“Aku mau cerai.”
Alice sontak membeku. Bola matanya bergerak-gerak mencerna kata-kata itu. Edmund baru saja pulang kerja. Bukankah ia seharusnya mengucapkan salam?
“Maaf, Ed. Kau bilang apa?”
Alice mendesahkan tawa. Tangan kanannya terangkat ke sisi telinga. “Sepertinya ada yang salah dengan pendengaranku.”
“Aku mau cerai,” tegas Edmund. Air matanya terlihat jelas menggenang.
Kepala Alice tertekan mundur. Matanya berkedip-kedip tak mengerti.
Ia sedang menyimpan kejutan manis dalam kotak di balik punggungnya—dua garis yang telah mereka nantikan sejak lama. Sang suami malah mengajaknya bercerai?
Selang keheningan sesaat, tawa kecil lolos lagi dari mulut Alice. “Candaanmu konyol sekali, Ed.”
“Aku serius. Aku tidak mau meneruskan pernikahan ini.” Suara Edmund serak dan penuh tekanan.
Raut Alice kembali datar. Ia tahu nada bicara itu. Edmund tidak sedang bercanda.
“K-kenapa? Bukankah kita baik-baik saja?” Alice berusaha untuk tersenyum tetapi gagal. Kerutan di wajahnya malah tampak jelas.
“Kau bertanya kenapa?”
Edmund mendengus kesal, melempar pandangan ke lain arah. Kedua tangannya terkepal erat.
“Kau tahu hal yang paling kubenci? Dikecewakan. Kukira kau tidak akan pernah mengecewakan aku. Tapi ternyata? Sia-sia aku mendedikasikan hidupku kepadamu.”
“Apakah ini masalah anak?” Alice melangkah maju, menggamit lengan kemeja Edmund.
Namun, sang suami malah melangkah mundur dan menepis tangannya. Tatapan tajam Edmund kini menghujam hatinya dengan kejam.
“Tiga tahun, Alice. Kukira kau serius dengan pernikahan kita. Ternyata tidak?” Edmund menggeleng samar.
“Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai orang asing yang tidak kukenal. Dengan begitu, aku tidak perlu mengucapkan janji-janji itu, tidak pernah jatuh cinta padamu, dan tidak akan merasakan sakit yang sebesar ini.”
“Tunggu, Ed. Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah kau kecewa karena aku belum memberimu anak? Tapi kenapa begitu mendadak? Bukankah selama ini kau tidak mempermasalahkan itu? Kau bilang kita bisa berjuang bersama.”
Tiba-tiba, Edmund mengacungkan telunjuk di depan wajah sang istri.
“Cukup, Alice. Tidak ada lagi yang perlu kita bahas. Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Sekarang, tanda tangani surat cerai kita. Giselle!”
Seorang gadis berpakaian ala kantoran melangkah masuk. Kepalanya tertunduk dan bibirnya terkatup. Tangannya memegang sebuah map.
Alice menatapnya tak percaya. “Giselle, kau mendukung Ed untuk menceraikan aku?”
Sang sekretaris tidak menjawab. Lehernya tertekuk lebih dalam.
Sebelum Edmund menerima map dari Giselle, Alice cepat-cepat meraih tangan sang pria. “Ed, dengarkan aku dulu. Kalau ini masalah anak, kau tidak perlu khawatir. Aku—”
“Pelayan! Kemas barang-barang Alice! Malam ini juga, aku ingin dia angkat kaki dari sini.”
Alice ternganga tak percaya. Kerongkongannya bertambah gersang. Sebelum perasaan mengikis habis logika, ia menunjukkan kotak yang dipersiapkannya di hadapan Edmund.
“Ed, kau lihat ini? Bukalah! Periksa isinya. Kau pasti akan berubah pikiran.”
Edmund mendongak, berusaha mengatur napas. Matanya terpejam, berusaha menjaga kesabaran.
Namun, karena Alice terus memaksanya untuk menerima kotak, emosinya tak lagi tertahankan. Tangannya pun melayang menepis kotak.
“Berhentilah membujukku! Aku tidak akan berubah pikiran. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pisah!”
Alice ternganga melihat kotak kejutannya mendarat di lantai. Napasnya tersendat, kekalutannya bertambah pekat. Hatinya seolah berada di dalam kotak itu, ikut terbanting dan remuk.
“Ed?” Setetes air mata meleleh di pipi.
“Apa yang salah denganmu? Bukankah kau mencintaiku? Kenapa kau berubah? Kau tahu apa yang ada di dalam situ?”
Edmund membuang muka. “Berhentilah menyebut cinta. Kau tidak pantas.”
