Dengan pintu yang terbuka lebar, Rachel bisa melihat Edmund berdiri menghadap dinding. Keningnya tertempel di sana. Tinjunya yang menancap pada papan tebal itu tampak gemetar. “Kenapa Alice lebih memilih Lucas dibandingkan aku? Kenapa?" Napas Rachel tersekat mendengar lirihan itu. Dadanya ikut sesak, kerongkongannya panas. Ketika Edmund menekuk lutut, menyerah pada gravitasi, ia cepat-cepat bersembunyi di balik dinding. “Ini sama sekali tidak adil,” isak Edmund, penuh dengan kekesalan. “Tidak adil.” Rachel pun tertunduk. Tangannya terkepal di depan dada, menggenggam rasa bersalah yang tidak mungkin ia perlihatkan. Ia bisa apa? Ia sudah nyaman dengan kehidupannya bersama Lucas. Tidak mungkin ia meninggalkan sang suami, mempertaruhkan banyak hal hanya karena iba. ‘Maaf, Tuan Hills. Kau bukan siapa-siapa bagiku. Aku tidak bisa mengubah kenyataan bahwa kita memang tidak ditakdirkan bersama. Aku bukan istrimu yang hilang itu. Aku Rachel. Rachel Palmer.’ Dengan wajah tanpa ekspresi,
"Kau sudah berubah pikiran?" desah Hunter sambil menaikkan alis. Edmund menggeser pandangan ke arah owa. Sorot matanya meredup. "Aku tidak ingin ada yang bernasib sama seperti satwa malang ini. Karena itu," ia menyodorkan sebuah cek bertuliskan lima miliar. "Tidak ada yang perlu kupelajari lagi dari yayasan ini. Semua sudah jelas bahwa kalian melakukan yang benar. Aku ingin mendukung kalian sepenuhnya." Hunter menatap nominal itu dengan mata bulat. Tepat sebelum ia bicara, Edmund menyela. "Bisakah kau siapkan transportasi untuk aku pulang?" "Kapan?" tanya Hunter spontan. "Besok pagi." Ia semakin terbelalak. "Secepat itu?" Sambil menghela napas, Edmund bangkit berdiri. Ia masukkan cek ke dalam saku kemeja Hunter, lalu menepuk pundaknya dua kali. "Terima kasih, Tuan Green." Hunter hanya bisa melongo menatap punggung Edmund. Saat pria pucat itu menghilang dari pandangannya, ia mendesah heran. "Apakah telah terjadi sesuatu? Mungkinkah dia berubah hanya karena omonganku semata?"
"Sky, setelah ini, bagaimana kalau kita melakukan rekaman?" tanya Edmund lirih. Ia takut kesedihannya terlepas kalau berbicara lebih kencang. Sambil mengatur napas, Sky berkedip-kedip menatap Edmund. "Rekaman apa, Paman? Apakah itu liputan seperti yang biasa dilakukan oleh Paman Green dan Papa?" Edmund mengangguk samar. "Ya, kau boleh memperkenalkan teman-teman hewanmu dalam rekaman itu. Video itu bisa kita tonton kapan pun nanti, termasuk saat kau dewasa." "Oh, itu pasti sangat menyenangkan. Bagaimana kalau kita sekalian saja melakukan tur keliling rumah? Jadi, saat aku sedang berada di negara lain, aku bisa menontonnya agar rasa rinduku berkurang." Lengkung bibir Edmund berubah pahit. "Ya. Aku juga bisa menontonnya setiap kali aku merindukan kalian nanti." Rachel yang menguping dari ruang sebelah sontak tertegun. Ia mengintip dari jendela. Walau wajah Edmund tidak terlihat, ia bisa menangkap kesedihannya. "Laki-laki itu ... dia sungguh berniat untuk berpisah dengan Sky? Dia su
Edmund menarik napas berat. "Kemungkinan besar, tidak. Kecuali, Tuan Green berbaik hati untuk mengundangku kemari nanti. Sebagai bentuk laporan atas alokasi dana yang sudah kusumbangkan, mungkin?" Selagi Edmund melirik Hunter, Sky mulai merajuk. "Paman Green, berjanjilah padaku kalau kau akan mengundang Paman Ed lagi nanti. Dia sudah memberi banyak uang untuk yayasan. Papa tidak seharusnya melarang dia datang lagi." Tidak punya pilihan, Hunter mengangguk singkat. "Ya. Nanti aku akan bicara baik-baik dengan Lucas. Sekarang berhentilah menangis. Air matamu bisa merusak makan malam spesial ini, Sky." Alih-alih menyeka wajah, Sky menoleh ke arah pria yang memangkunya. Selang keheningan sesaat, ia memutar posisi duduknya dan memeluk Edmund erat-erat. "Aku akan sangat merindukanmu, Paman." Edmund pun merengkuh Sky sambil terpejam. Matanya terasa sangat panas sekarang. Air mata mungkin saja lolos kalau ia memberi celah. "Aku juga akan sangat merindukanmu, Sky. Sekarang tolong jangan se
