“Ed?” Alice mencoba untuk meminta bantuan. Namun, bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Lidahnya terlalu kaku. Keringat dingin membutir di keningnya.
Edmund menelan ludah melihat sang istri terduduk di lantai. Dadanya sesak, napasnya tersekat.
Ia sebetulnya tak tega melihat wajah pucat Alice yang diselimuti ketakutan. Namun, ketika ia hendak bergerak, sang ibu sudah lebih dulu melempar koper ke hadapan Alice.
“Ini .... Bawalah barang-barangmu! Jangan mengotori rumah putraku lagi! Sekarang menghilanglah dari hadapan kami!”
Air mata mengalir semakin deras di pipi Alice. Bibirnya sudah tidak lagi berwarna. Sesekali, ia terbatuk-batuk, tersedak oleh kesedihan yang terlampau pekat.
“Kumohon, Ed ....” Alice bersusah payah merangkak menuju sang suami.
Namun, ibu mertuanya lagi-lagi menghalangi. Telunjuknya meruncing ke arah gerbang. “Enyah kau dari sini!”
“Tapi aku sedang—akh!”
Elizabeth dengan tega mendorong Alice hingga tersungkur ke samping. Saat itulah, sebuah mobil berhenti dan seorang wanita turun dengan raut panik.
“Alice? Astaga!” Ia berlari menghampiri. “Alice, kau baik-baik saja?”
Sambil mencengkeram uluran tangan sahabatnya, Alice menggeleng lemah.
“Emma, tolong aku. Aku tidak mau berpisah dengan Ed. Dan aku benar-benar takut.”
Melihat Alice kembali menyentuh perut, mata Elizabeth membulat. Cepat-cepat ia meraih koper yang tergeletak lalu melemparnya lebih jauh.
“Tidak ada gunanya kau meminta bantuan. Nona Clark, tolong bawa temanmu enyah dari sini. Aku tidak mau dia dekat-dekat dengan putraku lagi.”
Emma mengerutkan alis. Ia menatap sekeliling.
Beragam ekspresi tersebar di sana—wajah dingin Giselle, wajah iba para pelayan, wajah angkuh Elizabeth, dan wajah bingung Edmund.
“Kau tega memperlakukan Alice begini?” tanyanya kecewa bercampur jijik.
Edmund menelan ludah. Setelah meraup udara sebanyak-banyaknya, ia mengalihkan pandangan.
“Keputusanku sudah bulat. Aku tidak butuh istri seperti Alice. Cepat bawa dia pergi dari sini.”
Emma menghela napas tak percaya melihat Edmund berjalan masuk meninggalkan Alice dengan luka yang lebih dalam. Mengerti situasi terlalu rumit, ia terpaksa membantu Alice masuk ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.
***
“Bagaimana, Sayang? Kandungan Alice baik-baik saja, kan?” tanya Emma sambil menatap pria berjas putih di seberang meja. Tangannya terus menggenggam jemari Alice yang masih dingin dan gemetar.
Alice juga tidak berkedip memandang Henry. Jantungnya berdebar, napasnya tak karuan. Ketika sang dokter membuka mulut, kepalan tangannya mengerat.
“Kau tidak perlu khawatir, Alice. Kandunganmu baik-baik saja.” Henry mengangguk dengan senyum menenangkan.
“Benarkah? Kau bilang begitu bukan untuk menghiburku, kan?” Mata Alice membulat.
“Apakah ada rasa sakit atau pendarahan?” Henry meninggikan sebelah alis.
Alice termenung sesaat sebelum menggeleng. “Aku hanya merasa perutku bergejolak.”
“Sepertinya, itu pengaruh dari rasa takut yang berlebihan. Kau jadi berpikiran yang tidak-tidak. Kandunganmu masih sangat muda, Alice. Ukurannya kecil dan posisinya terlindungi dengan baik oleh tulang panggul.”
“Jadi, Alice dan bayinya baik-baik saja?” sela Emma sambil memajukan kepala.
Henry kembali mengembangkan senyum.
