"Menurutmu bagaimana? Lebih baik kita perpanjang atau-" tanya Arsen terhenti, Airina sudah pergi ke mobil tanpa pamit. "Hei, Airina. Apa kamu tidak ingin melakukan itu?" teriak Arsen. Dengan sedikit berlari ia mengejar Airina yang sudah masuk ke mobil. "Apa kamu tidak ingin memperpanjang kontrak kita?" tanya Arsen."Aku tidak mau," jawabnya singkat. "Aron, antar aku ke butik terlebih dahulu," titah Airina. Mobil itu melaju pelan menuju butik Airina, cukup lama perjalanan namun keheningan menghiasi mobil itu. Airina dengan berbagai tanda tanya dalam kepalanya, sedangkan Arsen penuh rasa kesal dalam dirinya. "Jika suatu saat ada kesempatan kita memperpanjang kontrak, apa kamu mau melakukannya?" tanya Arsen. "Sepertinya tidak, aku akan menepati kontrak awal," tegas Airina. Lelaki itu hanya menelan salivanya kuat-kuat, matanya terpaku pada kecantikan Airina. "Apa sebenarnya alasan kamu menolak itu, Airin?" tanya Arsen lagi. "Ya, karena aku merasa itu berlebihan, Arsen. Saat kit
"Aaa, tidak, Arsen. Aku tidak melihat apa-apa, lepaskan aku!" teriak Airina keras. "Hahaha, tutup matamu aku akan segera berganti pakaian," titah Arsen. Menuruti ucapan Arsen, Airina hanya bisa menutup matanya. Meskipun ia sangat malu atas kecerobohannya. "Arsen, maafkan aku, harusnya aku tidak langsung masuk ke kamarmu," lirih Airina. "Tidak apa-apa, Airina. Ini juga kamarmu, jadi kamu bebas untuk keluar masuk." Lelaki itu mendekat, tangannya mulai menyibak dua tangan yang menutupi wajah Airina. "Bukalah matamu, aku sudah memakai baju lengkap," pinta Arsen. Airina mendongak ke atas, rambut lelaki itu masih basah akibat keramas. "Jangan menatapku seperti itu, apa kamu mau melahapku malam ini?" tanya Arsen meledek. "Hah, kamu kira aku ini pemakan segala! Aku sudah memasak untukmu," Antusias Airina menarik lengan Arsen untuk keluar kamar. Langkahnya tiba pada ruang makan, dengan beberapa makanan yang sudah tersaji di meja. "Hanya beef teriyaki lagi, apa kamu keberatan?" tanya
"Hehehe, maafkan aku, Arsen. Kamu membuatku geli," ucap Airina lembut. "Ayo!" ajak Arsen memaksa. Kini dalam gendongan Arsen, Airina hanya bisa memberontak sekuat tenaganya. Pukulan demi pukulan yang Arsen dapatkan, tidak membuat lelaki itu berhenti. "Aku sudah minta maaf, kenapa kamu masih memaksaku seperti ini!" gerutu Airina. "Salah sendiri, makanya jangan berulah!" gertak Arsen. "Iya, aku minta maaf, Arsen!" Sekali lagi Airina mengulang ucapan maaf untuk suaminya. "Tidak akan aku luluh, sekarang ayo ikut aku ke kamar!" tegas Arsen. "Huh, aku sudah lelah sekali. Jangan membuatku semakin lelah, biarkan aku tidur dengan tenang," pinta Airina. "Tidak ada, kamu akan tidur dengan aku malam ini!" Arsen dengan tegas mengatakan pada Airina. Tidak peduli apa permintaan wanita itu, yang pasti ia tidak akan melepaskan Airina sedikit pun. "Jika kamu lelah, tidurlah di sampingku." Dengan usapan lembut pada pipi Airina yang kini sudah terbaring di ranjang. "Tidurlah dengan nyenyak d
"Kamu selalu mengusik urusan pribadiku, itu sudah melanggar kontrak," Airina menggerutu. "Tapi, apa aku membuat kesalahan yang sangat fatal selain itu?" Arsen melempar tanya pada wanita di hadapannya. Airina hanya bisa diam terpaku. "Ti-tidak ada," ucap Airina tergagap. "Nah, itu poinnya. Aku tidak mengganggu urusan pribadimu tentang keluarga dan rumahmu, aku hanya mengusik kerjamu di butik. Maaf atas itu, Airina," lembut tutur Arsen. "Jika kamu tidak nyaman dengan perlakuan dan perilakuku, katakan saja aku paham," tambah Arsen. "Ya, terima kasih, Arsen. Maafkan sikapku yang seperti anak kecil," putus Airina. "Ayo kita bekerja," ajaknya. Uluran tangan Arsen dan menggandeng tangan Airina sudah menjadi kebiasaan keduanya. Langkah pelan keluar dari apartemen. "Tuan, hari ini-" Aron terdiam. "Hari ini kita hanya ke butik," titah Arsen. "Baik, silakan masuk, Nona," ucap Aron dengan hormat. Mobil Bentley hitam itu melaju menembus jalanan kota Macherie. Pagi itu terlihat berbeda
