"Apaaa? Kenapa bisa sampai seperti itu?" Devan terlihat panik. Sambil meletakkan ponsel di telinganya. Dia kembali memakai bajunya. Hal itu justru membuat Andini heran. "Apa yang sedang terjadi?" pikirnya. "Devan sampai panik begitu. Apa tengah terjadi sesuatu pada perusahaan?" batinnya lagi. "Baiklah! Aku akan segera pulang!"Mendengar kata pulang, Andini semakin bertanya-tanya. Pasti masalah besar sedang terjadi. Andini bertanya setelah Devan mematikan panggilan di ponselnya. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu yang serius?""Iya! Kau mau ikut pulang atau ingin tinggal di sini?" tanya Devan. "Ada masalah apa?" Andini terduduk dan membenahi bajunya yang terbuka sebagian oleh ulah Devan tadi. "Silvi tengah pingsan dan sampai sekarang belum sadar," ujar Devan panik. Raut wajah Andini langsung berubah mendengar berita tentang wanita itu. Bukan karena khawatir melainkan jengkel. "Apa lagi yang di inginkannya?" ujar Andini datar. "Apa maksudmu?" Devan menghentikan tangannya dan memand
David semakin terpikat setelah melihat kebaikan Andini secara langsung. Dia segera bersiap melihat wanita itu mulai berjalan mengitari tempat yang lain. David begitu menikmati pemandangan Andini yang tersenyum lembut dan tertawa lepas ketika mencoba sesuatu yang belum pernah dicobanya.BRUKK...Andini menumbruk belakang seseorang saat tengah asyik mencoba topi pantai. "Maaf, Tuan! Saya tidak sengaja!" Andini terkejut melihat siapa yang ada di belakangnya itu. "Tuan David?""Nyonya Andini?" ujar mereka bersamaan. "Tuan sedang apa di sini?" "Seperti yang anda lihat! Saya sedang jalan-jalan.""Nyonya sedang berbelanja juga?" tanyanya pura-pura tidak tau. "Iya!""Bersama Tuan Devan? Di mana beliau?" tanyanya lagi berlagak tidak tau."Saya sendiri!" balas Andini datar. "Benarkah? Kalau begitu bagaimana kalau kita santai di cafe depan sana? Sembari ngobrol?" ajak David. "Baiklah!" Andini setuju. Tidak ada salahnya bukan menerima ajakan David. Terlebih mereka rekan bisnis. Pikir And
"Maksud anda, anda mengira saya seorang g*y?"Andini menggerakkan kepalanya ke bawah dan ke atas dengan cepat. "Anda jangan bicara sembarang, Nyonya! Saya masih menyukai dan berhasrat dengan perempuan. Tetapi, kalau untuk sekarang saya tidak tertarik mencari pendamping hidup.""Apa anda pernah disakiti oleh seseorang wanita? Hingga membuat anda seperti ini?""Tidak ada! Saya dari dulu tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Bahkan saya tidak pernah memiliki kekasih!""Yang benar? Saya tidak percaya!""Apa yang membuat anda tidak percaya?""Orang setampan dan semapan anda tidak mungkin ada yang mau.""Ya, anda benar! Banyak yang mendekati saya. Tetapi saya tidak berniat untuk lebih dekat dengan mereka.""Kenapa? Apa ada seseorang yang mungkin anda suka?""Yang saya suka, ya?" David memandang Andini dengan seksama untuk waktu yang lumayan lama. Andini menunggu jawaban David. "Orang yang saya suka...? Sepertinya ada!""Apa anda sudah pernah mengutarakan perasaan anda?""Saya... Saya
"Apa lagi katanya?""Kata Tuan, kalau Nyonya sudah pulang beritahu Tuan!" "Nanti saja kau memberi tahunya, Lia! Aku ingin istirahat dulu!""Tapi... Kalau saya dimarahi Tuan?" ujar Lia takut-takut. "Kau tenang saja, kalau dia memarahimu, aku yang akan bertanggung jawab.""Baiklah, Nyonya!""Kau temani saja aku di sini! Jadi ada alasan untukmu kenapa tidak memberi tahunya kalau aku sudah pulang!""Baik, Nyonya!" Tentu saja Lia lebih menurut perkataan Andini karena dia adalah pelayan pribadinya. Andini tau kalau Devan mengetahui dia sudah pulang, dia akan mengajak Andini untuk bertengkar. Apalagi dia tengah kesal. Malam itu dia lebih memilih untuk meistirahatkan dirinya dengan tenang. Devan juga disibukkan dengan sikap manja Silvi, hingga dia tidak bisa mengetahui kabar Andini meski dia terus kepikiran. Dia ditahan oleh wanita itu untuk terus menemaninya. Dia akan melakukan dan mengatakan alasan apa saja supaya Devan tidak meninggalkannya. ****Pagi hari saat Andini sedang bersanta
"Kau memakai cincin?" tanya Devan. "Iya! Kenapa?" Andini terus berkata dingin. Devan menatap ke samping, tempat di mana Andini duduk sebelumnya. "Kau mendapatkan hadiah? Dan hadiah itu adalah cincin ini?" Devan melihat wadah kecil dengan tali pita. "Kenapa kau seakan marah aku mendapat hadiah? Bukankah hal yang wajar seseorang mendapat hadiah di hari ulang tahunnya? Apalagi untuk orang sepertiku yang memiliki banyak teman dan kolega."Devan meraih tangan Andini kembali. Dia memperhatikan cincin yang ada di jemarinya. Devan semakin terbakar cemburu ketika mengetahui bahwa cincin yang didapatkan Andini bermatakan berlian merah yang sangat mahal.""Siapa temanmu itu? Yang pasti bukan wanita 'kan? Tidak mungkin seorang wanita memberikan permata yang langka ini sebagai hadiah ulang tahunmu. Apakah dia selingkuhan yang selama ini kau sembunyikan?" Devan seakan menghina Andini. "Jaga mulutmu itu, Tuan Muda! Aku tidak seperti kau!" sinis Andini. "Apa kau juga pergi berlibur bersamanya?
