Setelah mengetahui fakta bahwa Arya telah menghamili Aluna, Abia tidak keluar dari kamar lagi. Perempuan itu mengurung diri di kamar lamanya sebelum sekamar dengan Arya.Abia tidak keluar bahkan sampai pagi. Meski Neo terus menangis dan merengek agar perempuan itu keluar, dia tidak menggubris apalagi mengeluarkan suara sama sekali.Tentu saja Arya khawatir. Istrinya sedang mengandung. Bagaimana bisa perempuan itu tidak makan seharian? Meski janin di dalam perut istrinya bukan darah dagingnya sekali pun, Arya tetap khawatir jika sampai terjadi sesuatu padanya.Tok ... tok ... tok ...."ABIA!"Arya mengetuk pintu kamar Abia untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, tidak ada sahutan. Arya sedikit khawatir perempuan itu melakukan hal nekat atau melukai dirinya sendiri di dalam sana.Dia harus tahu apa Abia masih baik-baik saja di dalam atau tidak."Hei, kau masih di dalam, kan? Tolong jangan kekanakan, Abia! Keluarlah untuk makan, Neo juga terus mencarimu dari kemarin. Apa kau tidak kasihan
Arya terbangun oleh teriakan Neo yang terus memanggil Mamanya. Pria itu lantas bangkit dan keluar melihat sang putra."BIYA! BIYA DI MANA? BIYA DI MANA, BIBI?" teriak bocah sipit itu sambil menangis meraung di ruang tengah.Arya segera turun dan menarik kerah belakang baju tidur Neo. "Hei, kenapa kau menangis pagi-pagi?!" kesal pria itu membuat Neo terdiam dan menoleh."Daddy ... Biya tidak ada. Dia tidak ada di mana-mana. Carikan, Biya!" rengek bocah itu kali ini pada Ayahnya.Arya mengerjap. "Bukannya Biya ada di kamar lamanya?" tanya pria itu lagi."Tidak ada. Aku sudah mencarinya ke kamar Daddy juga, tapi Biya hilang. Aku mau Biya, Daddy!" Bocah itu terus merengek membuat Arya ikut kebingungan.Pria itu segera berlari menaiki tangga. Kemungkinan-kemungkinan paling buruk mulai berkeliarann di kepala. Begitu mengecek ke setiap penjuru rumah dan tidak menemukan sang istri di sana, Arya menyabet kunci mobil di kamar kemudian berlari keluar rumah."Bi Lily! Aku titip Neo, bantu dia ber
'Enam bulan kemudian ....'"Abia, kau sudah selesai menggorengnya?" tanya Daisy. Salah satu tetangga yang selama ini membantu Abia menjual gorengannya.Abia yang masih berdiri di depan tungku, kontan menoleh dan tersenyum tidak enak pada perempuan yang menyusulnya ke dapur kecilnya itu. Dia segera menarik sebuah kursi kayu kecil dan menyodorkan untuk Daisy."Maaf, Bi. Aku baru selesai menggoreng hanya senampan besar yang itu. Tadi perutku sakit, jadi aku istirahat sebentar. Baru bisa menggorengnya tadi," jelas Abia merasa bersalah.Daisy menghela napas berat. "Kandunganmu sudah besar. Dua bulan lagi kau akan melahirkan. Aku bisa meminjamkanmu uang jika kau khawatir tidak punya cukup biaya untuk melahirkan, meski uangku tidak seberapa sih. Tapi, aku yakin cukup dengan tabunganmu selama ini, kan? Jadi, jika kau merasa kuwalahan, kau bisa berhenti bekerja dulu," ucap perempuan tua itu yang hanya dibalas Abia dengan senyuman."Aku memang sudah menyiapkan biaya untuk kelahiran bayiku, Bi.