Kerut alis Alice bertambah dalam. “Kenapa? Memangnya apa salahku?”
Edmund menolak menjawab. Alice terpaksa beralih pada sahabatnya.
“Giselle? Apa salahku? Apa yang membuat Ed begitu kecewa dan marah?”
“Kau berani bertanya apa salahmu?”
Suara menggelegar itu tiba-tiba datang dari pintu. Melihat ibu mertuanya, dada Alice bertambah sesak.
“Apa maksud Mama?”
Elizabeth berhenti di hadapan Alice. Sedetik kemudian, suara tamparan bergema.
“Jangan kau panggil aku Mama dengan mulut kotormu itu. Aku tidak sudi!”
Alice memegangi pipi dengan hati yang patah. Mulutnya ternganga, masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi padanya. Tubuhnya gemetar menahan luka lama yang terkelupas.
“Sejak awal, aku memang tidak pernah suka padamu. Kubiarkan kalian menikah karena Ed terus memohon restu. Tapi ternyata, penilaianku memang tidak salah. Kau memang tidak pantas untuk putraku! Sekarang juga, tanda tangani surat ini dan angkat kaki dari sini!”
Elizabeth merampas map dari Gisele lalu melemparnya kepada Alice.
Alice menggeleng samar. Tangannya bergetar hebat saat matanya membaca baris pertama pada surat.
“Tidak. Aku tidak akan menandatangani surat ini. Aku sangat mencintai Ed. Aku tidak bisa hidup tanpa dia. Lagi pula, apa salahku? Tadi pagi kami masih baik-baik saja. Bahkan tadi siang, Ed masih meneleponku, mengucapkan terima kasih atas makan siang yang kusiapkan untuknya.”
Alice melirik Edmund. Namun, sang suami enggan melihatnya.
“Ed, tolong jelaskan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau mendadak begini? Kau lupa dengan semua janjimu? Janji kita? Kalau memang aku ada salah, kita bisa membicarakannya baik-baik. Ed?”
Alice hendak melangkah maju, tetapi ibu mertuanya menghalangi.
“Simpan sandiwaramu. Sekarang juga, cepat tanda tangani!”
Sekali lagi, Alice menggeleng. Ia menoleh ke arah Giselle dan beberapa pelayan yang mengintip dari ruang sebelah. Malangnya, mereka semua diam. Tidak ada satu pun yang berani membelanya.
“Astaga! Kau ini bebal sekali.” Elizabeth menarik tangan Alice dengan kasar, memaksanya untuk menggenggam pena. “Giselle, bantu aku untuk memegang suratnya.”
Sang sekretaris terpaksa menjalankan perintah. Melihat tangannya didekatkan menuju surat, Alice pun memberontak.
“Tidak! Mama, tunggu. Jelaskan dulu apa salahku.”
Kesulitan, Elizabeth melirik sang putra. “Edmund! Kenapa kau diam saja? Cepat bantu Mama!”
Edmund terpejam sejenak. Ribuan jarum serasa menusuk jantungnya. Ketika kembali membuka mata, dengan berat hati ia menahan Alice dari belakang.
“Tidak! Ed? Tolong ... aku tidak mau kita cerai. Mama?”
Sambil menahan senyum, Elizabeth menggerakkan pena di tangan menantunya. Derai air mata Alice bertambah deras melihat goresan yang dibuatnya.
Sementara itu, Edmund tertunduk dengan mata terpejam. Hatinya sendiri kalut. Pikirannya kacau.
Ia tidak pernah menduga hal ini akan terjadi dalam pernikahannya, bahwa ia akan melanggar janjinya. Tidak—Alicelah yang melanggar janji mereka. Itu yang ia percaya.
Selang beberapa saat, Elizabeth menutup map, mengisyaratkan Giselle untuk menjauhkannya dari jangkauan Alice.
“Tidak perlu menunggu sidang, detik ini juga, kau sudah bukan menantuku. Kau bukan lagi istri Edmund Hills dan kau tidak berhak menginjakkan kaki di rumah ini.”
“Tapi aku sedang—”
“Tidak ada tapi. Sekarang juga, angkat kaki dari sini! Edmund, lempar mantan istrimu ini keluar!”
Edmund menarik napas berat. Tangannya terkesan enggan melepas genggaman. Alice menyadari hal itu. Ia menoleh ke belakang, mengerutkan alis mengharapkan kesempatan.
“Ed, tolong pertimbangkan ini baik-baik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Kita sudah berjanji untuk sehidup semati. Kau ingat? Kaulah tujuan dan alasanku hidup. Apalagi sekarang, aku sedang—“
“Edmund, jangan membuang waktumu untuk wanita sampah ini! Kau tidak perlu mendengar omongannya lagi. Edmund?”
