Sejam kemudian setelah insiden kamar mandi, Candra mengganti bajunya dengan pakaian kering. Dia mengeringkan rambutnya dengan pengering dan duduk di kursi rias saat dia menelepon Hugo dengan cemas.Setelah beberapa saat panggilan telepon akhirnya terhubung. Candra mendesah lega mematikan pengering rambut dan memanggil Hugo dengan manis.“Paman Hugo ....”Suaranya semanis madu menggelitik telinga pria berusia 36 tahun tahun itu, menguji hormonnya yang baru saja reda sekali lagi.Hugo memejamkan matanya untuk menenangkan tubuhnya dari suara manis gadis itu.“Candra, ada apa?” Dia dengan tenang duduk di sofa tunggal di kamarnya dengan masih mengenakan jubah mandi. Rambutnya setengah basah. Hugo menuangkan botol wine di gelas berkaki tinggi di meja.“Aku hanya kangen Paman. paman susah dihubungi,” gumam gadis itu dengan suara sedihnya.“Hm, aku di jepang. Sibuk sekali,” balas Hugo lelah untuk menjelaskan panjang lebar sambil menyesap wine-nya.Perasaan kecewa melanda hati Candra mendengar
Joy berkedip. “Perasaan? Kamu punya pacar?”Candra menggelengkan kepalanya. “Tidak, ada seseorang yang kusukai selama bertahun-tahun. Aku menyukainya, ah tidak, aku sangat mencintainya.” Dia menoleh memandang teman sekamarnya dengan ekspresi merana.“Semua orang menginginkan aku menjauh dari orang itu. Apa menurutmu mencintai itu salah?”Joy menggaruk kepalanya agak tidak mengerti dengan ucapan Candra. “Hmm ... memangnya siapa yang kamu sukai? Apa dia begitu terlarang?”Candra berkedip dan kembali menatap kosong langit-langit kamarnya. “Mungkin. Karena dia begitu terlarang hingga semua orang ingin aku menjauh.”Mulut Joy terbuka, “Menurutku jika aku mencintai seseorang, aku akan mendapatkannya meski semua orang suruh aku menjauh. Kita tidak bisa mengendalikan perasaan kita jika begitu mencintai seseorang. Yah, kecuali aku selingkuhannya atau dia orang yang sudah beristri. Perselingkuhan tetap tidak bisa dimaafkan kecuali jika aku cinta buta,” komentarnya lalu melirik Candra.“Apa or
“Apa yang harus aku lakukan mendapatkan perhatian paman Hugo? Aku tidak bisa menjauh darinya,” Candra merengek menggoyang-goyangkan lengan Joy.“Candra, kamu itu cantik sekali dan imut, ada banyak pria yang menyukaimu. Tidak sulit untuk mendapatkan perhatian pria.” Joy memperhatikan wajah Candra. Dia memiliki wajah kecil berbentuk hati, hidung mungil yang mancung dan segala tentang wajahnya sangat sempuran dan cantik.“Benarkah?” Candra meraba-raba wajahnya. “Tapi kenapa Paman Hugo tidak menyukaiku?” tanya dengan sedih.“Karena orang yang kamu sukai adalah pria yang lebih tua 17 tahun darimu. Bisa jadi selera pria yang lebih tua bukan gadis muda, tapi wanita dewasa yang siap diajak untuk komitmen,” balas Joy mengedik bahu.“Aku tahu. Aku tidak meminta pendapatmu. Aku hanya butuh saran,” protes Candra diingatkan sekali lagi sosok Liera Walton, wanita yang terlihat lebih dewasa dan cantik, juga calon istri Hugo.“Okey, okey, jika kamu tidak mau menyerah, kamu harus merayunya. Rayu dia s
Candra mengerang. “Beritahu aku sudah pulang ke apartemen kakakku. Aku liburan ke luar negeri.”“Oke. Jangan lupakan janjimu.” Joy bersenandung keluar dari kamar Candra.Candra menghela napas lega menghempaskan tubuhnya ke kasur.Rayuan seksual, ya? Pikirnya tersipu membayangkan bagaimana cara menggoda Paman Hugo.Dia tidak akan menyerah untuk mendapatkan Paman Hugo tak peduli apa yang dikatakan oleh lain. Semakin dilarang, semakin dilakukan.....Malam natal terlihat ramai di kediaman Wallington yang dulunya sepi. Hugo sudah pindah dari tempat ini ketika Iris pergi. Sekarang tempat kembali ramai, pikir Hugo ketika mendengar suara tawa dari arah ruang tamu.Hugo mengerut kening mendengar tawa yang familiar. Tawa seorang wanita dan anak-anak.Iris dan Dimitri. Mereka ada di sini? Hugo berhenti dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik untuk meninggalkan tempat itu.Tapi terlambat ketika suara familiar memanggilnya dari belakang.“Hugo.”Hugo memejamkan mata sebelum menghembuskan n