"Kali ini ada perkembangan apa saja?" tanya Arya pada beberapa pegawai yang hari ini menghadiri rapat."Seperti biasa, Pak. Minggu ini kami---""Apa 'seperti biasa' itu bisa disebut perkembangan? Aku tidak ingin mendengarnya." Arya memotong cepat.Satu ruangan kompak terdiam. Beberapa kepala divisi kompak saling melirik dengan panik dan takut. Sepertinya, mereka akan dimarahi lagi kali ini."Kami sudah akan mulai syuting hari ini untuk drama terbaru Keanu, Pak. Lokasi syutingnya juga masih baru, belum ada yang melakukan syuting di sama sebelumnya." Lintang bersuara. Tidak ingin membuat CEO galak itu meledakkan amarahnya hari ini.Arya Januar Malik itu ... menyeramkan sekali!"Kirimkan aku lokasinya!" perintah Arya tegas."Hah? Untuk apa, Pak?" tanya Rindi menimpali."Aku akan memantau lokasinya. Sekaligus melihat proses syuting di sana hari ini. Aku harus tahu apa kalian bekerja keras untuk project ini atau tidak," jawab Arya yang mendadak membuat anggota rapat di sana menahan napas.
“Kau sudah sadar?” Pertanyaan dengan nada luar biasa lega itu menyapa indra pendengaran Abia. Perempuan itu mengerjapkan mata pelan. Mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Seketika, rasa nyeri menghinggapi kepala dan perut bagian bawahnya. Membuat Abia meringis dan merintih kesakitan.“Apa kau kesakitan? Sebentar, akan segera kupanggilkan Dokter,” jelas pria itu yang diangguki Abia pasrah.Beberapa saat kemudian, seorang dokter cantik yang sudah sangat Abia kenali memeriksa keadaan Abia. Saat Dokter Cintya meraba bagian perutnya, barulah perempuan itu tersadar sesuatu. Abia kontan meraba perutnya sendiri guna memastikan.“K-kenapa perutku jadi rata? Apa aku sudah melahirkan? Lalu ... mana putraku, Cintya?” tanya Abia beruntun.Cintya kebingungan harus menjawab apa. Jadi, meminta bantuan Arya untuk menjelaskan kepada perempuan itu adalah yang terbaik. “Mas, mana bayiku? Aku pasti sudah melahirkan? Kenapa sepupumu itu tidak mau mengatakan apa pun? Apa kau yang membuang anak
Abia memandangi langit-langit ruang rawatnya kosong. Dia sebenarnya tahu, Keanu menunggunya di luar sana. Tapi, ia juga sudah berpesan untuk jangan membiarkan siapapun masuk ke ruangannya kepada perawat dan penjaga di luar.Jadi, sampai sekarang perempuan itu masih sendirian. Abia tidak ingin bertemu siapapun untuk saat ini. Dia tidak bisa."Aku seharusnya tidak bekerja terlalu keras. Aku sudah membunuhnya. Aku sudah membunuh anakku sendiri," gumam perempuan itu masih saja menyalahkan diri sendiri.Abia tidak mempedulikan panggilan Keanu yang sedari tadi terus memanggilnya dari luar. Dia hanya ingin sendirian sekarang."Ini bukan salah Mas Arya, ini salahku. Ini jelas salahku karena tidak bisa menjaga anakku sendiri. Aku memang tidak pantas memiliki anak," cerca Abia yang kali ini mulai menangis lagi.Sudah sekitar tiga hari Abia dirawat di sini. Sejak kemarin, sebenarnya ada Neo juga yang menunggunya di luar. Sayangnya, perempuan itu tidak tahu dan tidak mau mendengar apa pun.Neo ya
Awalnya, Arya tidak pernah tahu pengaruh Neo akan sebesar ini. Tapi, begitu mendapati Abia kali ini memasuki rumahnya dengan digendong Keanu, pria itu tersenyum senang."Kau pulang?" tanya Arya memastikan yang hanya dibalas Abia dengan pelengosan malas.Menyadari situasi tidak menyenangkan antara kedua pasangan yang masih berstatus suami istri itu, Keanu melirik pada Neo. Bocah yang tampak tersenyum tak kalah lebar dari Ayahnya itu lah yang menjadi alasan terbesar Abia untuk pulang ke sini tadi."Hei, sekarang Biya-mu sudah pulang. Jadi sekarang kau bisa menurut saat disuruh mandi, kan? Cepat mandi sana!" usir Keanu yang dibalas Neo dengan anggukan semangat."Siap, Om! Tapi, jangan biarkan Biya kabur dan pergi lagi, ya? Sekarang kan dia sudah pulang," jawab bocah sipit itu sambil menyengir lebar membuat matanya tidak terlihat.Abia terkekeh geli melihat kelakuan sang putra. "Aku tidak tahu dia akan sesenang itu hanya karena kepulanganku," gumam Abia sambil memandangi punggung Neo yang
