"Paman Ed, aku sudah selesai mandi. Paman Ed!" panggil Sky sembari melompat keluar dari kamar. Sambil membawa sisir, Rachel berlari mengejar. "Sayang, tunggu dulu. Mama belum menyisir rambutmu." Namun, ketika Rachel melewati ruang tengah, langkahnya terhenti. Hunter meruncingkan telunjuk seolah ingin menanyakan sesuatu. Ia terpaksa mengubah arah. "Ada apa, Tuan Green?" "Aku mendapat kabar dari BKSDA tentang seorang warga yang memelihara owa. Jadi hari ini, aku harus pergi menemui mereka dan menjemput owa malang itu. Mungkin aku baru kembali besok. Apakah kau keberatan jika kutinggal?" Rachel berkedip datar. Ia heran, sejak kapan Hunter membutuhkan izin darinya untuk meninggalkan hutan. "Tidak apa-apa, Tuan Green. Kau pergi saja." Namun, Hunter masih mengernyitkan dahi. "Kau yakin? Haruskah aku mengusirnya sekarang? Aku merasa tidak tenang meninggalkan kalian di sini bersama laki-laki itu." Mengetahui keresahan Hunter, Rachel mendesahkan tawa. "Tuan Green, dia bukan lagi ancaman
Edmund menahan napas saat Rachel memeriksa kompas dengan teliti. Matanya membulat, sarafnya menegang. “Bagaimana?” tanyanya dengan penuh kehati-hatian. “Apakah mungkin ... kau pernah melihat kompas yang sama dengan kompas ini?” Rachel menarik napas panjang. Heningnya membuat detak jantung Edmund berdetak tak karuan. “Bolehkah kubuka?” “Ya, tentu,” angguk Edmund cepat. Begitu membuka kompas, perhatian Rachel langsung tertuju pada foto Edmund yang sedang mencium pipi Alice. Edmund sengaja menempelkan foto itu untuk membangkitkan kenangan yang terkubur dalam kepala Rachel. Melihat perubahan pada ekspresi sang wanita, harapannya bertumbuh pesat. Sayangnya, Sky tiba-tiba berseru, “Oh, aku baru melihat foto itu. Apakah kau baru menempelnya?” Harapan Edmund sontak terjun bebas. Sambil mengendalikan ekspresi, ia menatap Sky lekat-lekat. “Ya, aku belajar dari pengalamanku di Mauritius. Kalau suatu saat nanti kompas ini hilang lagi, orang yang menemukannya bisa tahu kalau kompas ini mili
Rachel terbelalak. "Kalian mau berangkat sekarang? Tapi sebentar lagi jam makan siang, dan pekerjaan Mama juga belum selesai." Ia menunjuk laporan keuangan di hadapannya. Tiba-tiba saja, Sky terkikik. "Tentu saja kita makan siang dulu, Mama. Aku juga sudah lapar. Otakku sudah bekerja keras hari ini. Karena itu, aku meminta Paman Ed untuk membungkus makan siang kita." Rachel mengikuti arah telunjuk putrinya. Edmund sedang berdiri di dekat pintu, tersenyum dengan kedua tangan memegangi tali ranselnya. "Kami juga membawa bekal untuk berjaga-jaga. Sky takut dia lapar lagi dalam perjalanan," imbuh sang pria. "Bekal?" Rachel spontan menaikkan nada bicara. "Ya, Mama. Paman Ed membuat roti lapis isi tumis rotan! Aku sempat mencobanya tadi. Rasanya aneh, tapi masih bisa dimakan. Dia bilang dia memang suka bereksperimen." Sky mengangguk-angguk meyakinkan. Rachel tertawa datar. Sambil bertanya-tanya dalam hati seperti apa rasa makanan itu, ia melirik Edmund. "Kalian tidak mengacaukan dapurk
"Paman Ed!" pekik Sky setengah berbisik. Pipinya menjadi lebih gembul terdesak senyum. Tangannya melambai-lambai agar Edmund membungkuk ke arahnya. "Ada apa, Sky?" Sambil melompat kecil, Sky meruncingkan telunjuk ke arah tanah. "Itu jejak trenggiling!" Mata Edmund membulat. "Benarkah?" Ia pun menekuk sebelah lutut, memperhatikan cap kaki pada tanah dengan lebih saksama. "Kau yakin ini jejak trenggiling?" tanyanya ragu. Sky mengangguk dengan penuh semangat. "Ya! Bentuknya sama seperti yang pernah kulihat di rekaman Papa. Mama, coba Mama lihat ini. Bukankah ini jejak trenggiling?" Rachel yang sejak tadi berdiri di dekat Sky sontak mengangguk. "Ya, Mama rasa itu jejak trenggiling." Tawa Sky pun mengudara. "Aku senang sekali! Penemuan ini sungguh luar biasa. Paman, bisakah kamu memotret jejak ini dengan kamera ajaibmu? Kalau boleh, aku mau menyimpan fotonya." Edmund mengangguk ringan. "Tentu." Tanpa berlama-lama, ia mengeluarkan kameranya. Rachel diam-diam terkesan dengan kesabar
