“Mama, lihat aku!” seru Sky sambil tertawa-tawa. Rachel pun menurunkan galah, menoleh ke belakang. Melihat Sky sedang memeluk sebatang pohon dengan kedua tangan dan kakinya, ia mendesah tak percaya. “Sayang, apa yang sedang kau lakukan? Itu bukan memanjat pohon namanya.” Tawa Sky semakin ringan. “Sekarang aku mengerti kenapa koala suka memeluk pohon seperti ini. Itu karena mereka kelelahan, Mama. Memanjat pohon sangat susah.” “Kalau kamu lelah, turun saja. Nanti baru lanjutkan lagi. Kamu lebih baik membantu Mama memetik mangga. Bukankah kamu bilang mau memanen buah di hutan?” “Tidak, Mama. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus naik sampai cabang yang itu. Soal memanen buah, bukankah tadi aku sudah mengumpulkan lima mangga di keranjang? Kurasa itu sudah cukup untuk membuat rujak buah, Mama.” “Lima, tapi busuk semua,” Rachel meletakkan sebelah tangan di pinggang. Sky kembali menyuarakan keceriaannya. “Tidak semua, Mama. Hanya setengah. Mama bisa menyelamatkan bagian yang masih bagus
"Mama, aku juga mau mengupas mangga," tutur Sky sembari mengerutkan alis. Telapak tangannya menengadah, meminta Rachel untuk memberinya mangga. "Tidak, Sayang. Memegangnya dengan satu tangan saja kamu belum bisa, apalagi mengupasnya?" Sky mendorong bibirnya lebih maju. "Tapi aku mau membantu. Bagaimana kalau aku memotongnya saja? Aku bisa menggunakan talenan. Paman Ed bersedia membantuku, seperti saat kami memotong rotan kemarin. Benar, kan, Paman?" Alih-alih mengangguk, Edmund tersenyum simpul. "Maaf, Sky, kali ini tidak bisa. Buahnya licin dan bulat. Risikonya terlalu besar. Kamu bisa melukai tanganmu sendiri atau tanganku." Sky pun memasang tampang cemberut. Tak ingin putrinya mengambek, Rachel pun menyodorkan cobekan. "Bagaimana kalau kamu menghaluskan kacang saja? Tapi kamu harus mengerjakannya dengan teliti karena ini adalah bagian terpenting dari rujak. Kalau saus kacangnya tidak enak, hancur sudah rasa rujaknya." Mendengar tantangan tersebut, mata Sky kembali berbinar. "
Dengan pintu yang terbuka lebar, Rachel bisa melihat Edmund berdiri menghadap dinding. Keningnya tertempel di sana. Tinjunya yang menancap pada papan tebal itu tampak gemetar. “Kenapa Alice lebih memilih Lucas dibandingkan aku? Kenapa?" Napas Rachel tersekat mendengar lirihan itu. Dadanya ikut sesak, kerongkongannya panas. Ketika Edmund menekuk lutut, menyerah pada gravitasi, ia cepat-cepat bersembunyi di balik dinding. “Ini sama sekali tidak adil,” isak Edmund, penuh dengan kekesalan. “Tidak adil.” Rachel pun tertunduk. Tangannya terkepal di depan dada, menggenggam rasa bersalah yang tidak mungkin ia perlihatkan. Ia bisa apa? Ia sudah nyaman dengan kehidupannya bersama Lucas. Tidak mungkin ia meninggalkan sang suami, mempertaruhkan banyak hal hanya karena iba. ‘Maaf, Tuan Hills. Kau bukan siapa-siapa bagiku. Aku tidak bisa mengubah kenyataan bahwa kita memang tidak ditakdirkan bersama. Aku bukan istrimu yang hilang itu. Aku Rachel. Rachel Palmer.’ Dengan wajah tanpa ekspresi,
"Kau sudah berubah pikiran?" desah Hunter sambil menaikkan alis. Edmund menggeser pandangan ke arah owa. Sorot matanya meredup. "Aku tidak ingin ada yang bernasib sama seperti satwa malang ini. Karena itu," ia menyodorkan sebuah cek bertuliskan lima miliar. "Tidak ada yang perlu kupelajari lagi dari yayasan ini. Semua sudah jelas bahwa kalian melakukan yang benar. Aku ingin mendukung kalian sepenuhnya." Hunter menatap nominal itu dengan mata bulat. Tepat sebelum ia bicara, Edmund menyela. "Bisakah kau siapkan transportasi untuk aku pulang?" "Kapan?" tanya Hunter spontan. "Besok pagi." Ia semakin terbelalak. "Secepat itu?" Sambil menghela napas, Edmund bangkit berdiri. Ia masukkan cek ke dalam saku kemeja Hunter, lalu menepuk pundaknya dua kali. "Terima kasih, Tuan Green." Hunter hanya bisa melongo menatap punggung Edmund. Saat pria pucat itu menghilang dari pandangannya, ia mendesah heran. "Apakah telah terjadi sesuatu? Mungkinkah dia berubah hanya karena omonganku semata?"
