“I-ibu yakin?” Aretha yang tertegun langsung menyahut dengan terbata-bata.Dirinya baru pertama kali melihat Pineti bertekad sekeras ini. Sosok yang biasanya pandai menyembunyikan kedongkolan di balik topeng lembut seorang ibu, nyatanya memiliki sisi lain yang begitu mengerikan.Bahkan kala mendapati sang putri menciut karena ultimatumnya, Pineti tak gentar sedikit pun.“Mengapa? Apa kau meragukan Ibu?” tukas wanita paruh baya tersebut melirik tajam.Kelopak mata Aretha berkedip buncah. “Bu-bukan seperti itu, Ibu. Ibu lihat sendiri, Kak Anais sekarang semakin berani. Bahkan di sampingnya ada cucu pertama Tuan Hans!”Deretan kalimat anaknya sekejap membuat Pineti mengernyitkan keningnya. Tatapannya yang berubah lekat seolah menerka-nerka apa maksud Aretha.Tanpa menunggu sang ibu menguarkan tanya, Aretha lekas berkata, “Ibu tahu ‘kan? Jade-pria yang muncul di acara keluarga dulu, dan pernah berselisih dengan Ibu saat acara pertunanganku? Dia adalah Cucu pertama Tuan Hans!”Sontak iris
Sosok wanita yang tengah membuat Jade gelisah, rupanya tengah dibakar masalah. Ya, pertemuannya dengan sang investor kemarin malam, memacu kepalanya nyaris meledak.‘Mengapa Tuan Feanton baru mengatakan semuanya sekarang? Bahkan di antara para penanam modal, dia-lah yang paling lama mengenal Ibu, bahkan dekat juga dengan Ayah. Aku benar-benar tidak mengira jika ….’Anais menghentikan gemingnya dalam hati, kala mendengar suara ketukan dari pintu ruangannya. Dia buyar dari lamunan peliknya.Dengan iris menggulir ke arah ambang tersebut, dirinya pun berkata, “masuklah.”“Ada apa, Nyonya Velma?” tanya Anais yang melihat wajah gelisah pegawainya tersebut.Lawan bincangnya ragu-ragu, tapi dia tak bisa menyembunyikan laporan ketika sudah beranjak menemui Anais di ruangan tersebut.“Maaf, Nona. Saya baru saja menerima panggilan telepon dari Seniman Cosseno. Beliau bilang ….” Velma sungguh tak kuasa melanjutkan kata-katanya.Dan tingkahnya itu semakin membuat penasaran meluap di benak Anais.“
Velma hanya menanggapi pertanyaan Eldhan dengan senyuman, tapi bibirnya yang tertarik ke atas itu menyiratkan beragam persepsi. “Keputusan ada di tangan Tuan Eldhan. Anda lebih mengenal Nona Anais dibanding saya. Jadi saya yakin Anda tahu yang terbaik untuknya.” Velma yang menjawab ambigu pun berlalu usai menundukan kepalanya dengan hormat. Meninggalkan Eldhan yang kini mematung di tempatnya. Bahkan ketika derap langkah Velma kian menjauh, dia tetap berdiri seperti lelaki bodoh yang tak tahu diri. ‘Apakah aku seegois itu hanya karena menyukaimu, Anais?’ batinnya dalam hati. Namun, tanpa sadar nalurinya membawa kakinya melangkah hingga ke tempat sang wanita. Kebetulan, pintu ruangan tersebut terbuka selebar intipan mata, hingga Eldhan bisa melihat sosok Anais yang tampak berkelit dengan dokumen di mejanya. Saat itu, dirinya mengerti alasan Velma melarangnya menemui Anais. ‘Mungkin semua ucapan Nyonya Velma memang benar.’ Eldhan bergeming dalam diam. Rasa rendah diri membuatnya me
Anais terhuyung dan nyaris jatuh, tapi beruntung tangannya berpegang erat pada dinding hingga dia bisa menyeimbangkan tubuhnya. Akan sangat konyol jika dirinya ambruk ke lantai atau kemungkinan paling buruk ditangkap oleh Denver. “Sialan! Apa yang terjadi di sini?!” sentak Denver memaki-maki. Lampu yang mati pun menjadikan suasana gelap, dan itu membuat napasnya mulai sesak. Dia menggedor-gedor pintu elevator tersebut, tangannya juga ricuh menekan tombol bantuan untuk berkomunikasi dengan petugas. Namun, agaknya semua sia-sia. Listrik yang tak berfungsi hanya menambah kekesalannya semakin membumbung. “Berengsek! Di mana para petugas?! Apa mereka semua tidak tahu jika aku ada di sini, hah?!” berangnya meninju ambang lift tersebut. Emosinya memuncak, jarinya bergerak liar melonggarkan pangkal dasinya yang terasa mencekik. “Dasar, orang-orang tak berguna!” pungkasnya penuh umpatan. Sementara Anais yang melihat tingkah Denver, hanya membungkam jijik di sudut. ‘Haruskah dia bersikap
