“Di depan sana, ada lahan yang agak lapang. Kita bisa duduk di sana sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Sky, bisakah kau tunjukkan arahnya?” Hunter menaikkan alis seolah menantang. Semangat gadis mungil itu seketika kembali membara. “Bisa!” Sambil memegangi tali ranselnya, ia mengentakkan kaki membelah hutan. Setibanya di lokasi, ia langsung duduk di atas sebuah batu dan menghela napas lega. “Fiuh! Sepertinya, berat badanku sungguh bertambah. Langkah kakiku terasa lebih berat. Paman tahu? Biasanya, aku bisa mengelilingi hutan tanpa beristirahat. Kalau Papa dan Mama mengajakku berkemah, aku bisa berjalan tiga jam tanpa berhenti.” “Benarkah?” Edmund mengulum senyum mendengar pengakuan yang sulit dipercaya itu. “Kau punya kaki yang sakti, rupanya.” Tiba-tiba, Sky terkikik geli. “Kenapa kau percaya? Itu tidak mungkin, Paman. Aku bisa pingsan kalau terus berjalan selama tiga jam.” Sedetik kemudian, Sky membuka tasnya. Ia keluarkan tiga botol minum dari sana. “Ini untuk Paman Gree
Saat Edmund dan Hunter masih terlibat perdebatan, Sky datang sambil menyodorkan ponsel. “Paman Green, kurasa memorinya penuh. Videonya mendadak mati saat aku masih merekam.” Kedua pria itu sontak mengendurkan wajah. Sementara Edmund mengalihkan pandangan ke arah lain, Hunter tersenyum kecil dan mengambil ponselnya. “Ya, aku lupa mengosongkan memori tadi pagi. Terima kasih, Sky. Rekaman yang kau ambil tadi sudah cukup.” Belum sempat Sky menjawab, Edmund menyela, “Sky, apakah kau masih lelah?” Pundak si gadis mungil bergerak turun. “Paman Edmund, aku hanya duduk sebentar tadi. Lalu aku berdiri merekam kalian. Tentu saja kakiku masih pegal.” “Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang saja? Aku juga ingin beristirahat. Kepalaku mulai pusing efek penerbangan panjang.” Edmund melirik Hunter sekilas. Namun, pria paruh baya itu tidak menunjukkan penolakan. Ia hanya bangkit berdiri, lalu mengangguk. “Ya, kita lebih baik pulang. Matahari juga semakin turun. Malam datang lebih cepat di te
Melihat Sky belum juga kembali, Rachel bertanya-tanya. “Apa yang sedang mereka lakukan di dalam kamar? Kenapa mereka belum keluar juga?” “Kau mau aku memeriksanya?” Rachel terbelalak dan cepat-cepat melambaikan tangan. “Tidak perlu, Tuan Green. Aku hanya penasaran saja.” Sedetik kemudian, ia menyerahkan beberapa sendok sulur keladi katuk telur ke piring Hunter. “Apakah sudah cukup?” “Sudah.” Kemudian, Rachel menaruh sepotong ikan patin. Saat ia hendak meletakkan potongan kedua, Hunter cepat-cepat mengangkat tangan. “Satu saja sudah cukup, Rachel. Kenapa memberiku dua?” “Seperti yang Sky bilang, perjalanan tadi menguras energi. Kau juga harus makan yang banyak, Tuan Green. Lucas bisa mengkritikku kalau sampai kau bertambah kurus saat dia pulang nanti.” Sambil meringis, Hunter terpaksa membiarkan Rachel memberinya sasangan patin lebih banyak. Saat itulah, ia terpaku. Tahi lalat di jempol kanan Rachel telah menyita perhatiannya. “Rachel ternyata memiliki tahi lalat itu?” batinnya
Mata Edmund seketika menyipit. “Kau pikir aku sepicik itu? Tidak, Rachel. Aku tidak pernah menggunakan uang untuk menggaet perempuan. Aku tulus ingin membantu yayasan. Lagi pula, bukankah itu impianmu sejak dulu?” Lagi-lagi, Rachel tertegun. “Dari mana kau tahu?” Edmund tersenyum kecut. “Aku orang yang paling mengenalmu,” gumamnya sebelum menegakkan badan dan berdeham. “Jadi, apakah jantungmu masih berdebar?” “Apa maksudmu? Kenapa jantungku berdebar?” Rachel menempelkan tangan di dada kirinya. “Bukankah kau habis terkejut? Debar jantungmu pasti belum reda. Pijatlah jari-jarimu supaya kau bisa kembali tenang.” Rachel berkedip-kedip kaku. “Apakah kau menganggapku sebagai istrimu lagi?” Edmund seketika mematung. Sendok di tangannya seolah-olah ikut membeku. “Tidak. Aku tidak mau membuatmu merasa risih dan menghindar lagi. Aku hanya berbagi tips tentang bagaimana aku menangani istriku dulu. Dia juga gampang terkejut.” Tiba-tiba saja, Rachel dihantui rasa bersalah. Sambil menggigit
