Edmund duduk termenung di jembatan. Wajahnya pucat, tanpa ekspresi.
Orang-orang yang tadi menahannya sudah bubar, berganti dengan anggota tim SAR yang sibuk berkoordinasi dengan rekan-rekannya.
“Bagaimana?” tanyanya tanpa menoleh ketika petugas di dekatnya selesai bicara.
Petugas itu terdiam sejenak. Alih-alih menjawab, ia melirik orang-orang di sisi Edmund. Ketika ia menggeleng, tangis Emma kembali pecah.
“Kenapa nasib Alice sungguh malang, Henry? Dia orang baik. Dia tidak seharusnya mengalami semua ini. Kalau saja aku tidak meninggalkannya di kantor Edmund tadi pagi, mungkin dia masih bersama kita di sini. Aku tidak seharusnya membiarkan dia seorang diri.”
Setetes air mata mengalir lambat di pipi Edmund. Sama seperti Emma, ia juga menyalahkan diri. Hanya saja, ia tidak punya tenaga lagi untuk mengamuk. Biar rasa bersalah yang mendera hati, mengikis sekujur sarafnya hingga ia hanya bisa merasakan perih.
Malam berlalu berganti subuh. Emma dan Henry sudah pergi. Tim SAR pun memutuskan untuk melanjutkan pencarian setelah matahari naik.
Akan tetapi, Edmund masih bergeming. Ia enggan meninggalkan Alice di sungai sendiri, takut kalau sang istri sungguh menghilang selama-lamanya kalau ia berpaling lagi.
“Ed, ini sudah pagi. Bagaimana kalau kau pulang dan beristirahat? Tim SAR pasti langsung menghubungimu kalau mereka sudah menemukan Alice,” bujuk Giselle saat ia tiba di sana bersama Elizabeth.
“Giselle benar. Kau harus tetap menjaga kesehatan, Nak. Jangan menyia-nyiakan waktumu untuk sesuatu yang tidak berguna di sini.”
Edmund sontak melirik ibunya tajam. Rahangnya berdenyut-denyut mengimbangi gejolak amarah.
“Mama senang Alice hilang?” tanyanya serak.
Kepala Elizabeth tertekan mundur. Matanya berkedip-kedip, sedangkan alisnya meninggi.
“Senang? Tentu saja tidak, Sayang. Bagaimanapun, Alice adalah mantan istrimu. Mama juga berduka kalau sesuatu yang buruk menimpanya. Ya, meskipun ini keputusannya sendiri.”
Tiba-tiba, ia berdecak. “Mengapa pemikirannya dangkal sekali? Dia tidak seharusnya berbuat nekat dan merepotkan orang-orang seperti ini.”
Muak melihat sang ibu, Edmund pun bangkit. Tanpa berkata-kata, ia berjalan menuju mobil.
“Nak, kau mau ke mana?” Elizabeth terbelalak.
Edmund tidak menjawab. Ia membanting pintu mobil lalu meluncur menuju tempat ia bisa menemukan Alice.
Sayangnya, di titik mana pun ia menyisir, sang istri tidak juga terlihat. Memikirkan Alice telah terbaring di dasar sungai, kepalanya semakin sakit. Ketika tubuhnya mencapai batas toleransi, barulah ia mengumpulkan keberanian untuk pulang ke tempat Alice biasa menyambutnya dengan senyum manis.
***
“Ed, kau sudah pulang? Tebak! Aku punya kejutan untukmu.”
Edmund mendekap Alice dengan senyum kecil. Setelah mengecup pundak sang istri, ia memandanginya dengan penuh kasih. “Benarkah? Apa yang kau siapkan kali ini?”
Sambil mengulum bibir, Alice mengeluarkan sebuah kotak. “Tada! Bukalah.”
Mata Edmund sontak menyipit. Sebelah alisnya terdesak naik. “Apakah ini mainan baru untuk nanti malam?”
Alice menggeleng gemas. “Ini jauh lebih baik daripada itu. Percayalah. Kau pasti akan sangat senang saat melihat isinya.”