“Ya, Sayang. Kalau kalian mau lebih pasti, Alice bisa menjalani observasi selama dua hari. Atau, kalian mau melihatnya lewat USG sekarang?”
Alice sontak membeku. Bayang-bayang Edmund terlintas, menyita hati dan pikirannya. Ketika suara laki-laki itu terngiang, ia tertunduk dan mendesah pasrah.
“Aku ... hanya mau melakukan pemeriksaan USG bersama Ed. Dia sudah berjanji akan menemaniku.”
Tiba-tiba, air mata Alice kembali menitik. Emma dan Henry tidak berani bersuara.
“Ed bilang, dia akan sangat senang kalau bayi kami datang. Dia akan pulang lebih cepat, menemaniku makan malam dan bersenda gurau. Dia akan mempersiapkan kamar bayi yang nyaman, membeli perabotan dan perlengkapan terbaik untuk anak kami tercinta.”
Tanpa terduga, tawa kecil lolos dari bibir Alice yang kering. Suaranya begitu pilu dan putus asa.
“Kalau si Kecil sudah lahir nanti, aku akan menggendongnya di setiap kesempatan. Tidak ada sedetik pun boleh terlewatkan tanpa senyum dan tangisnya. Kalau aku sedang bekerja, kau harus sering-sering mengirimkan fotonya,” kenang Alice meniru logat bicara sang suami.
“Ed bilang dia akan menyambut bayi kami dengan penuh kehangatan. Dia bahkan sudah memilih nama untuk bayi kami. Ocean untuk laki-laki dan Sky untuk perempuan.”
Selama beberapa detik, Alice menggantungkan pandangannya di udara. Senyumnya tipis menampung kenangan manis bersama Edmund.
Namun, ketika kenyataan kembali menyapa, lengkung bibirnya langsung berbalik arah.
“Tapi kenapa ...? Kenapa dia berubah? Dia bukan cuma mengajakku cerai, tapi juga mengusirku dari rumah.”
Sambil mengelus perut, Alice menelan kepahitan.
“Dia bahkan menolak kejutan dariku. Padahal, kalau saja dia melihat test pack itu, aku yakin semua ini tidak akan terjadi. Kami pasti sedang bersuka cita, merayakan kedatangan malaikat kecil yang sudah lama kami dambakan.”
“Alice,” Emma mengusap pundak sahabatnya sebelum memberinya pelukan.
“Tolong jangan putus asa dulu. Kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Edmund saja tadi terlihat linglung. Dia pasti tidak sadar dengan apa yang dilakukannya terhadapmu. Pelan-pelan, kita coba perbaiki keadaan, hmm? Aku dan Henry pasti akan membantumu. Bukankah begitu, Sayang?”
Mendapat lirikan dari Emma, sang dokter mengangguk cepat.
“Ya, benar. Aku dan Emma pasti membantumu. Tapi sekarang, kau lebih baik fokus dengan kandunganmu. Biar kuresepkan vitamin terbaik untukmu. Tolong jangan lupa diminum.”
Sambil menarik napas dalam-dalam, Alice menyeka air mata. Punggungnya kini sedikit lebih tegak.
“Terima kasih, Teman-Teman. Kurasa kalian benar. Aku tidak boleh menyerah. Besok pagi, aku harus menemui Ed.”
Sambil tersenyum kecil, Emma membelai rambut sahabatnya.
“Bagus. Ini baru Alice yang kukenal. Sekarang, ayo ikut aku pulang. Besok, aku akan mengantarmu ke kantor Edmund. Tanpa ibu mertuamu, aku yakin Edmund bisa berpikir lebih tenang. Kalian pasti berbaikan dan keadaan kembali seperti semula.”
***
“Kau yakin tidak mau kutemani?”
Alice menggeleng samar. “Kau bekerja saja, tidak perlu menungguku. Aku pasti akan pulang bersama Ed.”
“Wow, aku suka semangatmu. Semoga berhasil, Alice. Kabari aku kalau kalian sudah berpelukan.”
