Berita tentang Raven akhirnya menyebar dan terdengar oleh telinga Davva.Davva termenung setelahnya. Sudah cukup lama ia tidak menghubungi Kanya, lebih tepatnya setelah menyaksikan sendiri kebersamaan Kanya, Raven dan Monica di butik kala itu. Berita yang didengarnya membuat Davva menggerakkan kaki ke Monique Boutique. Ia harus memastikan sendiri kabar yang didengarnya dari mulut Kanya.Dan di sinilah Davva berada sekarang. Duduk berhadapan dengan Kanya yang tampak lesu.“Aku baru tahu tentang Raven. Aku ikut prihatin.” Davva menyampaikan kepeduliannya.Kanya menjawab dengan anggukan kepala.“Sekarang Raven masih ditahan?” tanya Davva lagi. Ia ingin Kanya bercerita banyak mengenai lelaki itu.“Masih.”“Gimana perkembangan kasusnya?”“Aku nggak tahu, dia ngelarang aku ke sana.” Sejak Raven melarangnya kala itu, Kanya mematuhinya. Kanya tidak pernah lagi mengunjungi Raven.“Kenapa dia ngelarang kamu?” tanya Davva penasaran.“Kata Raven lagi dia nggak mau aku ikut terlibat makanya aku ng
Kanya termenung sambil memandang pada kertas sketsa di hadapannya. Sudah sejak tadi Kanya menggoreskan pensilnya, namun tidak menghasilkan apa-apa. Yang bisa ia torehkan hanyalah garis-garis tak beraturan dan tanpa bentuk. Pikiran Kanya buntu saat ini. Ia tidak bisa berkonsentrasi melakukan apapun. Segala ide cemerlangnya menguap begitu saja seperti asap yang diterbangkan angin. Segenap pikirannya hanya tertuju pada seseorang. Raven.Sudah sangat lama berlalu sejak Kanya meminta Raven memilih Aline dan dirinya memutuskan untuk meninggalkan laki-laki itu. Kanya tidak hanya kehilangan Raven tapi juga Ray. Raven membawa serta putra mereka bersamanya. Meskipun Kanya adalah ibunya, tapi Kanya tidak punya alasan yang tepat untuk membuat Ray bertahan bersamanya. Bukankah Ray adalah anak hasil rahim sewaan? Jadi yang berhak memilikinya adalah sang penyewa, Raven.“Ngelamun mulu!” tegur Dita saat melihat Kanya duduk termangu.Kanya tersentak, lalu menoleh ke sebelah dan mendapati Dita sudah du
Saat ini Kanya sedang bersiap-siap. Seperti pembicaraan dengan Davva kemarin maka hari ini Kanya akan menemani laki-laki itu ke pesta pernikahan Riki.Sesuai permintaan Davva, Kanya menitipkan Monic pada Dita. Syukurlah sahabatnya itu bersedia. Dita membawa Monic ke rumahnya. Jika Davva adalah laki-laki pertama yang hadir dalam kehidupan Monic, maka Dita adalah wanita pertama selain ibunya yang dikenal oleh anak itu. Jadi tak heran jika Monic merasa nyaman dengan Dita.“Sukses ya kencannya,” kata Dita menggoda sambil mengedipkan sebelah mata pada Kanya sebelum Kanya pergi.“Kencan apaan?" Kanya tertawa sambil mendelik. “Aku tuh mau nemenin Davva ke nikahan temannya, bukan mau kencan.”“Sama aja sih, abis dari nikahan kan bisa langsung dinner romantis.”Kanya hanya tersenyum menanggapi gurauan Dita. Entah mengapa Dita tidak percaya bahwa di antara dirinya dan Davva tidak ada apa-apa.Lamunan Kanya terhenti saat mendengar bel pintu berbunyi. Kanya pikir pasti itu Davva yang datang.Kany
