Ada yang ingin kalian sampaikan kepada Sky atau teman-teman hewannya? Yuk komen. Sampai jumpa besok pagi lagi, ya. Terima kasih. P.S.: Jangan lupa follow pixielifeagency.
Air mata Edmund menebal saat Rachel berdiri di samping, menaruh spaghetti di piringnya. Sudah lima tahun ia mendambakan momen tersebut. Biasanya, ia akan merangkul pinggang sang istri, membisikkan rasa syukur dan terima kasih, lalu bertukar kehangatan lewat bibir mereka. Namun kini, Edmund hanya bisa berdiam diri. Tangannya gemetar di bawah meja, berusaha keras untuk tidak menyentuh Rachel. Ia tidak mau terbawa emosi dan kehilangan Alice untuk selama-lamanya. “Terima kasih,” ucapnya lirih. Rachel mengernyitkan dahi melihat tatapan tersebut. Takut diserang lagi, ia cepat-cepat beralih untuk mengisi piring Sky. “Paman, kamu harus mencoba spaghetti buatan Mama. Rasanya sangat enak! Setelah ini, kamu juga harus mencicipi makanan lainnya. Bahan-bahannya kami ambil dari kebun belakang.” Edmund mengerjap. Ia melirik Sky yang duduk di sampingnya, tersenyum sebisanya. “Ya, aku tahu. Masakan ibumu pasti sangat lezat. Spaghetti adalah menu andalannya, kan?” Kemudian, Edmund kembali menatap
“Benua Amerika,” sahut Hunter mantap. “Aku tidak tahu di mana lokasinya. Lucas tidak pernah menceritakan masa-masa awal pernikahannya. Kupikir itu privasi. Tapi yang kutahu, itu Amerika.” “Benarkah? Kita pernah tinggal di benua Amerika, Mama?” Mata Sky berbinar terang. “Apakah aku juga lahir di sana?” Rachel tidak mungkin mengelak lagi. Mau tidak mau, ia mengangguk. “Di mana, Mama? Di negara mana aku lahir?” Rachel menimbang-nimbang sejenak. “Kanada.” Mulut Sky membulat. “Itu keren. Kapan-kapan, bagaimana kalau kita kembali ke sana? Aku penasaran seperti apa tempat aku dilahirkan.” Rachel tersenyum tipis melihat semangat putrinya. “Ya, Sayang. Nanti, kalau Papa mendapat tugas di sana, kita kunjungi kota kelahiranmu, hmm?” Sementara Sky mengangguk mantap, Edmund berpikir keras. “Sejak kapan kalian berada di Kanada? Apakah sejak kalian menikah?” Rachel terdiam sejenak. Selang satu kedipan, barulah ia memalsukan senyuman. “Ya. Setelah menikah, kami langsung pindah ke Kanada.” “M
“Di depan sana, ada lahan yang agak lapang. Kita bisa duduk di sana sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Sky, bisakah kau tunjukkan arahnya?” Hunter menaikkan alis seolah menantang. Semangat gadis mungil itu seketika kembali membara. “Bisa!” Sambil memegangi tali ranselnya, ia mengentakkan kaki membelah hutan. Setibanya di lokasi, ia langsung duduk di atas sebuah batu dan menghela napas lega. “Fiuh! Sepertinya, berat badanku sungguh bertambah. Langkah kakiku terasa lebih berat. Paman tahu? Biasanya, aku bisa mengelilingi hutan tanpa beristirahat. Kalau Papa dan Mama mengajakku berkemah, aku bisa berjalan tiga jam tanpa berhenti.” “Benarkah?” Edmund mengulum senyum mendengar pengakuan yang sulit dipercaya itu. “Kau punya kaki yang sakti, rupanya.” Tiba-tiba, Sky terkikik geli. “Kenapa kau percaya? Itu tidak mungkin, Paman. Aku bisa pingsan kalau terus berjalan selama tiga jam.” Sedetik kemudian, Sky membuka tasnya. Ia keluarkan tiga botol minum dari sana. “Ini untuk Paman Gree
Saat Edmund dan Hunter masih terlibat perdebatan, Sky datang sambil menyodorkan ponsel. “Paman Green, kurasa memorinya penuh. Videonya mendadak mati saat aku masih merekam.” Kedua pria itu sontak mengendurkan wajah. Sementara Edmund mengalihkan pandangan ke arah lain, Hunter tersenyum kecil dan mengambil ponselnya. “Ya, aku lupa mengosongkan memori tadi pagi. Terima kasih, Sky. Rekaman yang kau ambil tadi sudah cukup.” Belum sempat Sky menjawab, Edmund menyela, “Sky, apakah kau masih lelah?” Pundak si gadis mungil bergerak turun. “Paman Edmund, aku hanya duduk sebentar tadi. Lalu aku berdiri merekam kalian. Tentu saja kakiku masih pegal.” “Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang saja? Aku juga ingin beristirahat. Kepalaku mulai pusing efek penerbangan panjang.” Edmund melirik Hunter sekilas. Namun, pria paruh baya itu tidak menunjukkan penolakan. Ia hanya bangkit berdiri, lalu mengangguk. “Ya, kita lebih baik pulang. Matahari juga semakin turun. Malam datang lebih cepat di te
