"Erlan?" Emily beranjak setelah membaca pesan itu. Dia keluar tanpa ada prasangka apa pun. Sebenarnya dia ingin membatasi diri pada pria lain, tapi Emily membuat pengecualian pada Erlan. Karena Erlan adalah pria yang kecewa atau bisa dikatakan korban kesalah pahaman. Wanita itu berpikir jika rasa cinta itu tidak salah, hanya tidak semua cinta bisa diterima dan terbalaskan.Dayana dan David masih ada urusan, jadi belum tiba. Situasi sangat mendukung untuk sisi Erlan."Nyonya, Anda mau ke mana?" cegat bodyguard."Aku mau melihat beberapa ruang VVIP. Kalian tidak perlu mengawasi ketat. Tidak ada bahaya di restoran ini. Jangan terlalu berlebih-lebihan dan membuat kegaduhan!" Emily melanjutkan langkah.Bodyguard diam tak menjawab. Dia mengawasi langkah Emily dan mengikuti dengan jarak agak jauh. Matanya memicing tajam."Sepertinya Nyonya mau ke ruangan Erlan b*jingan licik itu!" gumam satu bodyguard pada yang lain. Dia bicara lewat earphone."Biarkan saja, kita tetap awasi. Akan aku suruh
"Sangat konyol. Penyakitku sudah hilang saat cucuku datang, kenapa harus ke rumah sakit? Antarkan aku pada Sean sekarang!" ucap Evan di depan ruang dokter."Mari, Om." Blade tersenyum kaku sambil menatap koridor arah jalan ke ruang perawatan Sean.Evan melangkah mengikuti Blade. Semakin lama dia mengayun kaki perasaannya semakin tidak karuan. Dia mengepal tangan kuat di bawah berusaha untuk tidak bertanya. Blade menghentikan langkah dan menatap datar Evan."Ada seseorang yang sangat ingin bertemu dengan Om sebelum kita pergi dari rumah sakit ini. Tolong luangkan waktu untuk hal ini." Blade berkata ambigu."Siapa? Apa sangat penting sehingga harus menunda waktuku?""Ya, dia salah satu pasien di sini dan butuh semangat dari Om. Kondisinya tidak bisa saya jelaskan." Blade menatap harap.Evan mengangguk dengan desahan berat. "Baiklah, antarkan aku ke sana!"Hingga tiba di sebuah ruang ICU. Evan dan Blade memakai pakaian warna hijau untuk masuk. Kini, mereka tiba di depan pintu ruang rawa
Samar-samar Emily mendengar pekikan tangis. Namun, apa benar yang dia dengar? Hatinya semakin dibuat gundah."Opa, kenapa diam lagi? Mana papa? Berikan telepon ini sama pria yang membuatku sangat marah itu! Menyebalkan! Awas, kalau sampai dia nggak kangen sama aku!" Axel melupakan kekesalannya."Pa, apa yang terjadi di sana? Katakan saja padaku meski itu hal buruk. Aku masih menjadi orang yang berhak mengetahui keadaannya." Emily sengaja berkata ambigu. Ada siratan makna menggiring Evan mengatakan sesuatu. Namun, apa itu berhasil?Terdengar helaan nafas berat. "Opa baik-baik saja. Baru saja bertemu dengan papamu, Axel. Tapi, dia sudah pergi lagi. Papamu harus bertemu dengan orang penting dan tidak boleh terlewatkan."Emily tersenyum kaku dengan mata berkaca. Seharusnya dia senang mendengar hal itu, berarti Sean baik-baik saja. Namun, entah kenapa kegelisahannya tidak berkurang. Malah semakin kuat. Ketakutan semakin meremas dadanya.Emily berpikir, jika respon Evan di awal seperti itu.