Dengan raut penasaran, Edmund pun membuka kotak. Begitu menemukan test pack, mulutnya langsung ternganga lebar. Matanya berbinar menatap Alice dan dua garis itu secara bergantian.
“Kamu hamil? Kamu benar-benar hamil?”
Alice mengangguk sambil meloloskan tawa. Matanya ikut berkaca-kaca menyaksikan kegembiraan suaminya.
“Ya, Ed. Aku sedang mengandung bayi kita.”
Dengan tawa yang lebih lepas, Edmund memeluk Alice dan mengajaknya berputar. Alice memekik kecil saat kakinya melayang di udara.
“Hati-hati, Ed, nanti si Kecil pusing.”
“Dia tidak akan pusing, Alice. Dia bayi kita. Dia pasti kuat dan tahan menghadapi segala guncangan. Yang terpenting, aku sangat bahagia. Aku akan segera menjadi ayah. Kita harus merayakannya malam ini juga.”
Setelah menghujani wajah Alice dengan kecupan, Edmund membungkuk, menempelkan pipinya ke perut Alice yang masih rata.
“Sayang, kamu mau makan apa? Sekarang juga, pasti akan Papa carikan.”
Tawa Alice terdengar ringan di udara. “Dia belum bisa makan, Ed. Aku yang makan.”
Edmund mendongak dengan tampang jenaka. “Bukankah sama saja? Ayo, kita temui Nyonya Klein. Kita harus memberitahunya untuk menyiapkan makan malam spesial.”
Tanpa sadar, setitik air mata Edmund jatuh. Perlahan-lahan, suara lain tertangkap samar oleh telinganya.
“Ed? Bangun, Ed. Pindahlah ke kamarmu. Mau berapa lama kau tidur di mobil?”
Ketika getaran dari ketukan kaca sampai ke kepalanya, Edmund tersentak. Mata merahnya langsung menyapu sekeliling. Tidak mendapati Alice, ia pun membuka pintu mobil dan turun.
“Alice? Alice?”
Ia berjalan melewati Scott, berputar-putar menanti jawaban. Para pelayan yang mengintip spontan menutup mulut. Beberapa orang gagal menahan tangis. Beberapa lagi tak sampai hati melihat tuan mereka yang mendadak terlihat lebih kurus dan depresi.
“Alice? Kamu di mana, Sayang? Keluarlah, kita rayakan kedatangan bayi kita bersama-sama. Kita sudah lama menantikan momen ini, kan? Ayo, Sayang. Kita rayakan bersama. Alice?”
Scott menatap sahabatnya dengan penuh iba. Ia tidak berani bergerak ataupun menyela.
Namun, semakin lama, suara Edmund semakin serak. Ketika pria itu tersedak oleh tangis yang berusaha ditahannya, barulah ia memberanikan diri untuk mengulurkan tangan, meraih pundaknya.
“Ed, bersabarlah. Alice masih dalam pencarian. Tidak lama lagi, aku yakin tim SAR akan menemukannya. Dia wanita yang kuat. Dia pandai berenang dan—”
“Diam!” Edmund tiba-tiba menyibak tangan Scott.
“Alice masih di sini. Dia tidak mungkin ke mana-mana. Kami sudah berjanji untuk selalu bersama. Dia tidak mungkin meninggalkan aku! Apalagi dia sedang mengandung!”
Setelah menghunus Scott dengan tatapan tajam, Edmund berbalik menuju pintu masuk. Namun, tepat ketika kakinya menginjak beranda, bayang-bayang Alice tersungkur muncul dalam kepalanya.
“Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan.”
Mendengar gema itu lagi, Edmund spontan mencengkeram kepala. Ia menggeleng dan mendesah samar.
“Tidak, itu tidak benar. Aku tidak pernah menyesal menyelamatkanmu, Alice. Aku tidak pernah menyesal telah mengucapkan janji-janji itu. Menikah denganmu adalah keputusan terbaik dalam hidupku.”
