Anais terhuyung dan nyaris jatuh, tapi beruntung tangannya berpegang erat pada dinding hingga dia bisa menyeimbangkan tubuhnya. Akan sangat konyol jika dirinya ambruk ke lantai atau kemungkinan paling buruk ditangkap oleh Denver. “Sialan! Apa yang terjadi di sini?!” sentak Denver memaki-maki. Lampu yang mati pun menjadikan suasana gelap, dan itu membuat napasnya mulai sesak. Dia menggedor-gedor pintu elevator tersebut, tangannya juga ricuh menekan tombol bantuan untuk berkomunikasi dengan petugas. Namun, agaknya semua sia-sia. Listrik yang tak berfungsi hanya menambah kekesalannya semakin membumbung. “Berengsek! Di mana para petugas?! Apa mereka semua tidak tahu jika aku ada di sini, hah?!” berangnya meninju ambang lift tersebut. Emosinya memuncak, jarinya bergerak liar melonggarkan pangkal dasinya yang terasa mencekik. “Dasar, orang-orang tak berguna!” pungkasnya penuh umpatan. Sementara Anais yang melihat tingkah Denver, hanya membungkam jijik di sudut. ‘Haruskah dia bersikap
“Maaf? Anda siapa?” Kening Anais mengerut penasaran.Dirinya belum pernah sekalipun melihat sosok lelaki tinggi besar dengan wajah seberingas itu. Ya, figurnya bukan seperti kebanyakan orang yang sering dia temui.“Mengapa Anda ada di sini?” tukas Anais melanjutkan tanya.Alih-alih memberi penjelasan, lelaki dengan air muka garang itu justru memamerkan seringai mengerikan. Dan reaksi tersebut memacu kabut resah menyelubungi Anais.“Bukankah Anda ke tempat ini untuk bertemu seseorang?” balas lelaki tadi seraya melangkahkan kakinya mendekati Anais.Seketika, sang wanita pun mundur karena tatapan lawan bincangnya bukanlah sorot yang biasa.Dengan wajah tegangnya, Anais pun menyambar, “di mana Tuan Cooper?”Nadanya yang tegas, tiba-tiba memicu gelak tawa lelaki di depannya. Dia terbahak-bahak seakan mengejek Anais yang tampak konyol.Tanpa menguarkan sepatah kata, laki-laki itu terus mengikis jarak dengan sang wanita. Sungguh, gerak-geriknya yang mencurigakan langsung membuat Anais kian m
Suasana dalam lift yang hanya ada Anais dan Jade, terasa sangat canggung. Udara di antara keduanya seperti membeku karena tak ada satu pun yang membuka suara. Akan tetapi, Anais tak bisa bungkam saja usai mengetahui tingkah Jade yang hanya diam menonton seseorang yang nyaris sekarat. “Mengapa Anda melakukannya? Bagaimana bisa Anda begitu tenang saat ada orang yang hampir mati di depan Anda?!” sungut Anais tanpa melihat pria di sampingnya. Jade semula tak ingin membahas perkara ini, tapi agaknya Anais terkejut karena dirinya baru saja menginjak ujung jurang kematian. Walau akhirnya dia selamat, tapi sensasi merinding masih melekat di punggungnya. “Saya hanya akan bertindak untuk orang-orang yang saya inginkan.” Nada Jade terdengar dalam, tapi juga menekan. Anais yang mendengarnya pun otomatis menyernyitkan dahinya. Jika ditilik kembali, bukankah Jade tak segan bergerak setiap kali dirinya dalam situasi sulit? ‘A-apa maksud pria ini sebenarnya?’ Anais membatin getir. Rasa kering m
