Huhuuy .... Bagaimanakah perasaan Rachel yang sebenarnya? Komen pendapat kalian, ya.
Belum sempat Rachel memecah keheningan, Edmund kembali berbisik, "Tunggu sebentar. Biar aku menurunkan Sky di kasur." Ia pun masuk ke kamar. Mata Rachel berkaca-kaca menatap punggungnya. Edmund memperlakukan Sky begitu lembut. Ia membaringkan gadis mungil itu di kasur, memberinya selimut dan belaian ringan di rambut. Setiap gerakannya penuh dengan cinta dan ketulusan. "Jadi, bagaimana keadaanmu?" tanya Edmund setelah menutup pintu tanpa suara. Rachel mendesah samar. Kecanggungan telah menguasai sarafnya. "Sudah jauh lebih baik. Terima kasih telah menolongku." Edmund menghela napas lega. "Syukurlah. Tapi kau jangan terlalu banyak bergerak dulu. Tetap berhati-hati dan kompreslah pinggangmu beberapa kali hari ini." Rachel mengangguk kaku. Sambil berjalan menuju toilet, ia berdeham. "Tuan Hills, bolehkah aku menanyakan sesuatu? Dari mana kau tahu kalau rasa sakitku hanya sesaat? Kau juga tahu bagaimana cara merawatku. Apakah kau seorang dokter?" Edmund terkekeh samar. Sambil berjala
"Tidak, Sayang. Kami mana mungkin bersenang-senang tanpa kamu? Kami hanya memetik sayuran di kebun belakang." Rachel menunjuk keranjang di tangan Edmund. "Itu namanya bersenang-senang, Mama. Kenapa Mama tidak membangunkan aku?" Rachel berjalan menuju tangga. Sky pun mengiringi, bergeser seperti kepiting di beranda atas. "Kami tidak tega mengganggu mimpi indahmu, Sayang," ujar Rachel sembari memeluk sang putri. "Dari mana Mama tahu aku bermimpi indah? Aku bermimpi bermain bersama bayi trenggiling! Aku membawa permen untuk mengundang banyak semut. Dia senang melihat banyak makanan." Rachel mengusap pipi Sky. "Tidurmu begitu lelap tadi. Kamu bahkan menganga." Sky cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan. "Apakah Paman Ed melihatku begitu?" Edmund tersenyum gemas. "Apakah kamu malu?" "Aku takut Paman tidak suka lagi padaku kalau melihat mukaku yang jelek." Tawa Edmund tidak lagi tertahan. "Kamu tidak jelek, Sky. Kamu justru sangat lucu ketika tidur seperti itu. Jadi, apakah
Sementara Sky bersorak gembira menyambut Rachel, Hunter termenung dan terpaku. Matanya sama sekali tidak berkedip dan paru-parunya membeku. Ia mendadak merasa bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang Rachel. Terlampau heran, Hunter akhirnya duduk di batang pohon. Sambil terus bertanya-tanya, ia mengamati gerak-gerik Rachel. "Hore! Mama sudah tidak takut dengan sungai lagi. Kita bisa belajar berenang bersama sekarang!" Merasakan betapa eratnya pelukan Sky, Rachel tersenyum simpul. "Mama berani turun ke sungai demi kamu, Sayang. Kapan lagi kamu punya kesempatan untuk belajar berenang, kan?" Selagi Sky mengangguk antusias, Edmund memperhatikan wajah Rachel dengan saksama. "Apakah kau tidak apa-apa?" Rachel mengangguk tanpa berpikir panjang. "Ya, pinggangku sudah jauh membaik. Sakit sedikit tidak masalah." Edmund pun termenung. Sebenarnya, bukan itu maksud dari pertanyaannya. Ia mengira Rachel akan menunjukkan reaksi tertentu saat masuk ke air. Namun ternyata, perempuan itu baik-baik saj
"Arizona?" gumam Hunter seraya berjalan menuju ruang kerja Lucas. Tanpa membuang waktu, ia menelusuri dokumen perjalanan sang fotografer satwa. Sesuai dugaan, tidak ada satu pun catatan tentang Arizona. "Sebenarnya apa yang terjadi? Mungkinkah Lucas menyembunyikan sesuatu selama ini? Karena itukah dia selalu menutup diri tentang masa lalu mereka?" Sambil duduk di sebuah kursi, Hunter menekan dagu dengan kepalan tangan. Bola matanya bergerak ke sana kemari. Ketika ia menemukan sesuatu dalam memorinya, ia terkesiap. "Jurnal perjalanan itu? Bukankah Antelope Canyon berada di Arizona?" Beberapa kali Hunter mengulas, ia yakin ingatannya tidak salah. Edmund dan istrinya yang hilang sempat berfoto di sana. "Mungkinkah ...." Dengan wajah penuh tanya, Hunter berjalan menuju ruang tengah. Melihat Edmund masih asyik mendengarkan celotehan Sky, firasatnya bertambah kuat. "Itukah alasan Lucas memakai contact lens berwarna hijau? Untuk menghilangkan kecurigaan orang-orang bahwa Sky bukan anak
