~Happy Reading All~
***
Tantri merasakan detak jantungnya berdegup hebat. Perasaan itulah yang harus ia tahan sekian lama, karena ia tak mau melanggar kata hati dan berujung menghambat masa depannya nanti.
Ia mencoba menetralkan detak jantungnya yang sedemikian kencang dengan memalingkan muka. Memilih menghadap ke sembarang arah demi menutupi rasa yang berkecamuk di hati.
Ia menggerakkan bungkusan plastik tersebut maju mundur sembari memilin anak rambutnya yang terurai dengan satu tangan yang lain.
"Buruan naik, yuk! Langitnya udah gelap, takutnya bentar lagi ujan gede," ajak Banyu pada Tantri. Tantri mengangguk mengiyakan.
Pemuda itu menunggu Tantri naik melewati pijakan footstep dan berpegangan pada pundaknya. Maklum, motor yang pemuda itu gunakan adalah sebangsa motor gede.
Motor pun melaju. Hati Tantri dan Banyu tampak berdesir hebat. Entah apa yang mereka saat ini rasakan?
Tantri menghela napas kasar, mengingat janjinya pada diri sendiri untuk tidak memiliki kekasih selama lima tahun ke depan. Setidaknya, setelah ia merasa dirinya sudah cukup mapan. Bukan hal baru atau rahasia umum jika sepasang sahabat ini memilih menghargai perasaan masing-masing.
"Hati-hati, jangan ngebut! Aku takut, Mas Banyu!" pekik Tantri.
"Siap, Nona cantik!"
***
Arsaka sudah sampai di pelataran parkir rumah sakit. Ia sengaja meletakkan kendaraannya di depan gedung besar enam enam lantai rumah sakit tersebut guna mempercepat langkahnya menemui sang ibu.
Hatinya tak tenang. Degub kencang di dalam sana. Itulah yang dirasakan Arsaka. Pria tampan dua puluh enam tahun itu sesaat tampak bimbang dengan perasaannya sendiri.
Ia berhenti sejenak. Mencoba mengatur ke luar masuk udara segar untuk mengisi rongga pernapasannya adalah hal yang ia lakukan saat ini. Ia menetralkan pikirannya sendiri, berharap hari ini akan baik-baik saja dan bisa melihat senyum hangat di wajah sang ibu tercinta.
Perlahan namun pasti, jemarinya mengetuk pintu berbahan kayu mahal di hadapannya. Berharap seseorang menjawab sapaannya dan berseru untuk mengijinkannya masuk.
Bukan jawaban, melainkan seseorang yang membukakan pintu. Yadi orangnya.
"Masuk, Den!" ajak Yadi pada anak majikannya tersebut.
Arsaka mengangguk sembari tersenyum samar.
"Mama!" seru Arsaka begitu melihat sang ibu membuka mata dari buaian mimpi barang sejenak.
Mona melengkungkan senyum tipis setipis kulit ari. Tatapannya penuh arti. Netra beningnya terus terarah pada wajah pemuda di sampingnya yang menggenggam erat jari jemarinya.
"Arsaka anakku…" lirih Mona.
"Iya, Ma!" sahut Arsaka cepat. Ia menunggu kelanjutan ucapan sang ibu.
"Maaf jika Mama tadi membentak atau terdengar mengintimidasi dengan ancaman, Mama sungguh tidak ada niat untuk membuat kita bertengkar," jelas Mona.
"Aku bisa mengerti maksud Mama. Aku juga tahu kalau tadi itu Mama hanya sedang merajuk sama Saka. Iya, kan? Mama bikin aku khawatir, tahu nggak, sih?" timpal Arsaka sembari terkekeh mengingat ucapan ibunya saat ada si gadis kumuh.
'Gadis kumuh? Astaga! Seharian ini sudah berapa kali aku menyebut namanya seperti ini? Bisa gila aku kalau di pikiranku ada dia terus menerus!' gerutu Arsaka dalam hati.
Mona menggelengkan kepala dan menampakkan senyum yang jauh lebih lepas dari sebelumnya.
