Siapa yang mau kenalan sama Gusi dan Gigi? Ayo ke rumah Sky! Ikut Sky berpetualang, dan cari tahu ada apa sebenarnya dengan Rachel. Terima kasih sudah membaca.
“Sayang?” sapa Rachel dengan mata bulat. Sebelah tangannya terkepal di depan dada. “Kau sudah pulang?” Lucas berkedip-kedip bingung. “Kenapa kau seperti melihat hantu begitu? Apakah wajahku menyeramkan?” “Oh, tidak. Hanya saja, pikiranku sempat melayang tadi. Makanya aku terkejut.” Rachel mengedikkan bahunya ringan. Senyumnya terkesan canggung. “Memangnya apa yang kau lamunkan?” tanya Lucas sambil mengelus pinggang sang istri. Senyum tipis mulai menghangatkan wajahnya. Sambil menghela napas, Rachel melirik ke pekarangan belakang. Sky masih mengomel di sana. “Aku takut Sky kecewa kalau laki-laki itu tidak datang. Lihatlah. Ini sudah dua minggu tapi dia masih bersemangat melatih teman-teman hewannya.” Mendengar kata “laki-laki itu”, sebelah alis Lucas terangkat tak senang. “Apakah kau juga berharap dia datang?” “Aku?” Rachel berkedip lugu. “Aku menginginkan yang terbaik untuk Sky. Aku hanya tidak mau putri kita kecewa.” Sambil mendengus, Lucas mengelus lengan Rachel. “Kau tidak
“Laki-laki itu ..., apa yang dia lakukan di sini? Dia donatur yang baik hati itu?” batin Rachel tanpa berkedip. Matanya yang terbuka maksimal telah terpaku pada sosok gagah yang berjalan di sisi Hunter. Ia bisa mengenali sang pria walau tidak ada brewok di wajahnya lagi. Selang satu kedipan, Rachel mulai meringis. Semakin dekat jarak di antara mereka, semakin cepat deru napas dan debar jantungnya. Berdirinya pun jadi tak tenang. “Gawat! Ini gawat. Kalau Lucas tahu ....” Matanya mulai melirik ke kanan dan ke kiri, mencari kesempatan untuk kabur. Namun, mahkota ranting di tangannya mengingatkan untuk tidak ke mana-mana. Bagaimanapun, laki-laki itu adalah sang donatur yang telah mereka nanti-nantikan. “Semuanya, berbaris! Gusi, jangan nakal. Gusi?” Sky terpaksa merapikan barisan para hewan dengan tangannya sendiri. Setelah itu, ia melirik ke belakang sekilas. Melihat tamunya sudah tiba di dekat pagar, ia berdeham dan mulai memberikan aba-aba. “Perhatian, perhatian. Siapa di sini yan
Air mata Edmund menebal saat Rachel berdiri di samping, menaruh spaghetti di piringnya. Sudah lima tahun ia mendambakan momen tersebut. Biasanya, ia akan merangkul pinggang sang istri, membisikkan rasa syukur dan terima kasih, lalu bertukar kehangatan lewat bibir mereka. Namun kini, Edmund hanya bisa berdiam diri. Tangannya gemetar di bawah meja, berusaha keras untuk tidak menyentuh Rachel. Ia tidak mau terbawa emosi dan kehilangan Alice untuk selama-lamanya. “Terima kasih,” ucapnya lirih. Rachel mengernyitkan dahi melihat tatapan tersebut. Takut diserang lagi, ia cepat-cepat beralih untuk mengisi piring Sky. “Paman, kamu harus mencoba spaghetti buatan Mama. Rasanya sangat enak! Setelah ini, kamu juga harus mencicipi makanan lainnya. Bahan-bahannya kami ambil dari kebun belakang.” Edmund mengerjap. Ia melirik Sky yang duduk di sampingnya, tersenyum sebisanya. “Ya, aku tahu. Masakan ibumu pasti sangat lezat. Spaghetti adalah menu andalannya, kan?” Kemudian, Edmund kembali menatap
“Benua Amerika,” sahut Hunter mantap. “Aku tidak tahu di mana lokasinya. Lucas tidak pernah menceritakan masa-masa awal pernikahannya. Kupikir itu privasi. Tapi yang kutahu, itu Amerika.” “Benarkah? Kita pernah tinggal di benua Amerika, Mama?” Mata Sky berbinar terang. “Apakah aku juga lahir di sana?” Rachel tidak mungkin mengelak lagi. Mau tidak mau, ia mengangguk. “Di mana, Mama? Di negara mana aku lahir?” Rachel menimbang-nimbang sejenak. “Kanada.” Mulut Sky membulat. “Itu keren. Kapan-kapan, bagaimana kalau kita kembali ke sana? Aku penasaran seperti apa tempat aku dilahirkan.” Rachel tersenyum tipis melihat semangat putrinya. “Ya, Sayang. Nanti, kalau Papa mendapat tugas di sana, kita kunjungi kota kelahiranmu, hmm?” Sementara Sky mengangguk mantap, Edmund berpikir keras. “Sejak kapan kalian berada di Kanada? Apakah sejak kalian menikah?” Rachel terdiam sejenak. Selang satu kedipan, barulah ia memalsukan senyuman. “Ya. Setelah menikah, kami langsung pindah ke Kanada.” “M
