~Happy Reading All~
See you again.. Jumpa lagi di novelku yang baru.. Semoga suka dan terhibur dengan cerita recehku…
***
Sebuah mobil mewah berwarna hitam terlihat kehilangan kendali. Bukan karena si pengemudi mengantuk, kelelahan atau terdapat kerusakan pada kendaraan roda empat tersebut, melainkan terlibat kejar-kejaran dengan mobil di belakangnya.
Suasana terasa tegang di dalam mobil hitam yang dikendarai sopir pribadi Mona Rosalie, Yadi namanya.
"Nyonya, sedari tadi mobil di belakang mengikuti kita terus. Apa kita berhenti saja dan mencari pos kepolisian terdekat?" tanya Yadi, sopir pribadinya yang terlihat cemas, lalu menanyakan kejelasan pada wanita yang duduk tepat di belakangnya. Berkali-kali ia menatap spion samping yang menampakkan mobil berwarna putih sengaja mengejar dan menyalip kendaraannya.
Wanita anggun tersebut mulai tertular virus panik mendengar penjelasan Yadi. Ia mengeluarkan ponsel pintarnya dalam tas branded miliknya dan berusaha menghubungi seseorang.
Belum sempat niatnya terlaksana, mobil putih di belakangnya menabrak body bagian samping kendaraan roda empat yang ditumpanginya hingga oleng. Mobil hitam tersebut menabrak pohon besar yang ada di samping trotoar jalan.
Braggg Cekiiittt
Pengemudi mobil putih yang sengaja menyenggol pun pergi dari lokasi kejadian secepat mungkin takut ada saksi mata yang melihat ulahnya. Berhubung suasana sepi dikarenakan hujan baru saja berhenti mengguyur bumi, ia pun bisa kabur dan meninggalkan korbannya begitu saja tanpa dosa.
Kap terbuka dan ringsek bagian depan. Dua manusia di dalam mobil terluka parah.
"Tolong… Tolong…" lirih Mona sebelum tak sadarkan diri. Lamat-lamat ia melihat dari kejauhan seorang gadis cantik berlari mendekatinya. Tak lama kemudian semua tampak gelap.
Bruggh
Gadis cantik berpakaian santai yang baru saja pulang dari pasar membawa sekantung belanjaan berisi tanaman herbal terkejut melihat kecelakaan di depan mata. Ia shock dan refleks memegangi dadanya yang berdetak kencang. Ia menjatuhkan barang belanjaannya sembarangan dan berlari ke arah korban.
"Astaghfirullah! Tolong, tolong!" pekik gadis cantik bernama Tantri yang berusaha menyelamatkan korban kecelakaan tersebut.
Jalanan begitu sepi hanya satu dua orang yang melintas. Ia mengedarkan pandangan sambil mengeluarkan dua tubuh manusia di dalam mobil yang rusak parah. Setidaknya ia bisa menemukan korban dan membantunya menjauh dari mobil tersebut sebelum terjadi hal yang tak diinginkan.
***
"Apakah anda keluarga dari pasien?" tanya seorang dokter wanita yang baru saja keluar dari ruang gawat darurat pada Tantri.
Tantri yang sedari tadi menunggu di luar ruang gawat darurat hanya terdiam dan terlihat memutar otak. Hingga akhirnya ia menjawab pertanyaan dokter padanya.
"Bukan, Dok! Saya kebetulan adalah saksi mata yang melihat kecelakaan mobil korban dan membawanya kemari," jelas Tantri. "Ada apa ya, Dok? Apakah ada yang bisa saya bantu?"
Dokter tersebut mengamati dengan serius gadis muda di hadapannya. Ini urgent dan ia tak punya pilihan lain selain…
"Apakah anda bisa membantu saya untuk mencari pemilik golongan darah yang sama dengan korban? Korban kehilangan banyak darah dan kebetulan bank darah kami kehabisan stok yang dibutuhkan."
Dokter tersebut terlihat kebingungan. Tantri tak bisa tinggal diam.
"Kalau boleh tahu, golongan darah korban apa ya, Dok?"