"Mama tidak pernah seserius ini, Saka! Mengenai hal tadi sebenarnya yang akan kita bicarakan adalah menyangkut hal itu. Bisakah Mama menjelaskannya terlebih dahulu padamu, Saka?"
"Apa?! Ta-tapi Mama lagi bedrest, nggak boleh banyak mikir yang nggak-nggak dan buang tenaga. Ingat kata dokter, Ma," sanggah Arsaka tak terima. Ternyata dugaannya salah. Ia memilih membuang jauh-jauh pembicaraan mengenai hal itu bagaimanapun caranya.
"Saka! Tolong dengarkan Mama bicara dulu, bisa, 'kan? Berikan Mama waktu untuk bicara, sebentar saja!" pinta Mona dengan raut wajah serius tak mau dibantah. Tak menerima sebuah penolakan jika dilihat dari jarak amat dekat.
Melihat hal itu Arsaka spontan mengangguk pasrah. Ia biarkan sang ibu meluapkan apa yang mengganjal di hati beliau padanya.
"Mama merasakan nyaman saat melihat gadis kecil berhati malaikat bernama Tantri itu. Senyumnya, ketulusannya, kebaikannya yang spontan mau membantu Mama saat itu juga, membuat Mama yakin bahwa dia adalah calon menantu yang tepat untuk Mama. Dia juga bisa menjadi calon istri yang baik buat kamu. Mama bisa merasakan itu," jelas Mona.
Arsaka hendak menyanggah, namun, telapak tangan sang ibu yang dikibaskan sudah mengurungkan niatnya. Hal itu sudah menandakan bahwa Mona tak menerima bantahan saat dirinya sedang berbicara. Apa lagi yang mereka bahas saat ini begitu urgent bagi keduanya.
"Mama tahu kamu pasti menolaknya, karena kamu sudah memiliki Aleta. Hanya satu pinta wanita ini, Saka! Sungguh, baru kali ini pertama kalinya Mama meminta, tolong kabulkan permintaan Mama. Menikahlah dengan Tantri!" lirih Mona, ia tahu permintaannya terdengar konyol dan mustahil.
Di dalam relung hati terdalam, Mona baru kali ini menyukai seorang perempuan yang sekiranya pantas bersanding dengan putra tunggalnya saat melihat Tantri.
Berbeda dengan mantan-mantan Arsaka yang tak terhitung jumlahnya, termasuk Aleta yang telah dipacarinya selama kurang lebih lima tahun. Entah apa yang membuat dirinya begitu tidak menyukai Aleta. Padahal Aleta adalah pacar terlama sang putra. Hanya ia dan Tuhan yang tahu akan alasan itu.
"Kamu mau 'kan memenuhi permintaan Mama? Kalau nanti Mama sudah dipanggil Tuhan, Mama tidak akan merasa sedih," racau Mona yang kehilangan akal.
"Mama! Jangan pernah Mama mengatakan hal itu lagi! Hanya Mama yang aku miliki. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Mama di hidup Saka. Tolong, Mama jangan berkata hal yang tidak-tidak seperti ini. Jangan Ma…" seru Arsaka yang diakhiri dengan isakan tanpa ia sadari. Pria itu meremas jemari sang ibu, menyalurkan semua rasa di hatinya.
Sepasang ibu dan anak itu berderai air mata. Mona tampak mendongakkan kepala seolah menatap sesuatu yang berada di atasnya. Kelopak matanya terasa berat hingga tanpa hitungan detik wanita itu kembali memejamkan mata.
Yadi yang mau tak mau menjadi saksi pergulatan batin antara Mona dan Arsaka memilih diam di tempat. Ia bergeming. Tak berani menyela. Air mata haru tiba-tiba menetes di pipinya. Apakah ia terlalu mudah terbawa perasaan hingga hanya karena hal ini saja bisa membuatnya menitikkan air mata?
Kembali pada Arsaka dan Mona…
Arsaka masih diam sambil sibuk berpikir. Bayangan wajah sang kekasih dan gadis kumuh yang dilihatnya hari ini silih berganti mengisi kapasitas otaknya.
