Ketika Candra keluar dari kamar mandi, dia kecewa tidak melihat Hugo di kamar. Ada sebuah baju ganti miliknya di atas tempat tidur. Candra mengganti bajunya dan melirik nampan makanan di atas meja. Buburnya sudah diganti dengan nasi hangat dan sup ayam yang mengepul. Sepertinya Hugo menyuruh Bibi Ulya mengganti bubur yang sudah dingin dengan makanan hangat saat dia sedang mandi.Candra menghabiskan makanannya dengan cepat dan meminum obat demamnya yang diletakkan di samping nampan. Meski sudah agak membaik, Candra tetap harus minum agar dia cepat pulih. Dia tidak ingin sakit di dekat Hugo. Candra meletakkang gelas kosong di samping teko dan mengambil ponselnya yang sedang dicas. Pada saat itu pintu kamar terbuka.Candra menoleh melihat Hugo masuk ke kamar dengan mantel hitam besar di pundaknya. Dia sepertinya habis dari luar. “Paman Hugo, apa kamu pergi keluar tadi?”“Ya, aku ke apotek. Aku membelikanmu pil KB,” ujar Hugo meletakkan kantong plastik putih berisi obat di atas meja sa
“Ka-kakak ....” Candra panik melihat Marcus.Di antara semua orang, Marcus adalah orang yang akan menentang jika tahu Candra menjalin hubungan dengan Hugo, apalagi jika dia sampai mendengar Candra menjadi kekasih gelap. Candra tidak melupakan peringatan Marcus untuk menjauh dari Hugo dan ancaman akan mengirimnya keluar negeri.“Candra, bukankah seharusnya kamu di kampus? Kenapa kamu ada di sini, di rumah Tuan Hugo?” Marcus menatap adiknya tajam.“Ini libur natal, aku meminta dia menemaniku merayakan natal.” Hugo yang menjawab dan menatap Marcus tenang.Di antara dua anak asuhnya, Marcus yang paling sadar diri dan menghormatinya. Dia tidak terlalu akrab atau berperilaku intim seperti Candra. Setelah lulus SMA, Marcus tidak lanjut kuliah dan langsung menawarkan diri bekerja pada Hugi membalas budi dan mencari uang sendiri dari pekerjaan. Dengan begitu dia tidak akan terlalu bergantung pada Hugo dan membiayai hidupnya serta Candra, adiknya. Hugo menawarkan tempat tinggal dan beasisw
Kelas pertama berakhir. Candra mengikuti teman sekelasnya keluar dari kelas ketika seseorang memanggil namanya. “Candra!” Dia berbalik memandang Lorcan yang keluar dari kelas lain sebelum berjalan cepat menghampirinya. Dia dan Hugo tidak ada kelas bersama pagi ini. “Hai, aku dengar kamu sakit. Apa sudah baik-baik saja?” Dia bertanya menatap Candra penuh perhatian. Candra mengangguk sambil tersenyum. “Ya, aku baik-baik saja.” “Syukurlah, kamu tidak menjawab teleponku seharian.” “Maaf, aku tidak memegang ponselku seharian.” “Ya, pamanmu yang menjawab teleponku,” kata Lorcan menatap Candra. “Omong-omong, apa kamu ada waktu? Aku ingin membahas tentang pesta yang pernah aku ceritakan padamu.” “Ah, itu ... aku belum yakin bisa datang. Ada banyak tugas yang harus aku kerjakan. Kamu bisa mengajak orang lain,” kata Candra menatapnya meminta maaf. Lorcan terdiam menatapnya intens. Candra mengusap belakang lehernya salah tingkah. “Apa ada sesuatu yang kamu butuhkan lagi? Aku harus ke
Candra gelisah menyesap kopi latte-nya sambil melirik-lirik pada wanita di depannya. Sudah hampir dua puluh menit, namun Lily tidak mengatakan apa pun sejak dia membawanya ke kafe.Wanita itu menatap permukaan cangkir berisi kopi latte tanpa memandang Candra dan menyesap kopinya. Lily tidak mengatakan apa pun sejak tadi. Dia diam dan tenang, sangat berbeda dengan citra yang pernah dilihat Candra tentang wanita yang cerewat dan hangat.Suasana terlalu hening dan canggung bagi Candra.Akhirnya Candra tidak bisa menahan keheningan ini dan berdeham meletakkan cangkir kopi di meja.“Nyonya Wallington, mengapa kamu ingin menemuiku?” Candra berkata dengan hati-hati.Lily meletakkan cangkir kopinya dan menatap Candra tanpa ekspresi.“Candra Claus, itu adalah namamu, kan?”Candra mengangguk.“Sudah berapa lama kamu dan saudaramu tinggal bersama Hugo?”Candra terdiam sebentar, tidak mengerti dengan arah pembicaraan ini.“Sudah hampir delapan tahun, aku dan kakakku tinggal bersama Paman Hugo s