Segala penyangkalan Kanya pada Dita mengenai Davva kini terbukti salah. Pernyataan cinta barusan menjawab segalanya, bahwa laki-laki itu memang menaruh hati padanya. Dan itu membuat Kanya syok. Kanya mendadak speechless.Apa yang harus dikatakannya pada Davva? Masalahnya sedikit pun Kanya tidak merasakan apapun pada laki-laki itu. Davva bukanlah lelaki yang mampu menggetarkan hatinya. Satu-satunya yang bisa memberikan perasaan itu hanyalah Raven.Melihat Kanya membisu bermenit-menit lamanya membuat Davva tahu jawaban apa yang akan Kanya berikan padanya. Kanya pasti akan menolak cintanya. Tapi walau bagaimanapun Davva ingin mendengar jawabannya langsung dari mulut Kanya.“Kalau kamu nggak bisa jawab sekarang dan butuh waktu untuk memikirkannya aku akan kasih kamu waktu, kamu nggak perlu jawab sekarang.”Kanya masih diam di tempatnya dengan segenap rasa bimbang yang melingkupinya. Pikiran Kanya mulai merunut hal-hal yang pernah dilakukan Davva untuknya. Kebaikan dan jasa lelaki itu tida
Davva tidak bisa berhenti tersenyum setelah Kanya mencium pipinya tadi. Bahkan senyum tersebut terus bertahan sepanjang perjalanan pulang hingga tiba di rumah.Suasana saat itu sedang sepi. Selain sudah larut juga karena di rumah itu penghuninya tidak seberapa. Dengan gerakan seperlahan mungkin Davva memutar knop pintu, menjaga agar tidak menimbulkan suara sekecil apapun yang bisa mengganggu kenyamanan dan membuat dua penghuninya terbangun.Begitu pintu terbuka dan kaki Davva menjejaki lantai di dalam rumah ia dibuat kaget ketika tiba-tiba lampu yang tadinya mati mendadak menyala, membuat ruangan tersebut jadi terang benderang.“Mama!” tegur Davva kaget begitu melihat ibunya sudah berdiri di dekatnya. Ternyata Wandalah yang menyalakan lampu ruangan tersebut.“Baru pulang, Dav?” tanya Wanda.“Iya, Ma. Mama jam segini kenapa belum tidur?” Davva balas bertanya sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu saat itu sudah menunjukkan hampir pukul satu malam.“Mama me
Sungguh, Kanya sangat ingin melepaskan diri dari Raven. Namun anggota tubuhnya berkhianat. Kanya membalas pelukan Raven dengan lebih erat. Rasa rindu membelenggu setelah lebih dari setengah tahun ini mereka tidak bertemu.Begitu pun dengan Raven yang sangat merindukan Kanya. Setelah memutuskan kembali pada Aline Raven tidak pernah lagi berhubungan dengan Kanya. Lelaki itu disibukkan oleh kegiatan mengembangkan usahanya“I miss you …” Raven berbisik lembut di telinga Kanya setelah sedari tadi hanya menyimpannya di dalam hati.‘I miss you too,’ jawab Kanya namun memendam jawabannya di dasar lidah. Kanya tidak ingin Raven mengetahui perasaannya karena hal tersebut sama artinya dengan memberi harapan.“Kamu di sini juga? Ray mana?” Kanya bertanya setelah memiliki keberanian untuk mengurai pelukan dari Raven.“Ray di rumah, aku di sini dengan teman-temanku.”Jawaban yang ia dengar dari Raven membuat Kanya sedikit kecewa. Tadinya ia pikir jika ada Raven maka Ray juga ada dan mereka akan ber
Davva baru saja memutuskan untuk meninggalkan toilet secara diam-diam. Kanya dan Raven tidak perlu mengetahui kedatangannya. Davva tidak ingin merusak kebahagian Kanya dengan menjadi pengganggu di antara keduanya.Namun keinginan tersebut ternyata tidak berjalan dengan mulus. Tiba-tiba saja Kanya menyadari keberadaannya. Perempuan itu lantas berseru memanggil Davva.“Dav!” Suara Kanya terdengar menggema.Satu-satunya hal yang bisa Davva lakukan saat itu guna menutupi kegugupannya adalah dengan menunjukkan senyum.Sama dengan Kanya, Raven juga tampak terkejut kala mengetahui kehadiran Davva di sana. Rasa kecewa melingkupinya ketika Kanya meninggalkannya lalu melangkah pelan menghampiri Davva.“Dav, kamu mau ke toilet juga?” Kanya bertanya setelah berhadapan face to face dengan lelaki itu. Kanya pikir Davva bermaksud untuk buang air.“Bukan, aku ke sini mencari kamu. Aku takut ada apa-apa, soalnya dari tadi kamu nggak muncul-muncul.”“Sorry ya, Dav, nggak ada apa-apa kok. Tapi aku ketem