"Nyonya Alisa itu siapa?" tanya Silvi ikut menimpali. Semua orang saling berpandangan. Kemudian Crish yang menjawab, "Nyonya Alisa itu sama sepertimu saat ini! Bisa dikatakan dia seniormu 'lah! Hahaha..." Crish tertawa. "Senior?" Silvi bingung. Crish yang merasa Silvi tak merasa tersindir dengan ucapan sindirannya menjadi sedikit ilfil. "Ini cewe b*go apa polos sih? Dia nggak sadar kalau gue sedang nyindir dia?" ucap Crish dalam hati. "Iya, senior. Nyonya Alisa itu mantan simpanan Tuan William dulu!""Bagaimana ya kabar wanita itu sekarang?" timpal yang lain. "Simpanan Tuan William, berarti orang tuanya Tuan Muda 'kan?""Iya! Dan Nyonya Alisa bukan orang sembarangan. Orang tuanya memiliki perusahaan dan sempat bekerja sama dengan Tuan William waktu dulu. Beliau juga berasal dari kalangan atas. Nah, kenapa Tuan Ben meminta harta untuk anak selingkuhannya karena Tuan Ben itu tidak diberikan hak penuh di perusahaannya. Dia tidak selihai Nyonya Alisa saat memimpin, Tuan Ben hanya s
"Andini!" Devan mencengkram tangannya. "Kau ini kenapa, sih?" Andini memandang Devan dengan tatapan tak suka. "Dengan kau menghindar begini semua menjadi semakin jelas, kau menyukai mereka 'kan?""Kau itu bicara apa, sih? Aku tidak mengerti maksudmu!""Huh...!" Devan menghela nafas berat. Sadar kalau Andini tidak akan mendengarkan, dia mencoba berbicara dengan lembut. "Mereka itu tidak pantas untukmu!""Apa maksudmu?""Kau mungkin tidak bertemu dengan banyak pria. Sehingga dengan mudah tergoda dengan rayuan mereka," terang Devan. "Tetapi berbeda denganku. Aku ini seorang pria dan aku mengerti apa yang ada dipikiran mereka," lanjutnya lagi. "Mereka berdua itu seorang playboy! Mereka mendekatimu bukan karena suka padamu. Intinya mereka bedua itu bukan lelaki yang baik.""Memangnya ada lelaki yang baik? Dan lelaki baik itu seperti apa?" tanya Andini. "Ada! Aku lelaki yang baik. Makanya kau harus bersyukur karena sudah memilikinya."Andini seakan jijik mendengar kepercayaan diri Dev
Andini dan Devan tengah makan siang bersama. Saat asyik menikmati makanan. Devan bertanya kepada Andini, "Andini! Apa kau ingat kalung berlian yang aku berikan padamu itu?""Kalung berlian?" Andini mengingat. "Yang edisi terbatas itu 'kan?""Iya! Benar!""Ingat, kenapa?" Andini menjawab santai. "Apa kau masih memilikinya?""Tentu!" balasnya cepat. "Ada apa kau bertanya tentang kalungku?""Apa... Kau sudah tak terpakai lagi?" tanya Devan. Dia terlihat ragu-ragu. Andini memandang suaminya dengan datar, kemudian menyunggingkan senyum. "Tentu saja aku masih memakainya. Untuk sekarang tidak aku pakai karena aku ingin memakai perhiasan yang lain.""Apa... aku... boleh meminjam kalungmu sebentar?""Kau? Mau meminjam? Untuk apa? Memangnya kau sekarang memakai perhiasan?""Bukan aku yang memakai. Aku ingin meminjamkannya.""Kepada Silvi?" tebak Andini. "Dari mana kau tau?""Siapa lagi yang menjadi prioritasmu kalau bukan wanita itu?"Devan terlihat terdiam. "Tapi, bukannya kau memiliki ba