Velma hanya menanggapi pertanyaan Eldhan dengan senyuman, tapi bibirnya yang tertarik ke atas itu menyiratkan beragam persepsi. “Keputusan ada di tangan Tuan Eldhan. Anda lebih mengenal Nona Anais dibanding saya. Jadi saya yakin Anda tahu yang terbaik untuknya.” Velma yang menjawab ambigu pun berlalu usai menundukan kepalanya dengan hormat. Meninggalkan Eldhan yang kini mematung di tempatnya. Bahkan ketika derap langkah Velma kian menjauh, dia tetap berdiri seperti lelaki bodoh yang tak tahu diri. ‘Apakah aku seegois itu hanya karena menyukaimu, Anais?’ batinnya dalam hati. Namun, tanpa sadar nalurinya membawa kakinya melangkah hingga ke tempat sang wanita. Kebetulan, pintu ruangan tersebut terbuka selebar intipan mata, hingga Eldhan bisa melihat sosok Anais yang tampak berkelit dengan dokumen di mejanya. Saat itu, dirinya mengerti alasan Velma melarangnya menemui Anais. ‘Mungkin semua ucapan Nyonya Velma memang benar.’ Eldhan bergeming dalam diam. Rasa rendah diri membuatnya me
Anais terhuyung dan nyaris jatuh, tapi beruntung tangannya berpegang erat pada dinding hingga dia bisa menyeimbangkan tubuhnya. Akan sangat konyol jika dirinya ambruk ke lantai atau kemungkinan paling buruk ditangkap oleh Denver. “Sialan! Apa yang terjadi di sini?!” sentak Denver memaki-maki. Lampu yang mati pun menjadikan suasana gelap, dan itu membuat napasnya mulai sesak. Dia menggedor-gedor pintu elevator tersebut, tangannya juga ricuh menekan tombol bantuan untuk berkomunikasi dengan petugas. Namun, agaknya semua sia-sia. Listrik yang tak berfungsi hanya menambah kekesalannya semakin membumbung. “Berengsek! Di mana para petugas?! Apa mereka semua tidak tahu jika aku ada di sini, hah?!” berangnya meninju ambang lift tersebut. Emosinya memuncak, jarinya bergerak liar melonggarkan pangkal dasinya yang terasa mencekik. “Dasar, orang-orang tak berguna!” pungkasnya penuh umpatan. Sementara Anais yang melihat tingkah Denver, hanya membungkam jijik di sudut. ‘Haruskah dia bersikap
“Maaf? Anda siapa?” Kening Anais mengerut penasaran.Dirinya belum pernah sekalipun melihat sosok lelaki tinggi besar dengan wajah seberingas itu. Ya, figurnya bukan seperti kebanyakan orang yang sering dia temui.“Mengapa Anda ada di sini?” tukas Anais melanjutkan tanya.Alih-alih memberi penjelasan, lelaki dengan air muka garang itu justru memamerkan seringai mengerikan. Dan reaksi tersebut memacu kabut resah menyelubungi Anais.“Bukankah Anda ke tempat ini untuk bertemu seseorang?” balas lelaki tadi seraya melangkahkan kakinya mendekati Anais.Seketika, sang wanita pun mundur karena tatapan lawan bincangnya bukanlah sorot yang biasa.Dengan wajah tegangnya, Anais pun menyambar, “di mana Tuan Cooper?”Nadanya yang tegas, tiba-tiba memicu gelak tawa lelaki di depannya. Dia terbahak-bahak seakan mengejek Anais yang tampak konyol.Tanpa menguarkan sepatah kata, laki-laki itu terus mengikis jarak dengan sang wanita. Sungguh, gerak-geriknya yang mencurigakan langsung membuat Anais kian m
Suasana dalam lift yang hanya ada Anais dan Jade, terasa sangat canggung. Udara di antara keduanya seperti membeku karena tak ada satu pun yang membuka suara. Akan tetapi, Anais tak bisa bungkam saja usai mengetahui tingkah Jade yang hanya diam menonton seseorang yang nyaris sekarat. “Mengapa Anda melakukannya? Bagaimana bisa Anda begitu tenang saat ada orang yang hampir mati di depan Anda?!” sungut Anais tanpa melihat pria di sampingnya. Jade semula tak ingin membahas perkara ini, tapi agaknya Anais terkejut karena dirinya baru saja menginjak ujung jurang kematian. Walau akhirnya dia selamat, tapi sensasi merinding masih melekat di punggungnya. “Saya hanya akan bertindak untuk orang-orang yang saya inginkan.” Nada Jade terdengar dalam, tapi juga menekan. Anais yang mendengarnya pun otomatis menyernyitkan dahinya. Jika ditilik kembali, bukankah Jade tak segan bergerak setiap kali dirinya dalam situasi sulit? ‘A-apa maksud pria ini sebenarnya?’ Anais membatin getir. Rasa kering m