“Ya, Paman. Aku, Mama, dan Paman Ed akan pergi ke hutan mencari rotan. Apakah Paman Green mau ikut?” tanya Sky dengan wajah ceria. Alih-alih menjawab, Hunter memutar badan menghadap Rachel. “Kau mengizinkan dia ikut?” Belum sempat Rachel mengangguk, laki-laki paruh baya itu berbisik lagi, “Berdasarkan pengamatan kilatku, sikapmu terhadapnya tampak berbeda dari kemarin. Apakah terjadi sesuatu?” “Semalam aku tidak bisa tidur. Lalu aku keluar untuk mencari udara segar. Ternyata, dia sedang makan di dapur. Kami mengobrol singkat,” jawab Rachel dengan wajah tanpa dosa. “Apa yang kalian bicarakan sampai kau mengubah sikap?” Dagu Rachel naik sedikit mendesak bibir. “Intinya, dia menyesal telah membuatku merasa tak nyaman. Jadi, karena dia tidak akan menganggapku sebagai istrinya lagi, kurasa tidak apa-apa jika kami berteman.” “Berteman? Kau yakin?” selidik Hunter, penuh penekanan. Rachel mengangguk kaku. Saat itu pula, Edmund kembali dengan ransel di punggung. “Aku sudah siap. Mana bo
“Mama, Paman!” Sky kembali dengan raut cerianya. “Lihat ini! Aku sudah membuat banyak agenda!” Ia bentangkan buku jurnalnya di samping talenan. Edmund pun melirik sambil meninggikan alis. “Bisa kamu jelaskan apa saja itu?” Suaranya agak serak dengan sisa kesedihan yang tersangkut di tenggorokannya. Dagu Sky seketika naik mendesak bibir. “Apakah ini masih sulit dimengerti? Padahal, aku sudah berusaha untuk membuatnya sesimpel mungkin. Mama, apakah Mama mengerti apa yang aku gambar ini?” Rachel mengangkat pandangan, memperhatikan apa yang ditunjukkan Sky kepadanya. Mendapati gambar-gambar yang tak diduganya, ia membeku. “Kamu ... mau melakukan itu dengan Tuan Hills?” “Ya! Aku mau belajar berenang, belajar memanjat pohon, memanen buah di hutan, belajar cara mengikat tali, menelusuri hutan untuk mencari trenggiling, menandai tempat-tempat keren di globe, dan bermain bersama teman-teman hewan.” Usai menyebutkan satu per satu makna dari gambar yang dibuatnya, Sky tersenyum manis di h
"Paman Ed, aku sudah selesai mandi. Paman Ed!" panggil Sky sembari melompat keluar dari kamar. Sambil membawa sisir, Rachel berlari mengejar. "Sayang, tunggu dulu. Mama belum menyisir rambutmu." Namun, ketika Rachel melewati ruang tengah, langkahnya terhenti. Hunter meruncingkan telunjuk seolah ingin menanyakan sesuatu. Ia terpaksa mengubah arah. "Ada apa, Tuan Green?" "Aku mendapat kabar dari BKSDA tentang seorang warga yang memelihara owa. Jadi hari ini, aku harus pergi menemui mereka dan menjemput owa malang itu. Mungkin aku baru kembali besok. Apakah kau keberatan jika kutinggal?" Rachel berkedip datar. Ia heran, sejak kapan Hunter membutuhkan izin darinya untuk meninggalkan hutan. "Tidak apa-apa, Tuan Green. Kau pergi saja." Namun, Hunter masih mengernyitkan dahi. "Kau yakin? Haruskah aku mengusirnya sekarang? Aku merasa tidak tenang meninggalkan kalian di sini bersama laki-laki itu." Mengetahui keresahan Hunter, Rachel mendesahkan tawa. "Tuan Green, dia bukan lagi ancaman
Edmund menahan napas saat Rachel memeriksa kompas dengan teliti. Matanya membulat, sarafnya menegang. “Bagaimana?” tanyanya dengan penuh kehati-hatian. “Apakah mungkin ... kau pernah melihat kompas yang sama dengan kompas ini?” Rachel menarik napas panjang. Heningnya membuat detak jantung Edmund berdetak tak karuan. “Bolehkah kubuka?” “Ya, tentu,” angguk Edmund cepat. Begitu membuka kompas, perhatian Rachel langsung tertuju pada foto Edmund yang sedang mencium pipi Alice. Edmund sengaja menempelkan foto itu untuk membangkitkan kenangan yang terkubur dalam kepala Rachel. Melihat perubahan pada ekspresi sang wanita, harapannya bertumbuh pesat. Sayangnya, Sky tiba-tiba berseru, “Oh, aku baru melihat foto itu. Apakah kau baru menempelnya?” Harapan Edmund sontak terjun bebas. Sambil mengendalikan ekspresi, ia menatap Sky lekat-lekat. “Ya, aku belajar dari pengalamanku di Mauritius. Kalau suatu saat nanti kompas ini hilang lagi, orang yang menemukannya bisa tahu kalau kompas ini mili
"Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali
Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar
"Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s
"Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T
"Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.
"Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l
"Sayang, apakah kamu melihat anak-anak?" tanya Alice sembari menghampiri Edmund. "Anak-anak?" Edmund mengalihkan pandangan dari laptopnya. Kedua alisnya terdongkrak. "Bukankah mereka masih tidur? Aku tidak melihat mereka keluar tenda." "Kupikir juga begitu. Tapi setelah kuperiksa, mereka tidak ada." Edmund pun menoleh ke sekeliling. Mata dan telinganya menajam. Akan tetapi, tidak ada jejak anak-anak yang terdeteksi. "Mungkinkah mereka bermain di kebun belakang?" Alice menggeleng. "Aku sudah mencari mereka di sana. Tidak ada." "Kandang ayam? Siapa tahu, Sky mengajak si Kembar dan Russell melihat anak ayam." "Tidak ada juga." Edmund menjentikkan jari. "Kandang angsa! Mereka pasti sedang bermain dengan Gigi dan Gusi." Alice menghela napas berat. Guratan di keningnya tampak lebih jelas. "Tidak ada, Ed. Aku sudah mencari mereka ke mana-mana. Mereka tidak ada." "Apakah kau sudah mencari di dalam rumah? Siapa tahu mereka sedang bermain petak umpet. Mereka mungkin saja sedang bersemb
Alis Louis berkerut mendengar pertanyaan Edmund. "Kenapa Anda bertanya begitu, Tuan? Tentu saja aku menyayangi Sky. Dia temanku. Dia sudah seperti seorang adik bagiku." Edmund berkedip kaku. "Begitukah? Kau menganggapnya sebagai seorang adik?" Louis mengangguk mantap. "Ya, kurasa Emily juga begitu. Dulu dia menginginkan adik perempuan. Ternyata, Russell yang keluar. Dia sempat sedih. Kehadiran Sky membantu mengobati kekecewaannya." Bibir Edmund perlahan mengerucut. Tangannya disempal ke dalam saku. "Jadi, kau menganggap putriku sebagai adikmu?" gumamnya. Entah mengapa, perasaan lega timbul dalam hatinya. "Apakah itu berarti kau akan menjaganya seperti adik-adikmu?" "Ya, aku akan berusaha untuk menjaga Sky dengan baik. Aku tidak akan membuatnya menangis." Alis Edmund kembali tertaut. "Tapi tadi, aku melihatmu mengusili Emily. Apakah kau bisa dipercaya untuk menjaga adik-adikmu?" Tiba-tiba saja, bibir Louis berkedut. Sambil menggaruk pelipis, ia terkekeh. "Soal itu, aku memang suk
Semua orang bertepuk tangan saat Sky dan teman-teman hewannya selesai melakukan pertunjukan. Bukan hanya anak-anak Harper yang terkesima, tetapi orang tua mereka juga. "Terima kasih, Sky. Ini adalah sambutan paling manis yang pernah kami terima," tutur Kara dengan senyum lebar. "Ya, ini sambutan yang luar biasa. Bagaimana caramu melatih hewan-hewan itu? Bukan hanya kucing dan anjing, kamu juga berhasil melatih dua ekor angsa." Frank mengacungkan jempolnya. Sky terkekeh bangga. "Itu karena mereka bukan sembarang hewan, Tuan. Mereka adalah teman-temanku dan mereka pintar. Kurasa mereka mau mengikuti aba-aba dariku karena kami akrab." "Mereka teman-temanmu?" Frank menaikkan alis. Si Kembar langsung berebut menjelaskan. "Tidak ada anak-anak lain di sini, Papa. Karena itu, Sky hanya bermain dengan teman-teman hewannya." "Sky bilang dia selalu memberi mereka makan yang banyak. Kurasa, karena itu juga hewan-hewan itu patuh padanya. Mereka suka pada Sky!" Sky melompat antusias. "Louis