~Happy Reading All~
***
Mona tampak menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya yang sempat terhenti. "Mama mohon padamu, menikahlah dengan Nak Tantri!" pintanya penuh keyakinan, tak ada keraguan saat meminta hal yang mustahil itu pada putranya.
Arsaka tampak garang. Ia refleks melepaskan pertautan jemarinya dengan jemari lemah sang ibu. Kini dengan angkuhnya ia menatap benci pada Tantri, gadis yang tidak tahu apa-apa tersebut.
Tantri benar-benar berada di tempat yang tidak seharusnya. Ia salah tempat dan situasi. Bagaimana bisa ia dilibatkan dalam masalah ibu dan anak tersebut lebih jauh. Ditambah lagi permintaan nyonya besar itu terdengar konyol baginya.
Ia baru menginjak usia delapan belas tahun dan menyelesaikan sekolah menengah atas tiga bulan lalu. Ia sangat belum siap menerima keputusan itu sama halnya dengan Arsaka.
"Mama! Mama sadar atau tidak mengatakan hal itu? Mama tahu dengan jelas kan, aku sudah memiliki kekasih dan aku tidak mau menyakiti Aleta. Mama tolong mintalah sesuatu yang masuk akal, jangan bercanda seperti ini, Ma!"
Mona menggelengkan kepalanya lemah. Ia menatap Arsaka dan Tantri silih berganti. Tak lama kemudian, senyum penuh arti terukir di wajah ayunya yang tak termakan usia. Ia tetap ayu di usianya yang tak lagi muda. Senyum yang membuatnya kembali bersemangat meskipun rasa sakit pasca operasi masih begitu terasa.
"Mama tidak bercanda, Ars. Mama minta dengan sangat menikahlah dengan gadis pilihan Mama. Mama merasa Tantri adalah gadis yang baik dan pantas bersanding denganmu," jelas Mona.
Arsaka tak mau menerima hal itu begitu saja. Ia menunjukkan dengan jelas ketidaksukaan dirinya pada Tantri. Tatapan pria itu penuh kebencian yang meluap-luap.
Tantri menggelengkan kepala.
"Nyonya, maaf jika saya menyela pembicaraan Nyonya dan Tuan. Saya tidak bisa menikah dengan Tuan ini. Kami tak saling mengenal dan beliau sudah memiliki kekasih. Saya juga masih kecil, Nyonya.
Pernikahan bagi saya adalah hal yang sakral, sekali seumur hidup dan saya ingin menikah dengan orang yang saya cintai. Kalau Nyonya merasa berhutang budi pada saya, maka saya minta doakan saja saya bisa meraih cita-cita saya yang sempat tertunda.
Maaf Nyonya, saya harus pergi dari sini sekarang juga. Saya tidak mau membuat orang rumah khawatir karena saya belum pulang-pulang. Terima kasih, Nyonya," jelasnya dan tetap pada tujuan awal yaitu pulang dan keluar dari lubang neraka ini.
Panas, situasi semakin memanas. Gadis itu semakin dilema, pertolongan yang ia lakukan dengan ikhlas justru membuatnya harus terlibat dengan perdebatan ibu dan anak tersebut.
"Kamu senang, kan? Bukankah ini yang kamu inginkan? Menolong orang dengan pamrih yang sangat mustahil. Dasar orang miskin, pikirannya pasti melulu soal uang. Pura-pura menolak, lalu meminta uang dan kompensasi yang lebih besar bukan? Hah, pikiranmu itu mudah ditebak, ck, ck, ck," ucap Arsaka bernada ketus dan sindiran.
Tantri masih mencoba menguatkan hati dan akal sehatnya. Tapi ucapan pria itu begitu memprovokasi pikirannya yang berusaha menepis kata-kata penuh fitnah itu, ia tak bisa menahan lagi.
Tantri menatap tajam pada pria tampan itu. Ia yang berada di sisi kiri nyonya kaya yang ditolongnya kini berjalan setengah memutar. Kini posisinya telah berhadapan dengan si pemilik lidah tajam bak pedang samurai yang siap menebas siapa pun itu. Ia sedikit mendongakkan kepalanya karena tinggi badannya yang hanya sampai bahu si pria bermulut ketus.