"Sky, setelah ini, bagaimana kalau kita melakukan rekaman?" tanya Edmund lirih. Ia takut kesedihannya terlepas kalau berbicara lebih kencang. Sambil mengatur napas, Sky berkedip-kedip menatap Edmund. "Rekaman apa, Paman? Apakah itu liputan seperti yang biasa dilakukan oleh Paman Green dan Papa?" Edmund mengangguk samar. "Ya, kau boleh memperkenalkan teman-teman hewanmu dalam rekaman itu. Video itu bisa kita tonton kapan pun nanti, termasuk saat kau dewasa." "Oh, itu pasti sangat menyenangkan. Bagaimana kalau kita sekalian saja melakukan tur keliling rumah? Jadi, saat aku sedang berada di negara lain, aku bisa menontonnya agar rasa rinduku berkurang." Lengkung bibir Edmund berubah pahit. "Ya. Aku juga bisa menontonnya setiap kali aku merindukan kalian nanti." Rachel yang menguping dari ruang sebelah sontak tertegun. Ia mengintip dari jendela. Walau wajah Edmund tidak terlihat, ia bisa menangkap kesedihannya. "Laki-laki itu ... dia sungguh berniat untuk berpisah dengan Sky? Dia su
Edmund menarik napas berat. "Kemungkinan besar, tidak. Kecuali, Tuan Green berbaik hati untuk mengundangku kemari nanti. Sebagai bentuk laporan atas alokasi dana yang sudah kusumbangkan, mungkin?" Selagi Edmund melirik Hunter, Sky mulai merajuk. "Paman Green, berjanjilah padaku kalau kau akan mengundang Paman Ed lagi nanti. Dia sudah memberi banyak uang untuk yayasan. Papa tidak seharusnya melarang dia datang lagi." Tidak punya pilihan, Hunter mengangguk singkat. "Ya. Nanti aku akan bicara baik-baik dengan Lucas. Sekarang berhentilah menangis. Air matamu bisa merusak makan malam spesial ini, Sky." Alih-alih menyeka wajah, Sky menoleh ke arah pria yang memangkunya. Selang keheningan sesaat, ia memutar posisi duduknya dan memeluk Edmund erat-erat. "Aku akan sangat merindukanmu, Paman." Edmund pun merengkuh Sky sambil terpejam. Matanya terasa sangat panas sekarang. Air mata mungkin saja lolos kalau ia memberi celah. "Aku juga akan sangat merindukanmu, Sky. Sekarang tolong jangan se
"Sekarang," Edmund bersusah payah mengalahkan sesak dalam dadanya, " bantulah aku untuk membuat malam ini menjadi momen berhargaku dengan Sky." Demi menahan kedutan hebat di dagu, ia lanjut dengan berbisik, "Meskipun aku bukan ayahnya, dia sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Jadi tolong ...." Edmund mengatur napas. Ia takut suaranya pecah kalau terus dipaksa kuat. "Izinkan aku untuk menikmati kebersamaan kami untuk yang terakhir kali. Aku tidak tahu apakah setelah ini kami masih punya kesempatan untuk bertemu lagi. Lucas bisa saja menghalangi kami. Jadi, demi mengantisipasi kemungkinan terburuk itu," Edmund kembali berhenti. "Baiklah," sela Rachel. Ia ikut sesak mendengar penderitaan Edmund. "Aku mengerti. Kita harus mendirikan tenda secepat mungkin. Ayo bergegas sebelum Sky kembali," angguknya sambil lanjut mengikat tali. Edmund tahu Rachel ingin membuat suasana menjadi lebih baik. Ia bingung harus bersyukur atau marah. Mengapa mudah sekali Rachel merelakan dirinya pergi dan
Edmund menutup buku dan memindahkan Sky ke kantong tidurnya. Sementara balita itu terlelap, ia berbaring miring sambil menyangga kepala dengan sebelah tangan. "Terima kasih sudah tumbuh menjadi anak yang baik dan cerdas, Sky. Aku sangat bangga padamu." Edmund mengelus tangan sang balita dengan lembut. Senyumnya samar, napasnya berat. Matanya tak sedetik pun berpaling dari wajah mungil itu. "Maaf kalau kita harus berpisah. Maaf kalau aku belum sempat memberimu banyak hal. Kalau saja aku punya kesempatan untuk menebus kesalahan, aku pasti akan menjadi ayah terbaik bagimu, Sayang." Edmund mengecup tangan Sky, lalu menempelkannya di pipi. Ia mengira itu bisa mengurangi bebannya. Namun ternyata, tekanan dalam dada malah bertambah hebat. "Seandainya saja dulu aku tidak mengusir kalian ...." Setitik air mata jatuh di wajah Edmund. Tak ingin membasahi tangan Sky, ia cepat-cepat menyekanya dengan pundak. Kemudian, tanpa bersuara, ia menarik Sky untuk merapat. Sambil memeluknya, ia terpe