Dada Sean tergelitik rasa takut, tapi tidak berani bertanya apa maksud istrinya. Dia takut akan mendapat jawaban lebih menakutkan dari praduganya."Jadi kalau Papa nggak ganggu Mama lagi, aku bakal punya adek? Hem .... Hanya saja ganggu dalam hal apa? Sepertinya aku kurang paham dalam kata itu."Di kursi depan Sean bernafas lega. Anaknya telah mewakili kegundahan hati. 'Dia memang anakku!' batinnya.Emily belum mau menjawabnya, dia melirik reaksi suaminya. 'Maaf, Sean. Jika kamu membawaku kembali di saat semua belum membaik, aku juga harus membuat tindakan untuk diriku sendiri dan Axel,' batinnya.Axel masih mengotak-atik kata ibunya. "Apa Papa harus menjauh dari Mama? Aku semakin tidak paham."Hati Sean kini tegang, dia mencengkeram sisi kursinya sambil menunggu jawaban Emily.Emily sangat mencintai Sean, tapi dia lelah. Sangat berharap mereka bertiga tidak berpisah, tapi dia sangat lelah. Dia ingin Sean tidak lagi membuat masalah besar yang menggangu dan mengusik hatinya, hingga terj
Emily tidak bisa tidur. Dia terus berjalan tak tenang. Setelah tahu jika situasi Sean sedang tidak baik-baik saja, dia semakin cemas. Sisi kelembutan yang bercampur rasa cinta ingin memberikan dukungan. Sisi kekecewaannya sangat ingin acuh. "Akh, kenapa aku harus mencemaskannya? Biarkan saja dia kesulitan!" Emily menghentak nafasnya kesal. Kesal pada keadaan kenapa selalu saja begitu.Gelut hati Emily semakin menjadi. Dia merangkup wajah seraya menghela nafas. "Entahlah .... Akh! Menyebalkan. Aku sangat membencinya!"Terdengar suara ketukan pintu yang berlanjut membukanya. Emily segera merebahkan diri membelakangi pintu."Sean 'kah?" gumam lirih Emily saat mendengar ketukan langkah sangat familiar.Emily memejamkan mata dan berusaha terlihat senatural mungkin. Dalam selimut tangannya mengepal kuat."Sayang ...." Sean memastikan istrinya telah terlelap.'Apa yang akan dia lakukan?' batin Emily. Dia merasakan suaminya semakin dekat. Dari pendengaran dapat dia tahu jika Sean merebah pe
Axel tersenyum tipis. Dalam hati dia bersorak girang, ayahnya menyerah karena rengekannya. Itu tanda kepedulian pastinya."Kenapa Papa ada di kamar mandi? Aku kira ilang. Tadi aku lihat ada di kamar ini, eh pas aku masuk sudah nggak ada." Axel berkata tanpa ragu.Emily dan Sean saling pandang. Jika Emily menggeram dalam hati, maka Sean bersorak dalam hati.'Anak ini benar-benar bisa aku andalkan,' batin Sean."Axel, jangan bercanda! Dan harus mengerti batasan bercanda." Emily menatap tajam anaknya. Axel menarik nafas dalam-dalam, dia pikir kekakuan di antara mereka akan berkurang saat sadar jika terciduk. "Nggak bercanda, Ma. Aku tahu semalam kalian tidur berdua. Baguslah, berarti udah berhenti marahannya. Aku bisa jalan-jalan ditemani kalian berdua.""Tapi papa-" Sean masih bingung menjelaskan soal keberangkatannya pagi ini."Tapi apa, Pa? Mama udah nggak marah lagi. Besok kita main bertiga." Axel terus memaksa agar ketegangan berkurang.Emily menelan saliva berat. "Ehm, Papamu hany
"Bos! Serius kita berangkat satu pesawat dengan tuan Sean? Nggak resiko?" Blade tersenyum miring. "Justru akan sangat menarik. Benny pasti akan mengawasi kinerja kita. Jadi gunakan kesempatan ini untuk bersenang-senang. Aku tidak peduli dengan responnya di belakang layar. Sudah cukup aku berada di sekitar manusia sampah itu!""Ok, aku akan cari hiburan. Aku senang jika kita akan segera bebas dari aturan Benny.""Bagaimana dengan Felisha dan kasus kecelakaan istri temanku dulu?""Terlalu berat mencari bukti-bukti rekaman masa lalu. Yang pasti sudah dihapus. Kita hanya bisa bantu dengan rekaman kunci utama saat masih setengah sadar. Vidio itu mengatakan jika yang menyuruhnya wanita penghuni kamar 1009. Data tamu hotel itu akan segera kita dapatkan.""Aku terlalu setia kawan. Tapi dia sangat bodoh. Aku tidak sabar ingin menendangnya!" Blade terkekeh.Blade dan tangan kanannya akan berangkat ke luar negeri, bersamaan dengan Sean.***Di kediaman Sean."Kenapa masih ragu, mau hubungi Sean
