Saat ini Kanya sedang bersiap-siap. Seperti pembicaraan dengan Davva kemarin maka hari ini Kanya akan menemani laki-laki itu ke pesta pernikahan Riki.Sesuai permintaan Davva, Kanya menitipkan Monic pada Dita. Syukurlah sahabatnya itu bersedia. Dita membawa Monic ke rumahnya. Jika Davva adalah laki-laki pertama yang hadir dalam kehidupan Monic, maka Dita adalah wanita pertama selain ibunya yang dikenal oleh anak itu. Jadi tak heran jika Monic merasa nyaman dengan Dita.“Sukses ya kencannya,” kata Dita menggoda sambil mengedipkan sebelah mata pada Kanya sebelum Kanya pergi.“Kencan apaan?" Kanya tertawa sambil mendelik. “Aku tuh mau nemenin Davva ke nikahan temannya, bukan mau kencan.”“Sama aja sih, abis dari nikahan kan bisa langsung dinner romantis.”Kanya hanya tersenyum menanggapi gurauan Dita. Entah mengapa Dita tidak percaya bahwa di antara dirinya dan Davva tidak ada apa-apa.Lamunan Kanya terhenti saat mendengar bel pintu berbunyi. Kanya pikir pasti itu Davva yang datang.Kany
Segala penyangkalan Kanya pada Dita mengenai Davva kini terbukti salah. Pernyataan cinta barusan menjawab segalanya, bahwa laki-laki itu memang menaruh hati padanya. Dan itu membuat Kanya syok. Kanya mendadak speechless.Apa yang harus dikatakannya pada Davva? Masalahnya sedikit pun Kanya tidak merasakan apapun pada laki-laki itu. Davva bukanlah lelaki yang mampu menggetarkan hatinya. Satu-satunya yang bisa memberikan perasaan itu hanyalah Raven.Melihat Kanya membisu bermenit-menit lamanya membuat Davva tahu jawaban apa yang akan Kanya berikan padanya. Kanya pasti akan menolak cintanya. Tapi walau bagaimanapun Davva ingin mendengar jawabannya langsung dari mulut Kanya.“Kalau kamu nggak bisa jawab sekarang dan butuh waktu untuk memikirkannya aku akan kasih kamu waktu, kamu nggak perlu jawab sekarang.”Kanya masih diam di tempatnya dengan segenap rasa bimbang yang melingkupinya. Pikiran Kanya mulai merunut hal-hal yang pernah dilakukan Davva untuknya. Kebaikan dan jasa lelaki itu tida
Davva tidak bisa berhenti tersenyum setelah Kanya mencium pipinya tadi. Bahkan senyum tersebut terus bertahan sepanjang perjalanan pulang hingga tiba di rumah.Suasana saat itu sedang sepi. Selain sudah larut juga karena di rumah itu penghuninya tidak seberapa. Dengan gerakan seperlahan mungkin Davva memutar knop pintu, menjaga agar tidak menimbulkan suara sekecil apapun yang bisa mengganggu kenyamanan dan membuat dua penghuninya terbangun.Begitu pintu terbuka dan kaki Davva menjejaki lantai di dalam rumah ia dibuat kaget ketika tiba-tiba lampu yang tadinya mati mendadak menyala, membuat ruangan tersebut jadi terang benderang.“Mama!” tegur Davva kaget begitu melihat ibunya sudah berdiri di dekatnya. Ternyata Wandalah yang menyalakan lampu ruangan tersebut.“Baru pulang, Dav?” tanya Wanda.“Iya, Ma. Mama jam segini kenapa belum tidur?” Davva balas bertanya sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu saat itu sudah menunjukkan hampir pukul satu malam.“Mama me
Sungguh, Kanya sangat ingin melepaskan diri dari Raven. Namun anggota tubuhnya berkhianat. Kanya membalas pelukan Raven dengan lebih erat. Rasa rindu membelenggu setelah lebih dari setengah tahun ini mereka tidak bertemu.Begitu pun dengan Raven yang sangat merindukan Kanya. Setelah memutuskan kembali pada Aline Raven tidak pernah lagi berhubungan dengan Kanya. Lelaki itu disibukkan oleh kegiatan mengembangkan usahanya“I miss you …” Raven berbisik lembut di telinga Kanya setelah sedari tadi hanya menyimpannya di dalam hati.‘I miss you too,’ jawab Kanya namun memendam jawabannya di dasar lidah. Kanya tidak ingin Raven mengetahui perasaannya karena hal tersebut sama artinya dengan memberi harapan.“Kamu di sini juga? Ray mana?” Kanya bertanya setelah memiliki keberanian untuk mengurai pelukan dari Raven.“Ray di rumah, aku di sini dengan teman-temanku.”Jawaban yang ia dengar dari Raven membuat Kanya sedikit kecewa. Tadinya ia pikir jika ada Raven maka Ray juga ada dan mereka akan ber
