"Bagaimana cara agar Evan hancur? Anaknya juga hancur?! Aku tidak mau mereka mati duluan. Mereka belum pernah merasakan penderitaan seperti yang aku alami." Benny tersenyum kecut menatap luar jendela."Apa Anda berniat untuk mencelakai Sean di luar negeri? Evan sudah menderita dengan penyakitnya. Dia hanya punya satu anak dan jika anak itu hancur maka hancurlah seluruhnya. Tidak ada artinya dia hidup di dunia ini." Salah satu anak buah kepercayaan dan bukan Blade berdiri di belakang Benny."Buat dia kembali ke tanah air dalam keadaan sekarat. Aku mau keluarga Geraldo banjir air mata. Bahkan mereka tak mampu lagi berdiri. Tak mampu menatap nasibnya!" Benny tersenyum smirk."Baik, Tuan. Satu tim telah siap. Anda akan mendapat laporan nanti."Awasi Blade. Dia semakin membuatku ragu. Dia sangat bersemangat jika mendapat tugas soal Sean dan tidak pernah memberiku kepuasan!" Benny mendengkus kesal."Saya sependapat, Tuan. Jika Blade terbukti berkhianat apa ada perintah spontan?" Bawahan yan
Di apartemen David."Tuan David. Saya ingin minta tolong pada Anda dan nona Dayana. Tolong selalu ada di dekat Nyonya Emily dan tuan Axel. Buat mereka selalu tersenyum, itu yang diinginkan tuan kami. Di sini sedang terjadi musibah besar." Salah satu anak buah Sean juga menghubungi David. Dia menceritakan apa yang terjadi.Mata David nanar dengan tangan bergetar. "Lantas bagaimana kondisinya?""Masih ada di ruang operasi. Tolong jangan sampai ada yang tahu. Rahasiakan ini dari siapa pun termasuk kekasih Anda.""Kabari aku soal kondisinya nanti!"Langkah Dayana jelas mendekat, untung obrolan telah terputus."Sayang, Axel menghubungiku. Dia terdengar panik dan sesuatu terjadi pada Emily. Aku disuruh datang kesana sekarang!" David semakin gelisah. "Aku akan mengantarmu!"Mereka segera pergi.***Axel menatap perubahan raut wajah penjaga itu. Seperti sedang bingung merangkai kata atau tidak menemukan jawaban untuk pertanyaan sederhananya."Om, kok diem aja?! Papa kenapa? Kok nggak angkat
Mata Blade membelalak tajam. Teman terbaiknya mengalami kejang-kejang. "Panggil dokter!" teriak Blade. Tubuhnya bergetar. Dia menghempas banyak pikiran buruk yang hinggap."Tuan!" teriak anak buah Sean. Matanya nanar penuh ketakutan.Tanpa teriakan Blade pun, petugas medis langsung berhambur ke ruangan Sean. Dari sekat ruang. Blade dan yang lain hanya bisa menatap apa yang dilakukan dokter. Jelas dokter dan perawat tampak gusar. Tangan Blade mengepal saat dokter meletakkan alat pacu jantung. Monitor jantung dia tatap tajam. "Dasar bodoh! Cepat bangun! Istrimu akan diambil orang!" teriak Blade kesal. Nafasnya memburu.Sekian saat di mana petugas medis bergelut, akhirnya mereka keluar dari ruangan itu.Blade dan anak buah Sean mencegat dokter. Mereka bicara dengan bahasa negara itu "Bagaimana keadaannya dan kenapa dia bisa seperti itu?!" tanya Blade terdengar menyentak.Dokter tidak berani menatap Blade lama-lama. "Ko-kondisi pasien sudah stabil. Tadi hanya efek samping pasca opera
Pagi di kediaman Sean.Dayana dan David telah pergi dahulu mengurus sesuatu. Mereka berencana akan bertemu di restoran nanti."Mama?" "Oma? Mana opa?" Emily dan Axel yang hendak ke rumah mertua malah didahului oleh sang ibu mertua."Kalian mau ke mana? Kenapa Axel tidak memakai seragam, apa bolos sekolah?" Martha sengaja datang pagi untuk menyampaikan pesan suaminya."Kita mau ke rumah Mama ingin bertemu dengan Papa." Emily memeluk Martha."Kenapa Oma datang sendirian?" Axel juga memeluk neneknya."Kita bicara di dalam."Di sofa ruang tengah."Kakekmu tadi pagi dijemput bawahan papamu, Axel. Katanya, masalah di luar negeri sulit diselesaikan. Jadi papamu minta agar kakekmu datang ke sana untuk membantu."Semilir ketenangan menyapu hati Emily dan Axel. Meski dalam hati masih banyak tanya yang mengganjal."Jadinya Papa beneran sibuk banget ya, Oma? Sampai opa saja dipanggil ke sana. Aku jadi pengen nyusul papa. Mau bantuin, tapi takut malah ngerecokin." Axel menghentak nafasnya berat.
