karma dari Tuhan untuk Glady? Sedikitpun Mutia tidak berpikir demikian, yang ada malah kasihan. “Glad, bangunlah! Jangan membuatku takut!” panggil Gabriel saat istrinya masih tak merespon. Gabriel takut kehilangan ibu dari anak-anaknya. Raut cemas bahkan kentara sekali di wajah Gabriel, yang berusaha menyadarkan Glady dengan menepuk-nepuk pipinya. Akan tetapi, saat merasakan kulit Glady yang begitu dingin, mata keabuan Gabriel terbeliak ke atas. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan mama, Pa?” Celine bertanya sembar
"Kenapa papa egois menjauhkanku dari bayiku?" tanya Mutia dengan tatapan tak percaya, Gabriel yang biasa mendukungnya tega melakukan hal ini. Gabriel menatap Mutia yang terlihat sedih. "Papa tidak egois, Mutia. Daripada kau tidak menginginkan bayi itu dan dibuang, lebih baik kami yang mengasuhnya.""Tidak!" jerit Mutia menolak keras. Seketika mengejutkan Firheith dan Gabriel melihat Mutia begitu emosional. Kepala Mutia terus menggeleng seraya menyeret kakinya mundur. Ia meremas perut saat ucapan Gabriel itu—tidak ubahnya garam ditaburkan ke lukanya yang basah. Perih dan menyakitkan! "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyerahkan bayiku padamu, Papa. Ini anakku!""Bukankah kau tidak pernah menginginkannya?" balas Gabriel lagi dengan alis tertaut tajam. Kedua mata Mutia membola dengan kilatan memenuh. Bagaimana papa mertuanya bisa tahu? Apakah Gabriel memiliki kemampuan bisa membaca pikiran orang?Selain licik, otak mafia juga lebih cerdik—dengan cepat mengetahui segala sesuatu
Tentu saja tidak keberatan, mau ia telanjang juga tidak masalah. Malah pria bermata tembaga itu terus mengamati pergerakan Mutia dari waktu ke waktu dengan sesuatu yang berubah dalam dirinya. “Damn it! Apa Mutia sengaja menggodaku?” Firheith bergumam dengan masih berdiri bersandar di sebelah cermin besar setinggi orang dewasa. Tangannya yang dilipat ke dada sesekali turun. Menelan saliva begitu susah ketika di bagian tengah—pertemuan pangkal pahanya berkedut, saat menyaksikan Mutia beranjak ke atas ranjang dengan gaya erotis. Betisnya yang mulus seperti dibiarkan tersingkap begitu Mutia menaikkan tubuhnya dan tidur posisi terlentang adalah pemandangan surga yang pastinya menggetarkan naluri pria mana pun. Tidak terkecuali Firheith yang sulit mengenyahkan pandangannya kepada Mutia Aurora, sekalipun Firheith berusaha berpaling. Menyadari dirinya terus dipandangi oleh Firheith dari pantulan kaca, Mutia yang membuka sedikit matanya lalu berkata, “Umm… Kenapa kau masih di sana Fir? Ap
Firheith telah terperosok ke dalam jeratan Mutia, tapi Mutia tidak ingin gila bersama pria itu dalam gairah yang terlihat berkobar di manik tembaganya. Tepat sebelum jari panjang Firheith menangkup bongkahannya yang ranum, Mutia melepas ciumannya.“Umm, Fir. Testernya aku rasa cukup,” ujarnya dengan manja, mendorong dada Firheith lembut. Anehnya, Firheith meski berat melepas Mutia. Ia pasrah dan tidak berkutik. “Baiklah, aku setuju dengan syaratmu itu.” Napas Firheith terengah, di sela debar jantungnya bertalu-talu. Ia mengusap bibirnya yang basah dengan sorot mendamba. Firheith akui, Mutia berbeda dari para wanita yang pernah dikencani sebelumnya. Mutia seperti punya daya tarik dahsyat yang sulit Firheith kendalikan. Bahkan jika dirasakan, satu kali tidak akan pernah cukup dan membuat ketagihan ingin bercinta dengannya lagi. “Uh, kau manis sekali honey.”Mutia tersenyum seraya menepuk pipi Firheith yang bergeming, sebelah matanya berkedip genit menguapkan rasa kecewa pria itu. Seb