Davva baru saja memutuskan untuk meninggalkan toilet secara diam-diam. Kanya dan Raven tidak perlu mengetahui kedatangannya. Davva tidak ingin merusak kebahagian Kanya dengan menjadi pengganggu di antara keduanya.Namun keinginan tersebut ternyata tidak berjalan dengan mulus. Tiba-tiba saja Kanya menyadari keberadaannya. Perempuan itu lantas berseru memanggil Davva.“Dav!” Suara Kanya terdengar menggema.Satu-satunya hal yang bisa Davva lakukan saat itu guna menutupi kegugupannya adalah dengan menunjukkan senyum.Sama dengan Kanya, Raven juga tampak terkejut kala mengetahui kehadiran Davva di sana. Rasa kecewa melingkupinya ketika Kanya meninggalkannya lalu melangkah pelan menghampiri Davva.“Dav, kamu mau ke toilet juga?” Kanya bertanya setelah berhadapan face to face dengan lelaki itu. Kanya pikir Davva bermaksud untuk buang air.“Bukan, aku ke sini mencari kamu. Aku takut ada apa-apa, soalnya dari tadi kamu nggak muncul-muncul.”“Sorry ya, Dav, nggak ada apa-apa kok. Tapi aku ketem
Davva masih duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam tangan Kanya. Tidak sedetik pun melepaskannya.“Haus, Rav …”Davva menajamkan telinganya ketika mendengar suara Kanya. Rasa kecewa menelusupinya saat itu juga menyadari nama yang dirapalkan Kanya. Meski terdengar mirip, namun Davva dengan mudah membedakan antara Dav dengan Rav. Bahkan di saat separuh sadar seperti saat ini yang ada di ingatan Kanya hanya Raven. Tidak ada tempat bagi Davva di hati perempuan itu.“Sebentar ya, Nya, aku ambilin dulu,” jawab Davva lalu bergerak keluar dari kamar Kanya dengan langkah lesu. Ia mencoba memaklumi jika saat ini Kanya sedang mabuk. Di sela-sela langkahnya Davva jadi ingat bahwa Monic belum dijemput. Di lain sisi ponselnya terus menerus berdering. Ibunya tidak henti menelepon.Davva memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut daripada Wanda terus menerornya.“Iya, Ma?”“Kamu di mana, Dav? Kenapa masih belum pulang?”Sudah Davva duga pasti Wanda akan mengabsen keberadaannya. Dan Davva tida
Kanya terbangun dengan pikiran tidak menentu. Pelukan di tubuhnya adalah hal pertama yang disadarinya setelah kelopak matanya terbuka. Pelukan itu berasal dari seseorang di belakangnya.Itu jelas bukan Monic. Lebih mustahil lagi jika Raven yang melakukannya. Kanya terkesiap ketika pikiran memberinya kesadaran. Itu bukan Monic atau Raven melainkan …Kanya ingin bangun tapi tidak sanggup karena kepalanya masih pusing. Alhasil yang dilakukannya adalah memutar pelan tubuhnya ke belakang dan melihat sendiri siapa sosok yang tidak melepaskan Kanya dari pelukannya.Kini Kanya bisa melihat dengan matanya sendiri sosok Davva dengan jelas. Jantungnya ingin meloncat ke luar menyadari mereka berdua sama-sama tidak berbusana dan hanya ditutupi oleh selembar selimut.Satu demi satu potongan ingatan tentang kejadian semalam mulai berdatangan. Menyerbu Kanya dan membuatnya syok.Kanya memaksa untuk duduk meskipun pusing masih menggayuti kepalanya. Ia ingin pergi membawa perasaannya yang tidak menentu
“Hueek … hueeek ... hueeek ..."Suara itu menggema di kamar. Kanya terhuyung. Tidak hanya merasa pusing tapi ia juga muntah sekarang. Melihat Kanya hampir saja terjatuh, Davva dengan sigap menangkap tubuh Kanya. Di saat yang sama Kanya mengeluarkan lagi muntahan dari perutnya dan mengenai baju Davva.“Sorry, Dav,” ucap Kanya tidak enak hati.“Nggak apa-apa,” jawab Davva pengertian. Ia membuka bajunya yang ternoda kemudian menuntun Kanya ke kamar mandi untuk muntah di sana.Kanya memuntahkan isi perutnya sedangkan Davva memijit tengkuknya, memperlakukan perempuan itu sebagaimana yang dilakukan orang-orang pada biasanya.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkannya Kanya membersihkan mulut dan mukanya dengan nafas sedikit sesak.“Hamilnya nggak akan seekspres ini kan, Dav?” celetuk Kanya ketika Davva menggandengnya keluar dari kamar mandi.Tawa Davva berderai. “Iya kali, Nya, bikinnya baru tadi malam tapi paginya udah langsung jadi.”“Terus kenapa aku jadi muntah-muntah begini?”“It
