Beberapa hari belakangan Raven menitipkan Ray pada Kanya. Tidak hanya siang tapi juga malam hari. Raven membiarkan Ray bersama Kanya agar anak itu semakin mengenal ibu kandungnya. Dari hasil laporan Kanya pada Raven, Ray sudah tidak terlalu antipati padanya. Hanya saja Ray masih memanggil ‘Lang’ atau orang. Ray tidak mau memanggil mama karena dia masih menganggap ibunya adalah Aline.Setiap pagi sebelum berangkat kerja Raven akan selalu setor muka ke Monique. Bertemu dengan Kanya dan anak-anak mereka adalah asupan bergizi yang membuatnya bersemangat menjalani hari. Barulah setelah itu laki-laki tersebut menuju kantornya.“Pak, ada yang mau bertemu dengan Bapak,” lapor Laura, sekretarisnya, saat Raven baru saja tiba di kantor pagi itu.“Siapa?” tanya Raven heran. Masih sepagi ini sudah ada saja yang bertamu.“Namanya Pak Teja, Pak, katanya dia saudara Bapak,” jawab Laura seperti yang dikatakan tamu Raven padanya tadi.Raven terdiam sesaat. Ada saja orang yang mengaku-ngaku menjadi saud
Kanya syok berat setelah polisi membawa Raven pergi. Ray juga menangis saat menyaksikannya. Itu semua adalah akibat didikan buruk Aline. Dulu Aline selalu menakut-nakuti Ray akan melaporkan pada polisi jika anak itu berbuat nakal sedikit saja. Tapi ini adalah nakal versi Aline karena pada dasarnya tidak ada anak yang nakal. Yang ada hanyalah rasa ingin tahu mereka yang besar akan hal-hal baru.Sejak Raven pergi hari itu Kanya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Raven tidak pernah datang. Setiap kali Kanya mencoba menelepon hanya suara operator yang menjawab panggilan darinya.“Gimana, Nya? Masih nggak dijawab juga?” tanya Dita saat melihat Kanya menjauhkan ponsel dari telinganya.Kanya menggeleng lemah. Ini entah sudah percobaan ke berapa dan hasilnya selalu nihil.“Aku harus gimana, Dit? Raven nggak ada kabar sama sekali,” ujar Kanya bingung. Sejujurnya setelah Raven dibawa polisi beberapa hari yang lalu Kanya tidak bisa tenang. Kanya takut terjadi sesuatu. Ingin mencari info yang a
“Ada yang mau bertemu.”Raven terkesiap dari lamunan saat suara petugas yang memanggil terdengar olehnya. Raven bangkit dari lantai kemudian mengikuti langkah petugas menuju ruang temu tahanan.Dari jarak beberapa meter aroma parfum wanita yang sudah begitu familier terhirup oleh hidung Raven. Bersamaan dengan itu lensa matanya menangkap sosok Aline sedang duduk menantinya. Aline langsung berdiri saat melihat Raven muncul lalu menyongsong laki-laki itu.“Rav …” Tangan Aline terulur hendak memeluk Raven. Sebelum perempuan itu berhasil Raven lebih dulu memagari badannya. Raven menahan tangan Aline agar tidak menyentuhnya. Alhasil Aline hanya bisa menahan napas.“Kenapa ke sini?” tanya Raven saat mereka telah duduk. Sebelumnya Raven juga sudah melarang Aline untuk datang menemuinya pada kunjungan perempuan itu dua hari yang lalu.“Aku nggak mungkin membiarkan kamu begini, Rav. Aku nggak mungkin membiarkan kamu sendiri.”“Nyatanya aku memang sendiri.”“Kamu nggak sendiri, Rav, ada aku. To
Berita tentang Raven akhirnya menyebar dan terdengar oleh telinga Davva.Davva termenung setelahnya. Sudah cukup lama ia tidak menghubungi Kanya, lebih tepatnya setelah menyaksikan sendiri kebersamaan Kanya, Raven dan Monica di butik kala itu. Berita yang didengarnya membuat Davva menggerakkan kaki ke Monique Boutique. Ia harus memastikan sendiri kabar yang didengarnya dari mulut Kanya.Dan di sinilah Davva berada sekarang. Duduk berhadapan dengan Kanya yang tampak lesu.“Aku baru tahu tentang Raven. Aku ikut prihatin.” Davva menyampaikan kepeduliannya.Kanya menjawab dengan anggukan kepala.“Sekarang Raven masih ditahan?” tanya Davva lagi. Ia ingin Kanya bercerita banyak mengenai lelaki itu.“Masih.”“Gimana perkembangan kasusnya?”“Aku nggak tahu, dia ngelarang aku ke sana.” Sejak Raven melarangnya kala itu, Kanya mematuhinya. Kanya tidak pernah lagi mengunjungi Raven.“Kenapa dia ngelarang kamu?” tanya Davva penasaran.“Kata Raven lagi dia nggak mau aku ikut terlibat makanya aku ng