Davva masih duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam tangan Kanya. Tidak sedetik pun melepaskannya.“Haus, Rav …”Davva menajamkan telinganya ketika mendengar suara Kanya. Rasa kecewa menelusupinya saat itu juga menyadari nama yang dirapalkan Kanya. Meski terdengar mirip, namun Davva dengan mudah membedakan antara Dav dengan Rav. Bahkan di saat separuh sadar seperti saat ini yang ada di ingatan Kanya hanya Raven. Tidak ada tempat bagi Davva di hati perempuan itu.“Sebentar ya, Nya, aku ambilin dulu,” jawab Davva lalu bergerak keluar dari kamar Kanya dengan langkah lesu. Ia mencoba memaklumi jika saat ini Kanya sedang mabuk. Di sela-sela langkahnya Davva jadi ingat bahwa Monic belum dijemput. Di lain sisi ponselnya terus menerus berdering. Ibunya tidak henti menelepon.Davva memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut daripada Wanda terus menerornya.“Iya, Ma?”“Kamu di mana, Dav? Kenapa masih belum pulang?”Sudah Davva duga pasti Wanda akan mengabsen keberadaannya. Dan Davva tida
“Kondisi Kanya sudah membaik. Dia sekarang sedang istirahat. Kamu mau ketemu Kanya?” tanya Davva pada Raven yang datang berkunjung pagi itu.Raven tahu akan terkesan tidak etis jika ia mengatakan iya dengan terang-terangan pada suami Kanya, sedangkan sang suami sudah mengatakan keadaan istrinya. Tadinya Raven berharap Kanyalah yang menyambutnya, bukan Davva, jadi ia bisa berjumpa langsung dengan Kanya.“Nggak usah, kalau Kanya sedang istirahat biar dia istirahat dulu. Aku hanya ingin tahu keadaannya.”“Siapa yang datang, Dav?” Kanya tiba-tiba muncul karena merasa penasaran siapa tamu yang ingin bertemu dengannya, sementara Davva masih berada di ruang tamu sejak tadi.Davva dan Raven serentak memandang ke arah Kanya. Raven melempar senyum mengandung kerinduan yang dibalas Kanya dengan anggukan kepala dan lengkungan bibir sekenanya.“Nya, Raven datang karena ingin tahu keadaan kamu.” Davva mewakili Raven bicara.Kanya mengangguk pelan tanpa sepatah kata mampu terlontar dari bibirnya. En
Setelah penyerangan Aline pada Kanya di sekolah anak-anak, Kanya dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan pertama.Tadi Aline tidak hanya mencakar muka Kanya dan mencoba mencelakai dengan mencekik Kanya. Tapi perempuan itu juga menampar Kanya berkali-kali hingga Kanya tidak sadarkan diri.Kanya sudah mencoba melawan, tapi usahanya percuma lantaran tubuh Kanya yang begitu mungil sedangkan Aline begitu menjulang. Pertengkaran keduanya mengundang perhatian orang-orang dan sukses membuat kehebohan di tempat itu. Aline langsung diamankan saat itu juga.Raven datang tidak lama setelah pihak sekolah meneleponnya. Sedangkan hingga saat ini Davva masih belum tiba.“Aku minta maaf, Nya. Aku nggak tahu kalau Aline datang ke sini,” kata Raven sambil memandang sedih pada Kanya. Keadaan mantan istrinya itu begitu memprihatinkan. Wajah mulus Kanya penuh dengan gurat-gurat cakaran Aline. Sedangkan lehernya merah oleh bekas cekikan perempuan itu. Jika saja tadi pihak sekolah terlambat