“Maaf? Anda siapa?” Kening Anais mengerut penasaran.Dirinya belum pernah sekalipun melihat sosok lelaki tinggi besar dengan wajah seberingas itu. Ya, figurnya bukan seperti kebanyakan orang yang sering dia temui.“Mengapa Anda ada di sini?” tukas Anais melanjutkan tanya.Alih-alih memberi penjelasan, lelaki dengan air muka garang itu justru memamerkan seringai mengerikan. Dan reaksi tersebut memacu kabut resah menyelubungi Anais.“Bukankah Anda ke tempat ini untuk bertemu seseorang?” balas lelaki tadi seraya melangkahkan kakinya mendekati Anais.Seketika, sang wanita pun mundur karena tatapan lawan bincangnya bukanlah sorot yang biasa.Dengan wajah tegangnya, Anais pun menyambar, “di mana Tuan Cooper?”Nadanya yang tegas, tiba-tiba memicu gelak tawa lelaki di depannya. Dia terbahak-bahak seakan mengejek Anais yang tampak konyol.Tanpa menguarkan sepatah kata, laki-laki itu terus mengikis jarak dengan sang wanita. Sungguh, gerak-geriknya yang mencurigakan langsung membuat Anais kian m
Suasana dalam lift yang hanya ada Anais dan Jade, terasa sangat canggung. Udara di antara keduanya seperti membeku karena tak ada satu pun yang membuka suara. Akan tetapi, Anais tak bisa bungkam saja usai mengetahui tingkah Jade yang hanya diam menonton seseorang yang nyaris sekarat. “Mengapa Anda melakukannya? Bagaimana bisa Anda begitu tenang saat ada orang yang hampir mati di depan Anda?!” sungut Anais tanpa melihat pria di sampingnya. Jade semula tak ingin membahas perkara ini, tapi agaknya Anais terkejut karena dirinya baru saja menginjak ujung jurang kematian. Walau akhirnya dia selamat, tapi sensasi merinding masih melekat di punggungnya. “Saya hanya akan bertindak untuk orang-orang yang saya inginkan.” Nada Jade terdengar dalam, tapi juga menekan. Anais yang mendengarnya pun otomatis menyernyitkan dahinya. Jika ditilik kembali, bukankah Jade tak segan bergerak setiap kali dirinya dalam situasi sulit? ‘A-apa maksud pria ini sebenarnya?’ Anais membatin getir. Rasa kering m
“Apapun yang kau lakukan, sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Karena itu, jangan pernah mengaitkannya padaku, sebab aku sangat muak hanya dengan melihatmu!” Setelah sekian lama dan untuk pertama kalinya, Leah sudi membuka suara di depan sang putra. Ya, dirinya yang terbiasa menganggap Jade tak ada, kini seakan menegaskan bahwa dia tak ingin diusik. “Sayang sekali, Ibu. Ke depannya Ibu akan sering bertemu dengan saya. Jadi Ibu harus terbiasa!” sahut Jade yang sengaja memprovokasi. Leah tak melirik sedikit pun, tapi seringai keji yang tersebar di bibir tipisnya cukup untuk mengiaskan rasa jijiknya. Dia segera melenggang pergi dengan lahar api meledak dalam dadanya. ‘Teruslah bermimpi!’ dengusnya membatin. Dirinya mengenakan kacamata hitam dan melanjutkan dengan sengit. ‘Menginjaknya di awal, tidak akan menyenangkan. Namun, ketika anjing liar itu terlalu percaya diri jika dia akan naik ke atas, itulah saat yang tepat untuk menjatuhkan dan menindasnya!’ Sungguh, bukankah hara
‘Sialan! Bagaimana mungkin orang suruhan Ibu gagal menghabisi Kak Anais?!’ Aretha memaki dalam batin. Dirinya menilik Pineti yang tertegun karena mendapat sarkasan dari Anais, dan itu membuatnya amat kepanasan. Anais mengisi gelasnya dengan sampanye. Namun, sampai cairan itu meluap melebihi kapasitas wadah, Anais terus menuangkannya seraya memaku tatapan tajam pada Pineti. “Apa Kak Anais sudah gila?!” sentak Aretha yang tak habis pikir dengan kelakuannya. Sang lawan bincang sengaja tak mendengar, dia tetap mengucurkan sampanye itu hingga tak tersisa satu tetes pun. “Apa kau sudah kehilangan akal?!” Akhirnya Pineti buka suara. Dirinya yang masih bersantai di sofa dengan segelas anggur putih di tangannya, tampak ingin mengunyah anak angkatnya tersebut. Dengan wajah datar, Anais meletakkan botol kosong itu di meja. Kakinya bertumpu di tungkainya yang lain sembari menyahut tegas. “Ibu kesal karena sampanye ini?! Haruskah saya memberikan sebotol sampanye yang baru? Tapi bagaimana, y