"Golongan darahnya O rhesus negatif. Pasien harus segera mendapat transfusi sekarang juga sebelum semuanya terlambat," jelas dr. Miley, nama dokter tersebut.
Tantri mengingat sesuatu.
"Saya bisa, Dok. Golongan darah saya kebetulan sama dengan pasien korban kecelakaan tadi. Silakan ambil darah saya saja, Dok! Semoga bisa membantu selagi menunggu kedatangan keluarga pasien," ucap Tantri memberanikan diri.
Gadis muda itu sebenarnya takut pada jarum suntik, namun, hari ini berbeda cerita. Ini menyangkut nyawa seseorang dan selama ia bisa membantu bukankah tidak salah jika ia memutuskan hal itu dengan begitu yakin tanpa keraguan sedikit pun.
***
"Apa? Kecelakaan?!" seru Arsaka saat mendapat kabar dari sopir pribadinya, Yadi, yang mengalami kecelakaan bersama ibunya.
Yadi baru saja siuman dan segera menghubungi anak dari majikannya itu via telepon rumah sakit. Beruntungnya ia tidak mengalami hal serius pada tubuhnya dan bisa segera memberitahu hal itu pada Arsaka.
Arsaka sejenak melihat wajah cantik kekasihnya yang belum lama datang menemuinya untuk melepas rindu. Ada raut wajah ingin tahu dan kecewa menjadi satu di sana.
"Ada apa? Siapa yang kecelakaan?" tanya Aleta sembari mengernyitkan keningnya. Wanita cantik yang berprofesi sebagai artis sekaligus model itu menatap penuh keheranan.
"Mama kecelakaan, beliau baru saja keluar dari ruang operasi. Aku harus segera ke sana. Maaf, aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Tidak apa-apa, kan?" tanya Arsaka yang merasa sungkan pada kekasihnya.
Aleta mencoba mengertikan. Ia menampakkan senyum yang amat ia paksakan menghiasi wajahnya.
"Apakah aku boleh ikut? Aku ingin tahu bagaimana keadaan Tante," pinta Aleta pada Arsaka, ia menggelayut manja di lengan kekar kekasihnya dengan wajah memelas.
"Maafkan aku, Sayang. Aku belum bisa mengajakmu menemui Mama. Lain waktu akan kupastikan kamu bisa bertemu Mama. Maaf sekali lagi, Sayang. Aku keluar dulu, ya."
Arsaka mematikan ponsel dan memasukkan benda itu ke dalam saku celana. Tak menunggu lama, ia pergi meninggalkan Aleta yang masih berada di ruangan kerjanya.
Sepeninggal Arsaka, Aleta mengepalkan kedua tangannya merasa geram.
"Menyebalkan!" gerutu Aleta sembari menghentakkan kaki ke lantai yang dipijaknya.
***
"Pak Yadi, di mana Mama?" tanya Arsaka khawatir, ia langsung menemui Yadi di lobby.
"Sudah dipindahkan ke ruang inap di lantai tiga, Den Saka," jelas Yadi, pria paruh baya itu segera mengekor di belakang Arsaka.
Tak tak tak
Derap langkah dari sepasang sepatu pantofel beradu dengan kerasnya lantai marmer mengalihkan pandangan Tantri yang duduk di kursi samping ranjang Mona berada.
Pandangan Tantri tertuju pada netra hitam si pria yang tengah memindai keberadaannya. Tatapan itu dirasa aneh olehnya.
"Sa-Saka…" lirih Mona.
"Mama!" pekik Arsaka yang langsung mendekati sang ibu. Tanpa pikir panjang ia menjatuhkan tubuhnya tepat di kursi yang tadinya dipakai Tantri untuk duduk.
Tantri yang sadar keberadaannya tak lagi dibutuhkan memilih beranjak dari sana dan ijin pamit undur diri. Belum sampai pintu, Mona mencegahnya pergi.
"Tunggu, Nak… Jangan pergi, kumohon kemarilah!" pinta Mona dengan lirih.