"Iya, aku bersedia menemanimu di makan malam ini, Tuan Muda," jawab Airina dengan senyum simpul. Kini Airina dan Arsen berjalan berdampingan, menaiki mobil Bentley hitam menembus jalanan kota Macherie. "Aku gugup," lirih Airina. "Ada aku di sampingmu, nanti setibanya di Royal Palace jangan jauh-jauh," peringat Arsen. "Ya." Airina hanya menganggukkan kepalanya, ia yang berusaha menetralkan perasaannya. Tangannya yang sedikit meremas bajunya dengan kuat. "Kita sudah tiba, Tuan. Mari turun," ucap Aron. Aron membungkukkan badannya, mata Airina menggulir menatap ke sekeliling Royal Palace. Sebuah mansion yang terkenal dengan bunganya yang sangat cantik. "Mari, Nona Airina,"Dengan mengulurkan tangannya pada Airina, Arsen menggandeng tangan kanan istri kontraknya. Banyak pasang mata yang menatap keduanya dengan nyalang. "Oh itu yang sempat menjadi perbincangan berita itu," desis seorang Nona besar. "Iya, dia memang tidak tahu malu. Lihatlah penampilannya pasti dia mengeruk harta k
"Iya, kini ibu sangat menyesal telah menyetujui itu," keluhnya. "Sudahlah, ibu. Sekarang aku sudah bersama dengan wanita pujaan hatiku," ucap Arsen. Pipi Airina mendadak merona merah, tangannya menutup separuh dari wajahnya. "Airina, mari!" ajak Julie. Kini dua wanita yang Arsen sayang itu berjalan berdampingan, mulai membaur bersama beberapa wanita yang masih bekerja sama dengan keluarga Pinault. "Selamat malam, Nyonya Julie. Anda tidak pernah gagal dalam penampilan," puji seorang istri Antonio. "Terima kasih, Ini pilihan menantuku yang sangat cantik," elak Julie. Sembari berbisik, istri Antonio menatap Airina nyalang. "Wanita seperti jalang dan kampungan ini yang Anda kata cantik. Maaf nyonya kali ini saya tidak setuju," sergah Nyonya Antonio. "Jaga ucapanmu, atau pergi dari mansion ini!" pekik Julie. Airina mengusap pelan pundak Julie, membiarkan ibu mertuanya sedikit lebih tenang. "Berhenti menghina menantuku, jangan pernah kau mengatakan hal-hal buruk padanya!" pekik J
"Arsen, kamu kenapa?" tanya Airina. Matanya melihat laki-laki di hadapannya seperti menahan sesuatu. Raut wajahnya tidak dapat didefinisikan. "Tidak apa-apa, Airina. Seperti yang sudah aku bilang kalau aku akan selalu melindungimu," ucap Arsen. "Tetapi, memutuskan hubungan kerja sama dengan beberapa kolega pasti berdampak pada karyawan. Apa itu tidak apa-apa?" tanya Airina. Arsen menggelengkan kepalanya, ia kini mengusap pelan pipi Airina. Dua manik mata yang saling bertemu, seolah memberi kode untuk saling memberikan kenyamanan satu sama lain. "Airina," panggil Arsen lirih. Cup! Tepat saat Airina sedang mendongakkan kepalanya ke arah Arsen. Dua bibir yang saling bertemu satu sama lain, dengan tubuh Arsen yang sedikit mendorong bibirnya. "Eh, Arsen!" desis Airina. Lelaki yang baru saja melumat itu kini melepaskan bibirnya. Menatap Airina dengan lekat, mencari celah apa yang terjadi hingga wanita itu mendesis. "Ada apa?" tanya Arsen lirih. "Tidak ada apa-apa, emm aku ingin t
"Percayalah padaku, kali ini kamu akan berhasil dan sangat membanggakan. Berani bertaruh denganku?" tantang Arsen. "Hahaha, aku tidak mau!" tegas Airina. Arsen berdecih, "Belum mencoba sudah menyerah, mana sifat kamu yang pantang menyerah itu, Airina?" tanya Arsen dengan terkekeh. "Aku sudah malas, Arsen. Aku banyak cemas dan ragu sekarang," keluhnya. Tangan kanan Arsen merangkul pundak Airina, mengusapnya dengan pelan. "Aku akan membawamu berlibur selama 7 hari ke luar kota kalau kamu berhasil. Bahkan kamu bebas meminta apa pun dariku," bisik Arsen. "Tapi, jika aku gagal?" tanya Airina. "Emm, ya kamu tidak akan liburan dalam 1 Minggu. Tetapi, jika tebakanku benar aku meminta satu ciuman darimu ditambah paket liburan 1 Minggu," jelas Arsen. "Tidak mau!" pekik Airina. Arsen menyentuh pipi Airina lembut, mengusapnya perlahan dengan berbisik. "Yakin kamu tidak mau?" tanya Arsen berbisik. "Eh, aku benar-benar yakin!" hardik Airina. Airina beranjak dari duduknya, melangkahkan k