[Hay, semuanya .... Aku lagi menyusul kekasih tercinta. Seperti biasa, kita mau liburan bareng atas nama kesibukan kerja. Well, bukan rahasia lagi 'kan kalau kita kasih support secara langsung orang tercinta yang lagi lelah kerja. Kita harus buat capeknya hilang seketika. Gimana ya .... Emang begini resiko jadi wanita bukan cinta rahasia lagi. Jadi wanita yang benar-benar dicintai dan diinginkan, bukan cuma dimanfaatkan. My love bilang nggak bisa jauh-jauh dalam durasi sekian hari. Baru berapa hari, eh udah uring-uringan nyuruh nyusul. Ha ha ha ha. So sweet banget my love-S.] Wajah Felisha tanpa binar dan sangat bahagia.S, pastinya jelas menyebut Sean. Dan rangkaian kata-kata sangat jelas untuk menyerang psikologis Emily.Nyeri .... Bilah sembilu kembali merobek luka lama. Meski ambigu, tapi telah berhasil menyambung luka."Emily!" Dayana melepas ponsel dan memegang bahu Emily.Emily memegang dadanya. Sesak! Nyeri! "Aku tidak apa-apa." Emily hampir tersungkur. Dia mengatur nafasnya
"Nggak mungkin jika dia nggak ada di rumah sakit ini. Informasi itu akurat!" Felisha menebar pandangan sambil melangkah di sepanjang koridor kamar rawat VVIP, tapi nihil."ICU. Mungkin masih ada di ruangan itu. Sean 'kan sekarat." Felisha tersenyum miring dan melanjutkan langkah ke ruang ICU.Tiba di ruang ICU, tak ada penjaga di depan ruang mana pun. Aneh, karena tidak mungkin seorang Sean tanpa penjagaan. Felisha masih belum mau menyerah, dia mencari di ruangan yang ada kemungkinan besar Sean di rawat.Di dalam ruangan dekat Felisha berdiri. Blade membuka sedikit pintunya."Sekarang!" ucap Blade lirih berat menekan. Senyum culas dengan wajah merah tampak menakutkan. Sorot mata elang membidik tajam pada Felisha.Di belakang Blade, tangan kanannya menghubungi ketua anak buah Sean. Permainan dimulai!Dua perawat melangkah mendekati posisi Felisha. Mereka bertugas menyulut rasa penasaran. Dua perawat bicara dalam bahasa negara itu."Pasien kecelakaan dari Indonesia akhirnya ada di kamar
Mata Emily membulat lebar saat membaca pesan dari Erlan. Dia membaca berulang kali dan satu pertanyaan awal pada dirinya sendiri. Dari mana Erlan tahu? "Pesan dari siapa, Emily, sampai seperti itu membacanya?" Dayana mendekat ikut membaca. Matanya langsung melebar dengan wajah kesal. "Erlan, dia ada di luar sekarang. Apa David yang bilang kalau Sean nggak ada kabar? Karena nggak banyak yang tahu soal ini. Atau mungkin ada anak buah Sean yang berkhianat?" Emily mengernyit.Dayana menggeleng. "Pacarku sangat setia. Dia juga tahu kalau harus mode waspada pada Erlan sekarang. Sudah kubilang kemarin lupakan apa yang terjadi dulu. karena banyak kesalahpahaman. Dan sekarang juga nggak seperti dulu. David pro Sean meski dia teman Erlan.""Lantas?""Aku akan panggil David. Biar dia yang temui Erlan." Dayana hendak melangkah keluar."Tapi Erlan bilang ada informasi soal Sean. Mungkin itu bisa dipertimbangkan. Jangan usir dia."Dayana mengurungkan langkahnya, dia memutar arah dan menaikkan dua
Dalam ruang gelap tanpa sekat. Sean berdiri menebar pandangan mencari arah dan cahaya. Awan gelap terus melayang seolah menyerangnya agar tak bisa menatap depan. Ada sorot temaram di kejauhan. Sekelebat Sean melihat cahaya itu, meski hilang lagi dari pandangan."Argh!" Kaki Sean seolah terpaku saat ingin digerakkan. Pria itu sampai menggunakan dua tangan untuk mengangkat kakinya, tapi Nihil![Emily akan dibawa pergi pria lain. Emily akan meninggalmu, Sean! Dia tidak mau lagi menunggumu!] Terdengar suara menggelegar."Blade? Blade! Emily? Argh! Tidak!"Sean kembali mencari jalan keluar. Dia terus menatap setiap arah. Tak ada sekat, tak ada petunjuk apa pun yang dia lihat. Semua sama .... Hanya gelap.[Axel akan memanggil pria lain dengan sebutan papa. Dan kamu akan tersingkirkan. Papa! Papa! Papa! Pada pria lain. Kamu akan sendiri di tempat ini jika tidak bisa mencari jalan keluar. Kamu akan kehilangan mereka, Sean! Emily! Emily! Emily! Dia akan jadi milik pria lain! Axel bukan anakmu