"Astaga!" pekik Arsaka tanpa sadar.
Begitu melihat sang ibu tertidur efek obat yang baru saja diminum sebelum kedatangannya, membuat ia mulai fokus menyiapkan jawaban saat ibunya tersadar nanti.
"Baiklah, inilah keputusanku…" gumam Arsaka lirih sambil terus menautkan jari jemarinya. Ia mengecup punggung tangan wanita yang begitu dicintainya tersebut dengan hati yang sulit diartikan.
To be continue...
***
Mohon dukungannya yaa readers, dari aku yang menantikan dukungan dari kalian... Babay..
~Happy Reading All~******Arsaka terdiam selama beberapa saat, membiarkan segenap pikirannya terfokus pada satu hal.Kebahagiaan ibunya yang lebih penting atau egonya untuk tetap bersama Aleta?Sebuah keputusan harus ia pilih saat ini juga.Arsaka menggeleng samar sembari tersenyum getir. Kenapa harus ada pihak yang tersakiti? Kenapa tidak dirinya saja yang harus menderita?Semua ini pasti akan menyakiti salah satu di antara dua wanita yang begitu berharga di dalam hidupnya. Aleta dan juga sang ibu.Pria itu menyandarkan kepalanya di atas bed pembaringan tubuh sang ibu yang terlelap, entah kenapa ia merasakan kantuk luar biasa dan tanpa sadar memejamkan mata.Sebelum benar-benar terbuai dalam arus mimpi, Arsaka sempat berucap, "Mama.. Aku sayang Mama, jangan tinggalkan aku sendiri…."******Sementara itu di sebuah apartemen mewah, seorang wanita cantik berhasil mem
~Happy Reading All~******"Sudah berapa kali Bapak dan Mama bertemu dengan gadis kumuh tadi?" tanya Arsaka tanpa meralat sebutan yang ia sematkan pada gadis tak bersalah tersebut.Yadi mengernyit. Beberapa garis horizontal tampak berjajar di kening menambah kesan tua pada dirinya.Diliputi tanda tanya besar di kepala, Yadi memilih bertanya langsung pada anak majikannya itu daripada salah menerka."Maksud den Saka bagaimana, ya? Jujur, Bapak kurang begitu menangkap pertanyaan dari den Saka. Bisa tolong dijelaskan secara detail? Maklum den, Bapak 'kan sudah tua, jadi harap sabar!" ungkap Yadi dengan raut wajah serius tak ada selintas pun ia sengaja melakukan hal itu.Bukan bermaksud menguji kesabaran sang majikan muda, melainkan pertanyaan Arsaka begitu membingungkan dan wajar saja jika ia bertanya. Seperti sebuah pepatah yang mengatakan malu bertanya sesat di jalan menjadi pedoman Yadi mengatakan hal tersebut.
~Happy Reading All~*******"Apakah benar itu rumahnya?" tanya Arsaka di seberang rumah Tantri pada Yadi.Yadi mengangguk mantap sambil menjawab, "Benar sekali, Den! Kan tadi saya yang mengantar ke rumahnya."Arsaka hanya memindai ke sekeliling rumah tersebut. Dari samping kiri sampai samping kanan. Rumah yang dipagari susunan kayu dipoles warna putih itu membuat Arsaka bimbang.Masuk atau mengamati dari jauh saja? Arsaka begitu sibuk berpikir."Kita mau di sini sampai kapan, Den? Apa tidak lebih baik kita bertamu secara sopan saja daripada mengintai dari kejauhan seperti ini? Saya takut nanti dikira mau maling sama orang-orang yang lewat, Den!" tanya Yadi serius yang seolah bisa membaca suasana hati sang majikan tampan.Arsaka belum menjawab, namun pemandangan di mata sungguh mengusik indera penglihatannya, di mana saat ini sebuah motor gede berhenti tepat di depan pintu pagar rumah gadis kumuh itu.
