~Happy Reading All~
***
Wanita paruh baya yang tersenyum di ambang pintu itu membuat Mona seketika merasa malas dan risih berurusan dengannya.
"Kenapa kamu diam saja dan tak menyambut kedatanganku, Mona? Kita sudah lama tak berjumpa, loh!" sapanya basa-basi. Senyumnya mengembang sempurna saat mendekati Mona di atas bed rumah sakit yang didominasi warna putih tersebut.
"Aku ingin tidur, tolong jangan menggangguku!" sahut Mona dengan ketus.
"Mana mungkin aku ingin mengganggumu? Aku datang karena ingin berkunjung karena kita sudah lama sekali tak berbincang santai," kilahnya memberi alasan yang sekiranya masuk akal. Ia berusaha mengajak berdamai dengan Mona.
Mona tersenyum sinis dan berkata, "Wah, artis besar sepertimu masih punya waktu untuk menemuiku, baik sekali, ya! Ck! Ck!" sindir Mona.
"Mona! Bisakah kita kembali seperti dulu? Bukankah kita bersahabat baik? Kenapa kamu tega sekali mendiamkanku setelah sekian lama. Masalah yang telah lalu, biarlah berlalu.
Mari kita buka lembaran baru dengan hidup yang lebih baik. Bagaimana?" tawarnya begitu santai dan lembut. Tampak sekali wanita ini memaksakan menyunggingkan senyum di kedua sudut bibirnya pada Mona yang terbaring lemah di atas ranjang terlapisi seprei putih.
"Apa aku tak salah dengar? Oh iya, terima kasih sudah menengok aku di sini…" ucap Mona tampak jengah.
"Ini ada sedikit buah-buahan kesukaanmu. Pisang ambon yang sangat manis. Kamu pasti akan menyukainya," ucap Debora, artis senior yang telah lama berkecimpung dengan dunia peran itu pada Mona, sahabatnya dulu. Entahlah kalau sekarang?
Sekeranjang buah-buahan itu Debora letakkan di atas nakas samping tempat tidur Mona. Ia berharap usahanya itu membuahkan hasil.
Mona memalingkan muka, ia sudah tak tahan lagi berdekatan dengan Debora. Masalah di masa lalu tampaknya masih menjadi alasan Mona berbuat demikian pada wanita yang datang mengunjunginya tersebut.
"Permisi, Nyonya!" sela Yadi yang telah berada di ambang pintu memecah kesunyian di antara dua wanita di dalam ruangan itu.
Yadi tampak bingung kala mendapat sorotan tajam dari sang tamu yang tampak tak suka dengan kehadirannya.
Mona mengalihkan pandangan ke arah sopir pribadinya yang telah mengabdi pada keluarganya selama lebih dari dua puluh tahun tersebut.
"Yadi! Masuklah!" titah Mona yang menyurutkan niat Debora untuk berbaikan dengannya.
Yadi mengangguk patuh dan tak menggubris tatapan tajam dari salah satu artis kenamaan yang ada di samping sang majikan. Ia lebih memilih menuruti perintah Mona dan menunjukkan loyalitasnya. Tak peduli apa yang dipikirkan tamu angkuh dan terlihat sombong itu.
"Yadi, tolong bilang sama tamu saya ini kalau saya mau istirahat! Saya masih harus bedrest begitu kata dokter, semoga tamu saya bisa mengerti!" ucapnya yang menganggap Debora tak ada di sana.
Rahang Debora mengetat menahan kekesalan dalam diri. Ia merasa terhina. Tanpa pikir panjang, Debora mengayunkan kaki ke luar. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh ke belakang dan berkata, "Aku akan tetap kekeuh untuk perdamaian kita! Lebih baik sekarang kamu beristirahat. Maaf telah mengganggu waktumu!"
Setelah mengucapkan hal itu, dengan berat hati Debora pergi dari sana, meninggalkan dua manusia berlawanan jenis di dalam ruangan berpenyejuk di dalam salah satu rumah sakit terbaik tersebut.
