"Mama!" teriak Axel, cepat naik dari kolam. Namun, langkahnya tertahan saat menyadari jika ibunya dalam rengkuhan sang ayah. 'Keren!' batinnya."Nyonya!" seru para bodyguard bersahutan. Mereka berhambur mendekat. Akan tetapi, anak buah Sean yang bersembunyi langsung keluar menghadang."Dia Tuan Sean. Bukan ancaman!!" seru Dario di antara mereka.Para bodyguard Emily memilih menahan diri, apalagi di tengah banyak pasang mata. Mereka hanya perlu melaporkan kejadian itu pada tuannya. Yang pasti, para bodyguard punya keyakinan jika tidak ada bahaya. Mereka tahu siapa Sean. Yang tidak paham hanyalah, kenapa sang tuan besar membuat rencana demikian.Dua insan yang saling mencintai itu kini beradu pandang. Dua pasang manik mata saling membelah sorot intens, menelisik hingga relung hati pasangannya.Sean merengkuh Emily dengan posisi istrinya sedikit terhuyung.Jantung Emily berdegup kencang. Meski pria itu memakai masker, tapi dia tahu jika Pria itu Sean. Cairan bening kian menggenangi matan
'Maaf, Ma. Aku harus melakukan ini,' batin Axel. Anak itu menaruh sedikit sabun cair ke lantai, dan membasahi tubuhnya. Lalu, berbaring di lantai itu."Aaaaaa ...." teriak lantang Axel.Di sisi luar. "Axel!" ucap Emily dan Sean bersamaan. Mereka langsung berhambur ke bathroom.Tiba di sana, mereka melihat anak tercinta terkapar dan tampak kesakitan."Aish! Adduh!" Axel meringis."Axel! Apa yang terjadi?" Mata Emily membelalak dan langsung berjongkok."Sayang! Kamu kenapa bisa begini?" Sean bersimpuh, dia langsung mengangkat anaknya."Pa, Ma. Aku .... Ish!" Axel mengaduh."Bawa dia ke tempat tidur!" Emily lupa kemarahannya saat ini. Hatinya sangat cemas pada anaknya."Ma ..... Aish!""Mana yang sakit, Sayang?" Emily melangkah seiring langkah Sean."Emily, kamu suruh Dario panggil dokter. Tidak, kita bawa ke rumah sakit langsung!" cemas Sean."Nggak mau. Aku nggak mau ke rumah sakit. Cuma luka kecil. Biasanya kalau aku jatuh saat main cukup diobatin Mama aja," protes Axel. Dia takut ji
Mata Sean berkaca. Pilu melihat istrinya masih membisu. Belum dia ketahui Emily percaya padanya atau tidak. Semua sudah jelas jika hanya salah paham. Namun, harus bagaimana lagi jika istrinya belum mau memaafkannya? Sedalam itukah hati istrinya terkoyak? Hingga harus berpikir lama untuk mempercayai kebenaran?"Emily, sungguh ... aku mencintaimu. Hatiku terikat olehmu. Sejak dulu dan akan sampai masaku habis. Aku tidak akan pernah bisa berpaling pada wanita mana pun. Percayalah ...." Suara Sean lirih serak."Aku harus bagaimana, Sean? Apa aku masih bisa mempercayaimu? Kamu terlalu banyak berbohong dan sangat dalam melukai hati." Pikiran Emily masih dilema. Dia tahu jika kejadian Felisha hanya rekayasa, tapi rasa takutnya belum bisa menghilang. Apalagi takut Sean membawa lari Axel nanti. Entah kenapa perasaan itu terus menghantui dan tidak bisa tertepis oleh vidio kelicikan Felisha tadi.Sesak. Sean mendongak sembari menarik nafas dalam. "Aku sangat bisa menunggumu sampai kembali percaya
Kabar Sean menemukan Emily telah sampai di telinga Benny. Emosi paruh baya itu bukan karena cemburu pada Emily, tapi karena sangat membenci kebahagiaan mereka. Semua yang terkait dengan keluarga Geraldo otomatis menjadi musuhnya."Semua keluarga Geraldo tidak boleh ada yang bahagia selama aku masih hidup!" teriak Benny.Tarrr ..... Sebuah gelas berkaki menjadi kepingan di lantai. Pikirannya mengulas sosok mendiang istri dengan perut buncit yang dia temukan di kamar pembaringan ruang sakit dalam keadaan tak bernyawa."Argh!" teriak Benny.Ada Blade di sana. Dia menatap tajam pecahan gelas itu. 'Dasar bodoh! Sudah kubilang jangan cari istrimu dulu! Kenapa otakmu jadi dungu karena wanita?! Sama saja kamu membawa mereka pada posisi lebih ekstrim!' batinnya memikirkan Sean."Mana wanita itu?!" teriak Benny."Felisha masih ada di ruang rawat, Tuan. Kondisinya baik-baik saja termasuk janin di kandungan. Selama disekap tidak ada perlakuan kasar yang menyebabkan luka dalam. Hanya beberapa luka