"Jangan pernah menghina seseorang hanya karena statusnya, Tuan! Saya tulus menolong Nyonya Mona dan tidak pernah berharap akan mendapatkan kompensasi apa pun. Karena ibu saya selalu berkata jika kita menolong siapa pun harus dengan hati ikhlas dan tulus tanpa mengharapkan imbalan! "tegas Tantri pada Arsaka.
Tantri menguatkan hatinya. Gadis muda itu tampak kesal dan menahan laju air matanya yang hendak meluncur deras dari muaranya.
"Nyonya, maafkan saya jika ucapan saya tidak sopan. Tapi ucapan anak anda memang keterlaluan dan menunjukkan pada saya siapa dirinya. Beliau adalah lulusan kampus terbaik di seluruh negeri tidak mungkin bisa menghargai orang seperti saya," sindir Tantri dengan rahang mengetat. Jemarinya terkepal kuat. Tapi ia puas telah meluapkan segala rasa di hatinya." Tidak ada alasan lagi untuk saya tetap berada di sini, permisi, Nyonya, Pak Yadi dan Tuan besar," pamitnya kemudian, ia menekankan sebutan untuk pria angkuh tersebut.
Arsaka tampak marah dan hendak membalas ucapan gadis yang telah berani menentang dan menghinanya. Namun, Tantri lebih cepat melakukan tindakan.
Tantri membuka pintu dan benar-benar melangkah keluar dari ruangan itu. Rasanya puas telah keluar dari tempat menyesakkan tersebut. Jangan ada lagi hari seperti ini di hidupnya atau pun dipertemukan dengan pria jahat seperti Arsaka, pikirnya.
***
"Mama kecewa padamu, Ars," lirih Mona yang kemudian memalingkan muka. "Kalau kamu tidak bisa membawanya kembali lagi untuk menemui Mama, jangan berharap Mama akan memaafkanmu," lanjutnya tanpa menatap wajah sang putra. Raut wajahnya tampak amat kecewa.
Yadi yang berada di sana ikut merasakan kecewa, sama halnya dengan Mona. Ucapan Arsaka memang sangatlah keterlaluan, tidak mencerminkan seorang cendekia. Namun, pria paruh baya itu memilih diam tak mau terlibat urusan antara Mona dan Arsaka.
"Damn! Gadis itu membuatku berseteru dengan Mama. Tidak akan kubiarkan dia menang dengan taktiknya. Ini semua pasti triknya demi mewujudkan keinginannya. Aku yakin itu. Dia pasti ingin meminta harta pada Mama karena telah berhasil menolong. Menyebalkan sekali gadis itu! Sepertinya wajahnya tak asing, tapi biarkan sajalah, aku yakin Mama hanya sedang merajuk saja seperti kaum hawa lainnya. Hah!" gerutu Arsaka dalam hati.
"Ars..." panggil Mona pada Arsaka yang masih memikirkan sesuatu. Ia dapat melihat lipatan di kening anaknya yang tampan itu.
"Iya, Ma," sahut Arsaka cepat. Dugaannya tepat, sang ibu sudah kembali baik padanya terdengar dari nada bicara beliau yang sedikit melunak.
"Pergilah! Jangan temui aku sebelum kamu mengajak gadis itu kemari!" ucap Mona dengan lirih, namun, bermakna dalam. Ternyata ia tak main-main atau sedang dalam mode rajuk-merajuk. Ini nyata adanya. Ia benar-benar kecewa pada Arsaka yang telah memperlakukan Tantri seburuk itu dan menganggap kebaikan gadis itu tak tulus yang berharap mendapat imbalan. Tanpa ia sadari, bulir air mata perlahan menuruni kedua pipinya.
"Ma, kita bisa bicarakan baik-baik!" rayu Arsaka yang tak mau pergi dari hadapan sang ibu.