Pagi itu saat terbangun Davva tidak menemukan Kanya berada di sebelahnya. Ya, seperti hari-hari sebelumnya Kanya bangun jauh lebih awal dari Davva lalu menyibukkan diri di ruang belakang.Meskipun sudah ada asisten rumah tangga akan tetapi bagi Kanya urusan perut dan memberi makan anak serta suami sebisa mungkin harus melibatkan tangannya. Kecuali jika ia benar-benar tidak bisa.Bangkit dari tempat tidur, hal pertama yang Davva lakukan adalah mencari keberadaan sang istri.Melangkahkan kakinya ke ruang belakang, dugaan Davva seketika menjadi nyata. Sosok mungil itu terlihat sedang sibuk di depan oven. Davva mendekat dan berdiri tepat di belakang Kanya.“Lagi bikin apa, Nya?” tanyanya pelan tapi ternyata cukup mengagetkan Kanya.Kanya terperanjat dan sontak menoleh ke belakang. “Astaga, Dav, aku pikir siapa.” Kanya memegang dadanya sebagai bentuk bahwa dirinya benar-benar terkejut oleh tindakan suaminya.Davva tersenyum. Mungkin Kanya benar-benar sedang berkonsentrasi sehingga tidak me
Kanya dan Raven serta anak-anak sudah duduk di kursi masing-masing. Mereka mengelilingi sebuah meja persegi.“Ih, kok rasanya nggak enak ya?” celetuk Lavanya saat menjejalkan potongan dimsum ke mulutnya.“Masa?” kata Ray menanggapi.“Kalau nggak percaya nih coba aja sendiri!” Lavanya menggeser wadah makanannya ke arah Ray.“Nggak mau, aku kan nggak suka dimsum.” Ray menolak untuk mencicipinya.“Tuh kan, kamu aja nggak suka, apalagi aku.” Lavanya meletakkan sumpitnya. Ia tidak berniat menghabiskannya dan membiarkannya begitu saja.“Kenapa nggak dihabisin? Kata Papaku itu namanya mubazir. Ayo dong dihabisin.” Monica berkomentar melihat olahan ayam itu masih bersisa banyak.“Siapa kamu sok nasehatin aku?” Alih-alih mendengarkan dan bersikap baik, Lavanya malah menyalak.“Lavanya, nggak boleh gitu. Yang dikatakan Monic benar. Kalau makanan nggak dihabisin namanya mubazir.” Raven menasehati anak angkatnya dengan lembut.“Tapi nggak enak, Pa.” Lavanya menyampaikan alasannya. “Kalau nggak e
Kanya sedang melihat-lihat isi butik ketika dering ponsel menginterupsinya. Mengeluarkan benda itu dari saku, Kanya mendapati nama Davva tertera di sana. Dengan refleks Kanya menujukan matanya pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata masih pukul sepuluh pagi. Tadinya Kanya berpikir bahwa Davva menelepon untuk mengingatkannya agar jangan lupa menjemput Monica.Tidak ingin membiarkan Davva menunggu lama, Kanya langsung menjawab panggilan tersebut dengan mengusap tanda terima di layar.“Iya, Dav?”“Kamu di mana?”“Di Monique. Tumben nelfon jam segini? Yang semalam masih kupikirin, aku belum ada jawabannya, Dav,” kata Kanya. Ia pikir Davva menanyakan jawabannya mengenai tawaran untuk pindah ke NY. Hingga saat ini Kanya masih memikirkannya dan belum mampu memberi keputusan apapun. Kanya memiliki berbagai pertimbangan dan pikiran-pikiran di kepalanya.“Aku bukan mau nanya itu,” jawab Davva membantah dugaan Kanya. “Cuma lagi pengen dengar suara kamu.”Kanya tersenyum di ba
Kanya mengawali hari dengan mengurus Monica serta menyediakan perlengkapan dan kebutuhan Davva. Mulai dari menyiapkan pakaian kerja Davva, memandikan Monica, memasangkan bajunya hingga memberinya makan.“Coba deh tebak, hari ini siapa yang antar Monic ke sekolah?” tanya Kanya sambil menyisir rambut panjang sang putri kemudian menyatukan setiap helainya dalam satu ikat rambut.“Pasti Papa. Iya kan, Ma?” Kanya mengangguk mengiakan tebakan Monica yang membuat anak itu bersorak senang.“Yeaay!!! Monic sekolah sama Papa. Tapi nanti pulangnya juga sama Papa kan, Ma?” “Mmm, kalau misalnya sama Mama aja gimana? Kan Papa harus kerja. Nanti kalau misalnya Papa lagi nggak kerja baru deh pulangnya sama Papa.”“Tapi nanti Mama jangan telat ya, Ma.”“Enggaak. Mama janji deh. Nanti Mama bakal tepat waktu. Kalau perlu nanti setengah jam sebelum pulang Mama udah nyampe di sekolah Monic,” kata Kanya menjanjikan.“Janji, Ma?” “Iya, Mama janji.” Kanya mengangkat kelingkingnya. Monica ikut melakukan h