***
"Sayang, akhirnya kamu datang! Aku tuh masih kangen banget sama kamu," ucap Aleta dengan manjanya. Ia menggelayuti lengan kekar Askara yang selalu rutin menjaga kebugaran tubuhnya dengan berolahraga.
Tampak bersandar di bahu Askara yang membuatnya nyaman, Aleta berkeluh kesah.
"Sayang, kok kamu diam aja, sih? Habis pulang dari rumah sakit nemuin Tante Mona kok mukanya ditekuk gitu? Ada apa sebenarnya? Tante baik-baik aja, 'kan?" berondong pertanyaan keluar dari bibir Aleta yang saat ini terpoles lipstick berwarna peach.
Askara menjatuhkan pantatnya tepat di sofa empuk yang ada di ruang tamu, tentu saja ada Aleta di sampingnya. Perempuan itu belum juga melepaskan lingkaran tangannya di lengan kekar miliknya.
Pria itu tampaknya belum ingin menjawab sejumlah pertanyaan yang berjejal terlontar di bibir tipis kekasihnya tersebut. Ia mulai memikirkan ucapan sang ibu hingga ia tak sadar bahwa kekasihnya menatapnya penuh selidik.
"Sayang? Sepertinya kamu haus deh, nggak konsen gitu diajak ngomong. Sebentar, ya!" ucap Aleta seraya beranjak dari sofa dan melepaskan lengan sang kekasih yang sesaat membuatnya nyaman tak mau pisah.
Arsaka mengangguk pelan dengan senyum tipis terulas dari kedua sudut bibir merah kecokelatan miliknya. Lagi-lagi bayangan perempuan yang ia temui di rumah sakit kembali terlintas.
"Astaga! Ada apa dengan pikiranku saat ini? Dia masih kecil, Saka! Kenapa Mama bela-belain ngambek sama aku hanya gara-gara bocah ingusan kayak dia?" gerutu Arsaka sambil menepuk paha. Tangannya refleks mengepal kesal.
Sementara itu di dapur minimalis milik Aleta. Perempuan itu hendak mencampurkan sesuatu ke dalam minuman yang telah ia buat. Namun, sejenak perasaan bersalah membayangi pikirannya. Ia menggeleng samar.
"Nggak! Ini nggak benar! Kalau aku ngelakuin ini yang ada Saka malah anggap aku cewek murahan karena jebak dia. Aku harus gimana? Ini semua aku lakuin supaya kamu bisa jadi milikku, Saka," gumam Aleta yang tampak meragu hendak melanjutkan rencananya atau mengurungkan.
Teringat ucapan sang ibu padanya bahwa cara ini satu-satunya demi mendapatkan Arsaka seutuhnya. Cara ampuh yang diyakini sang ibu kini benar-benar ia praktekkan.
Aleta membubuhkan serbuk berwarna putih ke dalam secangkir teh hangat. Serbuk tersebut memiliki kandungan untuk melemahkan pikiran, merangsang hasrat seseorang, dan membuat orang tersebut lupa barang sejenak apa yang mereka lakukan nantinya.
"Aku terpaksa melakukan ini, Saka. Sungguh aku melakukan ini demi kita. Demi penyatuan cinta kita. Ibumu tidak akan mengganggu hubungan kita berdua. Mulai malam ini kamu akan menjadi milikku seutuhnya…" yakin Aleta sembari tersenyum licik.
Sebagai seorang artis pemeran protagonis di layar kaca, hal semacam berakting atau bersandiwara di depan kamera sudah biasa ia lakukan. Kali ini ia harus bersandiwara di depan Arsaka. Berpura-pura manis dan memasang wajah polos tanpa dosa.
Demi semua harapan dan angan mempersatukan cinta keduanya di hadapan Tuhan serta mendapat restu Mona Rosalie, ia rela menjebak sang kekasih. Bukankah ini bisa dibilang cinta yang penuh ambisi? Tidak mungkin bukan jika ini adalah cinta tulus dan sejati?
Dua cangkir teh hangat telah berada di sebuah nampan kayu kecil dalam genggamannya. Ia tersenyum puas karena trik ini pasti akan berhasil.
Pasti!