~Happy Reading All~******"Waduh, gawat!" pekik Yadi sedikit panik melihat wanita bernama Yusti terus mengamati kendaraan yang dikemudikannya."Buruan jalan, Pak! Ada apa memangnya sama mobil ini?" desak Arsaka yang mengamati keanehan pada diri Yadi."Nggak tahu juga nih, Den! Tadi Sakti ngasih mobil yang ini, kayaknya karena belum diservice, kalau dilihat dari tanda-tandanya! Nyonya juga jarang minta diantar pakai mobil ini. Saya periksa dulu ya, Den!" ijin Yadi pada Arsaka sambil membuka pintu mobil dan segera keluar usai menjelaskan sekenanya.Yadi sudah berada di luar dan membuka kap mobil yang ia kemudikan. Tidak ada yang aneh. Ada apa ini?Arsaka melihat seorang wanita paruh baya mendekati mobil yang ditumpanginya.Satu pertanyaan kecil di dalam benaknya, siapa dia?Kini, seseorang yang ia maksud mulai mendekati sang supir. Ia tidak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Netra hitamnya
~Happy Reading All~******Arsaka belum melanjutkan ucapannya begitu melihat Yadi memalingkan muka menatap rumah yang berada di seberang sana. Di mana pemiliknya tadi sempat berseteru dengan sopir pribadi sang ibu.Sepertinya hari ini banyak pertanyaan berkerumun di dalam otaknya.Arsaka mendengkus kesal. Ia memilih tak melanjutkan pertanyaan yang membuatnya semakin ingin tahu dengan banyak hal. Satu masalah belum terselesaikan, sudah bertambah lagi masalah baru."Ayo Pak, antar aku pulang! Aku mau ambil baju buat berangkat ke kantor besok, Pak!" ajak Arsaka mengalihkan topik."Kenapa tidak dititipkan saja pada Sakti atau Mira, Den? Nanti den Saka capek mondar-mandir ke sana kemari," bujuk Yadi yang tak mau melihat majikannya kelelahan."Nggak apa-apa, Pak. Lagipula cuma ambil beberapa helai doang, nggak bikin capek. Masih capek Pak Yadi yang mengalami kecelakaan dan malam ini masih sibuk antar aku sampai di sin
~Happy Reading All~******Pagi telah menyambut. Hari baru telah tiba dan menyapa indera penglihatan setiap manusia yang masih terlelap dalam buaian mimpi.Jarum jam menunjukkan angka lima. Bunyi jam beker mengganggu telinga seorang gadis yang masih memimpikan seseorang di alam bawah sadarnya. Banyu tengah bertandang dan sesaat kemudian berubah menjadi Arsaka.Tantri terkejut dalam mimpinya. Ia seketika terbangun. Deru napas memburu membuatnya merasa bak mendapat mimpi buruk dan teguran lewat bunga tidurnya."Astaghfirullah, kok bisa aku mimpiin manusia es kayak dia! Ya Allah, semoga hari ini dan seterusnya hamba tidak berurusan dengan orang sepertinya. Aamiin.." doanya pada sang pemilik kehidupan. Ia meraup wajah lusuhnya sehabis bangun tidur berharap semesta mengamini doanya.Mengelus dada sambil mengisi rongga pernapasannya dengan udara segar adalah cara jitu melepaskan efek mimpi buruk yang baru saja ia alami.&nbs
~Happy Reading All~******"Sepertinya dia udah punya pacar! Itu buktinya!" pekik Yadi sambil menunjuk ke arah Banyu yang datang dari arah berlawanan dengan motor sport berwarna hitam.Banyu yang kala itu tampak terlihat macho dan menawan di balik helm, kini membuka penutup kepala lalu menyunggingkan senyum pada Tantri."Aku nggak ngurusin itu, Pak! Bapak tahu 'kan aku di sini hanya untuk cari tahu siapa sebenarnya dia bukan mengurusi kisah hidupnya. Peduli amat, Pak!Punya pacar atau nggak, nggak ngaruh ke dalam hidupku. Aku nggak habis pikir aja, kenapa Mama bersikeras buat nyuruh aku nikahin anak nggak jelas kayak dia!" terang Arsaka di kursi penumpang sembari menyandarkan kepalanya yang sedikit pening karena tidur di sofa rumah sakit demi menjaga sang ibu.Yadi mengangguk paham daripada bernasib buruk apabila menyanggah perkataan sang bos muda. Di saat majikan utama terbaring lemah di bed rumah sakit, Yadi diminta menja
