Dalam ruang gelap tanpa sekat. Sean berdiri menebar pandangan mencari arah dan cahaya. Awan gelap terus melayang seolah menyerangnya agar tak bisa menatap depan. Ada sorot temaram di kejauhan. Sekelebat Sean melihat cahaya itu, meski hilang lagi dari pandangan."Argh!" Kaki Sean seolah terpaku saat ingin digerakkan. Pria itu sampai menggunakan dua tangan untuk mengangkat kakinya, tapi Nihil![Emily akan dibawa pergi pria lain. Emily akan meninggalmu, Sean! Dia tidak mau lagi menunggumu!] Terdengar suara menggelegar."Blade? Blade! Emily? Argh! Tidak!"Sean kembali mencari jalan keluar. Dia terus menatap setiap arah. Tak ada sekat, tak ada petunjuk apa pun yang dia lihat. Semua sama .... Hanya gelap.[Axel akan memanggil pria lain dengan sebutan papa. Dan kamu akan tersingkirkan. Papa! Papa! Papa! Pada pria lain. Kamu akan sendiri di tempat ini jika tidak bisa mencari jalan keluar. Kamu akan kehilangan mereka, Sean! Emily! Emily! Emily! Dia akan jadi milik pria lain! Axel bukan anakmu
"Jangan angkat!" Dario membelalak. Dia berusaha duduk sekuat tenaga."Aku angkat, kamu yang bicara!" Blade tersenyum miring."Gila!" "Aku memang gila dari dulu. Ayo keluar, kita angkat panggilan ini!" "Aku tidak mau keluar dari ruangan ini!" Dario menolak jauh dari Sean."Kondisimu sudah sangat cukup untuk pindah ruang. Aku akan mengaturnya segera!""Jangan lakukan! Atau aku akan menghajar dan membuangmu ke laut!""Hajar saja! Jangan lupa pakai senjata yang banyak!"Ponsel Sean kini dalam mode silent agar perawat tidak menegur."Kita keluar sekarang. Malas berdebat dengan perawat lagi. Aku sudah nekat bawa ponsel ke ruangan ini dengan mengancam dan menggertak. Sekarang ayo kita pergi!""Tidak bisa! Pasien tidak bisa sembarangan keluar dari ruangan ini tanpa izin dokter. Dasar bodoh!"Blade keluar ingin mengambil kursi roda. Tidak hanya itu, dia menarik dua perawat agar membawa Dario keluar. Semula perawat menolak, setelah datang dokter yang bertanggung jawab memberi izin pasien atas
"Aku mau bantu papa di kantor. Aku dengar, banyak yang sedang protes karena Sean belum kembali. Dan tanpa kabar."Evan masih sedikit ragu dengan membiarkan Emily masuk dalam kemelut perusahaan. "Kamu pasti mendapat informasi yang salah. Suamimu sangat disegani jadi mereka tidak mungkin banyak bicara sampai Sean kembali."Emily menarik nafas dalam dengan senyuman kaku. "Maaf, Pa. Semakin mereka tak menjawab pertanyaanku semakin aku penasaran. Setiap malam aku diam-diam mendengarkan percakapan bawahan Sean. Mereka silahkan diam, tapi aku tak akan tinggal diam!"Evan tersenyum tipis. Pilihannya benar-benar tidak salah. "Kapan kamu akan mulai bekerja?"Emily tersenyum menatap ayah mertua. "Besok.""Baiklah, tapi apa hasilmu menguping?" Evan terkekeh kecil dengan mata berkaca."Mereka bilang ... jika sudah banyak yang membuat petisi agar Sean mundur. Meski Sean dan Papa adalah pemilik saham dominan, tapi mereka ingin dipimpin oleh orang lain karena masalah malah semakin rumit dan Sean bel
"Felisha ada di rumah sakit ini. Kamu tahu?" Blade menatap Dario serius."Tidak! Dan tidak mau tahu!" Dario tersenyum sinis.Blade mendecih. "Aku ancam dokternya. Dia harus bisa membuat wanita itu stay di atas brankar! Katanya kondisi wanita ular itu memang lemah. Pas sekali dengan rencanaku!" Blade tersenyum tipis dengan tatapan tajam."Rencana apalagi, Blade? Kumohon, level kegilaanmu jangan terus dinaikkan!" Dario mendesis."Dasar bodoh! Kalau dia tidak berkeliaran maka Emily aman. Dia salah satu pion besar Benny untuk menyerang ke sisi Emily. Otak penyokmu tidak akan paham hal seperti ini. Makanya kalau kecelakaan itu dipegang kepalanya, biar nggak jadi gila!" ketus Blade."Blade, bolehkah aku menaikkan kadar kebencianku padamu? Seperti sedang naik ke level eneg dan malas!" kesal Dario."Silahkan. Bencilah aku sampai kamu merindukanku hingga dalam mimpi!" Blade tersenyum miring sambil menaikkan alisnya."Huwekkk!" Dario mencebik kesal.Bunyi notifikasi membuat mata Blade membulat d
'Papa sekarat? Tabrakan?' batin Axel. Dadanya bagai ditusuk-tusuk paku tajam. Dia menggeleng, mengibas bayangan pait. 'Tidak!'"Axel? Om memberi tahumu karena peduli. Tanya saja sama Om David, dia pasti tahu. Sampaikan salam Om Erlan pada mamamu. Om tunggu jamuannya." Kebencian itu tumbuh karena amarah tak terima akan penolakan. Merasa tak dihargai sedikit pun.Anak pintar itu menarik nafas dalam. Dia segera menguasai diri. Tanpa kata Axel menepis cekalan Erlan dan melangkah pergi. Tak lupa, dia mengambil penjepit dasinya.Erlan tersenyum miring saat melihat punggung Axel yang melangkah kaku. 'Aku sudah menawarkan bicara baik-baik, kalian sendiri yang ingin pakai cara begini,' batinnya."Tuan Axel, apa yang terjadi?" cegat bodyguard.Axel menggeleng. "A-aku mm-mau ke mama."Dua pria curiga. Mereka mengantar Axel ke ruangan Emily.Masuk. Axel menatap kosong sambil mengayun kaki. Bahkan rungunya seolah mati tak mendengar tawa Dayana."Axel, dari mana saja kamu?" Emily menarik tangan Axe
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d