“Terima kasih, Pak, semoga kita bisa bekerjasama dengan baik.”“Terima kasih kembali, Mbak Kanya.”Kanya dan laki-laki berkumis tipis di hadapannya saling berjabat tangan. Laki-laki itu juga menyalami Davva yang duduk di samping Kanya.Mereka baru saja membicarakan sebuah proyek kerjasama yang berbuah dengan kesepakatan. Kanya sebagai pemilik Monique Boutique dipercaya untuk menyediakan wardrobe bagi Smart TV. Kanya tersenyum lega. Ini adalah langkah awal yang baik untuk berkembang walau ia tidak pernah memimpikannya. Dan tentu saja semua itu tidak luput dari bantuan Davva.Dulu Davva sudah pernah menyampaikan sebelumnya pada Kanya, namun hanya sebatas wacana. Sekarang semua wacana itu terealisasi menjadi nyata. Davva, Davva, dan Davva lagi. Selalu dia yang membuat Kanya menjadi sesuatu.Setelah berpamitan Davva yang menemani Kanya mengajaknya keluar dari tempat tersebut. Sambil berjalan di sisi Davva, Kanya tersenyum sambil menyimpan perasaan haru melihat sikap manis laki-laki itu.S
Kanya tidak mampu mengendalikan debaran di dadanya setelah membaca pesan dari Raven. Bukan. Ini bukan tentang Raven, melainkan mengenai Ray. Bertemu dengan Ray bagi Kanya vibes-nya melebihi berjumpa dengan kekasih hati. Selama sepersekian menit Kanya hanya bisa diam dengan tangan menggenggam ponsel. Sementara kepalanya dipenuhi berbagai pertimbangan.Apa ia harus datang ke sana? Kanya begitu merindukan pangeran kecilnya. Kanya ingin memeluk, mencium, dan menghujani Ray dengan kasih sayang. Sementara di sisi lain ia sedang mencoba menghindari Raven. Jadi apa yang harus ia lakukan?“Ada apa, Nya?” tanya Davva mengetahui perubahan Kanya yang mendadak membisu.“Raven chat. Katanya sekarang dia dan Ray tinggal di rumah kami yang dulu. Jadi kalau aku mau bertemu aku disuruh datang ke sana. Dia juga menawarkan diri untuk menjemput kalau aku nggak bisa.” Kanya mengatakan sesuai dengan isi pesan dari Raven.Oh jadi begitu rupanya. Jadi hal itu yang membuat Kanya mendadak membisu.“Kalau dari
Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Raven seketika memerangkap Kanya dalam kegugupan. Seharusnya ia sudah memprediksi sebelumnya. Tentu saja Raven akan merasa janggal. Mana ada pemilik usaha yang akan membiarkan bawahannya membawa anak ke tempat kerja. Lantas sekarang apa yang akan Kanya katakan? Apakah ini saatnya untuk jujur? Jika nanti Kanya sudah berterus terang apa Raven akan percaya? Mengingat selama ini Raven selalu saja memandang rendah dan menyepelekan Kanya.“Jawab aku, Kanya! Apa atasanmu nggak marah kalau kamu bawa Monic ke butik?” Raven mengulangi lagi pertanyaan yang belum Kanya jawab.Kanya lalu berdeham sebagai cara untuk menghilangkan kegugupannya. Mungkin inilah saatnya untuk jujur pada Raven tentang semuanya.Ditatapnya raut gagah laki-laki itu yang sedang memandangnya dengan intens. “Aku yang punya butik itu,” cetus Kanya pelan.Raven terdiam setelah mendengar jawaban Kanya. Lalu satu-satunya yang bisa ia berikan sebagai respon adalah,“Apa? Kamu?” Rave
Raven menyapukan matanya ke setiap sudut ruangan tempatnya duduk. Tempat tersebut mewah dan cozy, membuat siapa saja akan betah berada di sana. Saat ini laki-laki itu sedang berada di kantor Liberty Mobile, perusahaan atau operator jaringan seluler asal Amerika yang sedang mengepakkan sayapnya di Indonesia. Perusahaan tersebut dipimpin oleh Davva. Sudah sejak puluhan menit yang lalu Raven berada di ruang tunggu menanti Davva yang katanya sedang ada meeting. Detik waktu berjalan menuju menit keempat puluh lima saat Raven melirik jam tangannya. Diembuskannya napas kasar. Lelah menunggu Davva yang belum tampak batang hidungnya. Kalau bukan untuk mengurus sesuatu yang penting Raven tidak akan buang-buang waktu di tempat itu. Alasan Raven saat ini berada di kantor Liberty Mobile adalah karena ingin bicara pada Davva. Raven ingin memastikan sendiri lalu menyelesaikan masalah hutang piutang Kanya pada Davva yang bersangkutan dengan butik. Semalam setelah berpikir panjang Raven memutuskan u