Malangnya, penyangkalan itu malah memperdalam luka. Edmund mulai membungkuk, mencoba bertahan dari kepedihan yang menggerus jantungnya.
“Tidak, Alice. Kumohon, jangan dengarkan kata-kataku itu. Aku tidak pernah bermaksud mengusirmu. Aku juga tidak bisa hidup tanpamu. Alice?”
Saat napasnya tersekat, Edmund langsung ambruk di atas kedua lututnya. Kedua tangannya terkepal, berulang kali memukul lantai. Para pelayan tidak sanggup lagi menyaksikannya. Mereka masuk, menahan isakan dengan cara apa pun yang mereka sanggup.
Hanya Scott yang berjalan perlahan menghampiri Edmund. Namun, alih-alih menghibur, ia biarkan Edmund menumpahkan semua kesal dan sesal.
Ia tahu betul tidak ada obat untuk rasa bersalah. Mereka hanya bisa mengandalkan waktu untuk menyatukan kepingan hati yang hancur.
***
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Alice belum juga ditemukan.
Edmund telah berubah menjadi sosok yang pemurung. Sekalipun ia menyibukkan diri dengan pekerjaan, rasa bersalah tetap membebani hati dan pikirannya.
Satu-satunya cara agar Edmund bisa merasa lebih baik adalah dengan mewujudkan impian Alice untuk mengelilingi dunia. Setiap ada kesempatan, ia mengunjungi satu tempat dalam bucket list sang istri.
Lima tahun sejak kepergian Alice, Edmund memilih Mauritius.
“Ed, tolong jangan menguji kesabaranku. Kau tahu hari ini kita ada meeting dengan investor penting?” oceh Scott via telepon.
Sambil fokus mengemudi, si pria brewok menggerutu, “Bukankah aku sudah meninggalkan catatan di meja kerjaku? Bahas saja poin-poin itu. Aku yakin mereka pasti setuju.”
“Tapi setidaknya, sapalah mereka walau hanya lewat panggilan video.”
“Scott, bisakah kau berhenti menggangguku? Bukankah kau sendiri yang menyarankan agar aku melakukan perjalanan ini? Atau kau mau depresiku kambuh?” timpalnya ketus.
“Aku mengerti kau butuh liburan, tapi tidak semendadak ini juga.”
Risih, Edmund pun menutup telepon. Ia lempar ponselnya ke jok samping dengan tampang manyun.
Namun, menyadari sesuatu, ia tersentak. Cepat-cepat ia menepikan mobil dan memeriksa ke bawah jok samping dan juga laci mobil. Ternyata, kompas Alice memang tidak ada.
“Apakah aku lupa membawanya?” gumam Edmund resah.
Bola matanya bergerak-gerak, mencoba untuk mengingat. Sebelum keringat dingin membanjiri tengkuknya, ia memutar balik mobil kembali menuju penginapan.
“Tuan, kenapa Anda berputar arah?”
Jantung Edmund nyaris copot mendengar seruan anak kecil itu. Mobilnya sempat bergerak ke kanan dan ke kiri sebelum kembali menepi. Begitu posisi mobil sudah aman, ia menoleh ke jok belakang.
Ternyata, seorang balita berusia sekitar empat tahun sedang terbelalak, menanti jawabannya.