"Makanlah yang banyak! Kau harus lebih gemuk sedikit. Biya tidak bisa melihatmu kurus begini," titah Abia tegas yang diangguki Neo semangat.Bocah itu memakan nasi gorengnya sambil menyengir lebar. Terlihat terlalu tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan di raut wajah juga pancaran matanya."Nasi goreng Biya ternyata selalu enak. Aku sangat menyukainya. Aku pasti makan yang banyak asal Biya yang masak," puji bocah sipit itu yang dibalas Abia dengan senyuman.Pagi ini, Abia kembali ke rutinitas awalnya. Perempuan itu memasak sarapan untuk Neo dan Arya."Kau tahu? Pagi saat kau menghilang dari rumah, dia panik mencarimu. Neo tidak ingin makan, tapi begitu melihat sisa nasi goreng buatanmu sebelumnya, dia makan dengan nasi goreng yang sudah hampir kering itu." Arya bercerita yang seketika membuat Abia dan Neo diam."Aku ingat, malam itu Biya memintaku untuk makan nasi gorengnya Biya. Tapi aku menolak karena mengantuk. Aku tidak tahu itu adalah nasi goreng terakhir yang Biya masakkan untukk
"Loh, Naya mana, Neo? Bukankah kau pergi menjemputnya tadi?" Abia bertanya bingung begitu melihat putranya pulang tanpa sang istri lagi.Neo menoleh pada sang Mama dengan helaan napas berat. Dia sedang tidak ingin membahas perempuan itu sekarang. Kepalanya terasa hampir meledak karena bimbang."Jangan bilang kau hanya pergi menemui Nara?" tebak Abia lagi begitu teringat kebiasaan putranya.Bukannya menjawab, perempuan itu malah menghela kasar sebelum kemudian beranjak menuju tangga rumah. Tapi, belum sampai tangga pertama, pria itu meringis sakit begitu punggungnya terhantam sesuatu."Argh!" erang pria sipit itu kesakitan sambil memandangi sandal jepit rumahan yang tiba-tiba dilempar Arya."Kau sudah merasa begitu besar sehingga berani mengabaikan pertanyaan Mamamu?" tanya sang ayah dengan wajah mengeras karena amarah.Seketika, Neo bergidik takut. Sadar bahwa kelakuannya memancing emosi pria galak yang begitu menyayangi istrinya tersebut."Maaf, Daddy." Neo menyahut lirih."Minta maa
Neo tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Tapi, menyadari kekhawatirannya pada Naya justru lebih besar ketimbang pada Nara membuat pria itu kesal luar biasa. Dia merasa buruk. Secara tidak langsung, pikirannya sudah berpaling dan selingkuh dari sang kekasih---Nara. Seharusnya, Neo lebih memikirkan keadaan Nara yang masih berada di rumah sakit sekarang.Bukan malah bertanya-tanya ada di mana Naya sekarang dan apakah perempuan itu sudah makan. Neo ingin mencoba memaklumi dan berpikir bahwa kekhawatirannya tidak lebih karena perempuan itu tengah mengandung anaknya.Hanya saja ... tetap saja semuanya terasa salah. Neo seharusnya tidak perlu peduli seberlebihan ini pada perempuan menyebalkan itu."Nak, kau tidak menjemput istrimu? Dia belum pulang juga sampai sekarang," tanya Abia sambil membuka pintu kamar sang putra pagi ini.Neo menoleh sejenak sebelum kemudian menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan selimut. Tidak ingin mendengar pembahasan apa pun tentang perempuan yang sial