"Yadi, tolong kejar gadis tadi dan antarkan dia pulang!" titahnya kemudian pada Yadi yang sedari tadi terdiam dan menyimak percakapan dirinya dengan Arsaka.
"Cukup, Ars! Pergilah dari sini sekarang juga, Mama tidak ingin melihatmu. Selama kamu masih menganggap penolongku seperti itu, maka jangan harap pintu maafku akan terbuka untukmu!" tegas Mona.
"Tapi, Ma..." potong Arsaka.
Mona mengibaskan telapak tangannya, ia tak mau mendengar bujuk rayu putranya demi meluluhkan hatinya. Ia sudah terlanjur kecewa.
"Pergi sekarang juga! Camkan ucapan Mama tadi jika kamu masih menginginkan ada damai di antara kita! Mama serius, tidak main-main!" ucapnya penuh ketegasan dan raut wajah serius.
***
~Happy Reading All~***"Mbak Tantri!" pekik Yadi yang berhasil menemukan gadis cantik penolong majikannya tersebut dengan susah payah.Langkah kaki Tantri sudah sampai di trotoar jalan hendak menunggu bus lewat. Untung saja teriakan Yadi berhasil mengurungkan niat Tantri memasuki kendaraan umum di mana belasan manusia berjejal di dalamnya.Tantri menoleh ke belakang tanpa membalikkan badan. Senyum manis terbit di kedua sudut bibir ranumnya. Amat manis dan teduh."Mbak Tantri, biar saya antar pulang, ya!" tawar Yadi bersungguh-sungguh. "Nyonya minta saya mengantar Mbak Tantri pulang ke rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Mau, ya?"Tantri belum menerima tawaran dari pria yang berprofesi sebagai sopir pribadi nyonya Mona tersebut. Gadis cantik berlesung pipi itu merogoh saku celana pendeknya, di mana saat ini ia menemukan selembar uang berwarna hijau. Sisa dua puluh ribu.Gawat!Tantri menepuk
~Happy Reading All~***"Bibi dan Pak Yadi saling kenal?" tanya Tantri penasaran melihat interaksi kedua manusia paruh baya di sekelilingnya.Baik pak Yadi atau sang bibi tak ada yang mau buka mulut. Kini, bibinya malah pergi meninggalkan Tantri bersama Yadi dan masuk ke rumah untuk melanjutkan kegiatannya meracik jejamuan tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Bibi!" panggil Tantri yang diacuhkan sang bibi. Ia merasa tak enak hati pada pak Yadi. "Maaf ya, Pak. Nggak tahu juga ada apa sama bibi, mungkin beliau mau langsung nerusin bikin jamu," jelas Tantri sekenanya.Yadi mengerti. Ia tak mau banyak bertanya. Ia mengangguk sembari mengulas senyum tipis."Jangan cuma dilihatin aja, Pak! Mari silakan diminum! Keburu dingin loh, Pak. Takutnya nanti nggak manis loh, Pak," paksa Tantri dengan jurus rayuannya."Oh iya, terima kasih. Maaf loh, merepotkan Mbak Tantri!""Ah, Pak Yadi pakai ngomong gitu
~Happy Reading All~***Wanita paruh baya yang tersenyum di ambang pintu itu membuat Mona seketika merasa malas dan risih berurusan dengannya."Kenapa kamu diam saja dan tak menyambut kedatanganku, Mona? Kita sudah lama tak berjumpa, loh!" sapanya basa-basi. Senyumnya mengembang sempurna saat mendekati Mona di atas bed rumah sakit yang didominasi warna putih tersebut."Aku ingin tidur, tolong jangan menggangguku!" sahut Mona dengan ketus."Mana mungkin aku ingin mengganggumu? Aku datang karena ingin berkunjung karena kita sudah lama sekali tak berbincang santai," kilahnya memberi alasan yang sekiranya masuk akal. Ia berusaha mengajak berdamai dengan Mona.Mona tersenyum sinis dan berkata, "Wah, artis besar sepertimu masih punya waktu untuk menemuiku, baik sekali, ya! Ck! Ck!" sindir Mona."Mona! Bisakah kita kembali seperti dulu? Bukankah kita bersahabat baik? Kenapa kamu tega sekali mendiamkanku setelah
