Sementara Sky bersorak gembira menyambut Rachel, Hunter termenung dan terpaku. Matanya sama sekali tidak berkedip dan paru-parunya membeku. Ia mendadak merasa bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang Rachel. Terlampau heran, Hunter akhirnya duduk di batang pohon. Sambil terus bertanya-tanya, ia mengamati gerak-gerik Rachel. "Hore! Mama sudah tidak takut dengan sungai lagi. Kita bisa belajar berenang bersama sekarang!" Merasakan betapa eratnya pelukan Sky, Rachel tersenyum simpul. "Mama berani turun ke sungai demi kamu, Sayang. Kapan lagi kamu punya kesempatan untuk belajar berenang, kan?" Selagi Sky mengangguk antusias, Edmund memperhatikan wajah Rachel dengan saksama. "Apakah kau tidak apa-apa?" Rachel mengangguk tanpa berpikir panjang. "Ya, pinggangku sudah jauh membaik. Sakit sedikit tidak masalah." Edmund pun termenung. Sebenarnya, bukan itu maksud dari pertanyaannya. Ia mengira Rachel akan menunjukkan reaksi tertentu saat masuk ke air. Namun ternyata, perempuan itu baik-baik saj
"Arizona?" gumam Hunter seraya berjalan menuju ruang kerja Lucas. Tanpa membuang waktu, ia menelusuri dokumen perjalanan sang fotografer satwa. Sesuai dugaan, tidak ada satu pun catatan tentang Arizona. "Sebenarnya apa yang terjadi? Mungkinkah Lucas menyembunyikan sesuatu selama ini? Karena itukah dia selalu menutup diri tentang masa lalu mereka?" Sambil duduk di sebuah kursi, Hunter menekan dagu dengan kepalan tangan. Bola matanya bergerak ke sana kemari. Ketika ia menemukan sesuatu dalam memorinya, ia terkesiap. "Jurnal perjalanan itu? Bukankah Antelope Canyon berada di Arizona?" Beberapa kali Hunter mengulas, ia yakin ingatannya tidak salah. Edmund dan istrinya yang hilang sempat berfoto di sana. "Mungkinkah ...." Dengan wajah penuh tanya, Hunter berjalan menuju ruang tengah. Melihat Edmund masih asyik mendengarkan celotehan Sky, firasatnya bertambah kuat. "Itukah alasan Lucas memakai contact lens berwarna hijau? Untuk menghilangkan kecurigaan orang-orang bahwa Sky bukan anak
Rachel termenung di wastafel. Tangannya memang bergerak membersihkan piring, tetapi pikirannya melayang. Saking jauhnya, ia tidak sadar bahwa Edmund berjalan menghampiri. “Apa yang sedang kau pikirkan?” Wanita itu mengerjap. Ia menoleh ke samping. Edmund sedang tersenyum padanya. “Ya?” “Apakah sesuatu sedang mengganggu pikiranmu?” Rachel berkedip lagi. “Tidak. Aku hanya sedang memikirkan menu apa yang harus kumasak untuk sarapan besok.” Sambil memalsukan senyum, ia mempercepat pekerjaannya. “Tidak perlu sesuatu yang istimewa. Masak saja menu yang biasa kau masak. Bagaimana dengan nasi goreng? Sky bilang kau sering membuatnya. Tapi selama aku di sini, aku belum pernah mencicipinya.” Rachel melirik tipis dan tersenyum. “Baiklah, akan kubuatkan nasi goreng spesial untuk besok.” Edmund suka lengkung bibir yang cantik itu. “Terima kasih.” Rachel pun kembali mencuci piring dengan kepala yang lebih tertunduk. Pipinya agak bersemu. Sudah lama Edmund tidak melihat ekspresi itu. Sambil m
“Mana yang lebih penting? Egomu ... atau kebahagiaan mereka?” Sudah beberapa jam pertanyaan itu menghantui Edmund. Sekalipun ia memejamkan mata dan menutup telinga dengan bantal, suara Hunter terus terngiang. “Bukankah mereka akan lebih bahagia kalau pulang bersamaku?” gumamnya sambil menatap langit-langit yang gelap. Sebelumnya, Edmund antusias membayangkan hidupnya bersama Alice dan Sky. Mereka akan menyambutnya setiap pulang kerja. Mereka bisa bermain bersama setiap malam, atau berjalan-jalan di akhir pekan. Rumah mereka akan dipenuhi canda dan tawa. Namun kini, ia mendadak ragu. “Apakah aku egois jika menginginkan Alice kembali? Apakah aku egois kalau membawa mereka pergi dari sini?” “Bagaimana kalau Sky malah tidak terbiasa dengan kehidupan di perkotaan? Bagaimana kalau dia lebih suka tinggal di hutan? Haruskah aku membeli rumah baru di kawasan hutan?” “Dengan kembali ke rumah itu, apakah Alice harus menghadapi traumanya lagi? Apakah dia akan kembali terpuruk? Dan kalau ing