Ia yakin Arsaka pasti akan segera menandaskan cairan bening ini ke dalam tenggorokannya.
Tak mau buang waktu, ia mempercepat langkahnya menuju ruang tamu di mana Arsaka berada.
"Maaf ya, Sayang. Lama, ya?" ucap Aleta basa-basi.
Arsaka menggeleng tanpa sebuah jawaban yang keluar dari bibirnya. Aleta menatap heran, lalu bersikap biasa-biasa saja.
"Diminum dulu, Sayang! Kamu pasti haus, 'kan?" titah Aleta sembari menyodorkan secangkir teh hangat ke tangan sang kekasih.
"Makasih, ya…" ucap Arsaka sembari tersenyum simpul.
Satu
Dua
Tiga
' Ayo, buruan diminum, Sayang!' pekik Aleta dalam hati penuh kegirangan.
Sebentar lagi…
***
To be continue..
Hai kakak bagi yang suka dengan cerita ini jangan lupa masukkan ke dalam rak, ya! Mohon dukungannya… Terima kasih semuanya… semoga suka dan terhibur dengan cerita recehku…
~Happy Reading All~***Belum sampai bibir gelas itu menyentuh bibir Arsaka, sebuah panggilan yang berasal dari ponsel di saku celana pria tersebut menghentikan niatnya untuk meminum teh buatan sang kekasih.Arsaka meletakkan kembali cangkir itu ke atas nampan. Aleta tetap mengulas senyum manis di hadapan Arsaka. Mencoba sabar, kini perempuan itu beralih pada ponselnya sendiri dan menggulir beberapa pesan masuk. Sesekali Aleta melirik dan berniat mencuri dengar apa yang akan dibicarakan Arsaka pada lawan bicaranya."Halo, Pak Yadi! Ada apa?" tanya Arsaka serius. Tampak guratan kencang di keningnya.'Den Saka sedang di mana kalau boleh tahu?' tanya balik Yadi."Aku lagi di apartemen Aleta. Kenapa, Pak? Kok kayaknya serius banget?"'Begini, Den. Anu, begini, aduh gimana, ya ngomongnya?'"Kenapa sih, Pak? Jangan buat aku penasaran kayak gini!" seru Arsaka.'Begini, Den, Nyonya Mona
~Happy Reading All~***Tantri merasakan detak jantungnya berdegup hebat. Perasaan itulah yang harus ia tahan sekian lama, karena ia tak mau melanggar kata hati dan berujung menghambat masa depannya nanti.Ia mencoba menetralkan detak jantungnya yang sedemikian kencang dengan memalingkan muka. Memilih menghadap ke sembarang arah demi menutupi rasa yang berkecamuk di hati.Ia menggerakkan bungkusan plastik tersebut maju mundur sembari memilin anak rambutnya yang terurai dengan satu tangan yang lain."Buruan naik, yuk! Langitnya udah gelap, takutnya bentar lagi ujan gede," ajak Banyu pada Tantri. Tantri mengangguk mengiyakan.Pemuda itu menunggu Tantri naik melewati pijakan footstep dan berpegangan pada pundaknya. Maklum, motor yang pemuda itu gunakan adalah sebangsa motor gede.Motor pun melaju. Hati Tantri dan Banyu tampak berdesir hebat. Entah apa yang mereka saat ini rasakan?Tantri menghel
~Happy Reading All~******Arsaka terdiam selama beberapa saat, membiarkan segenap pikirannya terfokus pada satu hal.Kebahagiaan ibunya yang lebih penting atau egonya untuk tetap bersama Aleta?Sebuah keputusan harus ia pilih saat ini juga.Arsaka menggeleng samar sembari tersenyum getir. Kenapa harus ada pihak yang tersakiti? Kenapa tidak dirinya saja yang harus menderita?Semua ini pasti akan menyakiti salah satu di antara dua wanita yang begitu berharga di dalam hidupnya. Aleta dan juga sang ibu.Pria itu menyandarkan kepalanya di atas bed pembaringan tubuh sang ibu yang terlelap, entah kenapa ia merasakan kantuk luar biasa dan tanpa sadar memejamkan mata.Sebelum benar-benar terbuai dalam arus mimpi, Arsaka sempat berucap, "Mama.. Aku sayang Mama, jangan tinggalkan aku sendiri…."******Sementara itu di sebuah apartemen mewah, seorang wanita cantik berhasil mem