Tatapan tajam mengarah ke Tantri dari seorang Arsaka. Arsaka melihat Tantri dengan pandangan yang sulit dibaca akal sehat.
'Apakah aku terlihat aneh?' gumam Tantri yang memindai dirinya dari atas sampai bawah. Perempuan itu baru tersadar, ia hanya memakai kaos putih bergambar mickey mouse yang terlihat kumal dipadupadankan dengan celana pendek selutut. Tak lupa sepasang sandal jepit menghiasi kaki putihnya.
'Astaga!' pekiknya dalam hati seraya menepuk keningnya.
"Kamu siapa? Kenapa ada di sini bersama ibuku?" tanya Arsaka penuh selidik. Ia mengamati gadis di hadapannya yang terlihat tak asing. Pandangannya kini beralih ke arah sang ibu yang menarik lengan jasnya. "Dia siapa, Ma? Kenapa Mama bisa bersama perempuan ini?"
***
~Happy Reading All~***"Gadis inilah yang menolong Mama, Ars.." lirih Mona menjelaskan pada sang putra yang tampak tak suka dengan keberadaan Tantri di sana. "Kemarilah, Nak.." panggilnya lembut pada Tantri yang sudah berdiri di dekat pintu. Telapak tangan lemahnya melambai pada gadis itu.Panggilan itu menyurutkan niatnya untuk segera pergi dari sana. Jujur ia tak suka dengan tatapan Arsaka padanya. Gadis itu tampak berpikir apa karena pakaiannya yang terlihat lusuh dan bukan anak orang kaya membuat dirinya dipandang sebelah mata oleh pria tersebut.Pikirannya mulai melanglang buana entah ke mana rimbanya. Siapa yang suka dilihat seseorang dengan cara seperti itu? Apakah dia sudah tak terlihat seperti manusia pada umumnya?"Nak Tantri..." panggil Mona sekali lagi yang seketika menyadarkan lamunan Tantri.Tantri terkesiap dan segera mengulas senyum tipis ke arah wanita paruh baya yang telah berhasil ia selamatkan.&nb
~Happy Reading All~***Mona tampak menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya yang sempat terhenti. "Mama mohon padamu, menikahlah dengan Nak Tantri!" pintanya penuh keyakinan, tak ada keraguan saat meminta hal yang mustahil itu pada putranya.Arsaka tampak garang. Ia refleks melepaskan pertautan jemarinya dengan jemari lemah sang ibu. Kini dengan angkuhnya ia menatap benci pada Tantri, gadis yang tidak tahu apa-apa tersebut.Tantri benar-benar berada di tempat yang tidak seharusnya. Ia salah tempat dan situasi. Bagaimana bisa ia dilibatkan dalam masalah ibu dan anak tersebut lebih jauh. Ditambah lagi permintaan nyonya besar itu terdengar konyol baginya.Ia baru menginjak usia delapan belas tahun dan menyelesaikan sekolah menengah atas tiga bulan lalu. Ia sangat belum siap menerima keputusan itu sama halnya dengan Arsaka."Mama! Mama sadar atau tidak mengatakan hal itu? Mama tahu dengan jelas kan, aku sudah memiliki kekasih dan aku
~Happy Reading All~***"Mbak Tantri!" pekik Yadi yang berhasil menemukan gadis cantik penolong majikannya tersebut dengan susah payah.Langkah kaki Tantri sudah sampai di trotoar jalan hendak menunggu bus lewat. Untung saja teriakan Yadi berhasil mengurungkan niat Tantri memasuki kendaraan umum di mana belasan manusia berjejal di dalamnya.Tantri menoleh ke belakang tanpa membalikkan badan. Senyum manis terbit di kedua sudut bibir ranumnya. Amat manis dan teduh."Mbak Tantri, biar saya antar pulang, ya!" tawar Yadi bersungguh-sungguh. "Nyonya minta saya mengantar Mbak Tantri pulang ke rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Mau, ya?"Tantri belum menerima tawaran dari pria yang berprofesi sebagai sopir pribadi nyonya Mona tersebut. Gadis cantik berlesung pipi itu merogoh saku celana pendeknya, di mana saat ini ia menemukan selembar uang berwarna hijau. Sisa dua puluh ribu.Gawat!Tantri menepuk
