"Bos! Serius kita berangkat satu pesawat dengan tuan Sean? Nggak resiko?" Blade tersenyum miring. "Justru akan sangat menarik. Benny pasti akan mengawasi kinerja kita. Jadi gunakan kesempatan ini untuk bersenang-senang. Aku tidak peduli dengan responnya di belakang layar. Sudah cukup aku berada di sekitar manusia sampah itu!""Ok, aku akan cari hiburan. Aku senang jika kita akan segera bebas dari aturan Benny.""Bagaimana dengan Felisha dan kasus kecelakaan istri temanku dulu?""Terlalu berat mencari bukti-bukti rekaman masa lalu. Yang pasti sudah dihapus. Kita hanya bisa bantu dengan rekaman kunci utama saat masih setengah sadar. Vidio itu mengatakan jika yang menyuruhnya wanita penghuni kamar 1009. Data tamu hotel itu akan segera kita dapatkan.""Aku terlalu setia kawan. Tapi dia sangat bodoh. Aku tidak sabar ingin menendangnya!" Blade terkekeh.Blade dan tangan kanannya akan berangkat ke luar negeri, bersamaan dengan Sean.***Di kediaman Sean."Kenapa masih ragu, mau hubungi Sean
"Bertiga. Besok aku mau foto bertiga yang seperti ini. Eh lebih bagus lagi. Aku mau pose di tempat tidur sambil pelukan kaya tad-empt!"Emily menutup mulut Axel yang kelepasan bicara."Wow, ada apa dengan tadi dan ranjang? Tante penasaran. Demi kelangsungan cinta, kamu harus cerita sama Tante!" Dayana menunjuk Axel dengan mata tajam."Nggak ada apa-apa. Hanya ada anak iseng kelewatan!" Emily tersenyum kaku. Wajahnya memerah.Axel tersenyum dengan mulut tertutup rapat. "Hemmm!"Manajer restoran menghadap menjelaskan apa yang terjadi di depan."Emily, apa wanita itu si rubah licik?" Mata Dayana melebar.Axel dalam mode waspada. Dia memicing tajam dan menajamkan pendengaran menyimak apa yang dibicarakan para orang dewasa itu.Emily menarik nafas beratnya. Bayangan Sean tidur dengan Felisha kembali hadir, tapi tertepis oleh suara Sean."Biar aku yang keluar. Kalian tetap di sini!" David menatap dua wanita itu."Aku ikut, Om. Karena aku juga laki-laki yang harus jaga Mama. Apalagi papa ngg
"Siapa dia, Emily? Kamu ada teman dekat selain kami? Aku cemburu. Apalagi pria! Siapa pria yang mengaku dekat denganmu?" Dayana memicing tak suka.Emily menggeleng. "Aku nggak dekat dengan siapa pun selama ini. Hanya kalian dan ... Erlan! Itu juga kalian yang membawanya. Sekarang pun dia menghilang."Dayana membelalak. "Mungkinkah dia yang datang, Emily? Ehm, ... kamu nggak usah menemuinya. Biar aku saja.""Erlan? Dia ada di sini. Berarti aku harus menyapanya. Aku sudah lama nggak ketemu dan sekarang dia memberi support padaku. Kenapa harus menghindar? Dia nggak bahaya. Ingat, Sean bahkan membuatnya menjauh dariku beberapa kali. Dia pasti sudah jera."Dayana membolakan matanya. "Dengarkan aku! Lebih baik kamu nggak usah ketemu dengannya "Emily terkekeh sambil menepuk bahu Dayana. "Kita ke sana dan sambut dengan baik teman kita itu." Dia melangkah keluar."Yah! Keras kepala!" Dayana menyusul Emily.David dan Axel malah sibuk di depan laptop di pojok kursi pelanggan. Mereka sedang mela
"Bagaimana cara agar Evan hancur? Anaknya juga hancur?! Aku tidak mau mereka mati duluan. Mereka belum pernah merasakan penderitaan seperti yang aku alami." Benny tersenyum kecut menatap luar jendela."Apa Anda berniat untuk mencelakai Sean di luar negeri? Evan sudah menderita dengan penyakitnya. Dia hanya punya satu anak dan jika anak itu hancur maka hancurlah seluruhnya. Tidak ada artinya dia hidup di dunia ini." Salah satu anak buah kepercayaan dan bukan Blade berdiri di belakang Benny."Buat dia kembali ke tanah air dalam keadaan sekarat. Aku mau keluarga Geraldo banjir air mata. Bahkan mereka tak mampu lagi berdiri. Tak mampu menatap nasibnya!" Benny tersenyum smirk."Baik, Tuan. Satu tim telah siap. Anda akan mendapat laporan nanti."Awasi Blade. Dia semakin membuatku ragu. Dia sangat bersemangat jika mendapat tugas soal Sean dan tidak pernah memberiku kepuasan!" Benny mendengkus kesal."Saya sependapat, Tuan. Jika Blade terbukti berkhianat apa ada perintah spontan?" Bawahan yan
