“Ed, apa yang telah kau lakukan? Kau berselingkuh dengan Giselle? Kenapa Alice jadi seputus asa itu?” Emma mengguncang pundak Edmund.
Edmund tertunduk dan menelan ludah. Keringat dingin mulai membutir di keningnya.
“Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai orang asing yang tidak kukenal. Dengan begitu, aku tidak perlu mengucapkan janji-janji itu, tidak pernah jatuh cinta padamu, dan tidak akan merasakan sakit yang sebesar ini.”
Kata-kata itu terngiang lagi dalam kepalanya. Ke mana akal sehatnya kemarin saat melontarkannya kepada Alice?
Sementara rasa bersalah merayap menggerogoti hatinya, Edmund terpejam dan menggertakkan geraham. Ia biarkan kepalan tangan Emma menghantam tubuhnya. Ia merasa layak mendapat pukulan.
“Mengapa aku begitu bodoh?” sesalnya.
Emma tersentak mendengar gumaman itu. “Apa? Kau sungguh berselingkuh dengan Giselle?”
Selang satu helaan napas, tangannya melayang menampar pipi Edmund.
“Kau betul-betul keterlaluan, Ed! Kalau memang kau tidak sanggup memenuhi janjimu, tidak usah kau katakan itu kepada Alice. Kau menyelamatkannya hanya untuk merasakan sakit yang lebih dalam, hah?”
“Aku tidak bermaksud menyakitinya, Em,” tutur Edmund sembari kembali menegakkan kepala. Wajahnya sangat kusut dan sorot matanya redup.
“Saat mendapat kabar bahwa dia berselingkuh, aku berpikir dia tidak lagi membutuhkanku. Aku menceraikannya supaya dia bisa lebih bahagia bersama kekasih baru.”
“Lalu kau berselingkuh dengan Giselle?”
“Aku tidak berselingkuh!”
Sembari menghela napas, Edmund mencengkeram pelipis. Matanya kembali terpejam, berusaha meredam emosi.
“Kita bicarakan ini setelah Alice kembali. Sekarang, aku harus menjemputnya pulang.”
Melihat Edmund melenggang pergi, Emma menyusul. Ia mencoba meraih lengan Edmund, tetapi gagal. “Kau mau ke mana? Lari dari tanggung jawab?”
“Kubilang aku akan menjemput Alice.”
Mengira itu kebohongan, Emma mempercepat langkah untuk menyentak lengan Edmund. “Memangnya kau tahu Alice di mana?”
Edmund menatap Emma dan Henry dengan rahang berdenyut-denyut. “Jembatan tempat aku melamarnya dulu.”
Raut Emma seketika berubah horor. “Tempat pertama kali kalian bertemu? Tempat dia sempat ingin mengakhiri hidup?”
Sementara Emma dilanda panik dan Henry berusaha menenangkannya, Edmund kembali berjalan menuju mobil. Entah Alice masih di sana atau tidak, ia tidak tahu. Yang jelas, dirinya sedang berada di ambang penyesalan seumur hidup.
***
“Nona, aku tidak tahu apa yang telah kau alami, tapi tolong jangan gegabah. Bunuh diri bukan solusi untuk semua masalahmu. Sekarang raih tanganku dan turun dari situ. Kita bisa mencari jalan keluarnya bersama. Aku janji akan membantumu.”
Alice berkedip lambat mengenang suara itu. Tangannya perlahan bergerak, mengelus dinding pembatas tempat ia berdiri dulu.
“Baiklah, aku menyesal kau harus mengalami kemalangan sebesar itu. Tapi tolong jangan putus asa dulu. Dunia tidak sejahat itu. Orang-orang yang peduli padamu pasti akan sangat sedih kalau kau hanyut.”
Masih dengan ekspresi datar, Alice menatap lebih jauh. Arus sungai yang berkilauan memantulkan cahaya bulan tampak sama seperti malam itu, sama seperti matanya yang berkaca-kaca mengulas masa lalu.
“Aku! Aku peduli padamu. Kalau tidak, apakah mungkin aku di sini mengulurkan tangan padamu?”
“Ayolah, turun dari situ. Aku baru memulai bisnis penginapan. Kau bisa tinggal di situ, gratis. Anggap itu sebagai hadiah karena kau adalah pelanggan pertamaku. Aku juga sedang mencari anak buah untuk bisnis travel-ku. Kau bisa melamar pekerjaan di situ kalau kau mau.”
“Bersama-sama, mari kita tata ulang hidupmu. Aku percaya kau pasti bisa. Aku akan selalu di sisimu, melindungi dan membantumu. Kau akan baik-baik saja, jadi jangan takut.”