~Happy Reading All~******"Sudah berapa kali Bapak dan Mama bertemu dengan gadis kumuh tadi?" tanya Arsaka tanpa meralat sebutan yang ia sematkan pada gadis tak bersalah tersebut.Yadi mengernyit. Beberapa garis horizontal tampak berjajar di kening menambah kesan tua pada dirinya.Diliputi tanda tanya besar di kepala, Yadi memilih bertanya langsung pada anak majikannya itu daripada salah menerka."Maksud den Saka bagaimana, ya? Jujur, Bapak kurang begitu menangkap pertanyaan dari den Saka. Bisa tolong dijelaskan secara detail? Maklum den, Bapak 'kan sudah tua, jadi harap sabar!" ungkap Yadi dengan raut wajah serius tak ada selintas pun ia sengaja melakukan hal itu.Bukan bermaksud menguji kesabaran sang majikan muda, melainkan pertanyaan Arsaka begitu membingungkan dan wajar saja jika ia bertanya. Seperti sebuah pepatah yang mengatakan malu bertanya sesat di jalan menjadi pedoman Yadi mengatakan hal tersebut.
~Happy Reading All~*******"Apakah benar itu rumahnya?" tanya Arsaka di seberang rumah Tantri pada Yadi.Yadi mengangguk mantap sambil menjawab, "Benar sekali, Den! Kan tadi saya yang mengantar ke rumahnya."Arsaka hanya memindai ke sekeliling rumah tersebut. Dari samping kiri sampai samping kanan. Rumah yang dipagari susunan kayu dipoles warna putih itu membuat Arsaka bimbang.Masuk atau mengamati dari jauh saja? Arsaka begitu sibuk berpikir."Kita mau di sini sampai kapan, Den? Apa tidak lebih baik kita bertamu secara sopan saja daripada mengintai dari kejauhan seperti ini? Saya takut nanti dikira mau maling sama orang-orang yang lewat, Den!" tanya Yadi serius yang seolah bisa membaca suasana hati sang majikan tampan.Arsaka belum menjawab, namun pemandangan di mata sungguh mengusik indera penglihatannya, di mana saat ini sebuah motor gede berhenti tepat di depan pintu pagar rumah gadis kumuh itu.
~Happy Reading All~******"Waduh, gawat!" pekik Yadi sedikit panik melihat wanita bernama Yusti terus mengamati kendaraan yang dikemudikannya."Buruan jalan, Pak! Ada apa memangnya sama mobil ini?" desak Arsaka yang mengamati keanehan pada diri Yadi."Nggak tahu juga nih, Den! Tadi Sakti ngasih mobil yang ini, kayaknya karena belum diservice, kalau dilihat dari tanda-tandanya! Nyonya juga jarang minta diantar pakai mobil ini. Saya periksa dulu ya, Den!" ijin Yadi pada Arsaka sambil membuka pintu mobil dan segera keluar usai menjelaskan sekenanya.Yadi sudah berada di luar dan membuka kap mobil yang ia kemudikan. Tidak ada yang aneh. Ada apa ini?Arsaka melihat seorang wanita paruh baya mendekati mobil yang ditumpanginya.Satu pertanyaan kecil di dalam benaknya, siapa dia?Kini, seseorang yang ia maksud mulai mendekati sang supir. Ia tidak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Netra hitamnya
~Happy Reading All~******Arsaka belum melanjutkan ucapannya begitu melihat Yadi memalingkan muka menatap rumah yang berada di seberang sana. Di mana pemiliknya tadi sempat berseteru dengan sopir pribadi sang ibu.Sepertinya hari ini banyak pertanyaan berkerumun di dalam otaknya.Arsaka mendengkus kesal. Ia memilih tak melanjutkan pertanyaan yang membuatnya semakin ingin tahu dengan banyak hal. Satu masalah belum terselesaikan, sudah bertambah lagi masalah baru."Ayo Pak, antar aku pulang! Aku mau ambil baju buat berangkat ke kantor besok, Pak!" ajak Arsaka mengalihkan topik."Kenapa tidak dititipkan saja pada Sakti atau Mira, Den? Nanti den Saka capek mondar-mandir ke sana kemari," bujuk Yadi yang tak mau melihat majikannya kelelahan."Nggak apa-apa, Pak. Lagipula cuma ambil beberapa helai doang, nggak bikin capek. Masih capek Pak Yadi yang mengalami kecelakaan dan malam ini masih sibuk antar aku sampai di sin