~Happy Reading All~***Belum sampai bibir gelas itu menyentuh bibir Arsaka, sebuah panggilan yang berasal dari ponsel di saku celana pria tersebut menghentikan niatnya untuk meminum teh buatan sang kekasih.Arsaka meletakkan kembali cangkir itu ke atas nampan. Aleta tetap mengulas senyum manis di hadapan Arsaka. Mencoba sabar, kini perempuan itu beralih pada ponselnya sendiri dan menggulir beberapa pesan masuk. Sesekali Aleta melirik dan berniat mencuri dengar apa yang akan dibicarakan Arsaka pada lawan bicaranya."Halo, Pak Yadi! Ada apa?" tanya Arsaka serius. Tampak guratan kencang di keningnya.'Den Saka sedang di mana kalau boleh tahu?' tanya balik Yadi."Aku lagi di apartemen Aleta. Kenapa, Pak? Kok kayaknya serius banget?"'Begini, Den. Anu, begini, aduh gimana, ya ngomongnya?'"Kenapa sih, Pak? Jangan buat aku penasaran kayak gini!" seru Arsaka.'Begini, Den, Nyonya Mona
~Happy Reading All~***Tantri merasakan detak jantungnya berdegup hebat. Perasaan itulah yang harus ia tahan sekian lama, karena ia tak mau melanggar kata hati dan berujung menghambat masa depannya nanti.Ia mencoba menetralkan detak jantungnya yang sedemikian kencang dengan memalingkan muka. Memilih menghadap ke sembarang arah demi menutupi rasa yang berkecamuk di hati.Ia menggerakkan bungkusan plastik tersebut maju mundur sembari memilin anak rambutnya yang terurai dengan satu tangan yang lain."Buruan naik, yuk! Langitnya udah gelap, takutnya bentar lagi ujan gede," ajak Banyu pada Tantri. Tantri mengangguk mengiyakan.Pemuda itu menunggu Tantri naik melewati pijakan footstep dan berpegangan pada pundaknya. Maklum, motor yang pemuda itu gunakan adalah sebangsa motor gede.Motor pun melaju. Hati Tantri dan Banyu tampak berdesir hebat. Entah apa yang mereka saat ini rasakan?Tantri menghel
~Happy Reading All~******Arsaka terdiam selama beberapa saat, membiarkan segenap pikirannya terfokus pada satu hal.Kebahagiaan ibunya yang lebih penting atau egonya untuk tetap bersama Aleta?Sebuah keputusan harus ia pilih saat ini juga.Arsaka menggeleng samar sembari tersenyum getir. Kenapa harus ada pihak yang tersakiti? Kenapa tidak dirinya saja yang harus menderita?Semua ini pasti akan menyakiti salah satu di antara dua wanita yang begitu berharga di dalam hidupnya. Aleta dan juga sang ibu.Pria itu menyandarkan kepalanya di atas bed pembaringan tubuh sang ibu yang terlelap, entah kenapa ia merasakan kantuk luar biasa dan tanpa sadar memejamkan mata.Sebelum benar-benar terbuai dalam arus mimpi, Arsaka sempat berucap, "Mama.. Aku sayang Mama, jangan tinggalkan aku sendiri…."******Sementara itu di sebuah apartemen mewah, seorang wanita cantik berhasil mem
~Happy Reading All~******"Sudah berapa kali Bapak dan Mama bertemu dengan gadis kumuh tadi?" tanya Arsaka tanpa meralat sebutan yang ia sematkan pada gadis tak bersalah tersebut.Yadi mengernyit. Beberapa garis horizontal tampak berjajar di kening menambah kesan tua pada dirinya.Diliputi tanda tanya besar di kepala, Yadi memilih bertanya langsung pada anak majikannya itu daripada salah menerka."Maksud den Saka bagaimana, ya? Jujur, Bapak kurang begitu menangkap pertanyaan dari den Saka. Bisa tolong dijelaskan secara detail? Maklum den, Bapak 'kan sudah tua, jadi harap sabar!" ungkap Yadi dengan raut wajah serius tak ada selintas pun ia sengaja melakukan hal itu.Bukan bermaksud menguji kesabaran sang majikan muda, melainkan pertanyaan Arsaka begitu membingungkan dan wajar saja jika ia bertanya. Seperti sebuah pepatah yang mengatakan malu bertanya sesat di jalan menjadi pedoman Yadi mengatakan hal tersebut.
