Kelopak mata Candra mengerjap sebelum akhirnya terbuka, matanya menyipit karena silau cahaya yang sangat terang. Dia mengerang merasakan tenggorakannya kering. Dia haus.“Candra, kamu baik-baik saja?”Sebuah suara berbisik dengan khawatir.Candra menoleh melihat temannya menatap dengan khawatir.“Joy ....” Candra bergumam dengan lesu sambil mengusap kepalanya. Dia melihat pergelangan tangannya yang ditempelin jarum infus dengan bingung dan memandang ke sekeliling. Sebuah tirai mengeliling tempat tidurnya dan terdapat tiang infus di samping ranjang. Bau obat-obatan yang tajam membuat Candra mengerut hidung tidak tidak nyaman. Dia berusaha bangun.Joy buru-buru membantunya duduk di tempat tidur.Candra dengan lemah bersandar di tempat tidur. Joy duduk di samping ranjangnya dan menyodorkan segelas air putih melihat Candra mengeluh haus.“Terima kasih,” gumam Candra meminum segelas air putih dengan lega dan memandang teman sekamarnya. “Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku ada di sini?”“K
“Aku tetap harus mengganti uangmu, kamu sudah terlalu banyak membantuku, aku merasa tidak enak,” kata Candra menyodorkan beberapa lembar uang.“Sudah kubilang tidak perlu,” kata Lorcan. Suaranya tiba-tiba menjadi dingin.Baik Candra dan Joy terdiam menatap Lorcan.Wajah pemuda itu muram dan dingin. Dia menghela napas tanpa memandang Candra. “Kamu tidak perlu mengganti apapun. Aku tidak butuh, aku hanya ingin kamu baik-baik saja. Makanlah buburmu setelah itu kamu bisa meninggalkan rumah sakit.” Dia memandang Joy.“Joy, kamu bantu Candra kembali ke asrama setelah dia memakan buburnya.”Joy mengangguk. “Oke.”“Aku pergi, sampai jumpa besok di kampus.” Tanpa memandang Candra, dia mengambil tasnya ranselnya di atas kursi sebelum berbalik meninggalkan kedua gadis itu tanpa menoleh ke belakang.Joy dan Candra terdiam selama beberapa menit.“Wow,” komentar Joy. “Dia tadi agak keren ....”Candra meliriknya. “Keren bagaimana? Aku jadi agak takut,” gumamnya memasukkan kembali dompetnya ke dalam
“Candra, tenang oke. Kejadian itu sudah lama sekali. Orang itu tidak akan bisa menemukan kamu. Aku janji akan segera pulang, tenang okey ....” Dia mengerti betapa dalamnya trauma yang diberi ‘ayah’ mereka pada Candra. Dia hanya seorang anak kecil dan perempuan yang tidak bisa menanggung penganiayaan atau pelecehan. Kekerasan yang dilakukan ‘ayah’ mereka pada Candra jauh lebih parah dibandingkan pada dirinya. Candra terisak-isak. “Candra, kakak janji orang itu tidak akan bisa menemukanmu. Dia sudah lama tidak pernah mencari kita. Dia mungkin sudah melupakan kita.” “Benarkah?” Candra bertanya tidak pasti dan cemas. “Ya, setelah pekerjaan Tuan Hugo selesai di sini, kami akan pulang dan aku ....” Marcus merendahkan suaranya. “Aku akan mengurus ayah kita nanti. Kamu tidak perlu khawatir. Tetaplah berada di kampus dan belajar, jangan ke mana-mana sampai aku pulang dengan Hugo, mengerti?” Candra perlahan-lahan tenang sebelum kemudian menganggukkan kepalanya. “Kak, jangan pernah mence
Wajah Candra pucat pasi dan ngeri memandangi wajah pria paruh baya di depannya.“Benar… itu kamu Candra?” Pria itu tersenyum lebar mengangkat tangan untuk menyentuh wajah Candra.“Candra ini Ayah—”Candra melebar melihat tangan yang terangkat di depannya. Rasanya seperti kembali ke masa kecilnya. Wajah yang sama pukulannya ada di depannya.“Kyaaa! menjauh dariku!” jeritnya mendorong pria tua itu keras hingga jatuh tersungkur.Dia mundur dengan rasa takut menjauh dari pria tua itu.Pria paruh baya itu terlihat menggenaskan saat jatuh ke trotoar jalan yang keras. Dia merintih memandang Candra dengan mata tua yang berbaring. Tubuhnya sudah tua dan pakaian luluhnya terlihat membuat orang-orang merasa kasihan. Namun Candra mati rasa untuk merasakan simpati.“Nak, aku ayahmu, teganya kamu mendorong ayahmu yang sudah tua!” serunya masih di tanah seperti pria tua yang dianiaya.Orang-orang di trotoar itu berhenti untuk menatap Candra dan pria tua itu aneh. Pandangan orang-orang itu menghakimi