~Happy Reading All~***"Bibi dan Pak Yadi saling kenal?" tanya Tantri penasaran melihat interaksi kedua manusia paruh baya di sekelilingnya.Baik pak Yadi atau sang bibi tak ada yang mau buka mulut. Kini, bibinya malah pergi meninggalkan Tantri bersama Yadi dan masuk ke rumah untuk melanjutkan kegiatannya meracik jejamuan tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Bibi!" panggil Tantri yang diacuhkan sang bibi. Ia merasa tak enak hati pada pak Yadi. "Maaf ya, Pak. Nggak tahu juga ada apa sama bibi, mungkin beliau mau langsung nerusin bikin jamu," jelas Tantri sekenanya.Yadi mengerti. Ia tak mau banyak bertanya. Ia mengangguk sembari mengulas senyum tipis."Jangan cuma dilihatin aja, Pak! Mari silakan diminum! Keburu dingin loh, Pak. Takutnya nanti nggak manis loh, Pak," paksa Tantri dengan jurus rayuannya."Oh iya, terima kasih. Maaf loh, merepotkan Mbak Tantri!""Ah, Pak Yadi pakai ngomong gitu
~Happy Reading All~***Wanita paruh baya yang tersenyum di ambang pintu itu membuat Mona seketika merasa malas dan risih berurusan dengannya."Kenapa kamu diam saja dan tak menyambut kedatanganku, Mona? Kita sudah lama tak berjumpa, loh!" sapanya basa-basi. Senyumnya mengembang sempurna saat mendekati Mona di atas bed rumah sakit yang didominasi warna putih tersebut."Aku ingin tidur, tolong jangan menggangguku!" sahut Mona dengan ketus."Mana mungkin aku ingin mengganggumu? Aku datang karena ingin berkunjung karena kita sudah lama sekali tak berbincang santai," kilahnya memberi alasan yang sekiranya masuk akal. Ia berusaha mengajak berdamai dengan Mona.Mona tersenyum sinis dan berkata, "Wah, artis besar sepertimu masih punya waktu untuk menemuiku, baik sekali, ya! Ck! Ck!" sindir Mona."Mona! Bisakah kita kembali seperti dulu? Bukankah kita bersahabat baik? Kenapa kamu tega sekali mendiamkanku setelah
~Happy Reading All~***Belum sampai bibir gelas itu menyentuh bibir Arsaka, sebuah panggilan yang berasal dari ponsel di saku celana pria tersebut menghentikan niatnya untuk meminum teh buatan sang kekasih.Arsaka meletakkan kembali cangkir itu ke atas nampan. Aleta tetap mengulas senyum manis di hadapan Arsaka. Mencoba sabar, kini perempuan itu beralih pada ponselnya sendiri dan menggulir beberapa pesan masuk. Sesekali Aleta melirik dan berniat mencuri dengar apa yang akan dibicarakan Arsaka pada lawan bicaranya."Halo, Pak Yadi! Ada apa?" tanya Arsaka serius. Tampak guratan kencang di keningnya.'Den Saka sedang di mana kalau boleh tahu?' tanya balik Yadi."Aku lagi di apartemen Aleta. Kenapa, Pak? Kok kayaknya serius banget?"'Begini, Den. Anu, begini, aduh gimana, ya ngomongnya?'"Kenapa sih, Pak? Jangan buat aku penasaran kayak gini!" seru Arsaka.'Begini, Den, Nyonya Mona
~Happy Reading All~***Tantri merasakan detak jantungnya berdegup hebat. Perasaan itulah yang harus ia tahan sekian lama, karena ia tak mau melanggar kata hati dan berujung menghambat masa depannya nanti.Ia mencoba menetralkan detak jantungnya yang sedemikian kencang dengan memalingkan muka. Memilih menghadap ke sembarang arah demi menutupi rasa yang berkecamuk di hati.Ia menggerakkan bungkusan plastik tersebut maju mundur sembari memilin anak rambutnya yang terurai dengan satu tangan yang lain."Buruan naik, yuk! Langitnya udah gelap, takutnya bentar lagi ujan gede," ajak Banyu pada Tantri. Tantri mengangguk mengiyakan.Pemuda itu menunggu Tantri naik melewati pijakan footstep dan berpegangan pada pundaknya. Maklum, motor yang pemuda itu gunakan adalah sebangsa motor gede.Motor pun melaju. Hati Tantri dan Banyu tampak berdesir hebat. Entah apa yang mereka saat ini rasakan?Tantri menghel