Kanya termenung sambil memandang pada kertas sketsa di hadapannya. Sudah sejak tadi Kanya menggoreskan pensilnya, namun tidak menghasilkan apa-apa. Yang bisa ia torehkan hanyalah garis-garis tak beraturan dan tanpa bentuk. Pikiran Kanya buntu saat ini. Ia tidak bisa berkonsentrasi melakukan apapun. Segala ide cemerlangnya menguap begitu saja seperti asap yang diterbangkan angin. Segenap pikirannya hanya tertuju pada seseorang. Raven.Sudah sangat lama berlalu sejak Kanya meminta Raven memilih Aline dan dirinya memutuskan untuk meninggalkan laki-laki itu. Kanya tidak hanya kehilangan Raven tapi juga Ray. Raven membawa serta putra mereka bersamanya. Meskipun Kanya adalah ibunya, tapi Kanya tidak punya alasan yang tepat untuk membuat Ray bertahan bersamanya. Bukankah Ray adalah anak hasil rahim sewaan? Jadi yang berhak memilikinya adalah sang penyewa, Raven.“Ngelamun mulu!” tegur Dita saat melihat Kanya duduk termangu.Kanya tersentak, lalu menoleh ke sebelah dan mendapati Dita sudah du
Saat ini Kanya sedang bersiap-siap. Seperti pembicaraan dengan Davva kemarin maka hari ini Kanya akan menemani laki-laki itu ke pesta pernikahan Riki.Sesuai permintaan Davva, Kanya menitipkan Monic pada Dita. Syukurlah sahabatnya itu bersedia. Dita membawa Monic ke rumahnya. Jika Davva adalah laki-laki pertama yang hadir dalam kehidupan Monic, maka Dita adalah wanita pertama selain ibunya yang dikenal oleh anak itu. Jadi tak heran jika Monic merasa nyaman dengan Dita.“Sukses ya kencannya,” kata Dita menggoda sambil mengedipkan sebelah mata pada Kanya sebelum Kanya pergi.“Kencan apaan?" Kanya tertawa sambil mendelik. “Aku tuh mau nemenin Davva ke nikahan temannya, bukan mau kencan.”“Sama aja sih, abis dari nikahan kan bisa langsung dinner romantis.”Kanya hanya tersenyum menanggapi gurauan Dita. Entah mengapa Dita tidak percaya bahwa di antara dirinya dan Davva tidak ada apa-apa.Lamunan Kanya terhenti saat mendengar bel pintu berbunyi. Kanya pikir pasti itu Davva yang datang.Kany
Segala penyangkalan Kanya pada Dita mengenai Davva kini terbukti salah. Pernyataan cinta barusan menjawab segalanya, bahwa laki-laki itu memang menaruh hati padanya. Dan itu membuat Kanya syok. Kanya mendadak speechless.Apa yang harus dikatakannya pada Davva? Masalahnya sedikit pun Kanya tidak merasakan apapun pada laki-laki itu. Davva bukanlah lelaki yang mampu menggetarkan hatinya. Satu-satunya yang bisa memberikan perasaan itu hanyalah Raven.Melihat Kanya membisu bermenit-menit lamanya membuat Davva tahu jawaban apa yang akan Kanya berikan padanya. Kanya pasti akan menolak cintanya. Tapi walau bagaimanapun Davva ingin mendengar jawabannya langsung dari mulut Kanya.“Kalau kamu nggak bisa jawab sekarang dan butuh waktu untuk memikirkannya aku akan kasih kamu waktu, kamu nggak perlu jawab sekarang.”Kanya masih diam di tempatnya dengan segenap rasa bimbang yang melingkupinya. Pikiran Kanya mulai merunut hal-hal yang pernah dilakukan Davva untuknya. Kebaikan dan jasa lelaki itu tida