Setelah mendenguskan tawa, Alice turun dari mobil. Hatinya penuh dengan harapan walau tertutupi luka. Namun, melihat Elizabeth di pintu masuk, semangatnya mengendur. Langkahnya melambat.
“Mama?” Tangannya tanpa sadar bergerak melindungi perut.
“Sudah kuduga, kau pasti akan muncul di sini.” Dengan tampang masam, Elizabeth berjalan menghampiri lalu menyodorkan sebuah amplop cokelat.
“Apa ini?” tanya Alice, penuh kewaspadaan.
Elizabeth tersenyum miring. “Bukankah ini yang kau cari? Alasan sesungguhnya mengapa Ed menceraikanmu. Alasan mengapa dia tega mengingkari janjinya dan berhenti peduli padamu.”
Mata Alice melebar. Jantungnya mendadak berdetak tak karuan. Ia buka amplop itu dengan tangan yang gemetar. Begitu mendapati isinya, petir seolah menyambar tepat di dada.
“Ini? Ed dan Giselle?”
Napas Alice seketika bergemuruh. Pundaknya berguncang saat ia berusaha meredam gejolak hatinya.
“Tidak. Ini pasti hasil rekayasa. Ed tidak mungkin tidur dengan perempuan lain, apalagi Giselle. Dia ... dia temanku. Dan Ed adalah suami yang setia.”
“Sadarlah, Alice. Menurutmu kenapa Ed melarangmu menemaninya dinas ke luar kota selama beberapa bulan terakhir? Dan kenapa dia sering terlambat pulang dan jarang di rumah?”
Elizabeth tersenyum sinis. “Itu karena Giselle. Dia sudah tidak peduli jika kau mati atau lenyap dari bumi. Kau mau melompat dari jembatan itu? Lakukan saja. Kau seharusnya hanyut di sungai itu sejak dulu. Dengan begitu, putraku tidak perlu terpaksa menikahimu.”
“Tidak.” Alice menggeleng cepat. Air mata terancam jatuh dari pelupuknya.
“Itu tidak benar. Ini pasti akal-akalan Mama untuk menjauhkan aku dari Ed. Ed memang mengucapkan janji-janji itu demi menyelamatkan aku. Tapi kemudian, keadaan berubah. Kami saling cinta dan Ed melamarku dengan janji-janji baru yang tulus.”
Sementara Elizabeth memanas-manasi Alice, sebuah mobil hitam melintas menuju basement. Alice mengenali kendaraan itu. Tanpa menghiraukan Elizabeth, ia pergi menyusul.
Awalnya, Alice hanya berjalan, takut bayi kecilnya terguncang. Namun, semakin lama, ia semakin cepat. Saat mendapati Edmund, ia tersentak.
Giselle baru saja keluar dari pintu mobil yang lain. Ia langsung berjalan di sisi Edmund, merangkul pinggangnya. Edmund pun menempatkan lengannya di pundak sang gadis. Mereka berjalan berdampingan, sama sekali tanpa jarak. Edmund bahkan berbisik mesra di telinga Giselle.
Tanpa sadar, air mata mengalir lambat di pipi Alice.
“Ternyata foto itu benar?”
Sambil terpejam, Alice mengembuskan kepedihan. Ia sadar, hatinya sudah terlalu hancur untuk diselamatkan.
Ia sudah kembali ke masa lalu yang dingin dan kelam. Namun kali ini, ia sadar tidak akan ada seorang pun yang mengulurkan tangan padanya.
