Jantung Edmund berdebar saat mengetuk pintu bernomor 506. Entah mengapa, ia merasa seperti tersedot ke masa silam, saat ia hendak menjemput Alice berkencan setelah ia menyadari bahwa janji palsunya telah mendatangkan cinta. Begitu pintu terbuka, napasnya sontak tertahan. Melihat wajah Alice yang sama sekali tidak berubah, matanya tanpa sadar berkaca-kaca. “Tuan Edmund?” Edmund berusaha menahan senyum agar tidak terlalu lebar. Tangannya yang disembunyikan di balik pinggang terkepal erat, berusaha menjaga batasan agar tidak menakuti sang wanita. “Selamat malam, Nyonya Rachel.” Ia sengaja tidak mau memanggilnya Nyonya Palmer. Bagi Edmund, Alice akan selalu menjadi Nyonya Hills. “Apakah Sky punya waktu luang? Aku berniat mengajaknya makan malam. Tidak jauh-jauh. Di resto hotel ini saja. Itu pun kalau Anda dan Tuan Palmer mengizinkan.” Sekarang Edmund merasa bahwa ia sedang meminta izin untuk mengencani anak orang. Rachel spontan mengernyitkan dahi. Tangannya enggan beralih dari gag
“Jadi, itu yang kau maksud dengan badut dan terompet tahun baru? Angka 5 dan 6?” gumam Edmund sembari memotong steak untuk Sky. “Ya, bukankah mereka mirip? Yang satu perutnya gendut, sedangkan yang satu lagi seperti pita melengkung. Kalau ditiup, pitanya bisa menjadi lurus dan terlihat lebih panjang!” Edmund terkekeh mendengar itu. “Kau memiliki imajinasi tinggi, Sky, persis seperti ibumu.” Sambil menyangga pipi dengan kedua tangan, Sky memiringkan kepala. “Kenapa kamu berbicara seperti sudah kenal lama dengan Mama? Kamu kan temanku. Kamu seharusnya lebih mengenalku.” Sambil menyodorkan piring ke hadapan Sky, Edmund berusaha untuk tetap tersenyum. “Suatu saat nanti, kau akan mengerti. Sekarang makanlah. Berterimakasihlah kepada sapi ini karena dia sudah memberikan dagingnya kepadamu.” “Sekarang kamu terdengar seperti Mama. Mama juga selalu berkata begitu setiap sebelum makan,” gumam Sky sebelum meraih garpu dan berbisik, “Terima kasih, Sapi. Maaf aku memakanmu.” Hati Edmund ber
Menyadari arah sorot mata Lucas, tubuh Edmund menegang. Cepat-cepat ia menutup telepon dan berjalan menuju meja. Namun, belum sempat ia meraih rambut sampel, Lucas telah lebih dulu mencengkeramnya. “Apa ini? Kau diam-diam mengambil rambut putriku? Apa tujuanmu sebenarnya, hmm? Kau sungguh berniat merebut istri dan anakku rupanya!” hardik Lucas dengan mata terpelotot. Rahang Edmund pun berdenyut-denyut. Ia sebetulnya sudah muak dengan Lucas sejak pertemuan pertama mereka. Sekarang, setelah gertakan keras itu, kebenciannya berlipat ganda dan tidak lagi tertahankan. “Berani sekali kau menyebut Sky putrimu?” Lucas tersentak mendengar nada dingin Edmund. “Apa maksudmu? Bukankah sudah jelas kalau dia anakku?” Suaranya turun drastis. Sambil mendengus, Edmund tertunduk. “Kurasa kita tidak perlu basa-basi lagi.” Ia duduk di sofa, lalu meletakkan kedua siku di atas lutut. Tatapannya tajam sekaligus redup. “Di mana kau menemukan Alice?” Lucas mengerjap. Urat di lehernya mencuat tertekan ol
“Sayang?” sapa Rachel dengan mata bulat. Sebelah tangannya terkepal di depan dada. “Kau sudah pulang?” Lucas berkedip-kedip bingung. “Kenapa kau seperti melihat hantu begitu? Apakah wajahku menyeramkan?” “Oh, tidak. Hanya saja, pikiranku sempat melayang tadi. Makanya aku terkejut.” Rachel mengedikkan bahunya ringan. Senyumnya terkesan canggung. “Memangnya apa yang kau lamunkan?” tanya Lucas sambil mengelus pinggang sang istri. Senyum tipis mulai menghangatkan wajahnya. Sambil menghela napas, Rachel melirik ke pekarangan belakang. Sky masih mengomel di sana. “Aku takut Sky kecewa kalau laki-laki itu tidak datang. Lihatlah. Ini sudah dua minggu tapi dia masih bersemangat melatih teman-teman hewannya.” Mendengar kata “laki-laki itu”, sebelah alis Lucas terangkat tak senang. “Apakah kau juga berharap dia datang?” “Aku?” Rachel berkedip lugu. “Aku menginginkan yang terbaik untuk Sky. Aku hanya tidak mau putri kita kecewa.” Sambil mendengus, Lucas mengelus lengan Rachel. “Kau tidak