Melihat Sky belum juga kembali, Rachel bertanya-tanya. “Apa yang sedang mereka lakukan di dalam kamar? Kenapa mereka belum keluar juga?” “Kau mau aku memeriksanya?” Rachel terbelalak dan cepat-cepat melambaikan tangan. “Tidak perlu, Tuan Green. Aku hanya penasaran saja.” Sedetik kemudian, ia menyerahkan beberapa sendok sulur keladi katuk telur ke piring Hunter. “Apakah sudah cukup?” “Sudah.” Kemudian, Rachel menaruh sepotong ikan patin. Saat ia hendak meletakkan potongan kedua, Hunter cepat-cepat mengangkat tangan. “Satu saja sudah cukup, Rachel. Kenapa memberiku dua?” “Seperti yang Sky bilang, perjalanan tadi menguras energi. Kau juga harus makan yang banyak, Tuan Green. Lucas bisa mengkritikku kalau sampai kau bertambah kurus saat dia pulang nanti.” Sambil meringis, Hunter terpaksa membiarkan Rachel memberinya sasangan patin lebih banyak. Saat itulah, ia terpaku. Tahi lalat di jempol kanan Rachel telah menyita perhatiannya. “Rachel ternyata memiliki tahi lalat itu?” batinnya
Mata Edmund seketika menyipit. “Kau pikir aku sepicik itu? Tidak, Rachel. Aku tidak pernah menggunakan uang untuk menggaet perempuan. Aku tulus ingin membantu yayasan. Lagi pula, bukankah itu impianmu sejak dulu?” Lagi-lagi, Rachel tertegun. “Dari mana kau tahu?” Edmund tersenyum kecut. “Aku orang yang paling mengenalmu,” gumamnya sebelum menegakkan badan dan berdeham. “Jadi, apakah jantungmu masih berdebar?” “Apa maksudmu? Kenapa jantungku berdebar?” Rachel menempelkan tangan di dada kirinya. “Bukankah kau habis terkejut? Debar jantungmu pasti belum reda. Pijatlah jari-jarimu supaya kau bisa kembali tenang.” Rachel berkedip-kedip kaku. “Apakah kau menganggapku sebagai istrimu lagi?” Edmund seketika mematung. Sendok di tangannya seolah-olah ikut membeku. “Tidak. Aku tidak mau membuatmu merasa risih dan menghindar lagi. Aku hanya berbagi tips tentang bagaimana aku menangani istriku dulu. Dia juga gampang terkejut.” Tiba-tiba saja, Rachel dihantui rasa bersalah. Sambil menggigit
“Ya, Paman. Aku, Mama, dan Paman Ed akan pergi ke hutan mencari rotan. Apakah Paman Green mau ikut?” tanya Sky dengan wajah ceria. Alih-alih menjawab, Hunter memutar badan menghadap Rachel. “Kau mengizinkan dia ikut?” Belum sempat Rachel mengangguk, laki-laki paruh baya itu berbisik lagi, “Berdasarkan pengamatan kilatku, sikapmu terhadapnya tampak berbeda dari kemarin. Apakah terjadi sesuatu?” “Semalam aku tidak bisa tidur. Lalu aku keluar untuk mencari udara segar. Ternyata, dia sedang makan di dapur. Kami mengobrol singkat,” jawab Rachel dengan wajah tanpa dosa. “Apa yang kalian bicarakan sampai kau mengubah sikap?” Dagu Rachel naik sedikit mendesak bibir. “Intinya, dia menyesal telah membuatku merasa tak nyaman. Jadi, karena dia tidak akan menganggapku sebagai istrinya lagi, kurasa tidak apa-apa jika kami berteman.” “Berteman? Kau yakin?” selidik Hunter, penuh penekanan. Rachel mengangguk kaku. Saat itu pula, Edmund kembali dengan ransel di punggung. “Aku sudah siap. Mana bo
“Mama, Paman!” Sky kembali dengan raut cerianya. “Lihat ini! Aku sudah membuat banyak agenda!” Ia bentangkan buku jurnalnya di samping talenan. Edmund pun melirik sambil meninggikan alis. “Bisa kamu jelaskan apa saja itu?” Suaranya agak serak dengan sisa kesedihan yang tersangkut di tenggorokannya. Dagu Sky seketika naik mendesak bibir. “Apakah ini masih sulit dimengerti? Padahal, aku sudah berusaha untuk membuatnya sesimpel mungkin. Mama, apakah Mama mengerti apa yang aku gambar ini?” Rachel mengangkat pandangan, memperhatikan apa yang ditunjukkan Sky kepadanya. Mendapati gambar-gambar yang tak diduganya, ia membeku. “Kamu ... mau melakukan itu dengan Tuan Hills?” “Ya! Aku mau belajar berenang, belajar memanjat pohon, memanen buah di hutan, belajar cara mengikat tali, menelusuri hutan untuk mencari trenggiling, menandai tempat-tempat keren di globe, dan bermain bersama teman-teman hewan.” Usai menyebutkan satu per satu makna dari gambar yang dibuatnya, Sky tersenyum manis di h