Raven dan Kanya serentak saling berpandangan begitu mendengar ucapan Marissa yang sama sekali berada di luar prediksi mereka.Raven geleng-geleng kepala. Tentu saja ia tidak akan bisa memenuhi permintaan ibunya itu karena hal tersebut sama artinya dengan meragukan Kanya. Secara tidak langsung ia sudah ikut menuduh Kanya mengandung anak laki-laki lain.Sedangkan Kanya, ia sangat tersinggung mendengarnya. Seakan dirinya sangat berharap untuk dinikahi Raven. Tanpa menikah dengan lelaki itu juga ia masih tetap bisa hidup.“Ma, jangan mengada-ada, aku nggak mungkin meminta Kanya melakukan itu. Itu namanya aku meragukan Kanya. Sedikit pun aku nggak ragu, Ma. Aku percaya kalau anak yang Kanya kandung adalah anakku. Kanya nggak mungkin berhubungan dengan laki-laki lain. Kami saling cinta, Ma!” ucap Raven menegaskan sikapnya. “Percaya diri sekali kamu, Rav! Apa jaminannya kalau dia nggak pernah berhubungan dengan laki-laki lain? Kita nggak akan pernah tahu apa yang dilakukannya di belakang ka
Bagi Kanya pertemuan dengan Rintik dan percakapan dengan gadis itu memberi kesan yang begitu mendalam. Membuatnya melegitimasi satu hal—bahwa cinta Davva memang sedalam dan sebesar itu padanya. Hanya saja … Kanya tidak mampu membalas perasaan Davva padanya. Andai saja Kanya bisa membagi hatinya untuk lelaki itu. Sayangnya segenap perasaan serta hatinya sudah tertutup rapat. Dan kuncinya Raven yang pegang. Saat Rintik mengatakan padanya bahwa Davva hanya menyukai perempuan seperti Kanya, Kanya menganggap bahwa gadis itu sedang bercanda sebagai sesama perempuan yang saling mengagumi satu sama lain.“Memangnya aku seperti apa? Kenapa seperti aku?” tanya Kanya kala itu.“Ya seperti kamu. Cantik, lembut, anggun, modis, dan seorang desainer sukses.” Rintik mengurai satu per satu poin demi poin yang ada dalam diri Kanya. Bahkan dalam keadaan hamil begini Kanya tetap memesona. Selepas pertemuan di bandara, Davva telah menceritakan banyak hal mengenai Kanya.“Kamu mujinya terlalu berlebihan,
Keduanya masih saling mendekap entah berapa lama. Mereka sama-sama terbawa suasana hingga akhirnya sama-sama terhempas pada kenyataan dan mengurai pelukan.Kanya mengsap muka, mengeringkan sisa-sisa air mata dari wajahnya. Sementara Davva juga merasa canggung dan berpikir, apa ini pantas dilakukannya? Memeluk dan mencium seseorang yang bukan lagi menjadi miliknya. Raven bisa marah atau minimal cemburu jika mengetahuinya.“Aku minta maaf sudah salah sangka selama ini,” suara Kanya terdengar lirih.“Aku yang salah, bukan kamu. Dari awal aku sudah salah. Seharusnya aku nggak memaksakan diri. Seharusnya aku tahu diri bahwa kamu nggak akan pernah mencintaiku, Nya.”Kanya menelan saliva yang terasa begitu pahit. Mendengar pengakuan Davva membuat batinnya teriris-iris. Ternyata lelaki itu mengetahui perasaannya, bahwa Kanya tidak pernah mencintainya.“Dulu aku pikir setiap kali kamu tidur membelakangiku itu karena kebiasaan. Tapi belakangan aku baru menyadari kalau itu semua ada artinya. Kar