Mutia langsung menengadahkan wajahnya ke atas menatap Firheith dengan mata memelotot. “Jangan macam-macam, Fir! Aku belum bisa memberikan tubuhku padamu, sebelum kau lulus dari semua syarat yang aku berikan!”“Baiklah, istriku. Aku akan segera lulus, tapi jika sampai kau berbohong. Kau akan kubuat menyesal!” Firheith tidak mau kalah mengancam Mutia. “Aku tunggu hukumanmu, Honey!” Mutia memicing sinis seraya menyingkirkan jari Firheith dari dagunya. Firheith tergelak, lebih menyukai sikap galak Mutia yang kembali seperti dulu. Namun pembicaraan mereka berdua, diam-diam diperhatikan penuh curiga oleh Adam yang sedang berpura-pura membenahi dasi seragam Neil. “Segera, Baby. Dan ya, jangan dekat-dekat dengan duda itu!” Firheith mengedikkan dagunya pada Adam. Mutia sekilas melirik Adam, lalu memutar malas matanya begitu menatap Firheith. “Kenapa dengan Mr. Janssen? Dia baik, setia dan lembut pada wanita. Berbeda darimu yang casanova dan kasar!”Merasa tersindir, Firheith mendengkus ke
Menunggu adalah hal paling membosankan di dunia, apalagi miliknya paling berharga dipinjam tanpa izin. Seperti kesalnya Firheith dalam pesta ini, melihat Mutia malah menemani Neil daripada dia. “Hai, Tuan Fir, akhirnya kau datang mewakili kedua orang tuamu yang berhalangan hadir,” sapa Forge menghampiri tamu kehormatannya yang berdiri sendiri di dekat meja bartender. Seketika Firheith merubah eskpresi wajah kusutnya menjadi ramah dan tersenyum paksa ketika menjabat tangan penyewa ballroom hotelnya ini, Forge Stalinus. “Aku ucapkan selamat atas pernikahan putramu, Tuan Forge. Pestanya sungguh meriah.”Forge terlihat senang sekali lalu menimpali, “Kata Tuan Gabriel, kau datang bersama…” Kemudian Forge menahan ucapan, begitu Firheith menoleh ke samping sembari menyesap tequila dan mengentaknya kasar di atas meja. “Istriku,” lanjut Firheith mengejutkan Forge sampai-sampai matanya melebar. “Ja-jadi benar kau sudah menikah?” Forge tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, kelih
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K
“Honey, kau dari mana saja?” tanya Mutia yang duduk di atas ranjang, menoleh ke arah pintu saat Firheith masuk ke dalam kamar dan menutupnya.Firheith melempar senyumnya pada Mutia lalu berkata, “Tadi aku hanya berbincang dengan Rich, Baby.”“Oh, jadi dia belum pulang? Lalu ke mana Noah? Apa masih di sini juga?” tanya Mutia beruntun yang pertanyaanya terhenti sewaktu Firheith memeluknya dari belakang.Memeluk istri di saat kalut adalah obat mujarab yang membuat hati gelisah menjadi tentram. Nyatanya hal itu yang belakangan inis sering Firheith lakukan.“Kenapa malah diam?” Mutia menoleh, Firheith menaikkan wajahnya yang semula terbenam di ceruk Mutia dan mencium bibir istrinya dengan lumatan lembut.Ciuman Firheith memang memabukkan, Mutia mengimbanginya dengan lidah yang bertali di mulut suaminya itu dan hanya berakhir ketika Mutia kehabisan napas.“Ahh, kau menciumku sangat brutal, Honey,” keluh Mutia napasnya terengah-engah saat Firheith merebahkannya di atas ranjang dan menarik ta