"Bertiga. Besok aku mau foto bertiga yang seperti ini. Eh lebih bagus lagi. Aku mau pose di tempat tidur sambil pelukan kaya tad-empt!"Emily menutup mulut Axel yang kelepasan bicara."Wow, ada apa dengan tadi dan ranjang? Tante penasaran. Demi kelangsungan cinta, kamu harus cerita sama Tante!" Dayana menunjuk Axel dengan mata tajam."Nggak ada apa-apa. Hanya ada anak iseng kelewatan!" Emily tersenyum kaku. Wajahnya memerah.Axel tersenyum dengan mulut tertutup rapat. "Hemmm!"Manajer restoran menghadap menjelaskan apa yang terjadi di depan."Emily, apa wanita itu si rubah licik?" Mata Dayana melebar.Axel dalam mode waspada. Dia memicing tajam dan menajamkan pendengaran menyimak apa yang dibicarakan para orang dewasa itu.Emily menarik nafas beratnya. Bayangan Sean tidur dengan Felisha kembali hadir, tapi tertepis oleh suara Sean."Biar aku yang keluar. Kalian tetap di sini!" David menatap dua wanita itu."Aku ikut, Om. Karena aku juga laki-laki yang harus jaga Mama. Apalagi papa ngg
"Siapa dia, Emily? Kamu ada teman dekat selain kami? Aku cemburu. Apalagi pria! Siapa pria yang mengaku dekat denganmu?" Dayana memicing tak suka.Emily menggeleng. "Aku nggak dekat dengan siapa pun selama ini. Hanya kalian dan ... Erlan! Itu juga kalian yang membawanya. Sekarang pun dia menghilang."Dayana membelalak. "Mungkinkah dia yang datang, Emily? Ehm, ... kamu nggak usah menemuinya. Biar aku saja.""Erlan? Dia ada di sini. Berarti aku harus menyapanya. Aku sudah lama nggak ketemu dan sekarang dia memberi support padaku. Kenapa harus menghindar? Dia nggak bahaya. Ingat, Sean bahkan membuatnya menjauh dariku beberapa kali. Dia pasti sudah jera."Dayana membolakan matanya. "Dengarkan aku! Lebih baik kamu nggak usah ketemu dengannya "Emily terkekeh sambil menepuk bahu Dayana. "Kita ke sana dan sambut dengan baik teman kita itu." Dia melangkah keluar."Yah! Keras kepala!" Dayana menyusul Emily.David dan Axel malah sibuk di depan laptop di pojok kursi pelanggan. Mereka sedang mela
"Bagaimana cara agar Evan hancur? Anaknya juga hancur?! Aku tidak mau mereka mati duluan. Mereka belum pernah merasakan penderitaan seperti yang aku alami." Benny tersenyum kecut menatap luar jendela."Apa Anda berniat untuk mencelakai Sean di luar negeri? Evan sudah menderita dengan penyakitnya. Dia hanya punya satu anak dan jika anak itu hancur maka hancurlah seluruhnya. Tidak ada artinya dia hidup di dunia ini." Salah satu anak buah kepercayaan dan bukan Blade berdiri di belakang Benny."Buat dia kembali ke tanah air dalam keadaan sekarat. Aku mau keluarga Geraldo banjir air mata. Bahkan mereka tak mampu lagi berdiri. Tak mampu menatap nasibnya!" Benny tersenyum smirk."Baik, Tuan. Satu tim telah siap. Anda akan mendapat laporan nanti."Awasi Blade. Dia semakin membuatku ragu. Dia sangat bersemangat jika mendapat tugas soal Sean dan tidak pernah memberiku kepuasan!" Benny mendengkus kesal."Saya sependapat, Tuan. Jika Blade terbukti berkhianat apa ada perintah spontan?" Bawahan yan
Di apartemen David."Tuan David. Saya ingin minta tolong pada Anda dan nona Dayana. Tolong selalu ada di dekat Nyonya Emily dan tuan Axel. Buat mereka selalu tersenyum, itu yang diinginkan tuan kami. Di sini sedang terjadi musibah besar." Salah satu anak buah Sean juga menghubungi David. Dia menceritakan apa yang terjadi.Mata David nanar dengan tangan bergetar. "Lantas bagaimana kondisinya?""Masih ada di ruang operasi. Tolong jangan sampai ada yang tahu. Rahasiakan ini dari siapa pun termasuk kekasih Anda.""Kabari aku soal kondisinya nanti!"Langkah Dayana jelas mendekat, untung obrolan telah terputus."Sayang, Axel menghubungiku. Dia terdengar panik dan sesuatu terjadi pada Emily. Aku disuruh datang kesana sekarang!" David semakin gelisah. "Aku akan mengantarmu!"Mereka segera pergi.***Axel menatap perubahan raut wajah penjaga itu. Seperti sedang bingung merangkai kata atau tidak menemukan jawaban untuk pertanyaan sederhananya."Om, kok diem aja?! Papa kenapa? Kok nggak angkat