Kasihan banget Wirya HAHAHAHA Mata sama telinganya ternodai kerusuhan Adnan sama Suri😭😭😭
"Langsung beresi barang-barang kamu ya, Ri. Semua. Yang perlu kamu bawa ke Jakarta." Suri batal menarik handle pintu karena ucapan Adnan yang terdengar agak mengesalkan karena main perintah-perintah tanpa ada obrolan sebelumnya. Wanita itu memutar tubuh untuk menghadap Adnan yang berdiri di belakangnya dengan kedua tangan bersedekap di dada. "Apa itu maksudnya?" Adnan mengendikkan bahu. "Kita pulang ke Jakarta. Kamu sudah aku beri waktu untuk berpikir dan sekarang waktumu sudah habis." Mulut Suri terbuka karena terperangah. "Kamu menemuiku hanya untuk itu?" Alis tebal pria itu terangkat naik. "Hanya? Jangan memancingku, Ri. Belakangan ini aku sudah sangat bersabar. Berhentilah membuatku pusing. Bisa?" "Nggak," balas Suri yang membuat tatapan Adnan menajam. "Kamu nggak bisa tiba-tiba muncul di hadapanku, ngomel-ngomel, terus nyuruh aku ini itu—" Omelan Suri terhenti karena Adnan tiba-tiba bergerak maju hingga tubuh mereka nyaris bertabrakan. Wanita itu sudah akan melayangkan prot
WARNING!! Ada adegan 18+. Nggak eksplisit, tapi bisa di skip aja kalau nggak nyaman ya --------- "Kenapa harus tengah malam gini, sih, Nan? Andaru pasti akan sangat bingung besok karena terbangun di tempat asing." Suri tak bisa menahan diri untuk bertanya saat pesawat pribadi milik Danuarta Group sudah lepas landas meninggalkan bandara sejak lima belas menit yang lalu. "Sudah kubilang, kan? Mulai besok kita akan sangat sibuk." Adnan mengecek arloji di pergelangan tangannya sekilas dan mendapati waktu sudah beranjak lebih malam dari yang ia perkirakan. Lalu mengoreksi, "Lebih tepatnya hari ini... banyak hal penting yang perlu kita lakukan." "Kita atau kamu?" "Kita, Ri." Adnan bertopang dagu. Tatapannya tertuju lurus pada Suri yang duduk di kursi pesawat—yang lebih menyerupai tempat tidur mini—yang berhadap-hadapan dengannya. Senyum misterius terukir di bibirnya melihat Suri yang masih tampak awas meski waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi. "Sibuk apa?" geram Suri yang
WARNING!! Masih ada adegan 18+. Nggak eksplisit, tapi bisa di skip aja kalau nggak nyaman ya ----- "Aku... nggak masalah melakukannya bersamamu sekarang. Di sini." Terlalu terkejut mendengar pernyataan Suri yang begitu berani, tangan Adnan refleks memberikan remasan ringan di sana—di dada wanita itu yang tetap terlihat menantang meski tubuhnya tertutupi sweater. Memicu erangan lirih dari bibir wanita itu, yang sedikit bengkak karena sisa-sisa perang bibir mereka beberapa saat yang lalu. Adnan berdeham untuk menepis rasa canggung yang tiba-tiba hadir dan segera menguasai diri dengan menarik tangannya dari dada Suri. Sembari tersenyum, ia mencubit pipi Suri yang merona kemerah-merahan. "Kamu hanya boleh mengatakan kalimat berbahaya semacam itu padaku, Ri. Mengerti?" Ada sekelebat kecewa di mata Suri karena Adnan menjauhkan tubuh. Membuat pria itu seketika menyemburkan tawa. Adnan kembali menunduk, lalu menggesekkan pucuk hidungnya ke hidung Suri hingga wanita itu merintih kecil. Ter
WARNING!!! Masih ada adegan 18+. Bisa di skip kalo nggak nyaman yaaa (INI YANG TERAKHIR, JANJI WKWK) ------- "Sentuh aku, Nan. Di mana saja. Please...." Sweater di tangan Adnan terlepas saat pria itu menunduk untuk mengungkung tubuh Suri, lagi. Dari jarak yang begitu dekat, Suri bisa merasakan tatapan penuh damba di mata Adnan. Suri tersenyum senang karena ia tidak gila sendirian. Ia menunggu dengan sabar hingga perlahan-lahan Adnan mengangkat tangan kanannya untuk menyingkirkan anak-anak rambutnya—yang lepek karena keringat—yang menempel di wajah wanita itu lalu menyisipkannya di belakang telinga. Wanita itu tak bisa menahan rintihan sehalus desir angin saat tangan hangat Adnan menyentuh cuping telinganya dengan ringan. Lalu turun perlahan, bermain-main sebentar di leher dan kembali naik ke wajah. Alis yang terukir begitu cantik meski tanpa sentuhan alat-alat make up kekinian. Mata yang menyimpan banyak luka dan tekad kuat untuk bangkit. Hidungnya yang mungil dan membuat Adnan se
