‘Disita?!’ Velma tersentak dalam hati.Beruntung ucapannya itu tidak tersiar terang. Dirinya yang baru saja masuk ke ruang pertemuan dengan menyangga nampan minuman untuk Anais, sontak tertegun ketika mendengar warta mengejutkan dari pihak Saint Morena Bank.‘Tidak mungkin ‘kan? Itu mustahil!’ tuturnya mengelak dalam batin.Namun, mendapati ketegangan dan udara yang terasa membeku di tempat tersebut, Velma sungguh tak bisa menampik fakta.“Baik, saya mengerti. Tuan sekalian tenang saja, kami pasti akan memenuhi kewajiban Dante’s Gallery pada Saint Morena Bank,” tutur Anais memecah sunyi.Dirinya berlagak setegar karang, sungguh tak ingin menampakkan secuil kelemahannya pada orang lain.Dengan tatapan tegas, salah seorang lelaki di depan Anais pun menyahut, “syukurlah Nona Anais bisa bekerja sama. Kami harap Anda menepati janji, dengan begitu pihak Saint Morena Bank bisa tetap mendukung acara amal Dante’s Gallery setiap tahun seperti biasa.”Sungguh, dari kata-katanya tersebut, lelaki
“Kak Anais?” Aretha mencetus dengan nada cibiran.Maniknya menatap sinis seraya melanjutkan. “Untuk apa Kakak datang ke kantor Ayah?”Anais yang sengaja menemui Tigris sampai ke DV Group untuk menghindari ibu dan adik angkatnya, malah bertemu dengan Aretha di sini. Bahkan sialnya, Denver pun bersamanya.“Masuklah, Anais,” tutur Tigris yang duduk di sofa berseberangan dengan putri dan calon menantunya.Namun, kaki Anais seperti tertuang lem, terasa amat berat untuk melangkah. Tidak mungkin juga dirinya membahas masalah peliknya ketika pasangan biadab itu ada di depannya.“Ah, sepertinya saya salah waktu. Ayah sedang ada tamu, kalau begitu saya akan menemui Ayah nanti.” Anais menjawab dengan tatapan dingin.Tigris mengangkat kedua alisnya, lalu melirik kedua orang di sisi lain meja.“Saat ini kami hanya membahas hal ringan. Kau boleh bergabung, lagi pula jam kerja juga sudah selesai,” sahut pimpinan DV Group itu.Akan tetapi, bagi Anais duduk dan menghirup udara yang sama dengan adik da
"Dari pada kau terus terlibat masalah karena galeri itu, bukankah lebih baik melepasnya? Kau sudah ada nama sebagai Seniman, untuk apa terus mengurusi galeri jika sekarang terlilit hutang, Anais?"Sontak, Anais tertegun mendengar ucapan ayah angkatnya.Telinganya serasa tak berfungsi, hingga dia kembali memastikan. "A-apa yang Ayah katakan?""Maksud Ayah, kau lebih berbakat menjadi Seniman. Jika kau melepas Dante's Gallery, itu bukan masalah besar 'kan?" tutur Tigris yang semakin membuat sang putri membelalak.Bukannya mendapat solusi, menemui Tigris hanya kian membuat Anais lebih meringking. Galeri yang sudah bertahun-tahun dirinya kelola, mana mungkin dia lepas begitu saja?"Ah ... baiklah. Saya mengerti, Ayah." Anais menyahut datar, tapi maniknya terpampang amat tajam."Namun, Ayah harus tahu. Dante's Gallery adalah peninggalan mendiang Ibu, meski harus kehilangan segalanya, saya akan tetap mempertahankan galeri itu!" sambungnya tegas.Seketika, Tigris pun mengulas senyumnya. Walau
Anais melirik Jade dengan tatapan amat menusuk. ‘Apa dia sadar dengan ucapannya?! Mengapa dia tiba-tiba … ah tidak, bagaimana jika Cosseno malah salah paham?!’ Namun, meski sang pria mendapat ancaman dari sorot mata Anais, dirinya tetap tak gentar. Alisnya terangkat seolah meminta wanitanya untuk lekas membenarkan asumsi. “Tu-tuan tidak sedang bercanda ‘kan? Anda dan Nona Anais?” Cosseno seolah tak bisa mempercayai pendengarannya. Akan tetapi, Jade yang berada di hadapannya, tak sedikit pun menunjukan wajah bergurau. Ekspresinya itu sudah menjawab segalanya. “Sebenarnya saya tidak peduli dengan apapun yang Anda lakukan, tapi saya ingatkan agar Anda lebih berhati-hati dan menjaga kata-kata Anda, Nona Cosseno!” tukas Jade akhirnya buka suara. Dirinya yang tiba-tiba menyinggung tentang tindakan Cosseno pada Anais sebelum dirinya mendekat, langsung membuat lawan bincangnya tertegun. “Membicarakan masalah orang lain di tempat terbuka, itu sangat tidak sopan!” Jade melanjutkan dengan s