[Aku berhasil membawa Mama kembali ke ibu kota, Om. Bagaimana kalau siapkan pesta penyambutan kamu? Oh, ada kabar yang lebih wow. Kami kembali bersama Papaku. Mama memutuskan untuk melanjutkan marah di ibu kota.] Pesan terkirim pada David.Di apartemen David."Benarkah Emily sedang kembali?" Dayana tersenyum lebar membaca pesan Axel."Dan tugas kita membuat rumah tangga Emily bahagia. Ya ... meski kamu kesal dengan Sean, tetap jangan sembunyikan kebenaran. Tidak bisa kita ingkari kalau mereka saling mencintai." David mengusap kepala Dayana."Hem. Akan aku usahakan. Tapi, kenapa aku nggak lihat Felisha? Beberapa hari ini aku sengaja cari-cari dan ingin menjambak rambutnya, tapi nggak ketemu."David terkekeh. "Nanti, kalau Emily muncul, dia pasti muncul. Karena keluargamu sudah nggak menghalangi dekat dengan Emily, aku sarankan kamu seperti dulu lagi ""Pasti. Sean bilang dia menyiapkan restoran besar untuk istrinya. Aku akan kembali bersama wanita malang itu. Bekerja sama dalam bisnis
Dada Sean tergelitik rasa takut, tapi tidak berani bertanya apa maksud istrinya. Dia takut akan mendapat jawaban lebih menakutkan dari praduganya."Jadi kalau Papa nggak ganggu Mama lagi, aku bakal punya adek? Hem .... Hanya saja ganggu dalam hal apa? Sepertinya aku kurang paham dalam kata itu."Di kursi depan Sean bernafas lega. Anaknya telah mewakili kegundahan hati. 'Dia memang anakku!' batinnya.Emily belum mau menjawabnya, dia melirik reaksi suaminya. 'Maaf, Sean. Jika kamu membawaku kembali di saat semua belum membaik, aku juga harus membuat tindakan untuk diriku sendiri dan Axel,' batinnya.Axel masih mengotak-atik kata ibunya. "Apa Papa harus menjauh dari Mama? Aku semakin tidak paham."Hati Sean kini tegang, dia mencengkeram sisi kursinya sambil menunggu jawaban Emily.Emily sangat mencintai Sean, tapi dia lelah. Sangat berharap mereka bertiga tidak berpisah, tapi dia sangat lelah. Dia ingin Sean tidak lagi membuat masalah besar yang menggangu dan mengusik hatinya, hingga terj
Emily tidak bisa tidur. Dia terus berjalan tak tenang. Setelah tahu jika situasi Sean sedang tidak baik-baik saja, dia semakin cemas. Sisi kelembutan yang bercampur rasa cinta ingin memberikan dukungan. Sisi kekecewaannya sangat ingin acuh. "Akh, kenapa aku harus mencemaskannya? Biarkan saja dia kesulitan!" Emily menghentak nafasnya kesal. Kesal pada keadaan kenapa selalu saja begitu.Gelut hati Emily semakin menjadi. Dia merangkup wajah seraya menghela nafas. "Entahlah .... Akh! Menyebalkan. Aku sangat membencinya!"Terdengar suara ketukan pintu yang berlanjut membukanya. Emily segera merebahkan diri membelakangi pintu."Sean 'kah?" gumam lirih Emily saat mendengar ketukan langkah sangat familiar.Emily memejamkan mata dan berusaha terlihat senatural mungkin. Dalam selimut tangannya mengepal kuat."Sayang ...." Sean memastikan istrinya telah terlelap.'Apa yang akan dia lakukan?' batin Emily. Dia merasakan suaminya semakin dekat. Dari pendengaran dapat dia tahu jika Sean merebah pe
Axel tersenyum tipis. Dalam hati dia bersorak girang, ayahnya menyerah karena rengekannya. Itu tanda kepedulian pastinya."Kenapa Papa ada di kamar mandi? Aku kira ilang. Tadi aku lihat ada di kamar ini, eh pas aku masuk sudah nggak ada." Axel berkata tanpa ragu.Emily dan Sean saling pandang. Jika Emily menggeram dalam hati, maka Sean bersorak dalam hati.'Anak ini benar-benar bisa aku andalkan,' batin Sean."Axel, jangan bercanda! Dan harus mengerti batasan bercanda." Emily menatap tajam anaknya. Axel menarik nafas dalam-dalam, dia pikir kekakuan di antara mereka akan berkurang saat sadar jika terciduk. "Nggak bercanda, Ma. Aku tahu semalam kalian tidur berdua. Baguslah, berarti udah berhenti marahannya. Aku bisa jalan-jalan ditemani kalian berdua.""Tapi papa-" Sean masih bingung menjelaskan soal keberangkatannya pagi ini."Tapi apa, Pa? Mama udah nggak marah lagi. Besok kita main bertiga." Axel terus memaksa agar ketegangan berkurang.Emily menelan saliva berat. "Ehm, Papamu hany