Alice menghela napas samar. Tangannya kini bergerak mengusap perut.
“Kau tahu, Sayang? Dulu Mama sempat memercayai kata-kata itu. Tapi ternyata, dunia memang kejam. Kalau tahu semua akan jadi seperti ini, Mama seharusnya melompat saja saat itu. Dengan begitu, kamu tidak perlu ada dan merasakan penderitaan ini.”
Sambil memejamkan mata, Alice merasakan bagaimana angin membelai wajah dan rambutnya lembut. Bukannya merasa tenang, setitik air matanya malah jatuh.
“Maaf, Sayang. Tanpa Papa, Mama tidak akan bisa bertahan. Mama tidak mau kamu mengalami nasib yang sama seperti Mama. Sebelum semua menjadi lebih menyakitkan dan menyiksa, mari kita pergi bersama.”
Begitu membuka mata, Alice naik ke pagar pembatas. Ia berdiri di sana dan merentangkan tangan.
Pengemudi yang lewat sontak teralihkan oleh aksinya. Beberapa memilih berhenti, entah untuk menyaksikan dari balik jendela atau turun, berharap bisa memberikan bantuan.
Alice tidak menghiraukan teriakan-teriakan di sekitarnya. Dalam kepalanya hanya ada suara Edmund.
Bahkan saat ia membalikkan badan, seruan panik dari orang-orang tidak mengganggunya. Baginya, angin malam hanya mengantarkan kenangan dan keputusasaan.
Melihat Alice berputar di atas pagar, wajah Edmund memucat. Ia tidak peduli lagi dengan jantungnya yang nyaris lepas. Ia turun dari mobil dan berlari ke arah istrinya.
“Alice!”
Alice tidak juga membuka mata. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia mendongak. Tangannya perlahan turun memeluk perut.
Edmund tahu waktunya tidak banyak. Ia menambah kecepatan, berseru sebisanya, “Alice, tolong dengarkan aku. Alice!”
Namun, tepat ketika ia tiba di pagar pembatas, Alice menjatuhkan badan ke belakang. Orang-orang spontan memekik. Mereka berharap Edmund berhasil meraih tangan sang wanita.
Sayangnya, Edmund kalah cepat.
Dengan mata terbelalak, Edmund menatap tangannya yang hampa. Mulutnya menganga, tak tahu harus berkata apa. Hanya desah samar yang lolos bersamaan dengan napas pendeknya.
“Alice ...?”
Dadanya tak pernah sesesak itu dan matanya tak pernah seperih itu. Sementara air matanya menebal, kepalanya bergerak turun menatap ke bawah. Mendapati sungai yang seolah tidak berdasar, sekujur tubuhnya mulai berguncang.
“Alice? Alice?!”
Tangis Edmund pun pecah. Kepalanya menggeleng menolak percaya. Saat akal sehatnya tak lagi bersisa, kedua tangannya mencengkeram pagar. Kakinya bersiap untuk melompat. Beberapa orang di situ dengan sigap menahannya.
“Tuan, tolong jangan nekat!”
“Itu istriku! Aku harus menyelamatkannya. Alice? Alice!” Edmund berusaha melepaskan diri dari orang-orang.
“Sadarlah, Tuan. Itu tidak akan membantu. Arusnya terlalu deras. Anda hanya akan ikut hanyut!”
“Tapi dia istriku! Istriku! Aku sudah berjanji untuk selalu melindunginya. Sekarang, lepaskan aku! Biarkan aku menyelamatkan istriku!”
Edmund memberontak lebih kuat. Beberapa orang lagi terpanggil untuk menahannya.
“Mohon tenang, Tuan. Biar tim SAR yang mencari istri Anda. Seseorang ... cepat hubungi mereka!”
Akan tetapi, Edmund terus meronta. Emma dan Henry yang baru saja tiba terkesiap menyaksikannya.
“Di mana Alice?” gumam Emma sebelum menutup mulut dengan kedua tangan. “Apakah dia ....”
Emma tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Mulutnya terasa kering. Percuma ia menelan ludah, kerongkongannya tetap tercekik. Ketika tangisnya pecah, ia hanya bisa meluapkan emosi dalam pelukan Henry.
Henry pun terpaksa menenangkan sang kekasih sambil memandang ke arah Edmund. Ia paham. Sesakit apa pun luka di hati Emma tidak akan lebih buruk dari penyesalan yang ditanggung Edmund.
