Share

Istri Presdir yang Hilang
Istri Presdir yang Hilang
Author: Pixie

1. Cerai

“Aku mau cerai.”

Alice sontak membeku. Bola matanya bergerak-gerak mencerna kata-kata itu. Edmund baru saja pulang kerja. Bukankah ia seharusnya mengucapkan salam?

“Maaf, Ed. Kau bilang apa?”

Alice mendesahkan tawa. Tangan kanannya terangkat ke sisi telinga. “Sepertinya ada yang salah dengan pendengaranku.”

“Aku mau cerai,” tegas Edmund. Air matanya terlihat jelas menggenang.

Kepala Alice tertekan mundur. Matanya berkedip-kedip tak mengerti.

Ia sedang menyimpan kejutan manis dalam kotak di balik punggungnya—dua garis yang telah mereka nantikan sejak lama. Sang suami malah mengajaknya bercerai?

Selang keheningan sesaat, tawa kecil lolos lagi dari mulut Alice. “Candaanmu konyol sekali, Ed.”

“Aku serius. Aku tidak mau meneruskan pernikahan ini.” Suara Edmund serak dan penuh tekanan.

Raut Alice kembali datar. Ia tahu nada bicara itu. Edmund tidak sedang bercanda.

“K-kenapa? Bukankah kita baik-baik saja?” Alice berusaha untuk tersenyum tetapi gagal. Kerutan di wajahnya malah tampak jelas.

“Kau bertanya kenapa?”

Edmund mendengus kesal, melempar pandangan ke lain arah. Kedua tangannya terkepal erat.

“Kau tahu hal yang paling kubenci? Dikecewakan. Kukira kau tidak akan pernah mengecewakan aku. Tapi ternyata? Sia-sia aku mendedikasikan hidupku kepadamu.”

“Apakah ini masalah anak?” Alice melangkah maju, menggamit lengan kemeja Edmund.

Namun, sang suami malah melangkah mundur dan menepis tangannya. Tatapan tajam Edmund kini menghujam hatinya dengan kejam.

“Tiga tahun, Alice. Kukira kau serius dengan pernikahan kita. Ternyata tidak?” Edmund menggeleng samar.

“Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai orang asing yang tidak kukenal. Dengan begitu, aku tidak perlu mengucapkan janji-janji itu, tidak pernah jatuh cinta padamu, dan tidak akan merasakan sakit yang sebesar ini.”

“Tunggu, Ed. Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah kau kecewa karena aku belum memberimu anak? Tapi kenapa begitu mendadak? Bukankah selama ini kau tidak mempermasalahkan itu? Kau bilang kita bisa berjuang bersama.”

Tiba-tiba, Edmund mengacungkan telunjuk di depan wajah sang istri.

“Cukup, Alice. Tidak ada lagi yang perlu kita bahas. Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Sekarang, tanda tangani surat cerai kita. Giselle!”

Seorang gadis berpakaian ala kantoran melangkah masuk. Kepalanya tertunduk dan bibirnya terkatup. Tangannya memegang sebuah map.

Alice menatapnya tak percaya. “Giselle, kau mendukung Ed untuk menceraikan aku?”

Sang sekretaris tidak menjawab. Lehernya tertekuk lebih dalam.

Sebelum Edmund menerima map dari Giselle, Alice cepat-cepat meraih tangan sang pria. “Ed, dengarkan aku dulu. Kalau ini masalah anak, kau tidak perlu khawatir. Aku—”

“Pelayan! Kemas barang-barang Alice! Malam ini juga, aku ingin dia angkat kaki dari sini.”

Alice ternganga tak percaya. Kerongkongannya bertambah gersang. Sebelum perasaan mengikis habis logika, ia menunjukkan kotak yang dipersiapkannya di hadapan Edmund.

“Ed, kau lihat ini? Bukalah! Periksa isinya. Kau pasti akan berubah pikiran.”

Edmund mendongak, berusaha mengatur napas. Matanya terpejam, berusaha menjaga kesabaran.

Namun, karena Alice terus memaksanya untuk menerima kotak, emosinya tak lagi tertahankan. Tangannya pun melayang menepis kotak.

“Berhentilah membujukku! Aku tidak akan berubah pikiran. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pisah!”

Alice ternganga melihat kotak kejutannya mendarat di lantai. Napasnya tersendat, kekalutannya bertambah pekat. Hatinya seolah berada di dalam kotak itu, ikut terbanting dan remuk.

“Ed?” Setetes air mata meleleh di pipi.

“Apa yang salah denganmu? Bukankah kau mencintaiku? Kenapa kau berubah? Kau tahu apa yang ada di dalam situ?”

Edmund membuang muka. “Berhentilah menyebut cinta. Kau tidak pantas.”

Kerut alis Alice bertambah dalam. “Kenapa? Memangnya apa salahku?”

Edmund menolak menjawab. Alice terpaksa beralih pada sahabatnya.

“Giselle? Apa salahku? Apa yang membuat Ed begitu kecewa dan marah?”

“Kau berani bertanya apa salahmu?”

Suara menggelegar itu tiba-tiba datang dari pintu. Melihat ibu mertuanya, dada Alice bertambah sesak.

“Apa maksud Mama?”

Elizabeth berhenti di hadapan Alice. Sedetik kemudian, suara tamparan bergema.