“Di depan sana, ada lahan yang agak lapang. Kita bisa duduk di sana sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Sky, bisakah kau tunjukkan arahnya?” Hunter menaikkan alis seolah menantang. Semangat gadis mungil itu seketika kembali membara. “Bisa!” Sambil memegangi tali ranselnya, ia mengentakkan kaki membelah hutan. Setibanya di lokasi, ia langsung duduk di atas sebuah batu dan menghela napas lega. “Fiuh! Sepertinya, berat badanku sungguh bertambah. Langkah kakiku terasa lebih berat. Paman tahu? Biasanya, aku bisa mengelilingi hutan tanpa beristirahat. Kalau Papa dan Mama mengajakku berkemah, aku bisa berjalan tiga jam tanpa berhenti.” “Benarkah?” Edmund mengulum senyum mendengar pengakuan yang sulit dipercaya itu. “Kau punya kaki yang sakti, rupanya.” Tiba-tiba, Sky terkikik geli. “Kenapa kau percaya? Itu tidak mungkin, Paman. Aku bisa pingsan kalau terus berjalan selama tiga jam.” Sedetik kemudian, Sky membuka tasnya. Ia keluarkan tiga botol minum dari sana. “Ini untuk Paman Gree
Saat Edmund dan Hunter masih terlibat perdebatan, Sky datang sambil menyodorkan ponsel. “Paman Green, kurasa memorinya penuh. Videonya mendadak mati saat aku masih merekam.” Kedua pria itu sontak mengendurkan wajah. Sementara Edmund mengalihkan pandangan ke arah lain, Hunter tersenyum kecil dan mengambil ponselnya. “Ya, aku lupa mengosongkan memori tadi pagi. Terima kasih, Sky. Rekaman yang kau ambil tadi sudah cukup.” Belum sempat Sky menjawab, Edmund menyela, “Sky, apakah kau masih lelah?” Pundak si gadis mungil bergerak turun. “Paman Edmund, aku hanya duduk sebentar tadi. Lalu aku berdiri merekam kalian. Tentu saja kakiku masih pegal.” “Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang saja? Aku juga ingin beristirahat. Kepalaku mulai pusing efek penerbangan panjang.” Edmund melirik Hunter sekilas. Namun, pria paruh baya itu tidak menunjukkan penolakan. Ia hanya bangkit berdiri, lalu mengangguk. “Ya, kita lebih baik pulang. Matahari juga semakin turun. Malam datang lebih cepat di te
Melihat Sky belum juga kembali, Rachel bertanya-tanya. “Apa yang sedang mereka lakukan di dalam kamar? Kenapa mereka belum keluar juga?” “Kau mau aku memeriksanya?” Rachel terbelalak dan cepat-cepat melambaikan tangan. “Tidak perlu, Tuan Green. Aku hanya penasaran saja.” Sedetik kemudian, ia menyerahkan beberapa sendok sulur keladi katuk telur ke piring Hunter. “Apakah sudah cukup?” “Sudah.” Kemudian, Rachel menaruh sepotong ikan patin. Saat ia hendak meletakkan potongan kedua, Hunter cepat-cepat mengangkat tangan. “Satu saja sudah cukup, Rachel. Kenapa memberiku dua?” “Seperti yang Sky bilang, perjalanan tadi menguras energi. Kau juga harus makan yang banyak, Tuan Green. Lucas bisa mengkritikku kalau sampai kau bertambah kurus saat dia pulang nanti.” Sambil meringis, Hunter terpaksa membiarkan Rachel memberinya sasangan patin lebih banyak. Saat itulah, ia terpaku. Tahi lalat di jempol kanan Rachel telah menyita perhatiannya. “Rachel ternyata memiliki tahi lalat itu?” batinnya
Mata Edmund seketika menyipit. “Kau pikir aku sepicik itu? Tidak, Rachel. Aku tidak pernah menggunakan uang untuk menggaet perempuan. Aku tulus ingin membantu yayasan. Lagi pula, bukankah itu impianmu sejak dulu?” Lagi-lagi, Rachel tertegun. “Dari mana kau tahu?” Edmund tersenyum kecut. “Aku orang yang paling mengenalmu,” gumamnya sebelum menegakkan badan dan berdeham. “Jadi, apakah jantungmu masih berdebar?” “Apa maksudmu? Kenapa jantungku berdebar?” Rachel menempelkan tangan di dada kirinya. “Bukankah kau habis terkejut? Debar jantungmu pasti belum reda. Pijatlah jari-jarimu supaya kau bisa kembali tenang.” Rachel berkedip-kedip kaku. “Apakah kau menganggapku sebagai istrimu lagi?” Edmund seketika mematung. Sendok di tangannya seolah-olah ikut membeku. “Tidak. Aku tidak mau membuatmu merasa risih dan menghindar lagi. Aku hanya berbagi tips tentang bagaimana aku menangani istriku dulu. Dia juga gampang terkejut.” Tiba-tiba saja, Rachel dihantui rasa bersalah. Sambil menggigit