Davva tidak bisa berhenti tersenyum setelah Kanya mencium pipinya tadi. Bahkan senyum tersebut terus bertahan sepanjang perjalanan pulang hingga tiba di rumah.Suasana saat itu sedang sepi. Selain sudah larut juga karena di rumah itu penghuninya tidak seberapa. Dengan gerakan seperlahan mungkin Davva memutar knop pintu, menjaga agar tidak menimbulkan suara sekecil apapun yang bisa mengganggu kenyamanan dan membuat dua penghuninya terbangun.Begitu pintu terbuka dan kaki Davva menjejaki lantai di dalam rumah ia dibuat kaget ketika tiba-tiba lampu yang tadinya mati mendadak menyala, membuat ruangan tersebut jadi terang benderang.“Mama!” tegur Davva kaget begitu melihat ibunya sudah berdiri di dekatnya. Ternyata Wandalah yang menyalakan lampu ruangan tersebut.“Baru pulang, Dav?” tanya Wanda.“Iya, Ma. Mama jam segini kenapa belum tidur?” Davva balas bertanya sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu saat itu sudah menunjukkan hampir pukul satu malam.“Mama me
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber
Pria itu baru saja keluar dari mobil lalu menarik langkah cepat. Ia mengangguk sepintas pada seseorang saat berpapasan. Entah siapa orang itu tidak terekam di benaknya. Ia hanya ingin segera tiba secepatnya di kamar lalu beristirahat sepuasnya.Smart lock kamarnya berbunyi kecil saat mendeteksi kesesuaian. Pintu kamar pun terbuka.Raven—lelaki itu langsung masuk. Begitu melihat hamparan kasur ia langsung menghambur. Hari ini begitu melelahkan. Pertemuan serta dengar pendapat dengan pemerintah daerah tadi siang berlangsung dengan alot. Pemerintah setempat memberi banyak tuntutan yang kurang masuk akal kepada para pengusaha yang sebagian besar tidak bisa mereka penuhi.Tatapan Raven berlabuh pada benda seukuran telapak tangan yang terselip di antara bantal. Ternyata Raven lupa membawa ponselnya yang ternyata berada dalam keadaan mati.Sambil berbaring Raven menyalakannya. Beberapa detik kemudian setelah mendapat sinyal, notifikasinya berdenting. Raven terkesiap ketika membaca pesan dari
Sedikit pun tidak terlintas di pikiran Kanya bahwa dirinya akan menghadapi hal menakjubkan di dalam hidupnya, yaitu melakukan persalinan sendiri tanpa bantuan tenaga medis dan terjadi di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka.Setelah melahirkan di toilet SPBU ditemani Davva, Kanya mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Cerita tentang persalinan di toilet tersebut menjadi buah bibir di sekitar tempat itu, tapi untung tidak sampai viral, karena Kanya tidak ingin populer dengan cara tersebut.Setelah proses observasi, saat ini Kanya berada di ruang rawat. Kondisi Kanya masih terlihat lemah karena kehilangan banyak energi. Tapi perasaan bahagia yang begitu dalam menyelimuti hatinya melihat bayi perempuan yang dilahirkannya begitu sehat, normal, serta lengkap seluruh organ tubuhnya. Bayi mungil itu saat ini berada di dalam box yang diletakkan di samping tempat tidur Kanya.Monic begitu gembira karena pada akhirnya keinginan anak itu untuk memiliki adik perempuan m
“Kanya, maaf sekali, aku nggak bisa menemani kamu lahiran.”Kanya yang saat itu sedang menyesap juice apel refleks memandang ke arah Raven kala mendengar ucapan laki-laki itu. Bagaimana tidak, mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan Raven sudah mem-booking rumah sakit terbaik untuk proses persalinan Kanya. Lalu dengan seenaknya sekarang Raven mengatakan tidak bisa.Raven mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia akan menjelaskan alasannya pada Kanya sebelum perempuan itu mengajukan aksi protes.“Aku baru mendapat telepon dari asistenku di daerah. Dia bilang ada undangan untuk pertemuan dari pemerintah daerah setempat, dan itu nggak bisa diwakilkan. Bukan hanya aku tapi semua pengusaha sawit yang berada di sana,” jelas Raven menyampaikan alasannya.Kanya memahami argumen Raven. Dalam hal ini ia tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Ia juga harus mendukung karir Raven.“Nggak apa-apa, Rav, pergilah,” jawab Kanya merelakan.Raven memindai wajah Kanya, mencoba