[Hay, semuanya .... Aku lagi menyusul kekasih tercinta. Seperti biasa, kita mau liburan bareng atas nama kesibukan kerja. Well, bukan rahasia lagi 'kan kalau kita kasih support secara langsung orang tercinta yang lagi lelah kerja. Kita harus buat capeknya hilang seketika. Gimana ya .... Emang begini resiko jadi wanita bukan cinta rahasia lagi. Jadi wanita yang benar-benar dicintai dan diinginkan, bukan cuma dimanfaatkan. My love bilang nggak bisa jauh-jauh dalam durasi sekian hari. Baru berapa hari, eh udah uring-uringan nyuruh nyusul. Ha ha ha ha. So sweet banget my love-S.] Wajah Felisha tanpa binar dan sangat bahagia.S, pastinya jelas menyebut Sean. Dan rangkaian kata-kata sangat jelas untuk menyerang psikologis Emily.Nyeri .... Bilah sembilu kembali merobek luka lama. Meski ambigu, tapi telah berhasil menyambung luka."Emily!" Dayana melepas ponsel dan memegang bahu Emily.Emily memegang dadanya. Sesak! Nyeri! "Aku tidak apa-apa." Emily hampir tersungkur. Dia mengatur nafasnya
"Nggak mungkin jika dia nggak ada di rumah sakit ini. Informasi itu akurat!" Felisha menebar pandangan sambil melangkah di sepanjang koridor kamar rawat VVIP, tapi nihil."ICU. Mungkin masih ada di ruangan itu. Sean 'kan sekarat." Felisha tersenyum miring dan melanjutkan langkah ke ruang ICU.Tiba di ruang ICU, tak ada penjaga di depan ruang mana pun. Aneh, karena tidak mungkin seorang Sean tanpa penjagaan. Felisha masih belum mau menyerah, dia mencari di ruangan yang ada kemungkinan besar Sean di rawat.Di dalam ruangan dekat Felisha berdiri. Blade membuka sedikit pintunya."Sekarang!" ucap Blade lirih berat menekan. Senyum culas dengan wajah merah tampak menakutkan. Sorot mata elang membidik tajam pada Felisha.Di belakang Blade, tangan kanannya menghubungi ketua anak buah Sean. Permainan dimulai!Dua perawat melangkah mendekati posisi Felisha. Mereka bertugas menyulut rasa penasaran. Dua perawat bicara dalam bahasa negara itu."Pasien kecelakaan dari Indonesia akhirnya ada di kamar
Mata Emily membulat lebar saat membaca pesan dari Erlan. Dia membaca berulang kali dan satu pertanyaan awal pada dirinya sendiri. Dari mana Erlan tahu? "Pesan dari siapa, Emily, sampai seperti itu membacanya?" Dayana mendekat ikut membaca. Matanya langsung melebar dengan wajah kesal. "Erlan, dia ada di luar sekarang. Apa David yang bilang kalau Sean nggak ada kabar? Karena nggak banyak yang tahu soal ini. Atau mungkin ada anak buah Sean yang berkhianat?" Emily mengernyit.Dayana menggeleng. "Pacarku sangat setia. Dia juga tahu kalau harus mode waspada pada Erlan sekarang. Sudah kubilang kemarin lupakan apa yang terjadi dulu. karena banyak kesalahpahaman. Dan sekarang juga nggak seperti dulu. David pro Sean meski dia teman Erlan.""Lantas?""Aku akan panggil David. Biar dia yang temui Erlan." Dayana hendak melangkah keluar."Tapi Erlan bilang ada informasi soal Sean. Mungkin itu bisa dipertimbangkan. Jangan usir dia."Dayana mengurungkan langkahnya, dia memutar arah dan menaikkan dua
Dalam ruang gelap tanpa sekat. Sean berdiri menebar pandangan mencari arah dan cahaya. Awan gelap terus melayang seolah menyerangnya agar tak bisa menatap depan. Ada sorot temaram di kejauhan. Sekelebat Sean melihat cahaya itu, meski hilang lagi dari pandangan."Argh!" Kaki Sean seolah terpaku saat ingin digerakkan. Pria itu sampai menggunakan dua tangan untuk mengangkat kakinya, tapi Nihil![Emily akan dibawa pergi pria lain. Emily akan meninggalmu, Sean! Dia tidak mau lagi menunggumu!] Terdengar suara menggelegar."Blade? Blade! Emily? Argh! Tidak!"Sean kembali mencari jalan keluar. Dia terus menatap setiap arah. Tak ada sekat, tak ada petunjuk apa pun yang dia lihat. Semua sama .... Hanya gelap.[Axel akan memanggil pria lain dengan sebutan papa. Dan kamu akan tersingkirkan. Papa! Papa! Papa! Pada pria lain. Kamu akan sendiri di tempat ini jika tidak bisa mencari jalan keluar. Kamu akan kehilangan mereka, Sean! Emily! Emily! Emily! Dia akan jadi milik pria lain! Axel bukan anakmu
"Jangan angkat!" Dario membelalak. Dia berusaha duduk sekuat tenaga."Aku angkat, kamu yang bicara!" Blade tersenyum miring."Gila!" "Aku memang gila dari dulu. Ayo keluar, kita angkat panggilan ini!" "Aku tidak mau keluar dari ruangan ini!" Dario menolak jauh dari Sean."Kondisimu sudah sangat cukup untuk pindah ruang. Aku akan mengaturnya segera!""Jangan lakukan! Atau aku akan menghajar dan membuangmu ke laut!""Hajar saja! Jangan lupa pakai senjata yang banyak!"Ponsel Sean kini dalam mode silent agar perawat tidak menegur."Kita keluar sekarang. Malas berdebat dengan perawat lagi. Aku sudah nekat bawa ponsel ke ruangan ini dengan mengancam dan menggertak. Sekarang ayo kita pergi!""Tidak bisa! Pasien tidak bisa sembarangan keluar dari ruangan ini tanpa izin dokter. Dasar bodoh!"Blade keluar ingin mengambil kursi roda. Tidak hanya itu, dia menarik dua perawat agar membawa Dario keluar. Semula perawat menolak, setelah datang dokter yang bertanggung jawab memberi izin pasien atas
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."