Rachel, Sky, dan Edmund mempercepat langkah. Langit telah semakin gelap. Awan mendung yang bergumpal-gumpal kini menyatu membentuk selubung raksasa. Mereka berharap dapat sampai di rumah sebelum hujan. Namun, baru setengah perjalanan mereka lalui, titik air mulai turun. "Oh, tidak! Kita kehujanan!" "Pakai jas hujanmu, Sky!" Edmund bergegas mengeluarkan jas hujan. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk Rachel. Setelah membantu Sky mengenakan jas hujan, barulah Rachel menerima sodoran Edmund. Malangnya, semakin lama, hujan semakin deras. Jalanan mulai becek, dan jarak pandang ke depan mulai terbatas. "Sky, bagaimana kalau kamu digendong saja?" tanya Edmund. Sky menggeleng tegas. "Tidak usah, Paman Ed. Aku ini sudah besar dan mandiri. Aku bisa berjalan sendiri." "Tapi perjalanan kita jadi lebih lambat, Sayang. Kamu digendong saja, ya? Kalau kamu tidak mau Paman Edmund yang menggendongmu, biar Mama saja." Edmund tersenyum mendengar bujukan itu. Untuk pertama kalinya, Rachel menyebutny
"Sayang? Kamu bilang kamu mau keluar untuk mengambil sarung? Kenapa malah memanggil Tuan Hills?" tanya Rachel, tak habis pikir dengan putrinya. Sambil menggigit bibir, Sky bergeser ke samping. "Maaf, Mama. Kurasa tidak apa-apa jika Paman Ed membantu. Mama terlalu berat. Aku tidak kuat." Rachel meringis kesal. "Tapi, Sayang—" "Aku bisa menutup mataku kalau kau merasa tidak nyaman. Yang penting, kau segera melepas celana basah itu dan berganti ke pakaian hangat. Omong-omong, apa itu sarung?" "Itu kain lebar yang punya lubang besar di setiap ujungnya. Kurasa Mama lebih mudah kalau memakai itu dibandingkan celana." Edmund mengangguk. "Bisa tolong kau ambilkan?" Sementara Sky berlari, Rachel kembali berdebat dengan Edmund. Ia merasa tidak butuh bantuan laki-laki itu. Namun, pada akhirnya, ia harus menahan malu dan rasa bersalah pada Lucas. Meskipun mata Edmund ditutup dengan sebuah syal, jantungnya tetap tak karuan. Bagaimana tidak? Pria yang baru ia kenal itu melucuti celana panjang
Belum sempat Rachel memecah keheningan, Edmund kembali berbisik, "Tunggu sebentar. Biar aku menurunkan Sky di kasur." Ia pun masuk ke kamar. Mata Rachel berkaca-kaca menatap punggungnya. Edmund memperlakukan Sky begitu lembut. Ia membaringkan gadis mungil itu di kasur, memberinya selimut dan belaian ringan di rambut. Setiap gerakannya penuh dengan cinta dan ketulusan. "Jadi, bagaimana keadaanmu?" tanya Edmund setelah menutup pintu tanpa suara. Rachel mendesah samar. Kecanggungan telah menguasai sarafnya. "Sudah jauh lebih baik. Terima kasih telah menolongku." Edmund menghela napas lega. "Syukurlah. Tapi kau jangan terlalu banyak bergerak dulu. Tetap berhati-hati dan kompreslah pinggangmu beberapa kali hari ini." Rachel mengangguk kaku. Sambil berjalan menuju toilet, ia berdeham. "Tuan Hills, bolehkah aku menanyakan sesuatu? Dari mana kau tahu kalau rasa sakitku hanya sesaat? Kau juga tahu bagaimana cara merawatku. Apakah kau seorang dokter?" Edmund terkekeh samar. Sambil berjala
"Tidak, Sayang. Kami mana mungkin bersenang-senang tanpa kamu? Kami hanya memetik sayuran di kebun belakang." Rachel menunjuk keranjang di tangan Edmund. "Itu namanya bersenang-senang, Mama. Kenapa Mama tidak membangunkan aku?" Rachel berjalan menuju tangga. Sky pun mengiringi, bergeser seperti kepiting di beranda atas. "Kami tidak tega mengganggu mimpi indahmu, Sayang," ujar Rachel sembari memeluk sang putri. "Dari mana Mama tahu aku bermimpi indah? Aku bermimpi bermain bersama bayi trenggiling! Aku membawa permen untuk mengundang banyak semut. Dia senang melihat banyak makanan." Rachel mengusap pipi Sky. "Tidurmu begitu lelap tadi. Kamu bahkan menganga." Sky cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan. "Apakah Paman Ed melihatku begitu?" Edmund tersenyum gemas. "Apakah kamu malu?" "Aku takut Paman tidak suka lagi padaku kalau melihat mukaku yang jelek." Tawa Edmund tidak lagi tertahan. "Kamu tidak jelek, Sky. Kamu justru sangat lucu ketika tidur seperti itu. Jadi, apakah