"Sekarang," Edmund bersusah payah mengalahkan sesak dalam dadanya, " bantulah aku untuk membuat malam ini menjadi momen berhargaku dengan Sky." Demi menahan kedutan hebat di dagu, ia lanjut dengan berbisik, "Meskipun aku bukan ayahnya, dia sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Jadi tolong ...." Edmund mengatur napas. Ia takut suaranya pecah kalau terus dipaksa kuat. "Izinkan aku untuk menikmati kebersamaan kami untuk yang terakhir kali. Aku tidak tahu apakah setelah ini kami masih punya kesempatan untuk bertemu lagi. Lucas bisa saja menghalangi kami. Jadi, demi mengantisipasi kemungkinan terburuk itu," Edmund kembali berhenti. "Baiklah," sela Rachel. Ia ikut sesak mendengar penderitaan Edmund. "Aku mengerti. Kita harus mendirikan tenda secepat mungkin. Ayo bergegas sebelum Sky kembali," angguknya sambil lanjut mengikat tali. Edmund tahu Rachel ingin membuat suasana menjadi lebih baik. Ia bingung harus bersyukur atau marah. Mengapa mudah sekali Rachel merelakan dirinya pergi dan
Edmund menutup buku dan memindahkan Sky ke kantong tidurnya. Sementara balita itu terlelap, ia berbaring miring sambil menyangga kepala dengan sebelah tangan. "Terima kasih sudah tumbuh menjadi anak yang baik dan cerdas, Sky. Aku sangat bangga padamu." Edmund mengelus tangan sang balita dengan lembut. Senyumnya samar, napasnya berat. Matanya tak sedetik pun berpaling dari wajah mungil itu. "Maaf kalau kita harus berpisah. Maaf kalau aku belum sempat memberimu banyak hal. Kalau saja aku punya kesempatan untuk menebus kesalahan, aku pasti akan menjadi ayah terbaik bagimu, Sayang." Edmund mengecup tangan Sky, lalu menempelkannya di pipi. Ia mengira itu bisa mengurangi bebannya. Namun ternyata, tekanan dalam dada malah bertambah hebat. "Seandainya saja dulu aku tidak mengusir kalian ...." Setitik air mata jatuh di wajah Edmund. Tak ingin membasahi tangan Sky, ia cepat-cepat menyekanya dengan pundak. Kemudian, tanpa bersuara, ia menarik Sky untuk merapat. Sambil memeluknya, ia terpe
Edmund mengangguk. Ia serahkan kamera polaroid kesayangannya. Sky menerima itu dengan raut gelisah. "Paman, bukankah ini barang bersejarah bagi kamu dan istrimu? Kenapa kau memberikannya kepadaku?" "Aku ingin kau berfoto setiap hari lalu menulis pengalamanmu hari itu di baliknya. Setiap bulan, kau harus mengirimkan 30 foto kepadaku." Edmund mengeluarkan sekotak kertas foto yang siap digunakan. "Aku akan mengirim satu bungkus setiap bulan. Stoknya harus selalu aman." "Itu berarti, kau juga harus menyertakan foto-fotomu dalam paket itu, Paman. Dengan begitu, aku juga tahu bagaimana keadaanmu dan apa saja yang kau lakukan setiap hari." Edmund melebarkan senyum. "Itu ide bagus. Kau mau menyimpan ini di tasmu?" Sky dengan sigap melepas ransel dan membukanya. "Terima kasih, Paman," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Edmund membelai kepala Sky dengan lembut. Selang keheningan sesaat, ia kembali berkata, "Selain itu, aku punya satu hal lagi untukmu." Alis Sky meninggi. Melihat Edmund me
"Paman Ed!" Sky histeris. Ia hendak berlari menghampiri. Namun, sang ibu lebih dulu menariknya mundur. "Sayang, tunggu di sini. Biar Mama yang menahan Papa." Namun, gadis mungil itu meronta. Ia mau menyelamatkan sahabatnya. Rachel tidak mungkin melepasnya. Beruntung, Hunter bersedia turun tangan. "Lucas, apa yang kau lakukan?" hardik pria paruh baya itu sambil menahan lengan temannya. "Kendalikan dirimu! Dengarkan dulu penjelasan kami." "Apa yang perlu kudengar? Bukankah semuanya sudah jelas." Lucas mengalihkan pandangan, menyoroti Edmund dengan penuh kebencian. "Laki-laki yang tidak tahu diri ini sengaja datang ke sini untuk mendekati Rachel. Dia berniat untuk merebut istriku!" Masih dengan napas memburu, ia melirik Hunter. "Kau lihat bagaimana mereka berpelukan tadi? Mengapa kau biarkan itu? Kau berada di pihaknya?" "Kau sudah salah paham, Lucas. Itu pelukan perpisahan. Tuan Hills berencana pulang. Lihat! Perahunya saja sudah siap." Alih-alih tenang, Lucas malah mendengus. "
"Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali
Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar
"Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s
"Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T
"Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.
"Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l
"Sayang, apakah kamu melihat anak-anak?" tanya Alice sembari menghampiri Edmund. "Anak-anak?" Edmund mengalihkan pandangan dari laptopnya. Kedua alisnya terdongkrak. "Bukankah mereka masih tidur? Aku tidak melihat mereka keluar tenda." "Kupikir juga begitu. Tapi setelah kuperiksa, mereka tidak ada." Edmund pun menoleh ke sekeliling. Mata dan telinganya menajam. Akan tetapi, tidak ada jejak anak-anak yang terdeteksi. "Mungkinkah mereka bermain di kebun belakang?" Alice menggeleng. "Aku sudah mencari mereka di sana. Tidak ada." "Kandang ayam? Siapa tahu, Sky mengajak si Kembar dan Russell melihat anak ayam." "Tidak ada juga." Edmund menjentikkan jari. "Kandang angsa! Mereka pasti sedang bermain dengan Gigi dan Gusi." Alice menghela napas berat. Guratan di keningnya tampak lebih jelas. "Tidak ada, Ed. Aku sudah mencari mereka ke mana-mana. Mereka tidak ada." "Apakah kau sudah mencari di dalam rumah? Siapa tahu mereka sedang bermain petak umpet. Mereka mungkin saja sedang bersemb
Alis Louis berkerut mendengar pertanyaan Edmund. "Kenapa Anda bertanya begitu, Tuan? Tentu saja aku menyayangi Sky. Dia temanku. Dia sudah seperti seorang adik bagiku." Edmund berkedip kaku. "Begitukah? Kau menganggapnya sebagai seorang adik?" Louis mengangguk mantap. "Ya, kurasa Emily juga begitu. Dulu dia menginginkan adik perempuan. Ternyata, Russell yang keluar. Dia sempat sedih. Kehadiran Sky membantu mengobati kekecewaannya." Bibir Edmund perlahan mengerucut. Tangannya disempal ke dalam saku. "Jadi, kau menganggap putriku sebagai adikmu?" gumamnya. Entah mengapa, perasaan lega timbul dalam hatinya. "Apakah itu berarti kau akan menjaganya seperti adik-adikmu?" "Ya, aku akan berusaha untuk menjaga Sky dengan baik. Aku tidak akan membuatnya menangis." Alis Edmund kembali tertaut. "Tapi tadi, aku melihatmu mengusili Emily. Apakah kau bisa dipercaya untuk menjaga adik-adikmu?" Tiba-tiba saja, bibir Louis berkedut. Sambil menggaruk pelipis, ia terkekeh. "Soal itu, aku memang suk
Semua orang bertepuk tangan saat Sky dan teman-teman hewannya selesai melakukan pertunjukan. Bukan hanya anak-anak Harper yang terkesima, tetapi orang tua mereka juga. "Terima kasih, Sky. Ini adalah sambutan paling manis yang pernah kami terima," tutur Kara dengan senyum lebar. "Ya, ini sambutan yang luar biasa. Bagaimana caramu melatih hewan-hewan itu? Bukan hanya kucing dan anjing, kamu juga berhasil melatih dua ekor angsa." Frank mengacungkan jempolnya. Sky terkekeh bangga. "Itu karena mereka bukan sembarang hewan, Tuan. Mereka adalah teman-temanku dan mereka pintar. Kurasa mereka mau mengikuti aba-aba dariku karena kami akrab." "Mereka teman-temanmu?" Frank menaikkan alis. Si Kembar langsung berebut menjelaskan. "Tidak ada anak-anak lain di sini, Papa. Karena itu, Sky hanya bermain dengan teman-teman hewannya." "Sky bilang dia selalu memberi mereka makan yang banyak. Kurasa, karena itu juga hewan-hewan itu patuh padanya. Mereka suka pada Sky!" Sky melompat antusias. "Louis