~Happy Reading All~******Arsaka terdiam selama beberapa saat, membiarkan segenap pikirannya terfokus pada satu hal.Kebahagiaan ibunya yang lebih penting atau egonya untuk tetap bersama Aleta?Sebuah keputusan harus ia pilih saat ini juga.Arsaka menggeleng samar sembari tersenyum getir. Kenapa harus ada pihak yang tersakiti? Kenapa tidak dirinya saja yang harus menderita?Semua ini pasti akan menyakiti salah satu di antara dua wanita yang begitu berharga di dalam hidupnya. Aleta dan juga sang ibu.Pria itu menyandarkan kepalanya di atas bed pembaringan tubuh sang ibu yang terlelap, entah kenapa ia merasakan kantuk luar biasa dan tanpa sadar memejamkan mata.Sebelum benar-benar terbuai dalam arus mimpi, Arsaka sempat berucap, "Mama.. Aku sayang Mama, jangan tinggalkan aku sendiri…."******Sementara itu di sebuah apartemen mewah, seorang wanita cantik berhasil mem
Kedua mata Tantri terbuka lebar. Ia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah pria muda yang pernah singgah di hatinya selama bertahun-tahun lamanya. Tantri menahan tangis dan amarah di saat bersamaan. Ia terlanjur kecewa dan terluka. Baik Tantri dan Banyu, mereka sama-sama terluka. Namun luka yang dialami Tantri kali ini bertambah dengan ucapan Banyu barusan. Perempuan itu menghela napas berat sebelum akhirnya memberanikan diri kembali mendekati Banyu."Mas…"Banyu menatap dalam kedua mata Tantri dengan hati yang terluka sekaligus penuh harap akan perpisahan perempuan itu yang baru saja menikah dengan Arsaka. "Bagaimana bisa kamu mendoakan aku untuk berpisah dengan laki-laki yang baru beberapa hari menikahiku? Apakah itu adalah doa terbaik darimu atau kutukan darimu? Aku tahu Mas Banyu bukan laki-laki pendendam yang sanggup mengatakan hal-hal semacam itu. Mas, ingat kata-kata itu termasuk doa. Jaga lisan kamu, Mas! Aku tahu kamu itu orang baik. Jangan pernah mengatakan hal
"Saya nggak keberatan kalau kamu mau menyelesaikan urusan kamu dengan dia. Saya akan menunggu kamu di mobil." Arsaka mengatakan hal itu dengan tenang sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju ke dalam kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman Rumah Sakit.Tantri mengangguk pelan menanggapi pemberian izin suaminya. Ia terus mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang semula ia benci dan kini telah menjadi suami sahnya hingga tak lagi terjangkau sepasang mata indahnya.Sepeninggal Arsaka, Banyu menatap wajah ayu Tantri yang kini tampak bersalah kepadanya. Suasana mendadak sendu. Rasa kecewa dan terluka bercampur aduk di sekitar mereka berdua."Bagaimana kabarmu setelah melakukan ini padaku, Tantri?" tanya Banyu dengan ekspresi terluka yang begitu kentara."Mas Banyu, aku minta maaf," ucap Tantri seraya menundukkan kepalanya."Minta maaf dalam hal apa, Tantri? Minta maaf karena kamu menikah secara tiba-tiba dengan mantan atasan kita tanpa sepengetahuanku atau karena meny