Raven terpaksa angkat kaki dari kantor Davva setelah gagal membujuk lelaki itu. Davva tetap menolak uang dari Raven. Dengan membawa kecamuk di dadanya Raven menyetir sendiri. Tujuannya adalah Monique Boutique. Sesuai dengan yang Kanya tawarkan kemarin, Raven menitipkan Ray di sana. Sampai sekarang Raven tidak tahu bagaimana kabar Ray. Entah menangis karena masih belum bisa menerima Kanya, atau mungkin Kanya sudah bisa mengatasinya.Ketika tiba di tempat yang dituju Raven langsung turun dari mobil. Ia sudah tidak sabar akan dua hal. Pertama, ingin mengetahui keadaan Ray selama tinggal dengan Kanya. Yang kedua, ia ingin menyelesaikan masalah butik yang tadi tidak selesai dengan Davva.Membuka pintu butik, Raven tidak menemukan Kanya. Malah Dita yang dihadapinya.“Mas Raven,” sapa gadis itu pelan.“Kanya mana?” tanya Raven to the point.“Ada di kamar anak-anak, Mas.”Di butik itu terdapat dua ruangan yang difungsikan sebagai kamar dan satu ruangan lagi digunakan sebagai ruang kerja Kan
"Aline?!" Perempuan bersanggul itu terkejut saat melihat kemunculan Aline di rumahnya. Sudah sekian lama mereka tidak bertemu, lalu dengan tiba-tiba Aline muncul tanpa diduga."Tante Nira ..." Aline memeluk tantenya lalu menumpahkan air matanya di sana.Nira membalas dekapan Aline dengan sejuta tanda tanya di kepalanya tidak hanya karena kedatangan Aline yang begitu mendadak, tapi juga karena keponakannya itu menangis di dadanya."Ada apa, Lin?" tanyanya ingin tahu setelah tangis Aline reda.Aline mengusap matanya yang basah sambil menahan isak yang akan kembali meluncur."Tante, aku dan Raven udah pisah," akunya sesenggukan."Udah pisah gimana maksud kamu, Lin?" Nira ingin diperjelas. Penjelasan Aline yang setengah-setengah membuatnya tergelitik penasaran sekaligus rasa khawatir."Raven menceraikan aku, Tante. Dia udah buang aku.""Apa?" Nira terkejut. Setahunya hubungan Raven dan Aline baik-baik saja. Ia tidak pernah mendengar keduanya berselisih. Atau mungkin dirinya yang tidak t
“Ma, sini, Ma!” Raven melambaikan tangannya meminta agar Kanya mendekat.Kanya tersenyum kecut saat Raven memanggilnya dengan sebutan ‘Mama’ yang tentu saja maksudnya adalah untuk mengajari anak-anak. Kanya melangkah masuk, ikut duduk melantai bersama Raven dan anak-anak.Melihat Kanya datang, Monica langsung bergerak dari pangkuan Raven pada sang ibu. Jadilah mereka memangku anak masing-masing.“Udah nggak sibuk lagi?” tanya Raven mengawali percakapan.“Siapa bilang aku lagi sibuk?” jawab Kanya membantah.“Tapi tadi aku lihat lagi ramai.”“Sehari-hari memang begini, Rav.” Kanya menjawab tanpa bermaksud menyombong.Raven membalas dengan senyum. “I’m proud of you, Wife,” pujinya tulus.“Ex wife,” jawab Kanya mengoreksi ucapan Raven, tidak setuju dengan sebutan itu. Karena pada faktanya mereka sudah bercerai.Sekali lagi Raven melengkungkan bibir. Kali ini jauh lebih kecut. Andai saja waktu bisa diulang dan mereka bisa kembali ke masa-masa itu maka Raven bersumpah tidak akan pernah mela