~Happy Reading All~******Pagi telah menyambut. Hari baru telah tiba dan menyapa indera penglihatan setiap manusia yang masih terlelap dalam buaian mimpi.Jarum jam menunjukkan angka lima. Bunyi jam beker mengganggu telinga seorang gadis yang masih memimpikan seseorang di alam bawah sadarnya. Banyu tengah bertandang dan sesaat kemudian berubah menjadi Arsaka.Tantri terkejut dalam mimpinya. Ia seketika terbangun. Deru napas memburu membuatnya merasa bak mendapat mimpi buruk dan teguran lewat bunga tidurnya."Astaghfirullah, kok bisa aku mimpiin manusia es kayak dia! Ya Allah, semoga hari ini dan seterusnya hamba tidak berurusan dengan orang sepertinya. Aamiin.." doanya pada sang pemilik kehidupan. Ia meraup wajah lusuhnya sehabis bangun tidur berharap semesta mengamini doanya.Mengelus dada sambil mengisi rongga pernapasannya dengan udara segar adalah cara jitu melepaskan efek mimpi buruk yang baru saja ia alami.&nbs
Kedua mata Tantri terbuka lebar. Ia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah pria muda yang pernah singgah di hatinya selama bertahun-tahun lamanya. Tantri menahan tangis dan amarah di saat bersamaan. Ia terlanjur kecewa dan terluka. Baik Tantri dan Banyu, mereka sama-sama terluka. Namun luka yang dialami Tantri kali ini bertambah dengan ucapan Banyu barusan. Perempuan itu menghela napas berat sebelum akhirnya memberanikan diri kembali mendekati Banyu."Mas…"Banyu menatap dalam kedua mata Tantri dengan hati yang terluka sekaligus penuh harap akan perpisahan perempuan itu yang baru saja menikah dengan Arsaka. "Bagaimana bisa kamu mendoakan aku untuk berpisah dengan laki-laki yang baru beberapa hari menikahiku? Apakah itu adalah doa terbaik darimu atau kutukan darimu? Aku tahu Mas Banyu bukan laki-laki pendendam yang sanggup mengatakan hal-hal semacam itu. Mas, ingat kata-kata itu termasuk doa. Jaga lisan kamu, Mas! Aku tahu kamu itu orang baik. Jangan pernah mengatakan hal
"Saya nggak keberatan kalau kamu mau menyelesaikan urusan kamu dengan dia. Saya akan menunggu kamu di mobil." Arsaka mengatakan hal itu dengan tenang sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju ke dalam kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman Rumah Sakit.Tantri mengangguk pelan menanggapi pemberian izin suaminya. Ia terus mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang semula ia benci dan kini telah menjadi suami sahnya hingga tak lagi terjangkau sepasang mata indahnya.Sepeninggal Arsaka, Banyu menatap wajah ayu Tantri yang kini tampak bersalah kepadanya. Suasana mendadak sendu. Rasa kecewa dan terluka bercampur aduk di sekitar mereka berdua."Bagaimana kabarmu setelah melakukan ini padaku, Tantri?" tanya Banyu dengan ekspresi terluka yang begitu kentara."Mas Banyu, aku minta maaf," ucap Tantri seraya menundukkan kepalanya."Minta maaf dalam hal apa, Tantri? Minta maaf karena kamu menikah secara tiba-tiba dengan mantan atasan kita tanpa sepengetahuanku atau karena meny