“Apapun yang kau lakukan, sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Karena itu, jangan pernah mengaitkannya padaku, sebab aku sangat muak hanya dengan melihatmu!” Setelah sekian lama dan untuk pertama kalinya, Leah sudi membuka suara di depan sang putra. Ya, dirinya yang terbiasa menganggap Jade tak ada, kini seakan menegaskan bahwa dia tak ingin diusik. “Sayang sekali, Ibu. Ke depannya Ibu akan sering bertemu dengan saya. Jadi Ibu harus terbiasa!” sahut Jade yang sengaja memprovokasi. Leah tak melirik sedikit pun, tapi seringai keji yang tersebar di bibir tipisnya cukup untuk mengiaskan rasa jijiknya. Dia segera melenggang pergi dengan lahar api meledak dalam dadanya. ‘Teruslah bermimpi!’ dengusnya membatin. Dirinya mengenakan kacamata hitam dan melanjutkan dengan sengit. ‘Menginjaknya di awal, tidak akan menyenangkan. Namun, ketika anjing liar itu terlalu percaya diri jika dia akan naik ke atas, itulah saat yang tepat untuk menjatuhkan dan menindasnya!’ Sungguh, bukankah hara
‘Sialan! Bagaimana mungkin orang suruhan Ibu gagal menghabisi Kak Anais?!’ Aretha memaki dalam batin. Dirinya menilik Pineti yang tertegun karena mendapat sarkasan dari Anais, dan itu membuatnya amat kepanasan. Anais mengisi gelasnya dengan sampanye. Namun, sampai cairan itu meluap melebihi kapasitas wadah, Anais terus menuangkannya seraya memaku tatapan tajam pada Pineti. “Apa Kak Anais sudah gila?!” sentak Aretha yang tak habis pikir dengan kelakuannya. Sang lawan bincang sengaja tak mendengar, dia tetap mengucurkan sampanye itu hingga tak tersisa satu tetes pun. “Apa kau sudah kehilangan akal?!” Akhirnya Pineti buka suara. Dirinya yang masih bersantai di sofa dengan segelas anggur putih di tangannya, tampak ingin mengunyah anak angkatnya tersebut. Dengan wajah datar, Anais meletakkan botol kosong itu di meja. Kakinya bertumpu di tungkainya yang lain sembari menyahut tegas. “Ibu kesal karena sampanye ini?! Haruskah saya memberikan sebotol sampanye yang baru? Tapi bagaimana, y
‘Disita?!’ Velma tersentak dalam hati.Beruntung ucapannya itu tidak tersiar terang. Dirinya yang baru saja masuk ke ruang pertemuan dengan menyangga nampan minuman untuk Anais, sontak tertegun ketika mendengar warta mengejutkan dari pihak Saint Morena Bank.‘Tidak mungkin ‘kan? Itu mustahil!’ tuturnya mengelak dalam batin.Namun, mendapati ketegangan dan udara yang terasa membeku di tempat tersebut, Velma sungguh tak bisa menampik fakta.“Baik, saya mengerti. Tuan sekalian tenang saja, kami pasti akan memenuhi kewajiban Dante’s Gallery pada Saint Morena Bank,” tutur Anais memecah sunyi.Dirinya berlagak setegar karang, sungguh tak ingin menampakkan secuil kelemahannya pada orang lain.Dengan tatapan tegas, salah seorang lelaki di depan Anais pun menyahut, “syukurlah Nona Anais bisa bekerja sama. Kami harap Anda menepati janji, dengan begitu pihak Saint Morena Bank bisa tetap mendukung acara amal Dante’s Gallery setiap tahun seperti biasa.”Sungguh, dari kata-katanya tersebut, lelaki
“Kak Anais?” Aretha mencetus dengan nada cibiran.Maniknya menatap sinis seraya melanjutkan. “Untuk apa Kakak datang ke kantor Ayah?”Anais yang sengaja menemui Tigris sampai ke DV Group untuk menghindari ibu dan adik angkatnya, malah bertemu dengan Aretha di sini. Bahkan sialnya, Denver pun bersamanya.“Masuklah, Anais,” tutur Tigris yang duduk di sofa berseberangan dengan putri dan calon menantunya.Namun, kaki Anais seperti tertuang lem, terasa amat berat untuk melangkah. Tidak mungkin juga dirinya membahas masalah peliknya ketika pasangan biadab itu ada di depannya.“Ah, sepertinya saya salah waktu. Ayah sedang ada tamu, kalau begitu saya akan menemui Ayah nanti.” Anais menjawab dengan tatapan dingin.Tigris mengangkat kedua alisnya, lalu melirik kedua orang di sisi lain meja.“Saat ini kami hanya membahas hal ringan. Kau boleh bergabung, lagi pula jam kerja juga sudah selesai,” sahut pimpinan DV Group itu.Akan tetapi, bagi Anais duduk dan menghirup udara yang sama dengan adik da