Melihat sang putra tak kunjung bergerak, Elizabeth pun mencengkeram rambut Alice.
Alice spontan berteriak. Mau tidak mau, ia berjalan mundur mengikuti Elizabeth. Sesampainya di pintu, dorongan kuat membuatnya terhuyung-huyung sebelum jatuh terduduk lantai.
Seketika, dunia terasa hening bagi Alice. Sekujur tubuhnya gemetar. Tangannya dengan perlahan bergerak menuju perut.
Ia benar-benar ketakutan. Bayi mungil itu baru saja datang dalam rahimnya. Ia tidak siap jika harus kehilangan.
“Ed?” Alice mencoba untuk meminta bantuan. Namun, bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Lidahnya terlalu kaku. Keringat dingin membutir di keningnya. Edmund menelan ludah melihat sang istri terduduk di lantai. Dadanya sesak, napasnya tersekat. Ia sebetulnya tak tega melihat wajah pucat Alice yang diselimuti ketakutan. Namun, ketika ia hendak bergerak, sang ibu sudah lebih dulu melempar koper ke hadapan Alice. “Ini .... Bawalah barang-barangmu! Jangan mengotori rumah putraku lagi! Sekarang menghilanglah dari hadapan kami!” Air mata mengalir semakin deras di pipi Alice. Bibirnya sudah tidak lagi berwarna. Sesekali, ia terbatuk-batuk, tersedak oleh kesedihan yang terlampau pekat. “Kumohon, Ed ....” Alice bersusah payah merangkak menuju sang suami. Namun, ibu mertuanya lagi-lagi menghalangi. Telunjuknya meruncing ke arah gerbang. “Enyah kau dari sini!” “Tapi aku sedang—akh!” Elizabeth dengan tega mendorong Alice hingga tersungkur ke samping. Saat itulah, sebuah mobil berhenti dan se
Setibanya di sofa, Edmund langsung menepis tangan Giselle. “Sudah kubilang, aku bisa sendiri.” Setelah itu, ia bersandar sambil mengurut pelipis. “Tapi kau masih sakit, Ed. Kau seharusnya tidak memaksakan diri. Beristirahat sehari tidak akan membuat perusahaan merugi.” Giselle memasang tampang prihatin. “Lagi pula, untuk apa kau memikirkan Alice sampai sakit begini? Biarkan saja dia bahagia bersama kekasih barunya. Dia sudah tidak butuh kamu lagi. Sekarang, apakah kau masih demam?” Lagi-lagi, Edmund menghalau tangan sang sekretaris yang nyaris menyentuh keningnya. “Aku baik-baik saja. Kau pulanglah.” “Tapi—” “Aku tidak bisa beristirahat kalau kau masih di sini,” tegas Edmund dengan tatapan risih. Nada bicaranya tidak hanya menusuk Giselle, tetapi juga membekukan langkah kaki seorang pelayan. Ed menyadari kehadirannya. “Ada apa, Nyonya Klein?” “Maaf, Tuan. Saya ....” Wanita paruh baya itu berkedip-kedip kebingungan. Sesekali, matanya melirik Giselle. “Kami menemukan ini saat ber
“Ed, apa yang telah kau lakukan? Kau berselingkuh dengan Giselle? Kenapa Alice jadi seputus asa itu?” Emma mengguncang pundak Edmund. Edmund tertunduk dan menelan ludah. Keringat dingin mulai membutir di keningnya. “Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai orang asing yang tidak kukenal. Dengan begitu, aku tidak perlu mengucapkan janji-janji itu, tidak pernah jatuh cinta padamu, dan tidak akan merasakan sakit yang sebesar ini.” Kata-kata itu terngiang lagi dalam kepalanya. Ke mana akal sehatnya kemarin saat melontarkannya kepada Alice? Sementara rasa bersalah merayap menggerogoti hatinya, Edmund terpejam dan menggertakkan geraham. Ia biarkan kepalan tangan Emma menghantam tubuhnya. Ia merasa layak mendapat pukulan. “Mengapa aku begitu bodoh?” sesalnya. Emma tersentak mendengar gumaman itu. “Apa? Kau sungguh berselingkuh dengan Giselle?” Selang satu helaan napas, tangannya melayang men