Barulah Kanya bisa bernapas lega setelah Aline pergi dari butik. Kanya meminta maaf pada para pengunjung Monique atas ketidaknyamanan tersebut. Ia juga menyebutkan bahwa Aline bukan pencuri. Dan yang terjadi hanyalah kesalahpahaman.“Sebaiknya sekarang kamu juga pergi, Rav,” kata Kanya pada Raven.“Aku mau menemani kamu di sini dulu, biar aku yang jaga anak-anak selama kamu kerja,” jawab Raven menolak.“Nggak usah, Rav, tapi sebaiknya kamu pulang karena aku pulangnya bakalan malam banget. Soal anak-anak nggak usah kamu pikirin, aku bisa menjaga mereka sambil kerja.” Sama dengan Raven yang menolak untuk pergi, Kanya juga menolak untuk ditemani.“Aku nggak peduli, aku bakal tunggu kamu sampai selesai.” Raven bertahan dengan pendiriannya meski sekuat apa pun Kanya mengusirnya.Kanya kehabisan cara untuk mengusir Raven. Yang bisa Kanya lakukan adalah memandang raut wajah lelaki itu. Andai saja Raven tahu betapa Kanya sangat mencintainya. Kanya ingin kembali dan membangun kehidupan yang ba
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber
Pria itu baru saja keluar dari mobil lalu menarik langkah cepat. Ia mengangguk sepintas pada seseorang saat berpapasan. Entah siapa orang itu tidak terekam di benaknya. Ia hanya ingin segera tiba secepatnya di kamar lalu beristirahat sepuasnya.Smart lock kamarnya berbunyi kecil saat mendeteksi kesesuaian. Pintu kamar pun terbuka.Raven—lelaki itu langsung masuk. Begitu melihat hamparan kasur ia langsung menghambur. Hari ini begitu melelahkan. Pertemuan serta dengar pendapat dengan pemerintah daerah tadi siang berlangsung dengan alot. Pemerintah setempat memberi banyak tuntutan yang kurang masuk akal kepada para pengusaha yang sebagian besar tidak bisa mereka penuhi.Tatapan Raven berlabuh pada benda seukuran telapak tangan yang terselip di antara bantal. Ternyata Raven lupa membawa ponselnya yang ternyata berada dalam keadaan mati.Sambil berbaring Raven menyalakannya. Beberapa detik kemudian setelah mendapat sinyal, notifikasinya berdenting. Raven terkesiap ketika membaca pesan dari
Sedikit pun tidak terlintas di pikiran Kanya bahwa dirinya akan menghadapi hal menakjubkan di dalam hidupnya, yaitu melakukan persalinan sendiri tanpa bantuan tenaga medis dan terjadi di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka.Setelah melahirkan di toilet SPBU ditemani Davva, Kanya mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Cerita tentang persalinan di toilet tersebut menjadi buah bibir di sekitar tempat itu, tapi untung tidak sampai viral, karena Kanya tidak ingin populer dengan cara tersebut.Setelah proses observasi, saat ini Kanya berada di ruang rawat. Kondisi Kanya masih terlihat lemah karena kehilangan banyak energi. Tapi perasaan bahagia yang begitu dalam menyelimuti hatinya melihat bayi perempuan yang dilahirkannya begitu sehat, normal, serta lengkap seluruh organ tubuhnya. Bayi mungil itu saat ini berada di dalam box yang diletakkan di samping tempat tidur Kanya.Monic begitu gembira karena pada akhirnya keinginan anak itu untuk memiliki adik perempuan m
“Kanya, maaf sekali, aku nggak bisa menemani kamu lahiran.”Kanya yang saat itu sedang menyesap juice apel refleks memandang ke arah Raven kala mendengar ucapan laki-laki itu. Bagaimana tidak, mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan Raven sudah mem-booking rumah sakit terbaik untuk proses persalinan Kanya. Lalu dengan seenaknya sekarang Raven mengatakan tidak bisa.Raven mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia akan menjelaskan alasannya pada Kanya sebelum perempuan itu mengajukan aksi protes.“Aku baru mendapat telepon dari asistenku di daerah. Dia bilang ada undangan untuk pertemuan dari pemerintah daerah setempat, dan itu nggak bisa diwakilkan. Bukan hanya aku tapi semua pengusaha sawit yang berada di sana,” jelas Raven menyampaikan alasannya.Kanya memahami argumen Raven. Dalam hal ini ia tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Ia juga harus mendukung karir Raven.“Nggak apa-apa, Rav, pergilah,” jawab Kanya merelakan.Raven memindai wajah Kanya, mencoba