“Mama, lihat aku!” seru Sky sambil tertawa-tawa. Rachel pun menurunkan galah, menoleh ke belakang. Melihat Sky sedang memeluk sebatang pohon dengan kedua tangan dan kakinya, ia mendesah tak percaya. “Sayang, apa yang sedang kau lakukan? Itu bukan memanjat pohon namanya.” Tawa Sky semakin ringan. “Sekarang aku mengerti kenapa koala suka memeluk pohon seperti ini. Itu karena mereka kelelahan, Mama. Memanjat pohon sangat susah.” “Kalau kamu lelah, turun saja. Nanti baru lanjutkan lagi. Kamu lebih baik membantu Mama memetik mangga. Bukankah kamu bilang mau memanen buah di hutan?” “Tidak, Mama. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus naik sampai cabang yang itu. Soal memanen buah, bukankah tadi aku sudah mengumpulkan lima mangga di keranjang? Kurasa itu sudah cukup untuk membuat rujak buah, Mama.” “Lima, tapi busuk semua,” Rachel meletakkan sebelah tangan di pinggang. Sky kembali menyuarakan keceriaannya. “Tidak semua, Mama. Hanya setengah. Mama bisa menyelamatkan bagian yang masih bagus
"Mama, aku juga mau mengupas mangga," tutur Sky sembari mengerutkan alis. Telapak tangannya menengadah, meminta Rachel untuk memberinya mangga. "Tidak, Sayang. Memegangnya dengan satu tangan saja kamu belum bisa, apalagi mengupasnya?" Sky mendorong bibirnya lebih maju. "Tapi aku mau membantu. Bagaimana kalau aku memotongnya saja? Aku bisa menggunakan talenan. Paman Ed bersedia membantuku, seperti saat kami memotong rotan kemarin. Benar, kan, Paman?" Alih-alih mengangguk, Edmund tersenyum simpul. "Maaf, Sky, kali ini tidak bisa. Buahnya licin dan bulat. Risikonya terlalu besar. Kamu bisa melukai tanganmu sendiri atau tanganku." Sky pun memasang tampang cemberut. Tak ingin putrinya mengambek, Rachel pun menyodorkan cobekan. "Bagaimana kalau kamu menghaluskan kacang saja? Tapi kamu harus mengerjakannya dengan teliti karena ini adalah bagian terpenting dari rujak. Kalau saus kacangnya tidak enak, hancur sudah rasa rujaknya." Mendengar tantangan tersebut, mata Sky kembali berbinar. "
Dengan pintu yang terbuka lebar, Rachel bisa melihat Edmund berdiri menghadap dinding. Keningnya tertempel di sana. Tinjunya yang menancap pada papan tebal itu tampak gemetar. “Kenapa Alice lebih memilih Lucas dibandingkan aku? Kenapa?" Napas Rachel tersekat mendengar lirihan itu. Dadanya ikut sesak, kerongkongannya panas. Ketika Edmund menekuk lutut, menyerah pada gravitasi, ia cepat-cepat bersembunyi di balik dinding. “Ini sama sekali tidak adil,” isak Edmund, penuh dengan kekesalan. “Tidak adil.” Rachel pun tertunduk. Tangannya terkepal di depan dada, menggenggam rasa bersalah yang tidak mungkin ia perlihatkan. Ia bisa apa? Ia sudah nyaman dengan kehidupannya bersama Lucas. Tidak mungkin ia meninggalkan sang suami, mempertaruhkan banyak hal hanya karena iba. ‘Maaf, Tuan Hills. Kau bukan siapa-siapa bagiku. Aku tidak bisa mengubah kenyataan bahwa kita memang tidak ditakdirkan bersama. Aku bukan istrimu yang hilang itu. Aku Rachel. Rachel Palmer.’ Dengan wajah tanpa ekspresi,
"Kau sudah berubah pikiran?" desah Hunter sambil menaikkan alis. Edmund menggeser pandangan ke arah owa. Sorot matanya meredup. "Aku tidak ingin ada yang bernasib sama seperti satwa malang ini. Karena itu," ia menyodorkan sebuah cek bertuliskan lima miliar. "Tidak ada yang perlu kupelajari lagi dari yayasan ini. Semua sudah jelas bahwa kalian melakukan yang benar. Aku ingin mendukung kalian sepenuhnya." Hunter menatap nominal itu dengan mata bulat. Tepat sebelum ia bicara, Edmund menyela. "Bisakah kau siapkan transportasi untuk aku pulang?" "Kapan?" tanya Hunter spontan. "Besok pagi." Ia semakin terbelalak. "Secepat itu?" Sambil menghela napas, Edmund bangkit berdiri. Ia masukkan cek ke dalam saku kemeja Hunter, lalu menepuk pundaknya dua kali. "Terima kasih, Tuan Green." Hunter hanya bisa melongo menatap punggung Edmund. Saat pria pucat itu menghilang dari pandangannya, ia mendesah heran. "Apakah telah terjadi sesuatu? Mungkinkah dia berubah hanya karena omonganku semata?"