Di apartemen David."Tuan David. Saya ingin minta tolong pada Anda dan nona Dayana. Tolong selalu ada di dekat Nyonya Emily dan tuan Axel. Buat mereka selalu tersenyum, itu yang diinginkan tuan kami. Di sini sedang terjadi musibah besar." Salah satu anak buah Sean juga menghubungi David. Dia menceritakan apa yang terjadi.Mata David nanar dengan tangan bergetar. "Lantas bagaimana kondisinya?""Masih ada di ruang operasi. Tolong jangan sampai ada yang tahu. Rahasiakan ini dari siapa pun termasuk kekasih Anda.""Kabari aku soal kondisinya nanti!"Langkah Dayana jelas mendekat, untung obrolan telah terputus."Sayang, Axel menghubungiku. Dia terdengar panik dan sesuatu terjadi pada Emily. Aku disuruh datang kesana sekarang!" David semakin gelisah. "Aku akan mengantarmu!"Mereka segera pergi.***Axel menatap perubahan raut wajah penjaga itu. Seperti sedang bingung merangkai kata atau tidak menemukan jawaban untuk pertanyaan sederhananya."Om, kok diem aja?! Papa kenapa? Kok nggak angkat
Mata Blade membelalak tajam. Teman terbaiknya mengalami kejang-kejang. "Panggil dokter!" teriak Blade. Tubuhnya bergetar. Dia menghempas banyak pikiran buruk yang hinggap."Tuan!" teriak anak buah Sean. Matanya nanar penuh ketakutan.Tanpa teriakan Blade pun, petugas medis langsung berhambur ke ruangan Sean. Dari sekat ruang. Blade dan yang lain hanya bisa menatap apa yang dilakukan dokter. Jelas dokter dan perawat tampak gusar. Tangan Blade mengepal saat dokter meletakkan alat pacu jantung. Monitor jantung dia tatap tajam. "Dasar bodoh! Cepat bangun! Istrimu akan diambil orang!" teriak Blade kesal. Nafasnya memburu.Sekian saat di mana petugas medis bergelut, akhirnya mereka keluar dari ruangan itu.Blade dan anak buah Sean mencegat dokter. Mereka bicara dengan bahasa negara itu "Bagaimana keadaannya dan kenapa dia bisa seperti itu?!" tanya Blade terdengar menyentak.Dokter tidak berani menatap Blade lama-lama. "Ko-kondisi pasien sudah stabil. Tadi hanya efek samping pasca opera
Pagi di kediaman Sean.Dayana dan David telah pergi dahulu mengurus sesuatu. Mereka berencana akan bertemu di restoran nanti."Mama?" "Oma? Mana opa?" Emily dan Axel yang hendak ke rumah mertua malah didahului oleh sang ibu mertua."Kalian mau ke mana? Kenapa Axel tidak memakai seragam, apa bolos sekolah?" Martha sengaja datang pagi untuk menyampaikan pesan suaminya."Kita mau ke rumah Mama ingin bertemu dengan Papa." Emily memeluk Martha."Kenapa Oma datang sendirian?" Axel juga memeluk neneknya."Kita bicara di dalam."Di sofa ruang tengah."Kakekmu tadi pagi dijemput bawahan papamu, Axel. Katanya, masalah di luar negeri sulit diselesaikan. Jadi papamu minta agar kakekmu datang ke sana untuk membantu."Semilir ketenangan menyapu hati Emily dan Axel. Meski dalam hati masih banyak tanya yang mengganjal."Jadinya Papa beneran sibuk banget ya, Oma? Sampai opa saja dipanggil ke sana. Aku jadi pengen nyusul papa. Mau bantuin, tapi takut malah ngerecokin." Axel menghentak nafasnya berat.
"Erlan?" Emily beranjak setelah membaca pesan itu. Dia keluar tanpa ada prasangka apa pun. Sebenarnya dia ingin membatasi diri pada pria lain, tapi Emily membuat pengecualian pada Erlan. Karena Erlan adalah pria yang kecewa atau bisa dikatakan korban kesalah pahaman. Wanita itu berpikir jika rasa cinta itu tidak salah, hanya tidak semua cinta bisa diterima dan terbalaskan.Dayana dan David masih ada urusan, jadi belum tiba. Situasi sangat mendukung untuk sisi Erlan."Nyonya, Anda mau ke mana?" cegat bodyguard."Aku mau melihat beberapa ruang VVIP. Kalian tidak perlu mengawasi ketat. Tidak ada bahaya di restoran ini. Jangan terlalu berlebih-lebihan dan membuat kegaduhan!" Emily melanjutkan langkah.Bodyguard diam tak menjawab. Dia mengawasi langkah Emily dan mengikuti dengan jarak agak jauh. Matanya memicing tajam."Sepertinya Nyonya mau ke ruangan Erlan b*jingan licik itu!" gumam satu bodyguard pada yang lain. Dia bicara lewat earphone."Biarkan saja, kita tetap awasi. Akan aku suruh