Yusti tersenyum teduh pada lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia pun memantapkan hati dan pikirannya mengenai keputusan yang sesaat lagi harus ia ungkapkan di depan orang-orang ini. "Bu Mona, saya tidak mau jadi orang munafik," kata Yusti sembari tersenyum malu beberapa detik kemudian."Maksudnya?" "Saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya bersama laki-laki ini," ucap Yusti kemudian sambil meruncingkan jari telunjuknya ke arah Yadi. Yadi masih tak menyangka akan mendapat durian runtuh seperti ini. Ia masih mengira semua ini adalah halusinasi yang ditimbulkan olehnya efek bius yang sempat bertengger di tubuhnya. Nyatanya, senyum manis mengembang sempurna di wajah ayu Yusti yang tak lagi muda. "Kamu serius mau menikahi laki-laki seperti aku, Yusti?" Yadi bertanya dengan tatapan yang semakin lama semakin blur. Rupanya air matanya menggenang di sana membuat penglihatannya sedikit terganggu."Kenapa nggak, Yadi? Semula aku selal
Empat orang berkumpul di kamar inap Yadi. Semua orang memiliki buah pemikiran mereka sendiri. Arsaka diam-diam mencuri pandang pada istri kecilnya lalu perlahan-lahan melarikan pandangan pada Yusti yang sedang menunggu penjelasan baik darinya ataupun Tantri. "Sebenarnya tadi itu saya sudah mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Melihat Bi Yusti dan Pak Yadi masih sama-sama terlelap, saya tidak berani membangunkan kalian. Jadi, saya memutuskan meletakkan makanan di atas meja. Setelah itu saya juga ingin meminta maaf karena kami diam-diam mencuri dengar apa yang tadi kalian bicarakan. Untuk yang terakhir ini memang kami akui kami sudah kelewat batas. Tolong maafkan kami, Bi Yusti." Arsaka membela sang istri di garda depan agar tak mendapat amukan Yusti yang sedari tadi memberengut kesal. "Tapi kan kalian ini sudah sama-sama dewasa, masa iya ada orang tua lagi bicara serius eh malah kalian nguping? Malu ah sama umur," Yusti masih terlihat merajuk.Yadi yang ada di sebelahnya tertawa
Kedua mata Arsaka membola. Ia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Ia begitu khawatir dan juga panik kalau sampai aksinya saat ini tertangkap basah oleh pasangan paruh baya di sekelilingnya. Eh tunggu dulu? Memangnya mereka adalah pasangan kekasih? Astaga! 'Fokus, Saka! Fokus! Nggak usah mikirin hal lain. Lebih baik kamu berdoa supaya bisa tetap aman dan bisa cepat kabur dari sini. Bi Yusti, aku mohon tolong jangan bangun dulu,' ucap Arsaka dalam hati seraya menyemangati diri sendiri supaya situasi tetap aman terkendali.Entah semesta merestui niat baiknya atau tidak. Bukan Yusti yang membuka mata atau menangkap basah dirinya di ruangan itu, melainkan pasien yang terbaring lemah bernama Yadi yang kini membuka mata. Pandangan Yadi sepertinya masih blur dan pria itu sedang berusaha sekuat tenaga beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal itu dimanfaatkan oleh Arsaka untuk berjongkok dan berjalan mengendap-endap hingga pintu keluar. Sumpah demi apa pun, Arsaka tidak pernah melakuka
Selang infus masih terpasang di punggung tangan Yadi. Yusti menatap iba pada lelaki yang seringkali ia maki jika mereka berjumpa. Dan sekarang ia merasakan kesepian sepertinya ada yang kurang di dalam hatinya.Bukan ini yang Yusti inginkan. Ia ingin melihat Yadi dalam keadaan baik-baik saja. Walau kata dokter barusan Yadi akan baik-baik saja usai mendapatkan penanganan, hal itu tidak lantas membuat kecemasannya mereda. Ia masih tetap merasakan hal itu mengganggu ketenangan jiwanya. "Yadi, ayo bangun! Kamu nggak kangen berantem sama aku? Kalau kamu berani sama aku, ayo ladeni kata-kataku! Jangan cuma tidur terus! Payah ah kamu, masa begitu saja kamu belum bangun juga. Ayo bangun! Kita lanjutkan perseteruan kita lagi dan lagi," tantang Yusti sambil menahan tangis. Air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Ia kesal sekali. Menurutnya, ia bukan tipikal wanita yang cengeng. Tapi kenapa ia malah menangis hanya karena ini? "Ayo bangun, Yadi! Katanya kamu mau nikah sama aku? Jadi apa ngga