“Ibu ....” Raut wajah Hugo muram menatap ibunya. “Mengapa mengapa kamu membawa Iris ke sini?” desisnya dengan suara pelan agar tidak didengar oleh wanita itu.“Iris adalah sepupumu dan putri Lilian, sudah saatnya kalian berdamai. Jangan kekanakkan melarikan diri. Kita masih keluarga, jangan karena perasaan konyolmu, kamu membuat Iris menjauh dari keluarga Wallington.” Lily menatap lengan putranya tajam dan menyeret pria itu ke depan Iris.“Iris, Hugo akan bergabung dengan kita untuk natal malam ini. Kamu tidak keberatan, kan?”Iris mencoba tersenyum. “Ya, ini natal, keluarga harus merayakan bersama,” ujarnya melirik hati-hati ke arah sepupunya.Hugo menyadari dengan masam Iris masih bersikap waspada padanya. Dulunya mereka dekat, sekarang seperti orang asing.“Aku sibuk. Masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan,” balas Hugo datar mencoba melepaskan cengkeraman Lily dari lengannya. Dia juga tidak ingin menghadapi perasaannya pada Iris. Rasa itu masih ada di hatinya.“Ini libur natal
Alpard batuk. Agar tersinggung dibilang tua. “Aku masih muda dan sehat untuk melihat Hugo menikah dan memeluk cucu beberapa tahun lagi. Jangan mengutuk di malam natal,” dia menatap istrinya menegur.Umur Lily 55 tahun, beda 20 tahun darinya. Oleh sebab itu istrinya masih terlihat kuat dan muda dibandingkan dirinya.Lily mengerucutkan bibirnya. “Tapi apa kamu tidak khawatir? Jika Hugo terlalu single, dia akan betah dan tidak ingin menikah. Kita berdua tidak akan memeluk cucu selamanya.”Alpard terlihat berpikir lalu menatap Hugo. “Ibumu benar, kamu sebentar lagi berumur 37 tahun, sudah saatnya kamu menikah. Jangan membuat ibumu terus mengkhawatirkanmu dan pikirkan perasaan kami karena kamu satu-satunya putra tunggal kami. Kami khawatir kamu akan tinggal sendiri dan tidak ada yang merawatmu jika suatu saat aku dan ibumu sudah tidak ada di dunia ini. ”Wajah Hugo terlihat cemberut namun tidak membantah ucapan orang tuanya. Sudah bosan terus mendengar ucapan itu.“Mengapa kamu belum menga
Hugo mengendarai mobilnya meninggalkan keluarga Wallington....Hugo menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung asrama. Dia tidak tahu apa yang membuatnya datang ke sini. dadanya penuh sesak dan kepalanya penuh dengan gambaran keluarga kecil Iris dan kemesraan mereka. Tanpa disadari, dia mengemudi sampai ke asrama Candra.Dia berdecak mengurutkan pangkal hidungnya dan mengambil sebungkus rokok dari dasboar.Kaca jendela di turunkan, Hugo menghembuskan asap keluar. Angin dingin dan serpihan salju masuk menerpa wajahnya, sedikit mendinginkan pikiran Hugo yang kusut dan perasaan sesak di dadanya mulai mereda.Hugo memejamkan mata sambil terus menghisap rokoknya tanpa berniat keluar atau menemui gadis yang di tinggal di asrama lantai tujuh. Dia memainkan ponselnya tampak ragu-ragu menghubungi seseorang.Asrama itu sepi, hanya sedikit mahasiswi yang keluar malam di malam bersalju yang dingin atau pulang ke rumah untuk merayakan natal bersama keluarga.Candra pasti sudah kembali kembali k
Candra keluar dari mobil dan memandang rumah rumah tua namun terawat dengan baik di depannya. Ini adalah rumah kakek dan nenek Hugo yang diwariskan pada pria itu. Hugo tidak pernah menjualnya meski rumah itu sudah tua dan tidak pernah ditinggali selama bertahun-tahun karena ini mengingatkannya pada kakek dan nenek yang pernah membesarkannya saat orang tuanya sibuk dengan bisnis keluarga. Di sini dia pernah tinggal sampai usia 17 tahun sebelum dikirim kuliah di luar negeri. Sudah lama sekali tidak datang ke tempat ini lagi. Dia sangat merindukan tempat ini, di mana dia tumbuh di sisi Paman Hugo-nya.Rumah ini juga mengingatkan pada pertemuan pertamannya dengan Paman Hugo. Candra dipenuhi nolstalgia mengingat kenangan yang tidak akan pernah dia lupakan. Ketika dia berusia 12 tahun, dia dan Marcus melarikan diri dari ayah kandungnya. Namun mereka menderita kelaparan setelah hidup terlunta-lunta di jalanan beberapa hari setelah melarikan diri. Mereka mengembara semakin jauh dari rumah. M