Edmund duduk termenung di jembatan. Wajahnya pucat, tanpa ekspresi. Orang-orang yang tadi menahannya sudah bubar, berganti dengan anggota tim SAR yang sibuk berkoordinasi dengan rekan-rekannya. “Bagaimana?” tanyanya tanpa menoleh ketika petugas di dekatnya selesai bicara. Petugas itu terdiam sejenak. Alih-alih menjawab, ia melirik orang-orang di sisi Edmund. Ketika ia menggeleng, tangis Emma kembali pecah. “Kenapa nasib Alice sungguh malang, Henry? Dia orang baik. Dia tidak seharusnya mengalami semua ini. Kalau saja aku tidak meninggalkannya di kantor Edmund tadi pagi, mungkin dia masih bersama kita di sini. Aku tidak seharusnya membiarkan dia seorang diri.” Setetes air mata mengalir lambat di pipi Edmund. Sama seperti Emma, ia juga menyalahkan diri. Hanya saja, ia tidak punya tenaga lagi untuk mengamuk. Biar rasa bersalah yang mendera hati, mengikis sekujur sarafnya hingga ia hanya bisa merasakan perih. Malam berlalu berganti subuh. Emma dan Henry sudah pergi. Tim SAR pun memutu
“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada di mobilku?” selidik Edmund, masih dengan napas tak beraturan. Matanya terbelalak, sulit memercayai apa yang dilihatnya. Sadar ia telah membongkar keberadaan dirinya sendiri, gadis mungil itu terkesiap. Ia cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan, lalu membenamkan punggungnya pada sandaran jok di belakang. Saat itulah, Edmund bisa melihatnya lebih jelas. Ia mengenakan hoodie merah yang dipadukan dengan jumpsuit cokelat muda. Tudung kepalanya menutupi rambut, membuat wajahnya terlihat lebih bulat. Di pangkuannya terdapat sebuah buku, pensil, dan ransel. Tiba-tiba, gadis mungil itu kembali memajukan posisi duduknya. Sambil berkedip-kedip, ia mengerutkan alis. “Maaf, Tuan Brewok. Tadi sewaktu di parkiran, aku tidak sengaja mendengar kalau kamu mau pergi ke Chamarel Falls. Kebetulan, aku juga mau pergi ke sana. Jadi, aku diam-diam menumpang di mobilmu.” Edmund terdiam dengan mulut menganga. Butuh beberapa waktu untuk ia bisa mencerna informasi it
Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya. “Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.” Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing. Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu? Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia
Sekembalinya dari kafe, Edmund duduk dengan canggung. Ia letakkan makanan yang dibelinya di atas meja, tanpa sedetik pun berpaling dari sang balita. “Ini makananmu.” Gadis mungil itu sedang sibuk menggambar sesuatu di bukunya. Ia hanya mengangguk, tidak sempat melirik. “Terima kasih, Tuan Brewok. Letakkan saja di situ. Aku akan memakannya setelah menyelesaikan jurnalku.” Selang beberapa saat, ia membalikkan bukunya menghadap Edmund dan merentangkan tangan. “Tada! Berkat bantuanmu, aku berhasil melingkari Chamarel Falls dan Seven Colored Earth. Sebentar lagi, semua keinginanku selama di Mauritius akan terpenuhi. Dan lihat ini! Aku sudah memberi keterangan bahwa aku bisa sampai ke sini karena kamu. Meskipun sedikit kurang mirip, aku akan selalu ingat kalau ini kamu.” Edmund tidak menyimak gambar seorang pria yang ditunjuk oleh sang balita. Ia terlalu terpana dengan binar matanya. Semangatnya begitu mirip dengan semangat Alice. Jika dipikir-pikir, ucapannya tentang Chamarel Falls, j
Takut dimarahi, Sky melompat turun dari kursi dan bersembunyi di balik Edmund. Kepalanya hanya terlihat sedikit saat sebelah matanya mengintip. “Mama, tolong jangan marah dulu. Aku terpaksa kabur. Kalau tidak begini, aku tidak bisa melihat Chamarel Falls.” Wanita yang sangat mirip dengan Alice itu mendesah berat. Wajahnya mengernyit, penuh penyesalan sekaligus kekhawatiran. “Tidak, Mama tidak akan marah. Mama justru ingin meminta maaf padamu. Mama dan Papa tidak seharusnya menolak keinginanmu. Sekarang kemarilah, Sayang.” Rachel merentangkan tangan, mengundang Sky ke dalam pelukan. Akan tetapi, gadis mungil itu malah menggeleng, bergumam, “Tapi Papa pasti akan marah dan menghukumku.” “Tidak akan. Ayo, Sayang. Jangan mengganggu tuan ini. Dia sudah banyak kau repotkan hari ini.” Lagi-lagi, Sky menggeleng. “Berjanjilah Mama akan membujuk Papa untuk tidak menghukumku.” “Mama janji, Sayang. Papa tidak akan memarahimu. Dia juga merasa bersalah telah menolak permintaanmu. Kamu tahu? Ma