Rachel termenung di wastafel. Tangannya memang bergerak membersihkan piring, tetapi pikirannya melayang. Saking jauhnya, ia tidak sadar bahwa Edmund berjalan menghampiri. “Apa yang sedang kau pikirkan?” Wanita itu mengerjap. Ia menoleh ke samping. Edmund sedang tersenyum padanya. “Ya?” “Apakah sesuatu sedang mengganggu pikiranmu?” Rachel berkedip lagi. “Tidak. Aku hanya sedang memikirkan menu apa yang harus kumasak untuk sarapan besok.” Sambil memalsukan senyum, ia mempercepat pekerjaannya. “Tidak perlu sesuatu yang istimewa. Masak saja menu yang biasa kau masak. Bagaimana dengan nasi goreng? Sky bilang kau sering membuatnya. Tapi selama aku di sini, aku belum pernah mencicipinya.” Rachel melirik tipis dan tersenyum. “Baiklah, akan kubuatkan nasi goreng spesial untuk besok.” Edmund suka lengkung bibir yang cantik itu. “Terima kasih.” Rachel pun kembali mencuci piring dengan kepala yang lebih tertunduk. Pipinya agak bersemu. Sudah lama Edmund tidak melihat ekspresi itu. Sambil m
“Mana yang lebih penting? Egomu ... atau kebahagiaan mereka?” Sudah beberapa jam pertanyaan itu menghantui Edmund. Sekalipun ia memejamkan mata dan menutup telinga dengan bantal, suara Hunter terus terngiang. “Bukankah mereka akan lebih bahagia kalau pulang bersamaku?” gumamnya sambil menatap langit-langit yang gelap. Sebelumnya, Edmund antusias membayangkan hidupnya bersama Alice dan Sky. Mereka akan menyambutnya setiap pulang kerja. Mereka bisa bermain bersama setiap malam, atau berjalan-jalan di akhir pekan. Rumah mereka akan dipenuhi canda dan tawa. Namun kini, ia mendadak ragu. “Apakah aku egois jika menginginkan Alice kembali? Apakah aku egois kalau membawa mereka pergi dari sini?” “Bagaimana kalau Sky malah tidak terbiasa dengan kehidupan di perkotaan? Bagaimana kalau dia lebih suka tinggal di hutan? Haruskah aku membeli rumah baru di kawasan hutan?” “Dengan kembali ke rumah itu, apakah Alice harus menghadapi traumanya lagi? Apakah dia akan kembali terpuruk? Dan kalau ing
“Mama, lihat aku!” seru Sky sambil tertawa-tawa. Rachel pun menurunkan galah, menoleh ke belakang. Melihat Sky sedang memeluk sebatang pohon dengan kedua tangan dan kakinya, ia mendesah tak percaya. “Sayang, apa yang sedang kau lakukan? Itu bukan memanjat pohon namanya.” Tawa Sky semakin ringan. “Sekarang aku mengerti kenapa koala suka memeluk pohon seperti ini. Itu karena mereka kelelahan, Mama. Memanjat pohon sangat susah.” “Kalau kamu lelah, turun saja. Nanti baru lanjutkan lagi. Kamu lebih baik membantu Mama memetik mangga. Bukankah kamu bilang mau memanen buah di hutan?” “Tidak, Mama. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus naik sampai cabang yang itu. Soal memanen buah, bukankah tadi aku sudah mengumpulkan lima mangga di keranjang? Kurasa itu sudah cukup untuk membuat rujak buah, Mama.” “Lima, tapi busuk semua,” Rachel meletakkan sebelah tangan di pinggang. Sky kembali menyuarakan keceriaannya. “Tidak semua, Mama. Hanya setengah. Mama bisa menyelamatkan bagian yang masih bagus
"Mama, aku juga mau mengupas mangga," tutur Sky sembari mengerutkan alis. Telapak tangannya menengadah, meminta Rachel untuk memberinya mangga. "Tidak, Sayang. Memegangnya dengan satu tangan saja kamu belum bisa, apalagi mengupasnya?" Sky mendorong bibirnya lebih maju. "Tapi aku mau membantu. Bagaimana kalau aku memotongnya saja? Aku bisa menggunakan talenan. Paman Ed bersedia membantuku, seperti saat kami memotong rotan kemarin. Benar, kan, Paman?" Alih-alih mengangguk, Edmund tersenyum simpul. "Maaf, Sky, kali ini tidak bisa. Buahnya licin dan bulat. Risikonya terlalu besar. Kamu bisa melukai tanganmu sendiri atau tanganku." Sky pun memasang tampang cemberut. Tak ingin putrinya mengambek, Rachel pun menyodorkan cobekan. "Bagaimana kalau kamu menghaluskan kacang saja? Tapi kamu harus mengerjakannya dengan teliti karena ini adalah bagian terpenting dari rujak. Kalau saus kacangnya tidak enak, hancur sudah rasa rujaknya." Mendengar tantangan tersebut, mata Sky kembali berbinar. "