“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada di mobilku?” selidik Edmund, masih dengan napas tak beraturan. Matanya terbelalak, sulit memercayai apa yang dilihatnya. Sadar ia telah membongkar keberadaan dirinya sendiri, gadis mungil itu terkesiap. Ia cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan, lalu membenamkan punggungnya pada sandaran jok di belakang. Saat itulah, Edmund bisa melihatnya lebih jelas. Ia mengenakan hoodie merah yang dipadukan dengan jumpsuit cokelat muda. Tudung kepalanya menutupi rambut, membuat wajahnya terlihat lebih bulat. Di pangkuannya terdapat sebuah buku, pensil, dan ransel. Tiba-tiba, gadis mungil itu kembali memajukan posisi duduknya. Sambil berkedip-kedip, ia mengerutkan alis. “Maaf, Tuan Brewok. Tadi sewaktu di parkiran, aku tidak sengaja mendengar kalau kamu mau pergi ke Chamarel Falls. Kebetulan, aku juga mau pergi ke sana. Jadi, aku diam-diam menumpang di mobilmu.” Edmund terdiam dengan mulut menganga. Butuh beberapa waktu untuk ia bisa mencerna informasi it
Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya. “Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.” Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing. Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu? Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia
Sekembalinya dari kafe, Edmund duduk dengan canggung. Ia letakkan makanan yang dibelinya di atas meja, tanpa sedetik pun berpaling dari sang balita. “Ini makananmu.” Gadis mungil itu sedang sibuk menggambar sesuatu di bukunya. Ia hanya mengangguk, tidak sempat melirik. “Terima kasih, Tuan Brewok. Letakkan saja di situ. Aku akan memakannya setelah menyelesaikan jurnalku.” Selang beberapa saat, ia membalikkan bukunya menghadap Edmund dan merentangkan tangan. “Tada! Berkat bantuanmu, aku berhasil melingkari Chamarel Falls dan Seven Colored Earth. Sebentar lagi, semua keinginanku selama di Mauritius akan terpenuhi. Dan lihat ini! Aku sudah memberi keterangan bahwa aku bisa sampai ke sini karena kamu. Meskipun sedikit kurang mirip, aku akan selalu ingat kalau ini kamu.” Edmund tidak menyimak gambar seorang pria yang ditunjuk oleh sang balita. Ia terlalu terpana dengan binar matanya. Semangatnya begitu mirip dengan semangat Alice. Jika dipikir-pikir, ucapannya tentang Chamarel Falls, j
Takut dimarahi, Sky melompat turun dari kursi dan bersembunyi di balik Edmund. Kepalanya hanya terlihat sedikit saat sebelah matanya mengintip. “Mama, tolong jangan marah dulu. Aku terpaksa kabur. Kalau tidak begini, aku tidak bisa melihat Chamarel Falls.” Wanita yang sangat mirip dengan Alice itu mendesah berat. Wajahnya mengernyit, penuh penyesalan sekaligus kekhawatiran. “Tidak, Mama tidak akan marah. Mama justru ingin meminta maaf padamu. Mama dan Papa tidak seharusnya menolak keinginanmu. Sekarang kemarilah, Sayang.” Rachel merentangkan tangan, mengundang Sky ke dalam pelukan. Akan tetapi, gadis mungil itu malah menggeleng, bergumam, “Tapi Papa pasti akan marah dan menghukumku.” “Tidak akan. Ayo, Sayang. Jangan mengganggu tuan ini. Dia sudah banyak kau repotkan hari ini.” Lagi-lagi, Sky menggeleng. “Berjanjilah Mama akan membujuk Papa untuk tidak menghukumku.” “Mama janji, Sayang. Papa tidak akan memarahimu. Dia juga merasa bersalah telah menolak permintaanmu. Kamu tahu? Ma