Setibanya di sofa, Edmund langsung menepis tangan Giselle. “Sudah kubilang, aku bisa sendiri.” Setelah itu, ia bersandar sambil mengurut pelipis. “Tapi kau masih sakit, Ed. Kau seharusnya tidak memaksakan diri. Beristirahat sehari tidak akan membuat perusahaan merugi.” Giselle memasang tampang prihatin. “Lagi pula, untuk apa kau memikirkan Alice sampai sakit begini? Biarkan saja dia bahagia bersama kekasih barunya. Dia sudah tidak butuh kamu lagi. Sekarang, apakah kau masih demam?” Lagi-lagi, Edmund menghalau tangan sang sekretaris yang nyaris menyentuh keningnya. “Aku baik-baik saja. Kau pulanglah.” “Tapi—” “Aku tidak bisa beristirahat kalau kau masih di sini,” tegas Edmund dengan tatapan risih. Nada bicaranya tidak hanya menusuk Giselle, tetapi juga membekukan langkah kaki seorang pelayan. Ed menyadari kehadirannya. “Ada apa, Nyonya Klein?” “Maaf, Tuan. Saya ....” Wanita paruh baya itu berkedip-kedip kebingungan. Sesekali, matanya melirik Giselle. “Kami menemukan ini saat ber
“Ed, apa yang telah kau lakukan? Kau berselingkuh dengan Giselle? Kenapa Alice jadi seputus asa itu?” Emma mengguncang pundak Edmund. Edmund tertunduk dan menelan ludah. Keringat dingin mulai membutir di keningnya. “Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai orang asing yang tidak kukenal. Dengan begitu, aku tidak perlu mengucapkan janji-janji itu, tidak pernah jatuh cinta padamu, dan tidak akan merasakan sakit yang sebesar ini.” Kata-kata itu terngiang lagi dalam kepalanya. Ke mana akal sehatnya kemarin saat melontarkannya kepada Alice? Sementara rasa bersalah merayap menggerogoti hatinya, Edmund terpejam dan menggertakkan geraham. Ia biarkan kepalan tangan Emma menghantam tubuhnya. Ia merasa layak mendapat pukulan. “Mengapa aku begitu bodoh?” sesalnya. Emma tersentak mendengar gumaman itu. “Apa? Kau sungguh berselingkuh dengan Giselle?” Selang satu helaan napas, tangannya melayang men
Edmund duduk termenung di jembatan. Wajahnya pucat, tanpa ekspresi. Orang-orang yang tadi menahannya sudah bubar, berganti dengan anggota tim SAR yang sibuk berkoordinasi dengan rekan-rekannya. “Bagaimana?” tanyanya tanpa menoleh ketika petugas di dekatnya selesai bicara. Petugas itu terdiam sejenak. Alih-alih menjawab, ia melirik orang-orang di sisi Edmund. Ketika ia menggeleng, tangis Emma kembali pecah. “Kenapa nasib Alice sungguh malang, Henry? Dia orang baik. Dia tidak seharusnya mengalami semua ini. Kalau saja aku tidak meninggalkannya di kantor Edmund tadi pagi, mungkin dia masih bersama kita di sini. Aku tidak seharusnya membiarkan dia seorang diri.” Setetes air mata mengalir lambat di pipi Edmund. Sama seperti Emma, ia juga menyalahkan diri. Hanya saja, ia tidak punya tenaga lagi untuk mengamuk. Biar rasa bersalah yang mendera hati, mengikis sekujur sarafnya hingga ia hanya bisa merasakan perih. Malam berlalu berganti subuh. Emma dan Henry sudah pergi. Tim SAR pun memutu
“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada di mobilku?” selidik Edmund, masih dengan napas tak beraturan. Matanya terbelalak, sulit memercayai apa yang dilihatnya. Sadar ia telah membongkar keberadaan dirinya sendiri, gadis mungil itu terkesiap. Ia cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan, lalu membenamkan punggungnya pada sandaran jok di belakang. Saat itulah, Edmund bisa melihatnya lebih jelas. Ia mengenakan hoodie merah yang dipadukan dengan jumpsuit cokelat muda. Tudung kepalanya menutupi rambut, membuat wajahnya terlihat lebih bulat. Di pangkuannya terdapat sebuah buku, pensil, dan ransel. Tiba-tiba, gadis mungil itu kembali memajukan posisi duduknya. Sambil berkedip-kedip, ia mengerutkan alis. “Maaf, Tuan Brewok. Tadi sewaktu di parkiran, aku tidak sengaja mendengar kalau kamu mau pergi ke Chamarel Falls. Kebetulan, aku juga mau pergi ke sana. Jadi, aku diam-diam menumpang di mobilmu.” Edmund terdiam dengan mulut menganga. Butuh beberapa waktu untuk ia bisa mencerna informasi it
Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya. “Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.” Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing. Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu? Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia
Sekembalinya dari kafe, Edmund duduk dengan canggung. Ia letakkan makanan yang dibelinya di atas meja, tanpa sedetik pun berpaling dari sang balita. “Ini makananmu.” Gadis mungil itu sedang sibuk menggambar sesuatu di bukunya. Ia hanya mengangguk, tidak sempat melirik. “Terima kasih, Tuan Brewok. Letakkan saja di situ. Aku akan memakannya setelah menyelesaikan jurnalku.” Selang beberapa saat, ia membalikkan bukunya menghadap Edmund dan merentangkan tangan. “Tada! Berkat bantuanmu, aku berhasil melingkari Chamarel Falls dan Seven Colored Earth. Sebentar lagi, semua keinginanku selama di Mauritius akan terpenuhi. Dan lihat ini! Aku sudah memberi keterangan bahwa aku bisa sampai ke sini karena kamu. Meskipun sedikit kurang mirip, aku akan selalu ingat kalau ini kamu.” Edmund tidak menyimak gambar seorang pria yang ditunjuk oleh sang balita. Ia terlalu terpana dengan binar matanya. Semangatnya begitu mirip dengan semangat Alice. Jika dipikir-pikir, ucapannya tentang Chamarel Falls, j
Takut dimarahi, Sky melompat turun dari kursi dan bersembunyi di balik Edmund. Kepalanya hanya terlihat sedikit saat sebelah matanya mengintip. “Mama, tolong jangan marah dulu. Aku terpaksa kabur. Kalau tidak begini, aku tidak bisa melihat Chamarel Falls.” Wanita yang sangat mirip dengan Alice itu mendesah berat. Wajahnya mengernyit, penuh penyesalan sekaligus kekhawatiran. “Tidak, Mama tidak akan marah. Mama justru ingin meminta maaf padamu. Mama dan Papa tidak seharusnya menolak keinginanmu. Sekarang kemarilah, Sayang.” Rachel merentangkan tangan, mengundang Sky ke dalam pelukan. Akan tetapi, gadis mungil itu malah menggeleng, bergumam, “Tapi Papa pasti akan marah dan menghukumku.” “Tidak akan. Ayo, Sayang. Jangan mengganggu tuan ini. Dia sudah banyak kau repotkan hari ini.” Lagi-lagi, Sky menggeleng. “Berjanjilah Mama akan membujuk Papa untuk tidak menghukumku.” “Mama janji, Sayang. Papa tidak akan memarahimu. Dia juga merasa bersalah telah menolak permintaanmu. Kamu tahu? Ma
Melihat Lucas kembali memanas, Rachel cepat-cepat menariknya mundur.“Sayang, kenapa kamu mendadak emosian begini? Tenanglah, kurasa laki-laki ini tidak bermaksud begitu. Seperti yang Sky bilang, dia terlalu merindukan istri dan anaknya. Mungkin dia mengidap gangguan mental,” bisiknya di akhir kalimat.Napas Edmund tersekat mendengar Alice-nya memanggil laki-laki lain dengan kata “sayang”. Bola matanya bergetar melihat bagaimana perempuan itu mengusap dada Lucas. Ia sungguh tidak mengerti mengapa Alice berubah dan sama sekali tidak mengingatnya.Sebelum akal sehatnya tenggelam lagi, Edmund menarik napas cepat dan mengembalikan fokus pada Sky. Meski pilu, ia harus mau berpura-pura menjadi orang baru.Ia sadar dirinya tidak boleh gegabah kalau tidak mau kehilangan orang-orang yang dicintainya lagi. Biarlah Alice menjadi Rachel dan Sky menjadi anak orang lain untuk sementara. Setidaknya, sampai ia mengumpulkan kebenaran.“Sky, bagaimana kalau kita obati lukamu sekarang? Setelah itu, kamu
"Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali
Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar
"Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s
"Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T
"Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.
"Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l
"Sayang, apakah kamu melihat anak-anak?" tanya Alice sembari menghampiri Edmund. "Anak-anak?" Edmund mengalihkan pandangan dari laptopnya. Kedua alisnya terdongkrak. "Bukankah mereka masih tidur? Aku tidak melihat mereka keluar tenda." "Kupikir juga begitu. Tapi setelah kuperiksa, mereka tidak ada." Edmund pun menoleh ke sekeliling. Mata dan telinganya menajam. Akan tetapi, tidak ada jejak anak-anak yang terdeteksi. "Mungkinkah mereka bermain di kebun belakang?" Alice menggeleng. "Aku sudah mencari mereka di sana. Tidak ada." "Kandang ayam? Siapa tahu, Sky mengajak si Kembar dan Russell melihat anak ayam." "Tidak ada juga." Edmund menjentikkan jari. "Kandang angsa! Mereka pasti sedang bermain dengan Gigi dan Gusi." Alice menghela napas berat. Guratan di keningnya tampak lebih jelas. "Tidak ada, Ed. Aku sudah mencari mereka ke mana-mana. Mereka tidak ada." "Apakah kau sudah mencari di dalam rumah? Siapa tahu mereka sedang bermain petak umpet. Mereka mungkin saja sedang bersemb
Alis Louis berkerut mendengar pertanyaan Edmund. "Kenapa Anda bertanya begitu, Tuan? Tentu saja aku menyayangi Sky. Dia temanku. Dia sudah seperti seorang adik bagiku." Edmund berkedip kaku. "Begitukah? Kau menganggapnya sebagai seorang adik?" Louis mengangguk mantap. "Ya, kurasa Emily juga begitu. Dulu dia menginginkan adik perempuan. Ternyata, Russell yang keluar. Dia sempat sedih. Kehadiran Sky membantu mengobati kekecewaannya." Bibir Edmund perlahan mengerucut. Tangannya disempal ke dalam saku. "Jadi, kau menganggap putriku sebagai adikmu?" gumamnya. Entah mengapa, perasaan lega timbul dalam hatinya. "Apakah itu berarti kau akan menjaganya seperti adik-adikmu?" "Ya, aku akan berusaha untuk menjaga Sky dengan baik. Aku tidak akan membuatnya menangis." Alis Edmund kembali tertaut. "Tapi tadi, aku melihatmu mengusili Emily. Apakah kau bisa dipercaya untuk menjaga adik-adikmu?" Tiba-tiba saja, bibir Louis berkedut. Sambil menggaruk pelipis, ia terkekeh. "Soal itu, aku memang suk
Semua orang bertepuk tangan saat Sky dan teman-teman hewannya selesai melakukan pertunjukan. Bukan hanya anak-anak Harper yang terkesima, tetapi orang tua mereka juga. "Terima kasih, Sky. Ini adalah sambutan paling manis yang pernah kami terima," tutur Kara dengan senyum lebar. "Ya, ini sambutan yang luar biasa. Bagaimana caramu melatih hewan-hewan itu? Bukan hanya kucing dan anjing, kamu juga berhasil melatih dua ekor angsa." Frank mengacungkan jempolnya. Sky terkekeh bangga. "Itu karena mereka bukan sembarang hewan, Tuan. Mereka adalah teman-temanku dan mereka pintar. Kurasa mereka mau mengikuti aba-aba dariku karena kami akrab." "Mereka teman-temanmu?" Frank menaikkan alis. Si Kembar langsung berebut menjelaskan. "Tidak ada anak-anak lain di sini, Papa. Karena itu, Sky hanya bermain dengan teman-teman hewannya." "Sky bilang dia selalu memberi mereka makan yang banyak. Kurasa, karena itu juga hewan-hewan itu patuh padanya. Mereka suka pada Sky!" Sky melompat antusias. "Louis