'Jakarta. Aku benar-benar kembali,' dengusnya dalam hati Tatapan wanita itu menerawang ke langit ibukota yang gelap dan tak berbintang. Benaknya diserang banyak sekali ingatan yang tumpah tindih tentang kota kelahirannya yang telah bertahun-tahun ia tinggalkan. Dan segala kenangan yang indah maupun yang buruk, yang pernah ia miliki di sana. 'Semoga... ini pilihan yang benar.' Lagi-lagi ia berbisik dari sudut hatinya yang terdalam. Mencoba meyakinkan diri bahwa ia tak salah langkah. Hal-hal menyenangkan yang ia bagi dengan Adnan beberapa saat lalu hanya terasa seperti mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Kepalanya kini dipenuhi oleh berbagai masalah yang telah menunggu di kota itu, yang sepenuhnya membawa dirinya kembali pada kewarasan. "Kenapa, Ri?" Teguran itu memutus lamunan singkat Suri yang masih mematung di pintu pesawat, tepat di ujung tangga. Pandangannya beralih kepada Adnan yang menatapnya dengan raut bertanya. "Nggak papa," balas Suri tersenyum singkat
"Waktuku nggak banyak, Ri. Ayo turun!" Kepala Suri tertoleh ke kiri karena seruan itu dan mendapati pintu mobil di sisinya telah terbuka lebar. Adnan berada di balik pintu, sedikit menundukkan kepala untuk memastikan Suri tidak terus berlarut dalam lamunan kosong. "Kita mau ngapain sih, Nan?" tanya Suri. Sejak Adnan muncul satu jam yang lalu di apartemen untuk menjemputnya, wanita itu sudah dibuat bertanya-tanya ke mana gerangan dirinya akan dibawa pergi. Tetapi Adnan bersikukuh tidak mengatakan apa-apa untuk membunuh rasa penasaran wanita itu. "Nanti aku kasih tahu. Makanya kamu turun dulu. Yuk!" Adnan tersenyum dan mengulurkan tangan. Suri nampak ogah-ogahan, tetapi tangannya terulur juga untuk menyambut tangan Adnan. Lalu keduanya berjalan dengan langkah seirama. Lipatan di kening wanita itu bertambah banyak setelah matanya bertumbukan dengan sebuah plang bertuliskan "QUEEN'S BOUTIQUE" dengan huruf-huruf latin yang terukir cantik pada sebuah toko bercat putih di seberang jalan
"Bapak benar-benar tidak masalah saya tinggal ke Surabaya dua hari?" Adnan mengangguk yakin. Walau kadang agak keteteran karena tidak ada asisten pribadi yang ia percaya selama beberapa minggu terakhir di Jakarta, pria itu masih sanggup menghandle pekerjaan yang dilimpahkan Prabu kepadanya. "Selesaikan saja dulu urusan di sana," balas Adnan tanpa mengalihkan tatap dari berkas yang sedang ia baca. "Yang terpenting adalah memastikan proyek pembangunan panti tidak terbengkalai hanya karena kita mulai sibuk dengan pekerjaan di sini." "Bapak tenang saja." Wirya menjawab dengan mantap. "Saya sudah menunjuk penanggungjawab utama yang dapat dipercaya untuk proyek itu, Pak. Dan saya akan sesekali meninjau progres di sana, tanpa melalaikan tugas saya di sini tentu saja." Adnan tersenyum singkat. Asisten pribadinya benar-benar tak pernah mengecewakannya barang sekalipun. "Sesekali, buatlah kesalahan, Wir!" cetus pria itu ngawur. "Jangan terlalu sempurna dalam mengerjakan sesuatu. Biar saya
"Bu Suri baik-baik saja?" tegur Dina dengan tatapan cemas. "Y-ya?" Suri mengernyit karena posisi Dina yang sedikit membungkuk di hadapannya. Padahal, seingatnya perbedaan tinggi mereka tidak begitu banyak, bahkan dirinya sedikit lebih tinggi dari Dina, tetapi sekarang ia harus mendongak hanya untuk bicara dengan gadis itu. "Mari saya bantu, Bu," Dina menawarkan sembari mengulurkan tangan. Ekspresi di wajahnya tampak semakin khawatir saat uluran tangannya tidak juga bersambut setelah cukup lama. "Kepala Ibu pusing, ya? Kuat berdiri nggak, Bu? Saya panggilkan Pak Adnan saja atau bagaimana?" Suri yang kebingungan karena rentetan pertanyaan itu pun menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, lalu menunduk. Dan ia kaget sendiri melihat tubuhnya ternyata sedang terduduk di lantai di dekat rak sepatu yang berada di depan pintu masuk apartemen. Kedua tangannya mencengkeram kuat celana piyamanya dengan gemetaran. Pertanyaan pertama yang melintas di kepalanya adalah 'mengapa dirinya bisa berada