~Happy Reading All~*******"Apakah benar itu rumahnya?" tanya Arsaka di seberang rumah Tantri pada Yadi.Yadi mengangguk mantap sambil menjawab, "Benar sekali, Den! Kan tadi saya yang mengantar ke rumahnya."Arsaka hanya memindai ke sekeliling rumah tersebut. Dari samping kiri sampai samping kanan. Rumah yang dipagari susunan kayu dipoles warna putih itu membuat Arsaka bimbang.Masuk atau mengamati dari jauh saja? Arsaka begitu sibuk berpikir."Kita mau di sini sampai kapan, Den? Apa tidak lebih baik kita bertamu secara sopan saja daripada mengintai dari kejauhan seperti ini? Saya takut nanti dikira mau maling sama orang-orang yang lewat, Den!" tanya Yadi serius yang seolah bisa membaca suasana hati sang majikan tampan.Arsaka belum menjawab, namun pemandangan di mata sungguh mengusik indera penglihatannya, di mana saat ini sebuah motor gede berhenti tepat di depan pintu pagar rumah gadis kumuh itu.
Kedua mata Tantri terbuka lebar. Ia menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah pria muda yang pernah singgah di hatinya selama bertahun-tahun lamanya. Tantri menahan tangis dan amarah di saat bersamaan. Ia terlanjur kecewa dan terluka. Baik Tantri dan Banyu, mereka sama-sama terluka. Namun luka yang dialami Tantri kali ini bertambah dengan ucapan Banyu barusan. Perempuan itu menghela napas berat sebelum akhirnya memberanikan diri kembali mendekati Banyu."Mas…"Banyu menatap dalam kedua mata Tantri dengan hati yang terluka sekaligus penuh harap akan perpisahan perempuan itu yang baru saja menikah dengan Arsaka. "Bagaimana bisa kamu mendoakan aku untuk berpisah dengan laki-laki yang baru beberapa hari menikahiku? Apakah itu adalah doa terbaik darimu atau kutukan darimu? Aku tahu Mas Banyu bukan laki-laki pendendam yang sanggup mengatakan hal-hal semacam itu. Mas, ingat kata-kata itu termasuk doa. Jaga lisan kamu, Mas! Aku tahu kamu itu orang baik. Jangan pernah mengatakan hal
"Saya nggak keberatan kalau kamu mau menyelesaikan urusan kamu dengan dia. Saya akan menunggu kamu di mobil." Arsaka mengatakan hal itu dengan tenang sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju ke dalam kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman Rumah Sakit.Tantri mengangguk pelan menanggapi pemberian izin suaminya. Ia terus mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang semula ia benci dan kini telah menjadi suami sahnya hingga tak lagi terjangkau sepasang mata indahnya.Sepeninggal Arsaka, Banyu menatap wajah ayu Tantri yang kini tampak bersalah kepadanya. Suasana mendadak sendu. Rasa kecewa dan terluka bercampur aduk di sekitar mereka berdua."Bagaimana kabarmu setelah melakukan ini padaku, Tantri?" tanya Banyu dengan ekspresi terluka yang begitu kentara."Mas Banyu, aku minta maaf," ucap Tantri seraya menundukkan kepalanya."Minta maaf dalam hal apa, Tantri? Minta maaf karena kamu menikah secara tiba-tiba dengan mantan atasan kita tanpa sepengetahuanku atau karena meny