“Apapun yang kau lakukan, sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Karena itu, jangan pernah mengaitkannya padaku, sebab aku sangat muak hanya dengan melihatmu!” Setelah sekian lama dan untuk pertama kalinya, Leah sudi membuka suara di depan sang putra. Ya, dirinya yang terbiasa menganggap Jade tak ada, kini seakan menegaskan bahwa dia tak ingin diusik. “Sayang sekali, Ibu. Ke depannya Ibu akan sering bertemu dengan saya. Jadi Ibu harus terbiasa!” sahut Jade yang sengaja memprovokasi. Leah tak melirik sedikit pun, tapi seringai keji yang tersebar di bibir tipisnya cukup untuk mengiaskan rasa jijiknya. Dia segera melenggang pergi dengan lahar api meledak dalam dadanya. ‘Teruslah bermimpi!’ dengusnya membatin. Dirinya mengenakan kacamata hitam dan melanjutkan dengan sengit. ‘Menginjaknya di awal, tidak akan menyenangkan. Namun, ketika anjing liar itu terlalu percaya diri jika dia akan naik ke atas, itulah saat yang tepat untuk menjatuhkan dan menindasnya!’ Sungguh, bukankah hara
‘Sialan! Bagaimana mungkin orang suruhan Ibu gagal menghabisi Kak Anais?!’ Aretha memaki dalam batin. Dirinya menilik Pineti yang tertegun karena mendapat sarkasan dari Anais, dan itu membuatnya amat kepanasan. Anais mengisi gelasnya dengan sampanye. Namun, sampai cairan itu meluap melebihi kapasitas wadah, Anais terus menuangkannya seraya memaku tatapan tajam pada Pineti. “Apa Kak Anais sudah gila?!” sentak Aretha yang tak habis pikir dengan kelakuannya. Sang lawan bincang sengaja tak mendengar, dia tetap mengucurkan sampanye itu hingga tak tersisa satu tetes pun. “Apa kau sudah kehilangan akal?!” Akhirnya Pineti buka suara. Dirinya yang masih bersantai di sofa dengan segelas anggur putih di tangannya, tampak ingin mengunyah anak angkatnya tersebut. Dengan wajah datar, Anais meletakkan botol kosong itu di meja. Kakinya bertumpu di tungkainya yang lain sembari menyahut tegas. “Ibu kesal karena sampanye ini?! Haruskah saya memberikan sebotol sampanye yang baru? Tapi bagaimana, y
‘Disita?!’ Velma tersentak dalam hati.Beruntung ucapannya itu tidak tersiar terang. Dirinya yang baru saja masuk ke ruang pertemuan dengan menyangga nampan minuman untuk Anais, sontak tertegun ketika mendengar warta mengejutkan dari pihak Saint Morena Bank.‘Tidak mungkin ‘kan? Itu mustahil!’ tuturnya mengelak dalam batin.Namun, mendapati ketegangan dan udara yang terasa membeku di tempat tersebut, Velma sungguh tak bisa menampik fakta.“Baik, saya mengerti. Tuan sekalian tenang saja, kami pasti akan memenuhi kewajiban Dante’s Gallery pada Saint Morena Bank,” tutur Anais memecah sunyi.Dirinya berlagak setegar karang, sungguh tak ingin menampakkan secuil kelemahannya pada orang lain.Dengan tatapan tegas, salah seorang lelaki di depan Anais pun menyahut, “syukurlah Nona Anais bisa bekerja sama. Kami harap Anda menepati janji, dengan begitu pihak Saint Morena Bank bisa tetap mendukung acara amal Dante’s Gallery setiap tahun seperti biasa.”Sungguh, dari kata-katanya tersebut, lelaki
“Kak Anais?” Aretha mencetus dengan nada cibiran.Maniknya menatap sinis seraya melanjutkan. “Untuk apa Kakak datang ke kantor Ayah?”Anais yang sengaja menemui Tigris sampai ke DV Group untuk menghindari ibu dan adik angkatnya, malah bertemu dengan Aretha di sini. Bahkan sialnya, Denver pun bersamanya.“Masuklah, Anais,” tutur Tigris yang duduk di sofa berseberangan dengan putri dan calon menantunya.Namun, kaki Anais seperti tertuang lem, terasa amat berat untuk melangkah. Tidak mungkin juga dirinya membahas masalah peliknya ketika pasangan biadab itu ada di depannya.“Ah, sepertinya saya salah waktu. Ayah sedang ada tamu, kalau begitu saya akan menemui Ayah nanti.” Anais menjawab dengan tatapan dingin.Tigris mengangkat kedua alisnya, lalu melirik kedua orang di sisi lain meja.“Saat ini kami hanya membahas hal ringan. Kau boleh bergabung, lagi pula jam kerja juga sudah selesai,” sahut pimpinan DV Group itu.Akan tetapi, bagi Anais duduk dan menghirup udara yang sama dengan adik da