"Mama!" Noah berteriak sambil berlari menghampiri Mutia yang seketika melihat ke arah bocah berusia tujuh tahunan tersebut. Firheith tak bisa mencegah Noah yang langsung memeluk tubuh Mutia dengan erat. Ketika Firheith melihat kerinduan di mata Noah. Apalagi sejak Noah kecil, Mutia juga turut andil merawatnya ketika di masa lalu Alda sempat mengalami masalah dengan Rich. Sehingga wajar saja, jika Noah tetap memanggil Mutia "Mama" hingga sekarang. "Sayang, kau sekarang sudah tinggi sekali?" Mutia menyanjung Noah, sedikit membungkuk agar bisa mencium pipinya. "Mama, aku rindu sekali padamu," kata Noah yang sudah menganggap Mutia selayaknya Ibu kandung sendiri. Mutia menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak lalu melihat ke bawah Noah berada. Kepergiannya ke Belgia tanpa berpamitan pada Noah dan Mutia sempat mendengar dari Ida. Jika setelah itu, Noah yang sakit terus mencari Mutia. "Oh, Noah sayang. Mama juga merindukanmu," balas Mutia dengan kali ini menci
“Nenek sayang. Aku hanya makan tiga bungkus pepes ikan saja. Iya kan, Baby?” Tatapan Firheith terjatuh pada Mutia, seperti anak kecil mengadu pada ibunya. “Ah, iya.” Mutia mengangguk karena Firheith memang benar. “Kurasa nenek yang membesar-besarkan? Nah! Makanlah pepes ikan mas itu, aku cukup ini saja,” kata Firheith mengalah tak ingin menambah lagi. Tetapi dalam otaknya menginginkan hal lain. Carla tersenyum senang menguasai pepes itu, sampai Gabriel dan Gabby menggelengkan kepala. Sementara Glady di hatinya mencibirnya kekanak-kanakan. “Bagus! Kau memang cucu nenek yang pengertian,” sambung Carla sambil memakannya dengan lahap. Jika Carla, dirasa wajar karena sudah tua renta yang pada akhirnya akan kembali ke siklus awal seperti bayi. Namun untuk Firheith? Bagi Mutia terlihat aneh! Ia tidak biasanya begitu dan kini sangat manja sekali dengan Mutia. Apakah karena pengaruh kehamilan Mutia? Memang, setelah mual-mual dan pingsan pertama kali saat diketahuinya Mutia hamil. Wanit
Tanpa melepas tautan bibir, Adam berhasil menurunkan handuk yang membungkus tubuh seksi Celine ke bawah. Menindihnya ke atas ranjang. Tanpa satu jengkal kulit Celine pun lalai dari cumbuan Adam yang liar. Sebelum menyatukan dirinya mengisi wanita muda itu setelah tak mampu lagi menahan gairah dalam tubuhnya yang terbakar. “Adam…,” desah Celine rendah, kedua tangannya meremas rambut pria itu yang tengah mengecapi bulatan kenyalnya dan menanamkan kerucut mengeras Celine ke dalam basah mulutnya.Telah lama menduda membuat Adam haus akan kehangatan. Seperti kini, sambil memejamkan mata. Adam membayangkan wajah Mutia. Seolah tengah bercinta dengan wanita seksi itu. Tepukan kulit menyapa, karena kerasnya Adam mendorong pinggulnya semakin ganas di area pribadi Celine yang sempit. Walau telah sekali Adam pernah merasakan liang cinta wanita muda itu. Rasanya luar biasa sama nikmatnya, Adam enggan berhenti dan semakin cepat saat klimaks itu datang. “A… Adam, ugh! Aku tidak tahan lagi!” C
“Apa maksudmu menyuruhku tidak boleh berhenti, Mr. Janssen?” Mutia bertanya dengan galak, juga waspada menepis semua sentuhan tangan Adam di tubuhnya. “Hey, kenapa kau marah? Aku hanya berkata kalau tidak bisa berhenti karena musiknya belum selesai? Lihatlah mereka semua! Menari juga, bukan?” Adam menunjuk semua anggota keluarga Lander yang bergembira menari dengan pasangan masing-masing. Dada Mutia kembang-kempis. Sekarang Mutia merasa bahwa apa yang dikatakan Firheith itu benar! Adam menyukainya. Tarian salsa ini hanya dimanfaatkan pria itu untuk bisa mendekatinya. “Biarkan mereka menari, karena tujuan mereka jelas. Sementara kau, tidak!” Mutia menekankan dengan tegas dan berlalu meninggalkan Adam tanpa pamit. “Tunggu, Mutia. Kau hanya salah paham?” panggil Adam diabaikan wanita ayu itu. Masa bodoh! Lagi pula Adam bukan siapa-siapanya? Gelagatnya juga membuat Mutia muak dan kini wanita itu tengah berjalan tergesa menuju meja minuman. Firheith mengawasi istrinya dari jauh, t