~Happy Reading All~******"Oke, tanyakan saja apa yang kamu mau!" balas Josh, manager personalia di gedung miliknya.Arsaka menghempaskan tubuh lelahnya di atas kursi seberang Josh tanpa dipersilakan lebih dulu. Josh bisa memaklumi atasannya mau berbuat apa pun di dalam ruangannya.Josh memilih menunggu dengan sabar."Bagaimana caramu menerima karyawan yang masuk ke RR Grup?" tanya Arsaka serius."Dengan interview lebih dulu, Bro. Hanya orang-orang terpilih dan memenuhi kualifikasi bisa masuk ke dalamnya. Aku tidak pernah memakai jalan belakang pada siapa pun untuk menerima mereka. Aku bersumpah!" yakin Josh karena ia memang selalu jujur dalam melakukan pekerjaannya."Tidak usah seserius itu bicara padaku! Aku hanya ingin kamu melakukan hal kecil untukku!" ucap Arsaka seraya menyeringai. Tampak sedikit.. Menakutkan.Ada apa ini?"Baiklah, apa yang kamu mau aku lakukan untukmu?"&
Kedua mata Tantri terbuka lebar. Ia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah pria muda yang pernah singgah di hatinya selama bertahun-tahun lamanya. Tantri menahan tangis dan amarah di saat bersamaan. Ia terlanjur kecewa dan terluka. Baik Tantri dan Banyu, mereka sama-sama terluka. Namun luka yang dialami Tantri kali ini bertambah dengan ucapan Banyu barusan. Perempuan itu menghela napas berat sebelum akhirnya memberanikan diri kembali mendekati Banyu."Mas…"Banyu menatap dalam kedua mata Tantri dengan hati yang terluka sekaligus penuh harap akan perpisahan perempuan itu yang baru saja menikah dengan Arsaka. "Bagaimana bisa kamu mendoakan aku untuk berpisah dengan laki-laki yang baru beberapa hari menikahiku? Apakah itu adalah doa terbaik darimu atau kutukan darimu? Aku tahu Mas Banyu bukan laki-laki pendendam yang sanggup mengatakan hal-hal semacam itu. Mas, ingat kata-kata itu termasuk doa. Jaga lisan kamu, Mas! Aku tahu kamu itu orang baik. Jangan pernah mengatakan hal
"Saya nggak keberatan kalau kamu mau menyelesaikan urusan kamu dengan dia. Saya akan menunggu kamu di mobil." Arsaka mengatakan hal itu dengan tenang sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju ke dalam kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman Rumah Sakit.Tantri mengangguk pelan menanggapi pemberian izin suaminya. Ia terus mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang semula ia benci dan kini telah menjadi suami sahnya hingga tak lagi terjangkau sepasang mata indahnya.Sepeninggal Arsaka, Banyu menatap wajah ayu Tantri yang kini tampak bersalah kepadanya. Suasana mendadak sendu. Rasa kecewa dan terluka bercampur aduk di sekitar mereka berdua."Bagaimana kabarmu setelah melakukan ini padaku, Tantri?" tanya Banyu dengan ekspresi terluka yang begitu kentara."Mas Banyu, aku minta maaf," ucap Tantri seraya menundukkan kepalanya."Minta maaf dalam hal apa, Tantri? Minta maaf karena kamu menikah secara tiba-tiba dengan mantan atasan kita tanpa sepengetahuanku atau karena meny