"Dari pada kau terus terlibat masalah karena galeri itu, bukankah lebih baik melepasnya? Kau sudah ada nama sebagai Seniman, untuk apa terus mengurusi galeri jika sekarang terlilit hutang, Anais?"Sontak, Anais tertegun mendengar ucapan ayah angkatnya.Telinganya serasa tak berfungsi, hingga dia kembali memastikan. "A-apa yang Ayah katakan?""Maksud Ayah, kau lebih berbakat menjadi Seniman. Jika kau melepas Dante's Gallery, itu bukan masalah besar 'kan?" tutur Tigris yang semakin membuat sang putri membelalak.Bukannya mendapat solusi, menemui Tigris hanya kian membuat Anais lebih meringking. Galeri yang sudah bertahun-tahun dirinya kelola, mana mungkin dia lepas begitu saja?"Ah ... baiklah. Saya mengerti, Ayah." Anais menyahut datar, tapi maniknya terpampang amat tajam."Namun, Ayah harus tahu. Dante's Gallery adalah peninggalan mendiang Ibu, meski harus kehilangan segalanya, saya akan tetap mempertahankan galeri itu!" sambungnya tegas.Seketika, Tigris pun mengulas senyumnya. Walau
“Putramu sangat menggemaskan. Lebih baik kau bergabung bersama mereka,” tutur Hans tersenyum saat melihat Jade menggandeng anaknya. “Jade sudah menemaninya, aku akan di sini bersama Kakek.” Anais membalas selaras dengan bibirnya yang tertarik ke atas. Meski dia bilang seperti itu, tapi Hans tahu benar bahwa cicitnya lebih membutuhkan Anais. “Bukankah Kakek sudah bilang, Jade tidak ingin putranya berakhir seperti dirinya. Jadi, kau harus membantu suamimu agar dia bisa memberikan kasih sayang yang berlimpah pada anaknya.” Mendengar nasihat Hans, kali ini Anais tak bisa bersikeras. Usai pamit pada kakek mertuanya, wanita itu pun menghampiri Jade dan sang putra yang sudah rapi dengan pakaian berkuda. “Reins!” tukas Anais menyeru. Ya, River Reiner Herakles-yang akrab disapa Reins oleh Anais itu adalah bocah lelaki kecil yang menawan dan energik. Semakin dia tumbuh besar, rupa wajahnya semakin mirip dengan Jade. “Lihat aku, Mommy! Apa aku sudah mirip Daddy?” tukas River memamerkan pen
***“Sebaiknya Anda berhenti minum, Tuan,” tukas seorang lelaki yang merupakan Asisten Pribadi Denver selama di Asia.“Singkirkan tanganmu, sialan!”Alih-alih menurut, Denver malah menampik tangan asistennya seraya mengumpat geram. Dia justru mengisi gelasnya dengan vodka karena pikirannya sangat semrawut. Akan tetapi, lagi-lagi asistennya menahan saat dirinya hendak meneguk minumannya.“Mengapa? Apa kau akan mengadu pada Kakek?!” decak Cucu kedua Hans tersebut.Dia merengkuh kerah sang asisten hingga wajah mereka lebih dekat. “Katakan pada Kakek, bahwa aku hanya bermain-main di sini. Laporkan saja kerjaku tidak becus dan hanya membuang waktu dengan para wanita penghibur. Bukankah itu sudah cukup untuk memenuhi laporanmu tentangku?!”