Arsaka diam. Pria itu bergeming di posisinya. Ia melirik sekilas ke arah Yadi. Tak lama kemudian Arsaka menghela napas panjang sebelum berucap pada sang mantan. "Silakan lakukan apa pun yang kamu mau. Aku nggak akan menghentikan atau melarang kamu untuk menyakiti dirimu sendiri. Kalau kamu sakit, yang rugi itu bukan aku. Melainkan kamu. Sekarang kamu mau melakukan apa pun, semuanya juga akan kembali ke kamu. Kamu sudah dewasa dan bisa berpikir jernih. Kalau kamu merasa menyakiti diri sendiri akan menjadi jalan terbaik untuk kamu, ya itu hak kamu. Kamu dan aku sudah tidak seperti dulu. Kamu adalah kamu. Dan aku adalah aku dengan seseorang yang telah menjadi masa depanku. Sekarang yang bisa aku katakan ke kamu adalah berhentilah bersandiwara! Kamu adalah seorang artis dan model. Tidak bersamaku tidak akan membuat kamu menderita atau merugi. Seharusnya kamu bersyukur karena sudah tidak lagi berhubungan dengan aku. Kamu bisa mencari atau menemukan seseorang yang jauh lebih tepat darip
Tepat sebulan setelah kejadian di mana Tantri dilamar secara pribadi dan mendadak oleh Arsaka, saat ini kedua insan manusia yang sempat dijodohkan oleh Mona beberapa bulan lalu duduk bersisian di hadapan sang penghulu."Nak Arsaka sudah siap?" tanya sang penghulu sebelum memulai prosesi ijab kabul."Saya siap, Pak," tegas Arsaka tanpa ragu."Wah pengantin laki-lakinya sudah nggak sabaran rupanya menjadi suami sah dari Mbak Tantri! Kalau begitu tanpa mengulur waktu lagi, mari kita mulai prosesi pengucapan janji suci antara Mas Saka dan Mbak Tantri!" ajak sang penghulu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa kaku di sekelilingnya.Dan dimulailah pengucapan ijab kabul…Arsaka mengucap janji suci pernikahan dengan tegas, lantang dan "Bagaimana saksi? Sah?" tanya bapak penghulu pada para saksi yang duduk mendampingi sepasang pengantin tersebut. "Sah!" pekik para saksi dengan penuh semangat. Arsaka melirik Tantri yang ada di sampingnya yang kini tersipu malu usai mendengar pe
"Lepaskan ibuku!" teriak Arsaka sambil mendorong tubuh Debora hingga terjatuh di paving block. BruggSuara tubuh wanita itu "Aaaakkh, sakit!" Debora meringis kesakitan. Ia mengangkat tangannya meminta pertolongan suaminya. "Papa, tolong!" Guntur yang merasa bersalah usai mendengar pengakuan Mona hanya bisa diam dan perlahan-lahan membantu istrinya untuk bangun dari posisi memalukan itu."Papa, jangan tinggal diam! Mereka berdua sudah melakukan kejahatan sama Mama. Ayo buruan lapor polisi, Papa!" Debora mengemis iba pada Guntur. Ia mencoba mengompori sang suami agar mau menuruti permintaannya. Bukan ekspresi marah yang kini terlihat di wajah Guntur. Wajahnya masih menunjukkan perasaan bersalah pada semua orang yang ada di sekelilingnya terutama pada gadis cantik yang diakui Mona sebagai calon menantu."Apakah benar kamu adalah anaknya Sekar?" tanya Guntur usai membantu sang istri berdiri di sampingnya dengan lebih baik. Ia melepaskan gelayutan tangan Debora dan mendekati Tantri. "