Candra mengerut kening mendengar ucapan Carter. Ayahnya tidak bertanya apa yang sudah mereka lalui selama ini dan langsung menanyakan tentang uang. Candra tidak ingin membuat Carter tahu tentang Paman Hugo.“Tidak ada yang membiayai kami. Kami tinggal di panti asuhan,” balas Candra berbohong dengan datar.Ekspresi Carter terlihat kecewa dan tidak senang. “Jangan berbohong pada Ayah, Candra. Lalu baju-baju itu, siapa yang membelikanmu? Itu terlihat sangat mahal.” ujarnya menunjuk pakaian mahal yang dipakai Candra.Candra menunduk menatap bajunya sebelum berkata dengan masam. “Apa yang sebenarnya ayah inginkan?”“Siapa yang orang yang membelikanmu baju-baju itu Candra? Apa dia sungguh kaya? Kamu tumbuh di keluarga kaya?” Carter tidak mengkhiraukan ucapan Candra dan berkata dengan mendesak.Candra menggertakkan gigi, tidak menjawab pertanyaan Carter.Carter meremas tangan Candra erat. “Candra, karena kamu sudah hidup enak, kamu harus membantu ayahmu, ayah kesulitan sekarang ....”“Berap
“Kamu baik-baik saja, Nona?” sopir taksi menatapnya melalui kaca spion dengan ekspresi prihatin dan menawarkan sekotak tisu ke belakangCandra mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Dia mengambil tisu untuk menghapus air matanya.“Siapa orang yang mengejarmu, Nona? Mengapa kamu tidak menelepon polisi?” tanya sopir itu.Candra tidak menjawab dan supir itu tidak bertanya lagi seolah mengerti dengan kondisi Candra.Tak lama kemudian mereka berhenti di depan gedung apartemen tempat tinggal Marcus dan Candra. setelah memastikan Carter tidak mengejarnya dengan taksi lain, Candra buru-buru keluar setelah membayar ongkos taksi.Dia bergegas masuk ke gedung apartemen. Apartemen ini terbilang cukup mewah dan memiliki sistem keamanan. Bahkan jika Carter mengejarnya, dia tidak akan bisa masuk tanpa melalui penjaga keamanan.Candra masuk ke kamarnya dan berbaring di tempat tidurnya, bersembunyi di bawah selimut sambil meringkuk dengan posisi janin. Dia menangis di dalam selimut, pipinya teras
“Kamu akan tinggal di kamarku, kamu bisa tidur di kasur dan aku di sofa.”Candra tidak memperhatikan ucapannya karena sibuk memandang ke sekeliling. Kamar hotel yang ditempati Marcus adalah kamar suite yang luas dan mewah.Dia memandang Marcus dan bertanya, “Apa kamu tinggal sendiri di sini? Tidak bersama Andrew?”“Tidak, kami tinggal di kamar masing-masing. Kamar Andrew ada di sebelah.”“Lalu kamar Paman Hugo di mana?”Marcus menatapnya dengan mata menyipit. “Di ujung lorong, Tuan Hugo tidak ada di kamarnya.”Candra mengangguk-angguk mengerti. “Aku akan tinggal sendiri di kamar. Kak, kamu bisa tinggal dengan Andrew,” ujarnya tersenyum manis.Dia ingin menyelinap ke kamar Hugo tanpa diawasi oleh kakaknya.“Tidak. Aku tinggal di sini dan mengawasimu,” kata Marcus menatapnya tajam seolah bisa membaca pikiran gadis itu.Candra menatapnya sebal lalu membuka maskernya. Dia sedikit meringis merasakan sisi wajahnya perih saat melepas masker.“Apa yang terjadi dengan wajahmu?!” Suara Marcus t
Marcus keluar dari hotel karena dipanggil Andrew dan meninggalkan Candra sendirian di kamar hotel itu.Dia mengompres pipinya dengan kompres dingin dan melirik jam tangan menunjukkan pukul 10 malam. Sebentar lagi Paman Hugo akan pulang. Dia ingin memberinya kejutan untuk ulang tahunnya. Candra bersemangat seolah tidak merasakan jet lag dan memesan layanan kamar untuk mengantarkan makan malam, wine dan kue tart untuk di antar di kamar Hugo. Untunglah dia sudah mencuri kartu kunci hotel kamar Hugo dari dompet Marcus.Kamar Hugo sangat luas dan mewah dibandingkan kamar suite Marcus saat Candra masuk ke kamar itu.Dia menghempaskan tubuhnya di ranjang king size dan berguling-guling di kasur menghirup aroma tubuh kekasihnya di selimut dan bantal dengan penuh kerinduan. Terbayang sosok Hugo terbaring mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan terlelap.Candra sangat merindukannya dan tidak sabar ingin bertemu dengan pria itu. setelah beberapa saat, Candra bangun menuju ke lemari. Dia membuka