Yusti tersenyum teduh pada lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia pun memantapkan hati dan pikirannya mengenai keputusan yang sesaat lagi harus ia ungkapkan di depan orang-orang ini. "Bu Mona, saya tidak mau jadi orang munafik," kata Yusti sembari tersenyum malu beberapa detik kemudian."Maksudnya?" "Saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya bersama laki-laki ini," ucap Yusti kemudian sambil meruncingkan jari telunjuknya ke arah Yadi. Yadi masih tak menyangka akan mendapat durian runtuh seperti ini. Ia masih mengira semua ini adalah halusinasi yang ditimbulkan olehnya efek bius yang sempat bertengger di tubuhnya. Nyatanya, senyum manis mengembang sempurna di wajah ayu Yusti yang tak lagi muda. "Kamu serius mau menikahi laki-laki seperti aku, Yusti?" Yadi bertanya dengan tatapan yang semakin lama semakin blur. Rupanya air matanya menggenang di sana membuat penglihatannya sedikit terganggu."Kenapa nggak, Yadi? Semula aku selal
Empat orang berkumpul di kamar inap Yadi. Semua orang memiliki buah pemikiran mereka sendiri. Arsaka diam-diam mencuri pandang pada istri kecilnya lalu perlahan-lahan melarikan pandangan pada Yusti yang sedang menunggu penjelasan baik darinya ataupun Tantri. "Sebenarnya tadi itu saya sudah mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Melihat Bi Yusti dan Pak Yadi masih sama-sama terlelap, saya tidak berani membangunkan kalian. Jadi, saya memutuskan meletakkan makanan di atas meja. Setelah itu saya juga ingin meminta maaf karena kami diam-diam mencuri dengar apa yang tadi kalian bicarakan. Untuk yang terakhir ini memang kami akui kami sudah kelewat batas. Tolong maafkan kami, Bi Yusti." Arsaka membela sang istri di garda depan agar tak mendapat amukan Yusti yang sedari tadi memberengut kesal. "Tapi kan kalian ini sudah sama-sama dewasa, masa iya ada orang tua lagi bicara serius eh malah kalian nguping? Malu ah sama umur," Yusti masih terlihat merajuk.Yadi yang ada di sebelahnya tertawa
Kedua mata Arsaka membola. Ia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Ia begitu khawatir dan juga panik kalau sampai aksinya saat ini tertangkap basah oleh pasangan paruh baya di sekelilingnya. Eh tunggu dulu? Memangnya mereka adalah pasangan kekasih? Astaga! 'Fokus, Saka! Fokus! Nggak usah mikirin hal lain. Lebih baik kamu berdoa supaya bisa tetap aman dan bisa cepat kabur dari sini. Bi Yusti, aku mohon tolong jangan bangun dulu,' ucap Arsaka dalam hati seraya menyemangati diri sendiri supaya situasi tetap aman terkendali.Entah semesta merestui niat baiknya atau tidak. Bukan Yusti yang membuka mata atau menangkap basah dirinya di ruangan itu, melainkan pasien yang terbaring lemah bernama Yadi yang kini membuka mata. Pandangan Yadi sepertinya masih blur dan pria itu sedang berusaha sekuat tenaga beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal itu dimanfaatkan oleh Arsaka untuk berjongkok dan berjalan mengendap-endap hingga pintu keluar. Sumpah demi apa pun, Arsaka tidak pernah melakuka
Selang infus masih terpasang di punggung tangan Yadi. Yusti menatap iba pada lelaki yang seringkali ia maki jika mereka berjumpa. Dan sekarang ia merasakan kesepian sepertinya ada yang kurang di dalam hatinya.Bukan ini yang Yusti inginkan. Ia ingin melihat Yadi dalam keadaan baik-baik saja. Walau kata dokter barusan Yadi akan baik-baik saja usai mendapatkan penanganan, hal itu tidak lantas membuat kecemasannya mereda. Ia masih tetap merasakan hal itu mengganggu ketenangan jiwanya. "Yadi, ayo bangun! Kamu nggak kangen berantem sama aku? Kalau kamu berani sama aku, ayo ladeni kata-kataku! Jangan cuma tidur terus! Payah ah kamu, masa begitu saja kamu belum bangun juga. Ayo bangun! Kita lanjutkan perseteruan kita lagi dan lagi," tantang Yusti sambil menahan tangis. Air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Ia kesal sekali. Menurutnya, ia bukan tipikal wanita yang cengeng. Tapi kenapa ia malah menangis hanya karena ini? "Ayo bangun, Yadi! Katanya kamu mau nikah sama aku? Jadi apa ngga