Abia mengernyit heran begitu mendapati putranya pulang sendiri tanpa sang istri. Pria itu juga tampak kesal entah karena apa membuat mulut Abia gatal untuk bertanya.“Mana istrimu? Kenapa kau hanya pulang sendiri?” tanya Arya yang malah mewakili pertanyaan di dalam hatinya.“Kutinggal di rumah sakit bersama Om Bintang,” jawab Neo santai sambil segera duduk di samping sang Mama yang juga duduk di sofa ruang tengah.Pria sipit itu mengambil tempat di antara Daddy dan Mamanya. Membuat Arya yang kesal karena makhluk itu menghalanginya berdekatan dengan sang istri, segera menggeplak lengan Neo.“Kenapa kau tidak mengajaknya pulang bersamamu?” tanya Abia cepat.“Istri kurang ajar seperti dia seharusnya memang dibiarkan saja. Kenapa aku harus repot-repot membawanya pulang?” jawab Neo sensi yang kontan saja membuat Abia melotot tidak terima.Baru saja akan melayangkan pukulan pada punggung putranya, rupanya lagi-lagi sang suami lebih dulu mendaratkan pukulan pada punggung pria sipit itu. Sua
Neo kembali ke rumah sakit dengan perasaan kesal yang tergambar jelas di raut wajahnya. Pria itu terus mendengkus sebal sambil menendang bangku besi di lorong sesekali. Hal itu tentu saja langsung disadari oleh Arya yang juga duduk menunggu di luar. Membiarkan sang istri dan besannya sibuk dengan Nara yang baru saja sadar di dalam ruang rawat.“Kau kenapa? Bertengkar dengan Naya? Kendalikan dirimu! Jangan sampai Ayah mertuamu melihat kelakuanmu!” tegur Arya yang hanya dibalas Neo dengan dengkusan.“Bagaimana aku tidak kesal, Daddy?! Tadi sebenarnya dia menelepon dan bilang sakit perut, makanya aku segera pulang. Tapi karena takut membuat kalian khawatir, aku tidak memberitahu lebih dulu. Saat sampai rumah, aku memberikannya obat dan makanan. Tapi setelah itu dia malah marah-marah dan malah mengusirku. Apa yang salah dengan pemikirannya? Kenapa dia begitu sensitif?!” Neo mengomel panjang lebar yang anehnya malah dibalas Arya dengan kekehan geli.“Jangan terlalu marah. Para perempuan, a
Begitu mendapati panggilan telepon dari sang istri, Neo segera bergegas pulang ke rumah. Begitu ditanya oleh Arya dan Bintang, pria itu hanya bilang ingin mengabari Naya bahwa mereka semua ada di sana.Tentu saja Neo tidak ingin membuat sang mertua juga orang tuanya bertambah panik. Berita tentang kecelakaan yang dialami Nara tadi saja sudah cukup menggemparkan mereka.Sambil menjalankan mobil lumayan cepat, Neo kembali menghubungi Naya lewat telepon. Tapi, hingga percobaan panggilan kelima sekali pun, perempuan itu tidak juga mengangkat teleponnya.Membuat Neo bertambah panik dan kembali menambah laju kendaraan roda empatnya. Dia tidak tahu kenapa dia sepanik ini. Tapi yang jelas, dia uanya ingin memastikan keadaan sang istri sekarang.Perasaan Neo benar-benar tidak tenang. Pria itu bahkan sejenak melupakan Nara yang tadi masih berada di rumah sakit dengan tubuh dipenuhi luka akibat kecelakaan."Apa susahnya mengangkat teleponku sekali saja? Ck ... dia memang sangat menyebalkan! Ken