“Laki-laki itu ..., apa yang dia lakukan di sini? Dia donatur yang baik hati itu?” batin Rachel tanpa berkedip. Matanya yang terbuka maksimal telah terpaku pada sosok gagah yang berjalan di sisi Hunter. Ia bisa mengenali sang pria walau tidak ada brewok di wajahnya lagi. Selang satu kedipan, Rachel mulai meringis. Semakin dekat jarak di antara mereka, semakin cepat deru napas dan debar jantungnya. Berdirinya pun jadi tak tenang. “Gawat! Ini gawat. Kalau Lucas tahu ....” Matanya mulai melirik ke kanan dan ke kiri, mencari kesempatan untuk kabur. Namun, mahkota ranting di tangannya mengingatkan untuk tidak ke mana-mana. Bagaimanapun, laki-laki itu adalah sang donatur yang telah mereka nanti-nantikan. “Semuanya, berbaris! Gusi, jangan nakal. Gusi?” Sky terpaksa merapikan barisan para hewan dengan tangannya sendiri. Setelah itu, ia melirik ke belakang sekilas. Melihat tamunya sudah tiba di dekat pagar, ia berdeham dan mulai memberikan aba-aba. “Perhatian, perhatian. Siapa di sini yan
Air mata Edmund menebal saat Rachel berdiri di samping, menaruh spaghetti di piringnya. Sudah lima tahun ia mendambakan momen tersebut. Biasanya, ia akan merangkul pinggang sang istri, membisikkan rasa syukur dan terima kasih, lalu bertukar kehangatan lewat bibir mereka. Namun kini, Edmund hanya bisa berdiam diri. Tangannya gemetar di bawah meja, berusaha keras untuk tidak menyentuh Rachel. Ia tidak mau terbawa emosi dan kehilangan Alice untuk selama-lamanya. “Terima kasih,” ucapnya lirih. Rachel mengernyitkan dahi melihat tatapan tersebut. Takut diserang lagi, ia cepat-cepat beralih untuk mengisi piring Sky. “Paman, kamu harus mencoba spaghetti buatan Mama. Rasanya sangat enak! Setelah ini, kamu juga harus mencicipi makanan lainnya. Bahan-bahannya kami ambil dari kebun belakang.” Edmund mengerjap. Ia melirik Sky yang duduk di sampingnya, tersenyum sebisanya. “Ya, aku tahu. Masakan ibumu pasti sangat lezat. Spaghetti adalah menu andalannya, kan?” Kemudian, Edmund kembali menatap
“Benua Amerika,” sahut Hunter mantap. “Aku tidak tahu di mana lokasinya. Lucas tidak pernah menceritakan masa-masa awal pernikahannya. Kupikir itu privasi. Tapi yang kutahu, itu Amerika.” “Benarkah? Kita pernah tinggal di benua Amerika, Mama?” Mata Sky berbinar terang. “Apakah aku juga lahir di sana?” Rachel tidak mungkin mengelak lagi. Mau tidak mau, ia mengangguk. “Di mana, Mama? Di negara mana aku lahir?” Rachel menimbang-nimbang sejenak. “Kanada.” Mulut Sky membulat. “Itu keren. Kapan-kapan, bagaimana kalau kita kembali ke sana? Aku penasaran seperti apa tempat aku dilahirkan.” Rachel tersenyum tipis melihat semangat putrinya. “Ya, Sayang. Nanti, kalau Papa mendapat tugas di sana, kita kunjungi kota kelahiranmu, hmm?” Sementara Sky mengangguk mantap, Edmund berpikir keras. “Sejak kapan kalian berada di Kanada? Apakah sejak kalian menikah?” Rachel terdiam sejenak. Selang satu kedipan, barulah ia memalsukan senyuman. “Ya. Setelah menikah, kami langsung pindah ke Kanada.” “M
“Di depan sana, ada lahan yang agak lapang. Kita bisa duduk di sana sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Sky, bisakah kau tunjukkan arahnya?” Hunter menaikkan alis seolah menantang. Semangat gadis mungil itu seketika kembali membara. “Bisa!” Sambil memegangi tali ranselnya, ia mengentakkan kaki membelah hutan. Setibanya di lokasi, ia langsung duduk di atas sebuah batu dan menghela napas lega. “Fiuh! Sepertinya, berat badanku sungguh bertambah. Langkah kakiku terasa lebih berat. Paman tahu? Biasanya, aku bisa mengelilingi hutan tanpa beristirahat. Kalau Papa dan Mama mengajakku berkemah, aku bisa berjalan tiga jam tanpa berhenti.” “Benarkah?” Edmund mengulum senyum mendengar pengakuan yang sulit dipercaya itu. “Kau punya kaki yang sakti, rupanya.” Tiba-tiba, Sky terkikik geli. “Kenapa kau percaya? Itu tidak mungkin, Paman. Aku bisa pingsan kalau terus berjalan selama tiga jam.” Sedetik kemudian, Sky membuka tasnya. Ia keluarkan tiga botol minum dari sana. “Ini untuk Paman Gree