Yusti tersenyum teduh pada lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia pun memantapkan hati dan pikirannya mengenai keputusan yang sesaat lagi harus ia ungkapkan di depan orang-orang ini. "Bu Mona, saya tidak mau jadi orang munafik," kata Yusti sembari tersenyum malu beberapa detik kemudian."Maksudnya?" "Saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya bersama laki-laki ini," ucap Yusti kemudian sambil meruncingkan jari telunjuknya ke arah Yadi. Yadi masih tak menyangka akan mendapat durian runtuh seperti ini. Ia masih mengira semua ini adalah halusinasi yang ditimbulkan olehnya efek bius yang sempat bertengger di tubuhnya. Nyatanya, senyum manis mengembang sempurna di wajah ayu Yusti yang tak lagi muda. "Kamu serius mau menikahi laki-laki seperti aku, Yusti?" Yadi bertanya dengan tatapan yang semakin lama semakin blur. Rupanya air matanya menggenang di sana membuat penglihatannya sedikit terganggu."Kenapa nggak, Yadi? Semula aku selal
Empat orang berkumpul di kamar inap Yadi. Semua orang memiliki buah pemikiran mereka sendiri. Arsaka diam-diam mencuri pandang pada istri kecilnya lalu perlahan-lahan melarikan pandangan pada Yusti yang sedang menunggu penjelasan baik darinya ataupun Tantri. "Sebenarnya tadi itu saya sudah mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Melihat Bi Yusti dan Pak Yadi masih sama-sama terlelap, saya tidak berani membangunkan kalian. Jadi, saya memutuskan meletakkan makanan di atas meja. Setelah itu saya juga ingin meminta maaf karena kami diam-diam mencuri dengar apa yang tadi kalian bicarakan. Untuk yang terakhir ini memang kami akui kami sudah kelewat batas. Tolong maafkan kami, Bi Yusti." Arsaka membela sang istri di garda depan agar tak mendapat amukan Yusti yang sedari tadi memberengut kesal. "Tapi kan kalian ini sudah sama-sama dewasa, masa iya ada orang tua lagi bicara serius eh malah kalian nguping? Malu ah sama umur," Yusti masih terlihat merajuk.Yadi yang ada di sebelahnya tertawa
Kedua mata Arsaka membola. Ia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Ia begitu khawatir dan juga panik kalau sampai aksinya saat ini tertangkap basah oleh pasangan paruh baya di sekelilingnya. Eh tunggu dulu? Memangnya mereka adalah pasangan kekasih? Astaga! 'Fokus, Saka! Fokus! Nggak usah mikirin hal lain. Lebih baik kamu berdoa supaya bisa tetap aman dan bisa cepat kabur dari sini. Bi Yusti, aku mohon tolong jangan bangun dulu,' ucap Arsaka dalam hati seraya menyemangati diri sendiri supaya situasi tetap aman terkendali.Entah semesta merestui niat baiknya atau tidak. Bukan Yusti yang membuka mata atau menangkap basah dirinya di ruangan itu, melainkan pasien yang terbaring lemah bernama Yadi yang kini membuka mata. Pandangan Yadi sepertinya masih blur dan pria itu sedang berusaha sekuat tenaga beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal itu dimanfaatkan oleh Arsaka untuk berjongkok dan berjalan mengendap-endap hingga pintu keluar. Sumpah demi apa pun, Arsaka tidak pernah melakuka
Selang infus masih terpasang di punggung tangan Yadi. Yusti menatap iba pada lelaki yang seringkali ia maki jika mereka berjumpa. Dan sekarang ia merasakan kesepian sepertinya ada yang kurang di dalam hatinya.Bukan ini yang Yusti inginkan. Ia ingin melihat Yadi dalam keadaan baik-baik saja. Walau kata dokter barusan Yadi akan baik-baik saja usai mendapatkan penanganan, hal itu tidak lantas membuat kecemasannya mereda. Ia masih tetap merasakan hal itu mengganggu ketenangan jiwanya. "Yadi, ayo bangun! Kamu nggak kangen berantem sama aku? Kalau kamu berani sama aku, ayo ladeni kata-kataku! Jangan cuma tidur terus! Payah ah kamu, masa begitu saja kamu belum bangun juga. Ayo bangun! Kita lanjutkan perseteruan kita lagi dan lagi," tantang Yusti sambil menahan tangis. Air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Ia kesal sekali. Menurutnya, ia bukan tipikal wanita yang cengeng. Tapi kenapa ia malah menangis hanya karena ini? "Ayo bangun, Yadi! Katanya kamu mau nikah sama aku? Jadi apa ngga