Selang beberapa saat, Edmund akhirnya menjatuhkan lutut di atas jembatan. Kedua tangannya mengepal, memukul-mukul bumi seolah itu dirinya. Ia tidak tahu lagi cara bernapas dengan normal. Erangannya membuat semua yang mendengar ikut merasakan sesaknya.
Edmund duduk termenung di jembatan. Wajahnya pucat, tanpa ekspresi. Orang-orang yang tadi menahannya sudah bubar, berganti dengan anggota tim SAR yang sibuk berkoordinasi dengan rekan-rekannya. “Bagaimana?” tanyanya tanpa menoleh ketika petugas di dekatnya selesai bicara. Petugas itu terdiam sejenak. Alih-alih menjawab, ia melirik orang-orang di sisi Edmund. Ketika ia menggeleng, tangis Emma kembali pecah. “Kenapa nasib Alice sungguh malang, Henry? Dia orang baik. Dia tidak seharusnya mengalami semua ini. Kalau saja aku tidak meninggalkannya di kantor Edmund tadi pagi, mungkin dia masih bersama kita di sini. Aku tidak seharusnya membiarkan dia seorang diri.” Setetes air mata mengalir lambat di pipi Edmund. Sama seperti Emma, ia juga menyalahkan diri. Hanya saja, ia tidak punya tenaga lagi untuk mengamuk. Biar rasa bersalah yang mendera hati, mengikis sekujur sarafnya hingga ia hanya bisa merasakan perih. Malam berlalu berganti subuh. Emma dan Henry sudah pergi. Tim SAR pun memutu
“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada di mobilku?” selidik Edmund, masih dengan napas tak beraturan. Matanya terbelalak, sulit memercayai apa yang dilihatnya. Sadar ia telah membongkar keberadaan dirinya sendiri, gadis mungil itu terkesiap. Ia cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan, lalu membenamkan punggungnya pada sandaran jok di belakang. Saat itulah, Edmund bisa melihatnya lebih jelas. Ia mengenakan hoodie merah yang dipadukan dengan jumpsuit cokelat muda. Tudung kepalanya menutupi rambut, membuat wajahnya terlihat lebih bulat. Di pangkuannya terdapat sebuah buku, pensil, dan ransel. Tiba-tiba, gadis mungil itu kembali memajukan posisi duduknya. Sambil berkedip-kedip, ia mengerutkan alis. “Maaf, Tuan Brewok. Tadi sewaktu di parkiran, aku tidak sengaja mendengar kalau kamu mau pergi ke Chamarel Falls. Kebetulan, aku juga mau pergi ke sana. Jadi, aku diam-diam menumpang di mobilmu.” Edmund terdiam dengan mulut menganga. Butuh beberapa waktu untuk ia bisa mencerna informasi it
Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya. “Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.” Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing. Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu? Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia
Sekembalinya dari kafe, Edmund duduk dengan canggung. Ia letakkan makanan yang dibelinya di atas meja, tanpa sedetik pun berpaling dari sang balita. “Ini makananmu.” Gadis mungil itu sedang sibuk menggambar sesuatu di bukunya. Ia hanya mengangguk, tidak sempat melirik. “Terima kasih, Tuan Brewok. Letakkan saja di situ. Aku akan memakannya setelah menyelesaikan jurnalku.” Selang beberapa saat, ia membalikkan bukunya menghadap Edmund dan merentangkan tangan. “Tada! Berkat bantuanmu, aku berhasil melingkari Chamarel Falls dan Seven Colored Earth. Sebentar lagi, semua keinginanku selama di Mauritius akan terpenuhi. Dan lihat ini! Aku sudah memberi keterangan bahwa aku bisa sampai ke sini karena kamu. Meskipun sedikit kurang mirip, aku akan selalu ingat kalau ini kamu.” Edmund tidak menyimak gambar seorang pria yang ditunjuk oleh sang balita. Ia terlalu terpana dengan binar matanya. Semangatnya begitu mirip dengan semangat Alice. Jika dipikir-pikir, ucapannya tentang Chamarel Falls, j