"Erlan?" Emily beranjak setelah membaca pesan itu. Dia keluar tanpa ada prasangka apa pun. Sebenarnya dia ingin membatasi diri pada pria lain, tapi Emily membuat pengecualian pada Erlan. Karena Erlan adalah pria yang kecewa atau bisa dikatakan korban kesalah pahaman. Wanita itu berpikir jika rasa cinta itu tidak salah, hanya tidak semua cinta bisa diterima dan terbalaskan.Dayana dan David masih ada urusan, jadi belum tiba. Situasi sangat mendukung untuk sisi Erlan."Nyonya, Anda mau ke mana?" cegat bodyguard."Aku mau melihat beberapa ruang VVIP. Kalian tidak perlu mengawasi ketat. Tidak ada bahaya di restoran ini. Jangan terlalu berlebih-lebihan dan membuat kegaduhan!" Emily melanjutkan langkah.Bodyguard diam tak menjawab. Dia mengawasi langkah Emily dan mengikuti dengan jarak agak jauh. Matanya memicing tajam."Sepertinya Nyonya mau ke ruangan Erlan b*jingan licik itu!" gumam satu bodyguard pada yang lain. Dia bicara lewat earphone."Biarkan saja, kita tetap awasi. Akan aku suruh
"Sangat konyol. Penyakitku sudah hilang saat cucuku datang, kenapa harus ke rumah sakit? Antarkan aku pada Sean sekarang!" ucap Evan di depan ruang dokter."Mari, Om." Blade tersenyum kaku sambil menatap koridor arah jalan ke ruang perawatan Sean.Evan melangkah mengikuti Blade. Semakin lama dia mengayun kaki perasaannya semakin tidak karuan. Dia mengepal tangan kuat di bawah berusaha untuk tidak bertanya. Blade menghentikan langkah dan menatap datar Evan."Ada seseorang yang sangat ingin bertemu dengan Om sebelum kita pergi dari rumah sakit ini. Tolong luangkan waktu untuk hal ini." Blade berkata ambigu."Siapa? Apa sangat penting sehingga harus menunda waktuku?""Ya, dia salah satu pasien di sini dan butuh semangat dari Om. Kondisinya tidak bisa saya jelaskan." Blade menatap harap.Evan mengangguk dengan desahan berat. "Baiklah, antarkan aku ke sana!"Hingga tiba di sebuah ruang ICU. Evan dan Blade memakai pakaian warna hijau untuk masuk. Kini, mereka tiba di depan pintu ruang rawa
Samar-samar Emily mendengar pekikan tangis. Namun, apa benar yang dia dengar? Hatinya semakin dibuat gundah."Opa, kenapa diam lagi? Mana papa? Berikan telepon ini sama pria yang membuatku sangat marah itu! Menyebalkan! Awas, kalau sampai dia nggak kangen sama aku!" Axel melupakan kekesalannya."Pa, apa yang terjadi di sana? Katakan saja padaku meski itu hal buruk. Aku masih menjadi orang yang berhak mengetahui keadaannya." Emily sengaja berkata ambigu. Ada siratan makna menggiring Evan mengatakan sesuatu. Namun, apa itu berhasil?Terdengar helaan nafas berat. "Opa baik-baik saja. Baru saja bertemu dengan papamu, Axel. Tapi, dia sudah pergi lagi. Papamu harus bertemu dengan orang penting dan tidak boleh terlewatkan."Emily tersenyum kaku dengan mata berkaca. Seharusnya dia senang mendengar hal itu, berarti Sean baik-baik saja. Namun, entah kenapa kegelisahannya tidak berkurang. Malah semakin kuat. Ketakutan semakin meremas dadanya.Emily berpikir, jika respon Evan di awal seperti itu.
[Hay, semuanya .... Aku lagi menyusul kekasih tercinta. Seperti biasa, kita mau liburan bareng atas nama kesibukan kerja. Well, bukan rahasia lagi 'kan kalau kita kasih support secara langsung orang tercinta yang lagi lelah kerja. Kita harus buat capeknya hilang seketika. Gimana ya .... Emang begini resiko jadi wanita bukan cinta rahasia lagi. Jadi wanita yang benar-benar dicintai dan diinginkan, bukan cuma dimanfaatkan. My love bilang nggak bisa jauh-jauh dalam durasi sekian hari. Baru berapa hari, eh udah uring-uringan nyuruh nyusul. Ha ha ha ha. So sweet banget my love-S.] Wajah Felisha tanpa binar dan sangat bahagia.S, pastinya jelas menyebut Sean. Dan rangkaian kata-kata sangat jelas untuk menyerang psikologis Emily.Nyeri .... Bilah sembilu kembali merobek luka lama. Meski ambigu, tapi telah berhasil menyambung luka."Emily!" Dayana melepas ponsel dan memegang bahu Emily.Emily memegang dadanya. Sesak! Nyeri! "Aku tidak apa-apa." Emily hampir tersungkur. Dia mengatur nafasnya