Melihat Lucas kembali memanas, Rachel cepat-cepat menariknya mundur.“Sayang, kenapa kamu mendadak emosian begini? Tenanglah, kurasa laki-laki ini tidak bermaksud begitu. Seperti yang Sky bilang, dia terlalu merindukan istri dan anaknya. Mungkin dia mengidap gangguan mental,” bisiknya di akhir kalimat.Napas Edmund tersekat mendengar Alice-nya memanggil laki-laki lain dengan kata “sayang”. Bola matanya bergetar melihat bagaimana perempuan itu mengusap dada Lucas. Ia sungguh tidak mengerti mengapa Alice berubah dan sama sekali tidak mengingatnya.Sebelum akal sehatnya tenggelam lagi, Edmund menarik napas cepat dan mengembalikan fokus pada Sky. Meski pilu, ia harus mau berpura-pura menjadi orang baru.Ia sadar dirinya tidak boleh gegabah kalau tidak mau kehilangan orang-orang yang dicintainya lagi. Biarlah Alice menjadi Rachel dan Sky menjadi anak orang lain untuk sementara. Setidaknya, sampai ia mengumpulkan kebenaran.“Sky, bagaimana kalau kita obati lukamu sekarang? Setelah itu, kamu
Jantung Edmund berdebar saat mengetuk pintu bernomor 506. Entah mengapa, ia merasa seperti tersedot ke masa silam, saat ia hendak menjemput Alice berkencan setelah ia menyadari bahwa janji palsunya telah mendatangkan cinta. Begitu pintu terbuka, napasnya sontak tertahan. Melihat wajah Alice yang sama sekali tidak berubah, matanya tanpa sadar berkaca-kaca. “Tuan Edmund?” Edmund berusaha menahan senyum agar tidak terlalu lebar. Tangannya yang disembunyikan di balik pinggang terkepal erat, berusaha menjaga batasan agar tidak menakuti sang wanita. “Selamat malam, Nyonya Rachel.” Ia sengaja tidak mau memanggilnya Nyonya Palmer. Bagi Edmund, Alice akan selalu menjadi Nyonya Hills. “Apakah Sky punya waktu luang? Aku berniat mengajaknya makan malam. Tidak jauh-jauh. Di resto hotel ini saja. Itu pun kalau Anda dan Tuan Palmer mengizinkan.” Sekarang Edmund merasa bahwa ia sedang meminta izin untuk mengencani anak orang. Rachel spontan mengernyitkan dahi. Tangannya enggan beralih dari gag
“Jadi, itu yang kau maksud dengan badut dan terompet tahun baru? Angka 5 dan 6?” gumam Edmund sembari memotong steak untuk Sky. “Ya, bukankah mereka mirip? Yang satu perutnya gendut, sedangkan yang satu lagi seperti pita melengkung. Kalau ditiup, pitanya bisa menjadi lurus dan terlihat lebih panjang!” Edmund terkekeh mendengar itu. “Kau memiliki imajinasi tinggi, Sky, persis seperti ibumu.” Sambil menyangga pipi dengan kedua tangan, Sky memiringkan kepala. “Kenapa kamu berbicara seperti sudah kenal lama dengan Mama? Kamu kan temanku. Kamu seharusnya lebih mengenalku.” Sambil menyodorkan piring ke hadapan Sky, Edmund berusaha untuk tetap tersenyum. “Suatu saat nanti, kau akan mengerti. Sekarang makanlah. Berterimakasihlah kepada sapi ini karena dia sudah memberikan dagingnya kepadamu.” “Sekarang kamu terdengar seperti Mama. Mama juga selalu berkata begitu setiap sebelum makan,” gumam Sky sebelum meraih garpu dan berbisik, “Terima kasih, Sapi. Maaf aku memakanmu.” Hati Edmund ber
Menyadari arah sorot mata Lucas, tubuh Edmund menegang. Cepat-cepat ia menutup telepon dan berjalan menuju meja. Namun, belum sempat ia meraih rambut sampel, Lucas telah lebih dulu mencengkeramnya. “Apa ini? Kau diam-diam mengambil rambut putriku? Apa tujuanmu sebenarnya, hmm? Kau sungguh berniat merebut istri dan anakku rupanya!” hardik Lucas dengan mata terpelotot. Rahang Edmund pun berdenyut-denyut. Ia sebetulnya sudah muak dengan Lucas sejak pertemuan pertama mereka. Sekarang, setelah gertakan keras itu, kebenciannya berlipat ganda dan tidak lagi tertahankan. “Berani sekali kau menyebut Sky putrimu?” Lucas tersentak mendengar nada dingin Edmund. “Apa maksudmu? Bukankah sudah jelas kalau dia anakku?” Suaranya turun drastis. Sambil mendengus, Edmund tertunduk. “Kurasa kita tidak perlu basa-basi lagi.” Ia duduk di sofa, lalu meletakkan kedua siku di atas lutut. Tatapannya tajam sekaligus redup. “Di mana kau menemukan Alice?” Lucas mengerjap. Urat di lehernya mencuat tertekan ol