“Anda pikir saya gila?!” sungut Anais mendelik tajam. “Saya tidak butuh bantuan Anda dan tidak pernah sudi menikah dengan Anda!”Tanpa basa-basi, wanita itu langsung menolak lamaran Jade. Giginya saling mengerat seolah siap mengunyah pria di hadapannya. Namun, Jade yang mendapat lampu merah dari Anais, sama sekali tak gentar.“Tawaran saya berlaku selama 24 jam. Saya tidak akan memaksa Anda, Nona!” Jade menyahut dengan wajah yakin.Alis Anais menyatu seiring dengan mulutnya yang menyergah dingin. “Apapun yang Anda katakan, saya tidak peduli!” Menilik sang wanita terbakar kedongkolan, Jade akhirnya melonggarkan cekalan. Celah itu tak disia-siakan Anais. Dirinya langsung menyingkirkan telapak Jade, hingga lepas darinya, lantas beranjak tanpa berpaling sedikitpun. Jade pun memamerkan seringai kala mengamati wanitanya menjauh dari aula pameran.‘Mengapa dia senang sekali marah? Melihatnya seperti itu, aku semakin penasaran dengan sisinya yang lain.’ Jade berujar dalam benaknya. ‘Nona, k
“Apa yang ingin Anda lakukan, Nona?” Jade mengangat salah satu alisnya, berlagak bodoh seakan tak mengerti maksud Anais. Mendapati tingkah pria itu, membuat ego sang wanita mencuat. Sebelah sudut bibirnya melengkung, dan lekas menimpali dalam hati. ‘Apa ini? Dia sangat menyebalkan!’ “Anda tahu, jadi tidak perlu berpura-pura dungu!” sengitnya tanpa ragu. Jade memiringkan kepalanya sembari memutar gelas mojito kristal berisi cairan alkohol yang memabukkan. Ingin sekali dia langsung merengkuh Anais ke pangkuannya, menatap dekat wajahnya dan mendengar lebih tedas permohonannya. Namun, dia terpaksa urung karena sorot mata wanita tersebut amat tajam, bahkan mirip pedang yang siap menusuknya. “Nona, bukankah tidak sopan berbicara dari tempat sejauh itu? Saya tidak bisa mendengar suara Anda dengan jelas,” tutur Jade semakin memprovokasi. Anais yang diburu waktu pun tak bisa egois. Di sini dirinya-lah yang membutuhkan bantuan, tidak mungkin dia bertingkah sesuka hati. ‘Memang sialan! Ji
‘A-apa yang dia maksud?’ Anais terbata dalam batinnya usai mendengar ucapan ambigu dari Jade. Sang pria yang menyadari wanitanya mematung di tempat, lantas melirik ke samping. “Kita—“ “Akan membuat daftar kontrak.” Jade menyahut ucapan Anais yang ragu-ragu. Di balik wajah dinginnya, pria tersebut menahan seringai ejekan. Sungguh, dia benar-benar menyukai reaksi sang wanita yang tegang karenanya. ‘Aish, sialan! Mengapa dia harus membuat situasi yang tidak jelas?!’ Anais pun membatin kesal. Dia membuang pandangan ke samping ketika bertatapan mata dengan Jade. Dan itu memicu sang pria untuk menggodanya. Jade mengangkat sebelah alisnya. “Memangnya apa yang Anda pikirkan, Nona? Anda tidak mungkin mengira kita akan—” “Mengapa Anda begitu penasaran dengan isi kepala saya?!” sambar sang wanita memutus tuturan prianya. Anais menggertakkan giginya seakan tak ingin menjadi pihak yang tersudut. “Cepatlah, bukankah Anda bilang ingin membuat daftar kontrak?” sambungnya seraya melempar tata
‘Apa yang dia lakukan? Mengapa dia tidak mengenakan ….’ Jade meredam ucapannya dalam batin.Sensasi panas naik ke pipinya hingga dia langsung membuang pandangan dari Anais. Di depan pintu kamar, sang wanita pun tampak segan. Kaus putih dengan ukuran paling kecil milik Jade, rupanya masih kebesaran saat dia menggunakannya. Begitu pun dengan celana tidur, bahkan sangat longgar di lingkar pinggang, hingga Anais tak memakainya. Beruntung kaus sang pria cukup panjang sampai menutup paha atasnya.‘A-apakah ini terlalu pendek?’ Anais bergeming was-was.Dengan ragu-ragu, Anais pun berkata, “ma-maaf, celananya terlalu besar, jadi tidak muat untuk saya. Apakah saya terlihat aneh?” Anais yang selalu menegakan kepalanya, kini tertunduk malu di hadapan Jade. Dia mati-matian menahan egonya di tengah situasi canggung ini. “Saya keluar untuk mengambil ponsel saya. Lalu … saya bisa menggunakan kamar ini ‘kan?” tutur Anais disertai wajah kakunya.Tak langsung menjawab, Jade malah berpaling lalu bera