Begitu terbangun dari tidurnya, Naya segera beranjak menuju dapur guna mengambil minum. Entah sudah berapa lama dia tertidur. Yang jelas, rupanya hari sudah gelap dan rumah sudah sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Entah kemana semua saja orang itu pergi. Atau mungkin, mereka malah sudah masuk tidur ke kamar? Tapi, kenapa tadi dia tidak menemukan Neo di kamar mereka?Begitu melirik jam dinding, rupanya sudah pukul 12 malam. Perempuan itu lupa menaruh hp-nya di mana, jadi Naya memilih duduk sejenak di sofa ruang tengah.Sejenak, perempuan itu menghela berat begitu teringat tadi siang Ayahnya sempat ke sini. Tapi, bisa-bisanya Naya malah tidur bukannya berbincang banyak dengan sang Ayah. Padahal, ada banyak sekali hal yang sangat ingin Naya ceritakan pada pria itu seperti biasanya."Eh, Non Naya sudah bangun?" Bi Wati---salah satu pembantu di rumah itu, menyapa Naya yang dibalas perempuan itu dengan senyum ramah."Iya, Bi. Aku sepertinya tidur terlalu lama, hehe." Naya menjawab kikuk
Setelah menidurkan Naya di kamar mereka, Neo segera turun menuju lantai bawah. Begitu tidak menemukan kehadiran Nara di sana, pria itu mengernyit bingung."Nara ke mana?" tanya pria sipit itu yang dibalas Abia dengan gendikan bahu tidak peduli."Dia tiba-tiba bilang ingin pulang tadi. Tapi karena Ayah ingin bertemu Naya dulu, jadi Ayah tidak ikut dan membiarkan saja dia pulang duluan." Bintang menjawab yang diangguki Neo mengerti.Seingatnya, tadi perempuan itu lah yang paling semangat ke sini. Kenapa tiba-tiba Nara malah meminta pulang begini? Bahkan tanpa pamit lebih dulu pada Neo."Kalau begitu ... ayo kita makan!" ajak Abia pada sang suami, anak juga besannya.Neo dan Bintang menggeleng bersamaan. "Nanti saja, kita tunggu Naya bangun tidur. Lagipula, ini juga masih belum jam makan siang, kan?" sahut Neo yang diangguki Bintang setuju."Aku juga akan makan bersama Naya saja. Sudah lama aku tidak makan bersamanya," gumam Bintang sedikit berlebihan.Karena biasanya, Naya bahkan hanya
Setelah membantu Neo bersiap-siap tadi, Naya kembali masuk ke kamar. Perempuan itu ingin ikut membantu Abia membereskan rumah sebenarnya. Tapi, entah kenapa, tubuhnya terasa letih luar biasa.Padahal, dia hanya melakukan sedikit olahraga bersama Arya tadi. Iya, bagi Naya yang seorang atlet bulutangkis nasional, itu adalah latihan paling sederhana yang pernah ia lakukan.Naya bahkan tidak pernah melompat karena takut. Dia juga tidak terlalu banyak berlari karena Neo terus berteriak dan memperingatinya untuk hati-hati. Rasanya menyebalkan begitu menyadari gerakannya terlalu banyak dibatasi.Tapi kali ini, dia sadar kemampuannya memang sudah tidak seperti dulu lagi. Naya merasa lelah terlalu cepat. Hanya karena beberapa aktivitas ringan, perempuan itu mulai letih dan ingin segera beristirahat sekarang."Kenapa para perempuan begitu mendambakan hamil? Padahal ... ini sangat tidak menyenangkan," gumam Naya tidak habis pikir.Perempuan itu sudah akan berbaring kalau saja suara Abia yang mem
Selesai beristirahat sebentar, Naya memutuskan untuk bermain bulutangkis lagi. Tentu saja setelah perdebatan panjang lebar dengan si cerewet Neo."Kau tidak mau berhenti? Lihat wajah suamimu sudah semenyeramkan itu," tanya Arya di sela permainan seru mereka.Sedari tadi, pria sipit itu memang duduk menunggu di sisi area permainan sambil terus melotot pada sang istri. Naya yang dipelototi tentu saja tidak merasa sama sekali. Sebab jika sudah terlalu fokus pada permainannya, perempuan itu tidak akan memperhatikan hal lain lagi."Biarkan saja, Yah. Dia memang selebay itu," jawab Naya santai yang hanya dibalas Arya dengan kekehan kecil.Pria itu juga bermain dengan kelewat fokus melawan sang menantu. Meski hanya mengeluarkan sebagian kecil kemampuan bermainnya, pukulan yang dilayangkan Naya begitu berbahaya.Perempuan itu juga jarang sekali 'error'. Bidikan-bidikannya pun tepat dan cepat membuat Arya tidak bisa menjangkau dan menebak ke mana bola tersebut diarahkan.Sejujurnya, bermain de