“Tuan, Anda tidak boleh—”“Berisik!” Denver kembali menyambar dan lantas melepas cekalan tangan dari kerah asistennya.Dia menyabit gelas vodkanya, lantas meneguk minumannya hingga tandas. Begitu cairan memabukkan itu mengaliri tenggorokannya, pria itu m
“Dokter, bicaralah dengan jujur. Istri saya sedang dalam bahaya, tapi bagaimana bisa Anda mengatakan sesuatu yang konyol?!” Jade memberang seiring amarah perih menjalari raganya. “Mohon maaf, Tuan. Kami tidak ada pilihan lain, sebab jika kami memaksa melakukan operasi untuk mengeluarkan pelurunya, bayi dalam kandungan istri Anda bisa dalam bahaya. Namun, apabila peluru itu tidak segera dikeluarkan, nyawa istri Anda bisa terancam,” balas Dokter itu dengan raut wajah gelisah. Memang, dirinya seperti menemui jalan buntu. Dia pun tidak bisa mengambil risiko sebab ini menyangkut hidup dan mati seseorang. “Se-sebab itu, kami menyerahkan keputusan pada Anda, selaku suaminya. Apapun pilihan—” “Pilihan?!” Jade lantas menyahut sebelum ucapan tenaga medis itu tuntas. “Apa yang Anda maksud dengan pilihan, Dokter? Anda sama saja meminta saya untuk membunuh salah satu dari mereka!” Manik abu pria tersebut tampak membesar dengan getir. Dirinya sungguh tak bisa mengambil keputusan mengenai perkar
Netra abu Jade membelalak selebar cakram begitu melihat peluru melesat ke dada kiri Anais. Sensasi terbakar bercampur perih, kini seolah menyobek jantung pria itu.“Tidak, Anais!” Dirinya buru-buru menuju istrinya, tapi tanpa dia tahu, Aretha malah mengarahkan pistol padanya.‘Dasar pasangan sialan! Lebih baik kalian ke neraka bersama!’ decak Adik angkat Anais itu dalam batin.Tangannya bersiap menarik pelatuk senjata apinya, tapi Carlein yang berada di belakang Jade, lebih dulu melesatkan tembakan hingga tepat mengenai lengan Aretha. Suara desingan peluru Cerlein sontak membuat semua orang tertegun, tapi Jade tanpa peduli hanya berlari pada Anais.Pria tersebut merengkuh sang istri yang masih terikat di kursi. Gelenyar merah pun merembes dari balik dress putih gading yang wanita itu kenakan. Dan begitu menyadari sang suami tiba, manik Anais pun bergetar seolah menemukan muaranya.“Jade … a-aku tahu kau akan datang. Kau pasti menemukanku di mana pun aku berada.” Anais bertutur dengan
***Nyaris satu jam, akhirnya Jade baru membuka ponselnya. Dan saat itu juga, keningnya mengernyit sebab ada beberapa panggilan tak terjawab dari sang istri. Dirinya yang kini berangkat menuju mansion Herakles, berupaya menelepon Anais kembali, tapi hasilnya nihil sebab istrinya tak mengangkat.“Mengapa dia tidak menerima panggilanku?” gumam Jade terserang bingung.“Mungkin saja Nyonya Anais saat ini sedang berbincang dengan Pimpinan, Tuan. Jadi Nyonya tidak sempat melihat ponselnya.” Carlein pun menyahut untuk menenangkan.Jika dipikir jernih, bisa saja itu benar, sehingga Jade pun membalas, “ya, mungkin. Terlebih lagi, Kakek sangat menantikan kelahiran bayi kami. Pasti Kakek mengajak Anais bicara banyak hal.”Jade menghela napas sembari merebahkan kepalanya di badan kursi mobilnya.‘Walau begitu, aku sangat cemas karena membiarkan Anais be
*** “Hei, mengapa di sini tidak ada minuman?!” Cedric membanting pintu lemari pendingin dengan emosi. Sepasang matanya yang cekung tampak mengerikan di wajahnya yang berang. Dia lantas menendang kursi, sampai membuat Aretha yang sedari tadi melihat sesuatu di laptopnya menjadi terusik. “Hah, sialan! Rumah macam apa ini?! Benar-benar memuakkan!” Cedric kembali mengumpat kasar. Sang adik yang sudah tidak tahan dengan tabiat kakaknya pun menyambar, “apa Kak Cedric buta? Di sana banyak air, apa susahnya minum air itu?!” “Aku tidak butuh air, berengsek! Tapi alkohol, alkohol, sialan! Aku benar-benar stress, jadi setidaknya berikan aku bir!” Putra sulung Tigris Devante itu kembali mendengus dengan amukan berapi-api. Dia yang merupakan seorang pecandu narkotika sudah kesulitan mendapat obat terlarangnya, hingga setiap hari hanya melampiaskannya pada minuman. “Aish, sial! Ini bukan bar. Jika Kakak ingin bir, pergilah ke bar atau club malam. Jadi berhentilah mengeluh dan mengumpat, karen
‘A-apa aku tidak salah lihat?’ Anais membatin seiring dengan maniknya yang berkedip.Dirinya tercengang mendapati Lariat Anne datang bersama seorang pria. Mungkin di mata publik itu adalah hal biasa, tapi bagi Anais ini sungguh tak terduga sebab pria yang tengah menemani Anne tak lain adalah Eldhan Hermeden.‘Apakah selama ini mereka saling kenal? Mengapa Anne bisa datang bersama Eldhan?’ sambung wanita itu dalam hati.Apa saja yang sudah Anais lewatkan? Dia cukup lama tidak melihat Eldhan sejak tahu bahwa pria tersebut memiliki perasaan padanya. Ya, meski saat itu Anais belum jatuh cinta pada Jade, tapi dirinya merasa aneh dan tak bisa menerima hati Eldhan.Dari lawan arah, Lariat Anne mendekat bersama Eldhan di sebelahnya. Dan seperti biasa, penampilan Anne yang glamor, kini diimbangi Eldhan yang tampil dengan setelan jas berkelas.“Selamat atas pelantikan Anda sebagai Presiden Direktur DV Group, Nona,” tuturnya disertai senyum anggun.Anais dengan santun pun membalas, “terima kasih,
“A-apakah pria yang ada di foto waktu itu adalah ayahmu?” Anais bertanya ragu-ragu, dan itu sekejap membuat Jade menaikkan kedua alisnya. “Foto apa yang kau maksud?” balas sang pria bertanya. Ada jeda beberapa saat sebelum Anais menjawab. Dan ya, wanita itu baru sadar bawah dulu dia masuk ke ruang rahasia penthouse Jade tanpa persetujuan suaminya. ‘Aish, mengapa aku jadi mengungkit masalah itu? Harusnya aku tidak usah membahas tentang ayahnya lagi ‘kan? Dia menyembunyikan foto-foto itu pasti karena suatu alasan. Sekarang dia pasti curiga padaku. Apa yang harus aku katakan?’ geming Anais bingung dalam batin. “Apa kau—” “Ma-maafkan aku, Jade.” Anais segera menyahut ucapan sang pria yang belum tuntas. “Saat itu, ketika kau memergoki diriku di ruang rahasia penthouse milikmu, aku tidak sengaja melihat foto anak laki-laki kecil bersama seorang pria. A-aku pikir, itu adalah dirimu dan ayah mertua.” Mendengar penjelasan sang istri, Jade sekarang ingat. Ya, untuk pertama kalinya, dia mel
Jade segera membuka amplop putih dari Carlein. Irisnya memindai penasaran sebab asistennya bilang dia telah ditipu. Dan ya, di bagian akhir surat hasil tes yang kini dipegangnya, Jade melihat jelas bahwa keterangannya negative! Dia bahkan membaca berkali-kali, khawatir bila matanya salah menilik. Akan tetapi, keterangannya memang menunjukan bahwa hasil tes DNA yang dia lakukan bersama Anais tidak cocok. “Apa arti surat ini, Carlein?” tukasnya menuntut penjelasan. Sang asisten segera menjawab dengan tegas. “Ini adalah hasil tes yang sebenarnya, Tuan. Dokter itu telah menipu Anda dengan memalsukan hasil tes menjadi positif karena permintaan seseorang.” Detik itu juga, manik abu Jade tampak menyorot tajam dengan alis saling mendapuk. Tak bisa dipungkiri bahwa dia sungguh senang jika ternyata dirinya dan Anais bukanlah saudara, tapi di sisi lain, pria tersebut pasti akan murka karena ada orang yang ingin main-main dengannya. Namun, Jade tak bisa langsung girang sebelum memastikan semua