Arsaka diam. Pria itu bergeming di posisinya. Ia melirik sekilas ke arah Yadi. Tak lama kemudian Arsaka menghela napas panjang sebelum berucap pada sang mantan. "Silakan lakukan apa pun yang kamu mau. Aku nggak akan menghentikan atau melarang kamu untuk menyakiti dirimu sendiri. Kalau kamu sakit, yang rugi itu bukan aku. Melainkan kamu. Sekarang kamu mau melakukan apa pun, semuanya juga akan kembali ke kamu. Kamu sudah dewasa dan bisa berpikir jernih. Kalau kamu merasa menyakiti diri sendiri akan menjadi jalan terbaik untuk kamu, ya itu hak kamu. Kamu dan aku sudah tidak seperti dulu. Kamu adalah kamu. Dan aku adalah aku dengan seseorang yang telah menjadi masa depanku. Sekarang yang bisa aku katakan ke kamu adalah berhentilah bersandiwara! Kamu adalah seorang artis dan model. Tidak bersamaku tidak akan membuat kamu menderita atau merugi. Seharusnya kamu bersyukur karena sudah tidak lagi berhubungan dengan aku. Kamu bisa mencari atau menemukan seseorang yang jauh lebih tepat darip
Tepat sebulan setelah kejadian di mana Tantri dilamar secara pribadi dan mendadak oleh Arsaka, saat ini kedua insan manusia yang sempat dijodohkan oleh Mona beberapa bulan lalu duduk bersisian di hadapan sang penghulu."Nak Arsaka sudah siap?" tanya sang penghulu sebelum memulai prosesi ijab kabul."Saya siap, Pak," tegas Arsaka tanpa ragu."Wah pengantin laki-lakinya sudah nggak sabaran rupanya menjadi suami sah dari Mbak Tantri! Kalau begitu tanpa mengulur waktu lagi, mari kita mulai prosesi pengucapan janji suci antara Mas Saka dan Mbak Tantri!" ajak sang penghulu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa kaku di sekelilingnya.Dan dimulailah pengucapan ijab kabul…Arsaka mengucap janji suci pernikahan dengan tegas, lantang dan "Bagaimana saksi? Sah?" tanya bapak penghulu pada para saksi yang duduk mendampingi sepasang pengantin tersebut. "Sah!" pekik para saksi dengan penuh semangat. Arsaka melirik Tantri yang ada di sampingnya yang kini tersipu malu usai mendengar pe
"Lepaskan ibuku!" teriak Arsaka sambil mendorong tubuh Debora hingga terjatuh di paving block. BruggSuara tubuh wanita itu "Aaaakkh, sakit!" Debora meringis kesakitan. Ia mengangkat tangannya meminta pertolongan suaminya. "Papa, tolong!" Guntur yang merasa bersalah usai mendengar pengakuan Mona hanya bisa diam dan perlahan-lahan membantu istrinya untuk bangun dari posisi memalukan itu."Papa, jangan tinggal diam! Mereka berdua sudah melakukan kejahatan sama Mama. Ayo buruan lapor polisi, Papa!" Debora mengemis iba pada Guntur. Ia mencoba mengompori sang suami agar mau menuruti permintaannya. Bukan ekspresi marah yang kini terlihat di wajah Guntur. Wajahnya masih menunjukkan perasaan bersalah pada semua orang yang ada di sekelilingnya terutama pada gadis cantik yang diakui Mona sebagai calon menantu."Apakah benar kamu adalah anaknya Sekar?" tanya Guntur usai membantu sang istri berdiri di sampingnya dengan lebih baik. Ia melepaskan gelayutan tangan Debora dan mendekati Tantri. "