Dalam hati dia merasa bersalah dan malu karena sudah terlalu banyak berbohong, tapi dia tidak punya pilihan lain, kan? Awalnya Paman Hugo yang membawa Candra ke kamarnya.Mata Lily menyipit menatapnya selama beberapa saat. “Hanya itu? Tidak terjadi hal lain?”“Aku sedang sakit dan tidak ingat banyak, memangnya hal apa yang bisa terjadi?” Candra bertanya dengan polos.Lily menghembuskan napas sebelum memijat pelipisnya.“Baguslah jika tidak terjadi aneh-aneh antara kamu dan Hugo. Kamu harus ingat bahwa meski Hugo tidak mengadopsimu, dia tetap walimu dan setengah ayah bagimu, kamu mengerti, kan?”Candra ingin menggeleng kepala tidak setuju tapi ini adalah Lily, ibu kandung Paman Hugo. Nasib percintaannya akan bergantung pada persetujuan wanita itu. Hubungannya dengan Hugo masih rapuh dan Candra hanya kekasih gelapnya.Candra mengganggukkan kepalanya sambil memaksakan senyum tulus. “Aku mengerti. Aku sangat berterima kasih atas perawatan Paman Hugo.”Ekspresi Lily berubah rileks dan dia
“Jika Liera bukan terbaik dan Hugo tidak suka? Tentu saja aku mencari Nona Muda lain untuk putraku. Liera bukan satu-satunya yang akan menjadi calon istri Hugo. Bahkan jika Hugo tidak suka dengan Nona Muda yang kuperkenalkan, aku akan tetap menikahkannya dengan Nona muda mana pun yang baik. Dengan begitu Hugo melupakan Iris dan menikah untuk memiliki pewaris WLT Group.”Candra merasa pahit dalam hati, dia mengepalkan tangannya di bawah meja. Nona Muda? Tentu saja menantu yang dicari Lily adalah wanita dari keluarga kolongmerat, bukan orang seperti dirinya.Candra menghabiskan kopi latte-nya dan berpura-pura mengecek jam tangannya. Dia sudah melewatkan mata kuliah kedua karena Lily ingin bertemu dengannya.“Apa ada lagi yang ingin anda bicarakan denganku, Nyonya? Jika tidak, aku harus kembali ke kampus. Aku sudah melewatkan mata kuliah keduaku,” kata Candra sopan pada Lily.“Oh, tentu tidak ada lagi. Maaf sudah membuat melewatkan kelasmu. Pergilah, jangan khawatir tentang kopimu, aku s
Kelopak mata Candra mengerjap sebelum akhirnya terbuka, matanya menyipit karena silau cahaya yang sangat terang. Dia mengerang merasakan tenggorakannya kering. Dia haus.“Candra, kamu baik-baik saja?”Sebuah suara berbisik dengan khawatir.Candra menoleh melihat temannya menatap dengan khawatir.“Joy ....” Candra bergumam dengan lesu sambil mengusap kepalanya. Dia melihat pergelangan tangannya yang ditempelin jarum infus dengan bingung dan memandang ke sekeliling. Sebuah tirai mengeliling tempat tidurnya dan terdapat tiang infus di samping ranjang. Bau obat-obatan yang tajam membuat Candra mengerut hidung tidak tidak nyaman. Dia berusaha bangun.Joy buru-buru membantunya duduk di tempat tidur.Candra dengan lemah bersandar di tempat tidur. Joy duduk di samping ranjangnya dan menyodorkan segelas air putih melihat Candra mengeluh haus.“Terima kasih,” gumam Candra meminum segelas air putih dengan lega dan memandang teman sekamarnya. “Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku ada di sini?”“K
“Aku tetap harus mengganti uangmu, kamu sudah terlalu banyak membantuku, aku merasa tidak enak,” kata Candra menyodorkan beberapa lembar uang.“Sudah kubilang tidak perlu,” kata Lorcan. Suaranya tiba-tiba menjadi dingin.Baik Candra dan Joy terdiam menatap Lorcan.Wajah pemuda itu muram dan dingin. Dia menghela napas tanpa memandang Candra. “Kamu tidak perlu mengganti apapun. Aku tidak butuh, aku hanya ingin kamu baik-baik saja. Makanlah buburmu setelah itu kamu bisa meninggalkan rumah sakit.” Dia memandang Joy.“Joy, kamu bantu Candra kembali ke asrama setelah dia memakan buburnya.”Joy mengangguk. “Oke.”“Aku pergi, sampai jumpa besok di kampus.” Tanpa memandang Candra, dia mengambil tasnya ranselnya di atas kursi sebelum berbalik meninggalkan kedua gadis itu tanpa menoleh ke belakang.Joy dan Candra terdiam selama beberapa menit.“Wow,” komentar Joy. “Dia tadi agak keren ....”Candra meliriknya. “Keren bagaimana? Aku jadi agak takut,” gumamnya memasukkan kembali dompetnya ke dalam