Kanya terperanjat. Ia hampir saja menjatuhkan ponsel dari tangannya. Tidak tahu kenapa tiba-tiba Kanya langsung terserang gugup. “Rav, udah dulu ya, udah malam.” Kanya langsung memutus sambungan saat itu juga tanpa menanti jawaban dari Raven.“Happy banget kayaknya sampe ketawa-ketawa. Telfon dari siapa sih?” tanya Davva setelah Kanya meletakkan ponselnya. Tadi saat Davva baru masuk ke kamar ia mendengar Kanya berbicara sambil tertawa. Kanya terkesan begitu gembira. Kanya semakin gugup. Bukan maksudnya untuk berbohong pada Davva, tapi Kanya hanya khawatir jika suaminya itu menanggapi secara berbeda. Kanya tidak ingin Davva menjadi salah kaprah.“Dav, tadi aku telfonan sama Raven.” Kanya akhirnya memilih untuk berterus terang.Davva menyipit. Selama ini setahunya Kanya hampir tidak pernah berkomunikasi dengan lelaki itu. Lalu ketika tiba-tiba mereka kembali berhubungan tentu saja hal tersebut menumbuhkan pertanyaan besar di kepala Davva.“Tumben Raven nelfon kamu? Ada apa?” Davva men
“Papaaa!!!”Monica berlari kecil saat melihat Davva begitu keluar dari kelas.Davva mengembangkan senyum, lalu membungkukkan badan sambil merentangkan tangan untuk menyambut sang putri. Begitu Monica sampai tepat di hadapannya, Davva langsung menggendong anak itu.“Udah boleh pulang kan?” tanyanya sambil melabuhkan kecupan lembut di pipi sang putri.“Udah, Pa,” jawab Monica singkat sambil membalas kecupan Davva di pipinya.Sambil tetap menggendong Monica, Davva membawa Monica ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Davva sengaja memarkirnya di sana—tidak masuk ke parkiran sekolah, agar nanti keluarnya tidak susah, mengingat begitu banyak kendaraan keluar masuk di area sekolah.Setelah menyeberang jalan dan tiba di mobilnya, Davva memasukkan Monica ke dalam mobil.“Papa, Monic senang deh Papa yang jemput Monic ke sekolah.”“Kan tadi Papa udah janji kalau nanti Papa yang bakalan jemput.” Berhubung Davva berhalangan mengantar Monica ke sekolah, maka sebagai gantinya Davva menjanjika
Menikah hampir tiga tahun lamanya, Kanya dan Davva sudah melakukan banyak cara dan mengupayakan berbagai hal agar bisa memiliki anak atau keturunan. Terserah mau laki-laki atau pun perempuan. Namun sampai saat ini belum satu pun dari usaha tersebut yang membuahkan hasil, padahal ahli medis menyatakan pada keduanya bahwa mereka berada dalam keadaan sehat. Itulah sebabnya Davva sangat menyayangi Monica. Terlepas dari hal tersebut, perasaan Davva pada Monica tetap tidak akan berubah. Baginya anak sambungnya itu tak ubah statusnya bagai anak kandungnya sendiri.Setelah ucapan Kanya tadi Raven termangu di belakang kemudi. Tatapannya lurus dan terfokus pada jalan raya yang dilaluinya. Akan tetapi pikirannya mengembara jauh. Raven mengira-ngira seperti apa kehidupan Kanya saat ini dengan Davva. Apa mereka bahagia? Apa kehidupan pernikahan mereka harmonis? Dan terutama bagi Davva, apa ia bisa menikmati kehidupannya tanpa memiliki anak dari Kanya tapi malah membesarkan anak orang lain?Sementa