Yusti tersenyum teduh pada lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia pun memantapkan hati dan pikirannya mengenai keputusan yang sesaat lagi harus ia ungkapkan di depan orang-orang ini. "Bu Mona, saya tidak mau jadi orang munafik," kata Yusti sembari tersenyum malu beberapa detik kemudian."Maksudnya?" "Saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya bersama laki-laki ini," ucap Yusti kemudian sambil meruncingkan jari telunjuknya ke arah Yadi. Yadi masih tak menyangka akan mendapat durian runtuh seperti ini. Ia masih mengira semua ini adalah halusinasi yang ditimbulkan olehnya efek bius yang sempat bertengger di tubuhnya. Nyatanya, senyum manis mengembang sempurna di wajah ayu Yusti yang tak lagi muda. "Kamu serius mau menikahi laki-laki seperti aku, Yusti?" Yadi bertanya dengan tatapan yang semakin lama semakin blur. Rupanya air matanya menggenang di sana membuat penglihatannya sedikit terganggu."Kenapa nggak, Yadi? Semula aku selal
Empat orang berkumpul di kamar inap Yadi. Semua orang memiliki buah pemikiran mereka sendiri. Arsaka diam-diam mencuri pandang pada istri kecilnya lalu perlahan-lahan melarikan pandangan pada Yusti yang sedang menunggu penjelasan baik darinya ataupun Tantri. "Sebenarnya tadi itu saya sudah mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Melihat Bi Yusti dan Pak Yadi masih sama-sama terlelap, saya tidak berani membangunkan kalian. Jadi, saya memutuskan meletakkan makanan di atas meja. Setelah itu saya juga ingin meminta maaf karena kami diam-diam mencuri dengar apa yang tadi kalian bicarakan. Untuk yang terakhir ini memang kami akui kami sudah kelewat batas. Tolong maafkan kami, Bi Yusti." Arsaka membela sang istri di garda depan agar tak mendapat amukan Yusti yang sedari tadi memberengut kesal. "Tapi kan kalian ini sudah sama-sama dewasa, masa iya ada orang tua lagi bicara serius eh malah kalian nguping? Malu ah sama umur," Yusti masih terlihat merajuk.Yadi yang ada di sebelahnya tertawa
Kedua mata Arsaka membola. Ia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Ia begitu khawatir dan juga panik kalau sampai aksinya saat ini tertangkap basah oleh pasangan paruh baya di sekelilingnya. Eh tunggu dulu? Memangnya mereka adalah pasangan kekasih? Astaga! 'Fokus, Saka! Fokus! Nggak usah mikirin hal lain. Lebih baik kamu berdoa supaya bisa tetap aman dan bisa cepat kabur dari sini. Bi Yusti, aku mohon tolong jangan bangun dulu,' ucap Arsaka dalam hati seraya menyemangati diri sendiri supaya situasi tetap aman terkendali.Entah semesta merestui niat baiknya atau tidak. Bukan Yusti yang membuka mata atau menangkap basah dirinya di ruangan itu, melainkan pasien yang terbaring lemah bernama Yadi yang kini membuka mata. Pandangan Yadi sepertinya masih blur dan pria itu sedang berusaha sekuat tenaga beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal itu dimanfaatkan oleh Arsaka untuk berjongkok dan berjalan mengendap-endap hingga pintu keluar. Sumpah demi apa pun, Arsaka tidak pernah melakuka
Selang infus masih terpasang di punggung tangan Yadi. Yusti menatap iba pada lelaki yang seringkali ia maki jika mereka berjumpa. Dan sekarang ia merasakan kesepian sepertinya ada yang kurang di dalam hatinya.Bukan ini yang Yusti inginkan. Ia ingin melihat Yadi dalam keadaan baik-baik saja. Walau kata dokter barusan Yadi akan baik-baik saja usai mendapatkan penanganan, hal itu tidak lantas membuat kecemasannya mereda. Ia masih tetap merasakan hal itu mengganggu ketenangan jiwanya. "Yadi, ayo bangun! Kamu nggak kangen berantem sama aku? Kalau kamu berani sama aku, ayo ladeni kata-kataku! Jangan cuma tidur terus! Payah ah kamu, masa begitu saja kamu belum bangun juga. Ayo bangun! Kita lanjutkan perseteruan kita lagi dan lagi," tantang Yusti sambil menahan tangis. Air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Ia kesal sekali. Menurutnya, ia bukan tipikal wanita yang cengeng. Tapi kenapa ia malah menangis hanya karena ini? "Ayo bangun, Yadi! Katanya kamu mau nikah sama aku? Jadi apa ngga