"Jangan angkat!" Dario membelalak. Dia berusaha duduk sekuat tenaga."Aku angkat, kamu yang bicara!" Blade tersenyum miring."Gila!" "Aku memang gila dari dulu. Ayo keluar, kita angkat panggilan ini!" "Aku tidak mau keluar dari ruangan ini!" Dario menolak jauh dari Sean."Kondisimu sudah sangat cukup untuk pindah ruang. Aku akan mengaturnya segera!""Jangan lakukan! Atau aku akan menghajar dan membuangmu ke laut!""Hajar saja! Jangan lupa pakai senjata yang banyak!"Ponsel Sean kini dalam mode silent agar perawat tidak menegur."Kita keluar sekarang. Malas berdebat dengan perawat lagi. Aku sudah nekat bawa ponsel ke ruangan ini dengan mengancam dan menggertak. Sekarang ayo kita pergi!""Tidak bisa! Pasien tidak bisa sembarangan keluar dari ruangan ini tanpa izin dokter. Dasar bodoh!"Blade keluar ingin mengambil kursi roda. Tidak hanya itu, dia menarik dua perawat agar membawa Dario keluar. Semula perawat menolak, setelah datang dokter yang bertanggung jawab memberi izin pasien atas
"Aku mau bantu papa di kantor. Aku dengar, banyak yang sedang protes karena Sean belum kembali. Dan tanpa kabar."Evan masih sedikit ragu dengan membiarkan Emily masuk dalam kemelut perusahaan. "Kamu pasti mendapat informasi yang salah. Suamimu sangat disegani jadi mereka tidak mungkin banyak bicara sampai Sean kembali."Emily menarik nafas dalam dengan senyuman kaku. "Maaf, Pa. Semakin mereka tak menjawab pertanyaanku semakin aku penasaran. Setiap malam aku diam-diam mendengarkan percakapan bawahan Sean. Mereka silahkan diam, tapi aku tak akan tinggal diam!"Evan tersenyum tipis. Pilihannya benar-benar tidak salah. "Kapan kamu akan mulai bekerja?"Emily tersenyum menatap ayah mertua. "Besok.""Baiklah, tapi apa hasilmu menguping?" Evan terkekeh kecil dengan mata berkaca."Mereka bilang ... jika sudah banyak yang membuat petisi agar Sean mundur. Meski Sean dan Papa adalah pemilik saham dominan, tapi mereka ingin dipimpin oleh orang lain karena masalah malah semakin rumit dan Sean bel
"Felisha ada di rumah sakit ini. Kamu tahu?" Blade menatap Dario serius."Tidak! Dan tidak mau tahu!" Dario tersenyum sinis.Blade mendecih. "Aku ancam dokternya. Dia harus bisa membuat wanita itu stay di atas brankar! Katanya kondisi wanita ular itu memang lemah. Pas sekali dengan rencanaku!" Blade tersenyum tipis dengan tatapan tajam."Rencana apalagi, Blade? Kumohon, level kegilaanmu jangan terus dinaikkan!" Dario mendesis."Dasar bodoh! Kalau dia tidak berkeliaran maka Emily aman. Dia salah satu pion besar Benny untuk menyerang ke sisi Emily. Otak penyokmu tidak akan paham hal seperti ini. Makanya kalau kecelakaan itu dipegang kepalanya, biar nggak jadi gila!" ketus Blade."Blade, bolehkah aku menaikkan kadar kebencianku padamu? Seperti sedang naik ke level eneg dan malas!" kesal Dario."Silahkan. Bencilah aku sampai kamu merindukanku hingga dalam mimpi!" Blade tersenyum miring sambil menaikkan alisnya."Huwekkk!" Dario mencebik kesal.Bunyi notifikasi membuat mata Blade membulat d
'Papa sekarat? Tabrakan?' batin Axel. Dadanya bagai ditusuk-tusuk paku tajam. Dia menggeleng, mengibas bayangan pait. 'Tidak!'"Axel? Om memberi tahumu karena peduli. Tanya saja sama Om David, dia pasti tahu. Sampaikan salam Om Erlan pada mamamu. Om tunggu jamuannya." Kebencian itu tumbuh karena amarah tak terima akan penolakan. Merasa tak dihargai sedikit pun.Anak pintar itu menarik nafas dalam. Dia segera menguasai diri. Tanpa kata Axel menepis cekalan Erlan dan melangkah pergi. Tak lupa, dia mengambil penjepit dasinya.Erlan tersenyum miring saat melihat punggung Axel yang melangkah kaku. 'Aku sudah menawarkan bicara baik-baik, kalian sendiri yang ingin pakai cara begini,' batinnya."Tuan Axel, apa yang terjadi?" cegat bodyguard.Axel menggeleng. "A-aku mm-mau ke mama."Dua pria curiga. Mereka mengantar Axel ke ruangan Emily.Masuk. Axel menatap kosong sambil mengayun kaki. Bahkan rungunya seolah mati tak mendengar tawa Dayana."Axel, dari mana saja kamu?" Emily menarik tangan Axe