Arsaka diam. Pria itu bergeming di posisinya. Ia melirik sekilas ke arah Yadi. Tak lama kemudian Arsaka menghela napas panjang sebelum berucap pada sang mantan. "Silakan lakukan apa pun yang kamu mau. Aku nggak akan menghentikan atau melarang kamu untuk menyakiti dirimu sendiri. Kalau kamu sakit, yang rugi itu bukan aku. Melainkan kamu. Sekarang kamu mau melakukan apa pun, semuanya juga akan kembali ke kamu. Kamu sudah dewasa dan bisa berpikir jernih. Kalau kamu merasa menyakiti diri sendiri akan menjadi jalan terbaik untuk kamu, ya itu hak kamu. Kamu dan aku sudah tidak seperti dulu. Kamu adalah kamu. Dan aku adalah aku dengan seseorang yang telah menjadi masa depanku. Sekarang yang bisa aku katakan ke kamu adalah berhentilah bersandiwara! Kamu adalah seorang artis dan model. Tidak bersamaku tidak akan membuat kamu menderita atau merugi. Seharusnya kamu bersyukur karena sudah tidak lagi berhubungan dengan aku. Kamu bisa mencari atau menemukan seseorang yang jauh lebih tepat darip
Tepat sebulan setelah kejadian di mana Tantri dilamar secara pribadi dan mendadak oleh Arsaka, saat ini kedua insan manusia yang sempat dijodohkan oleh Mona beberapa bulan lalu duduk bersisian di hadapan sang penghulu."Nak Arsaka sudah siap?" tanya sang penghulu sebelum memulai prosesi ijab kabul."Saya siap, Pak," tegas Arsaka tanpa ragu."Wah pengantin laki-lakinya sudah nggak sabaran rupanya menjadi suami sah dari Mbak Tantri! Kalau begitu tanpa mengulur waktu lagi, mari kita mulai prosesi pengucapan janji suci antara Mas Saka dan Mbak Tantri!" ajak sang penghulu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa kaku di sekelilingnya.Dan dimulailah pengucapan ijab kabul…Arsaka mengucap janji suci pernikahan dengan tegas, lantang dan "Bagaimana saksi? Sah?" tanya bapak penghulu pada para saksi yang duduk mendampingi sepasang pengantin tersebut. "Sah!" pekik para saksi dengan penuh semangat. Arsaka melirik Tantri yang ada di sampingnya yang kini tersipu malu usai mendengar pe
"Lepaskan ibuku!" teriak Arsaka sambil mendorong tubuh Debora hingga terjatuh di paving block. BruggSuara tubuh wanita itu "Aaaakkh, sakit!" Debora meringis kesakitan. Ia mengangkat tangannya meminta pertolongan suaminya. "Papa, tolong!" Guntur yang merasa bersalah usai mendengar pengakuan Mona hanya bisa diam dan perlahan-lahan membantu istrinya untuk bangun dari posisi memalukan itu."Papa, jangan tinggal diam! Mereka berdua sudah melakukan kejahatan sama Mama. Ayo buruan lapor polisi, Papa!" Debora mengemis iba pada Guntur. Ia mencoba mengompori sang suami agar mau menuruti permintaannya. Bukan ekspresi marah yang kini terlihat di wajah Guntur. Wajahnya masih menunjukkan perasaan bersalah pada semua orang yang ada di sekelilingnya terutama pada gadis cantik yang diakui Mona sebagai calon menantu."Apakah benar kamu adalah anaknya Sekar?" tanya Guntur usai membantu sang istri berdiri di sampingnya dengan lebih baik. Ia melepaskan gelayutan tangan Debora dan mendekati Tantri. "