Arsaka diam. Pria itu bergeming di posisinya. Ia melirik sekilas ke arah Yadi. Tak lama kemudian Arsaka menghela napas panjang sebelum berucap pada sang mantan. "Silakan lakukan apa pun yang kamu mau. Aku nggak akan menghentikan atau melarang kamu untuk menyakiti dirimu sendiri. Kalau kamu sakit, yang rugi itu bukan aku. Melainkan kamu. Sekarang kamu mau melakukan apa pun, semuanya juga akan kembali ke kamu. Kamu sudah dewasa dan bisa berpikir jernih. Kalau kamu merasa menyakiti diri sendiri akan menjadi jalan terbaik untuk kamu, ya itu hak kamu. Kamu dan aku sudah tidak seperti dulu. Kamu adalah kamu. Dan aku adalah aku dengan seseorang yang telah menjadi masa depanku. Sekarang yang bisa aku katakan ke kamu adalah berhentilah bersandiwara! Kamu adalah seorang artis dan model. Tidak bersamaku tidak akan membuat kamu menderita atau merugi. Seharusnya kamu bersyukur karena sudah tidak lagi berhubungan dengan aku. Kamu bisa mencari atau menemukan seseorang yang jauh lebih tepat darip
Tepat sebulan setelah kejadian di mana Tantri dilamar secara pribadi dan mendadak oleh Arsaka, saat ini kedua insan manusia yang sempat dijodohkan oleh Mona beberapa bulan lalu duduk bersisian di hadapan sang penghulu."Nak Arsaka sudah siap?" tanya sang penghulu sebelum memulai prosesi ijab kabul."Saya siap, Pak," tegas Arsaka tanpa ragu."Wah pengantin laki-lakinya sudah nggak sabaran rupanya menjadi suami sah dari Mbak Tantri! Kalau begitu tanpa mengulur waktu lagi, mari kita mulai prosesi pengucapan janji suci antara Mas Saka dan Mbak Tantri!" ajak sang penghulu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa kaku di sekelilingnya.Dan dimulailah pengucapan ijab kabul…Arsaka mengucap janji suci pernikahan dengan tegas, lantang dan "Bagaimana saksi? Sah?" tanya bapak penghulu pada para saksi yang duduk mendampingi sepasang pengantin tersebut. "Sah!" pekik para saksi dengan penuh semangat. Arsaka melirik Tantri yang ada di sampingnya yang kini tersipu malu usai mendengar pe
"Lepaskan ibuku!" teriak Arsaka sambil mendorong tubuh Debora hingga terjatuh di paving block. BruggSuara tubuh wanita itu "Aaaakkh, sakit!" Debora meringis kesakitan. Ia mengangkat tangannya meminta pertolongan suaminya. "Papa, tolong!" Guntur yang merasa bersalah usai mendengar pengakuan Mona hanya bisa diam dan perlahan-lahan membantu istrinya untuk bangun dari posisi memalukan itu."Papa, jangan tinggal diam! Mereka berdua sudah melakukan kejahatan sama Mama. Ayo buruan lapor polisi, Papa!" Debora mengemis iba pada Guntur. Ia mencoba mengompori sang suami agar mau menuruti permintaannya. Bukan ekspresi marah yang kini terlihat di wajah Guntur. Wajahnya masih menunjukkan perasaan bersalah pada semua orang yang ada di sekelilingnya terutama pada gadis cantik yang diakui Mona sebagai calon menantu."Apakah benar kamu adalah anaknya Sekar?" tanya Guntur usai membantu sang istri berdiri di sampingnya dengan lebih baik. Ia melepaskan gelayutan tangan Debora dan mendekati Tantri. "