“Jangan kau panggil aku Mama dengan mulut kotormu itu. Aku tidak sudi!”

Alice memegangi pipi dengan hati yang patah. Mulutnya ternganga, masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi padanya. Tubuhnya gemetar menahan luka lama yang terkelupas.

“Sejak awal, aku memang tidak pernah suka padamu. Kubiarkan kalian menikah karena Ed terus memohon restu. Tapi ternyata, penilaianku memang tidak salah. Kau memang tidak pantas untuk putraku! Sekarang juga, tanda tangani surat ini dan angkat kaki dari sini!”

Elizabeth merampas map dari Gisele lalu melemparnya kepada Alice.

Alice menggeleng samar. Tangannya bergetar hebat saat matanya membaca baris pertama pada surat.

“Tidak. Aku tidak akan menandatangani surat ini. Aku sangat mencintai Ed. Aku tidak bisa hidup tanpa dia. Lagi pula, apa salahku? Tadi pagi kami masih baik-baik saja. Bahkan tadi siang, Ed masih meneleponku, mengucapkan terima kasih atas makan siang yang kusiapkan untuknya.”

Alice melirik Edmund. Namun, sang suami enggan melihatnya.

“Ed, tolong jelaskan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau mendadak begini? Kau lupa dengan semua janjimu? Janji kita? Kalau memang aku ada salah, kita bisa membicarakannya baik-baik. Ed?”

Alice hendak melangkah maju, tetapi ibu mertuanya menghalangi.

“Simpan sandiwaramu. Sekarang juga, cepat tanda tangani!”

Sekali lagi, Alice menggeleng. Ia menoleh ke arah Giselle dan beberapa pelayan yang mengintip dari ruang sebelah. Malangnya, mereka semua diam. Tidak ada satu pun yang berani membelanya.

“Astaga! Kau ini bebal sekali.” Elizabeth menarik tangan Alice dengan kasar, memaksanya untuk menggenggam pena. “Giselle, bantu aku untuk memegang suratnya.”

Sang sekretaris terpaksa menjalankan perintah. Melihat tangannya didekatkan menuju surat, Alice pun memberontak.

“Tidak! Mama, tunggu. Jelaskan dulu apa salahku.”

Kesulitan, Elizabeth melirik sang putra. “Edmund! Kenapa kau diam saja? Cepat bantu Mama!”

 Edmund terpejam sejenak. Ribuan jarum serasa menusuk jantungnya. Ketika kembali membuka mata, dengan berat hati ia menahan Alice dari belakang.

“Tidak! Ed? Tolong ... aku tidak mau kita cerai. Mama?”

Sambil menahan senyum, Elizabeth menggerakkan pena di tangan menantunya. Derai air mata Alice bertambah deras melihat goresan yang dibuatnya.

Sementara itu, Edmund tertunduk dengan mata terpejam. Hatinya sendiri kalut. Pikirannya kacau.

Ia tidak pernah menduga hal ini akan terjadi dalam pernikahannya, bahwa ia akan melanggar janjinya. Tidak—Alicelah yang melanggar janji mereka. Itu yang ia percaya.

Selang beberapa saat, Elizabeth menutup map, mengisyaratkan Giselle untuk menjauhkannya dari jangkauan Alice.

“Tidak perlu menunggu sidang, detik ini juga, kau sudah bukan menantuku. Kau bukan lagi istri Edmund Hills dan kau tidak berhak menginjakkan kaki di rumah ini.”

“Tapi aku sedang—”

“Tidak ada tapi. Sekarang juga, angkat kaki dari sini! Edmund, lempar mantan istrimu ini keluar!”

Edmund menarik napas berat. Tangannya terkesan enggan melepas genggaman. Alice menyadari hal itu. Ia menoleh ke belakang, mengerutkan alis mengharapkan kesempatan.

“Ed, tolong pertimbangkan ini baik-baik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Kita sudah berjanji untuk sehidup semati. Kau ingat? Kaulah tujuan dan alasanku hidup. Apalagi sekarang, aku sedang—“ 

“Edmund, jangan membuang waktumu untuk wanita sampah ini! Kau tidak perlu mendengar omongannya lagi. Edmund?”

Melihat sang putra tak kunjung bergerak, Elizabeth pun mencengkeram rambut Alice.

Alice spontan berteriak. Mau tidak mau, ia berjalan mundur mengikuti Elizabeth. Sesampainya di pintu, dorongan kuat membuatnya terhuyung-huyung sebelum jatuh terduduk lantai.

Seketika, dunia terasa hening bagi Alice. Sekujur tubuhnya gemetar. Tangannya dengan perlahan bergerak menuju perut.

Ia benar-benar ketakutan. Bayi mungil itu baru saja datang dalam rahimnya. Ia tidak siap jika harus kehilangan.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rakel
Endingnya balik lagi meskipun udah disakiti, apa sih yang ada di otak para tokoh2 dalam novel.
goodnovel comment avatar
Pixie
Hwaaaa .... Makasi banyak Kak Monika sudah hadir lagi di cerita Pixie. Semoga Kakak sekeluarga dilimpahkan rejeki dan kesehatan selalu, ya. Aamiiiiin
goodnovel comment avatar
Monika Anastasia Khim
Weii lahh baru episode pertama udah sedihh....welcome back thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status