Takut dimarahi, Sky melompat turun dari kursi dan bersembunyi di balik Edmund. Kepalanya hanya terlihat sedikit saat sebelah matanya mengintip. “Mama, tolong jangan marah dulu. Aku terpaksa kabur. Kalau tidak begini, aku tidak bisa melihat Chamarel Falls.” Wanita yang sangat mirip dengan Alice itu mendesah berat. Wajahnya mengernyit, penuh penyesalan sekaligus kekhawatiran. “Tidak, Mama tidak akan marah. Mama justru ingin meminta maaf padamu. Mama dan Papa tidak seharusnya menolak keinginanmu. Sekarang kemarilah, Sayang.” Rachel merentangkan tangan, mengundang Sky ke dalam pelukan. Akan tetapi, gadis mungil itu malah menggeleng, bergumam, “Tapi Papa pasti akan marah dan menghukumku.” “Tidak akan. Ayo, Sayang. Jangan mengganggu tuan ini. Dia sudah banyak kau repotkan hari ini.” Lagi-lagi, Sky menggeleng. “Berjanjilah Mama akan membujuk Papa untuk tidak menghukumku.” “Mama janji, Sayang. Papa tidak akan memarahimu. Dia juga merasa bersalah telah menolak permintaanmu. Kamu tahu? Ma
Melihat Lucas kembali memanas, Rachel cepat-cepat menariknya mundur.“Sayang, kenapa kamu mendadak emosian begini? Tenanglah, kurasa laki-laki ini tidak bermaksud begitu. Seperti yang Sky bilang, dia terlalu merindukan istri dan anaknya. Mungkin dia mengidap gangguan mental,” bisiknya di akhir kalimat.Napas Edmund tersekat mendengar Alice-nya memanggil laki-laki lain dengan kata “sayang”. Bola matanya bergetar melihat bagaimana perempuan itu mengusap dada Lucas. Ia sungguh tidak mengerti mengapa Alice berubah dan sama sekali tidak mengingatnya.Sebelum akal sehatnya tenggelam lagi, Edmund menarik napas cepat dan mengembalikan fokus pada Sky. Meski pilu, ia harus mau berpura-pura menjadi orang baru.Ia sadar dirinya tidak boleh gegabah kalau tidak mau kehilangan orang-orang yang dicintainya lagi. Biarlah Alice menjadi Rachel dan Sky menjadi anak orang lain untuk sementara. Setidaknya, sampai ia mengumpulkan kebenaran.“Sky, bagaimana kalau kita obati lukamu sekarang? Setelah itu, kamu
Jantung Edmund berdebar saat mengetuk pintu bernomor 506. Entah mengapa, ia merasa seperti tersedot ke masa silam, saat ia hendak menjemput Alice berkencan setelah ia menyadari bahwa janji palsunya telah mendatangkan cinta. Begitu pintu terbuka, napasnya sontak tertahan. Melihat wajah Alice yang sama sekali tidak berubah, matanya tanpa sadar berkaca-kaca. “Tuan Edmund?” Edmund berusaha menahan senyum agar tidak terlalu lebar. Tangannya yang disembunyikan di balik pinggang terkepal erat, berusaha menjaga batasan agar tidak menakuti sang wanita. “Selamat malam, Nyonya Rachel.” Ia sengaja tidak mau memanggilnya Nyonya Palmer. Bagi Edmund, Alice akan selalu menjadi Nyonya Hills. “Apakah Sky punya waktu luang? Aku berniat mengajaknya makan malam. Tidak jauh-jauh. Di resto hotel ini saja. Itu pun kalau Anda dan Tuan Palmer mengizinkan.” Sekarang Edmund merasa bahwa ia sedang meminta izin untuk mengencani anak orang. Rachel spontan mengernyitkan dahi. Tangannya enggan beralih dari gag
“Jadi, itu yang kau maksud dengan badut dan terompet tahun baru? Angka 5 dan 6?” gumam Edmund sembari memotong steak untuk Sky. “Ya, bukankah mereka mirip? Yang satu perutnya gendut, sedangkan yang satu lagi seperti pita melengkung. Kalau ditiup, pitanya bisa menjadi lurus dan terlihat lebih panjang!” Edmund terkekeh mendengar itu. “Kau memiliki imajinasi tinggi, Sky, persis seperti ibumu.” Sambil menyangga pipi dengan kedua tangan, Sky memiringkan kepala. “Kenapa kamu berbicara seperti sudah kenal lama dengan Mama? Kamu kan temanku. Kamu seharusnya lebih mengenalku.” Sambil menyodorkan piring ke hadapan Sky, Edmund berusaha untuk tetap tersenyum. “Suatu saat nanti, kau akan mengerti. Sekarang makanlah. Berterimakasihlah kepada sapi ini karena dia sudah memberikan dagingnya kepadamu.” “Sekarang kamu terdengar seperti Mama. Mama juga selalu berkata begitu setiap sebelum makan,” gumam Sky sebelum meraih garpu dan berbisik, “Terima kasih, Sapi. Maaf aku memakanmu.” Hati Edmund ber