Kanya, Raven, dan anak-anak serta Davva serta Rintik pada akhirnya terpaksa menginap di hotel yang telah disediakan oleh pihak maskapai. Kanya dan Raven mendapatkan kamar berbeda di lantai yang sama, sedangkan kamar Davva terletak satu lantai di bawah mereka.“Ma, Monic mau tidur sama Papa,” ujar Monica merengek pada Kanya agar dirinya diizinkan tidur bersama Davva.“Monic tidurnya sama Mama aja, kasihan Papa,” jawab Kanya tidak setuju dengan keinginan sang putri. Iya, Kanya sangat mengerti perasaan keduanya. Inilah kesempatan bagi mereka untuk saling melepas rindu. Hanya saja Kanya khawatir jika semakin lengket dengan Davva maka semakin susah bagi anak itu untuk berpisah.“Kasihan kenapa, Ma?” Sepasang mata bulat Monica menatap dengan penuh tanda tanya.“Papa kan capek, Sayang, Papa mau istirahat,” jawab Kanya menjelaskan. Ia harap putrinya itu mau mengerti.“Tapi Monic kan nggak mengganggu Papa, Ma.” Monic merasa heran kenapa Kanya melarangnya. “Monic janji deh nggak bakal nakal. Mo
Nyaris di sepanjang penerbangan Monica duduk di sebelah Davva. Monic tidak mau beranjak barang sedetik.Anak itu bercerita tentang apa saja, terutama mengenai hal-hal yang dilaluinya tanpa Davva. Mereka bercengkrama, tertawa, lalu sesekali saling berpelukan dan mencium satu sama lain. Keduanya melepas rindu setelah terpisah selama enam bulanan ini. Dari Monic Davva tahu bahwa Raven adalah penggangtnya yang sempurna.Hingga celetukan polos Monic membuat Davva mengatupkan bibirnya.“Kok Papa duduknya nggak dekat Mama? Kenapa Om Raven yang duduk di dekat Mama? Papa juga nggak meluk dan nyium Mama tadi. Emangnya Papa nggak kangen sama Mama ya?”Davva terdiam seribu bahasa. Sementara sang putri terus menyorotnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Apa yang akan Davva katakan? Kenapa Monic begitu kritis di usianya yang masih teramat dini?“Oh iya, Papa lupa tadi. Itu karena Papa lagi sama Monic makanya jadi nggak ingat mau meluk Mama.” Akhirnya Davva memiliki jawaban yang kira-kira bisa di
Pertemuan tanpa rencana itu tidak terelakkan lagi sehingga akhirnya mereka saling menyapa. Kebencian yang pernah ada di hati Kanya untuk Davva telah sirna semenjak ia mengikhlaskan laki-laki itu pergi dari hidupnya.Davva yang mati-matian menghindari Kanya merasa segalanya usahanya sia-sia karena pada akhirnya mereka dipertemukan pada situasi dan tempat yang tidak terduga.“Apa kabar, Nya?” Satu-satunya yang melintas di kepala Davva adalah pertanyaan klise tersebut. Diucapkan dengan pelan dan canggung. Bahkan suaranya sendiri terdengar aneh di telinganya.“Kabar baik,” jawab Kanya. Seketika ia merasa malu saat tatapan Davva turun ke perutnya. Davva pasti berpikir keras mengenai kehamilannya.“Mau ke mana, Nya?” tanya Davva kemudian.“Mau liburan sama anak-anak ke NY.”Davva terkejut mengetahui fakta itu. Semoga saja ia dan Kanya berada dalam penerbangan yang berbeda. Berada di dekat Kanya selama dua puluh empat jam bahkan lebih bukanlah hal yang mudah bagi laki-laki itu.“Pergi libur
Ini adalah hari terakhir Davva berada di Indonesia. Besok ia akan kembali ke NY setelah hampir seminggu lamanya berada di tanah air.Selama beberapa hari ini pergerakan Davva tidak jauh-jauh dari rumah dan rumah sakit. Ia tidak ingin ke mana-mana, termasuk untuk bertemu dengan teman-temannya seperti Riki.Namun, di hari ini Davva memutuskan untuk ke luar. Rasa rindu menggerakkan langkahnya ke sekolah Monica. Davva benar-benar sangat merindukan putrinya itu. Tapi ia tidak mungkin menunjukkan mukanya pada Monica. Davva tidak mau menumbuhkan pertanyaan besar di kepala anak itu mengenai eksistensinya selama ini. Baginya, cukup dengan melihat Monica dari jauh sudah cukup untuk mengobati kerinduannya yang begitu dalam.Dan di sinilah Davva sekarang. Berada di depan sekolah Monica namun hanya mampu duduk termenung di dalam mobilnya seperti seorang pengecut.Saat itu gerbang sekolah terbuka lebar karena sudah saatnya jam pulang para siswa. Para penjemput berdatangan, anak-anak berlarian, meny
Bagai patung es yang beku Davva membatu di tempatnya tanpa tahu harus melakukan apa. Seluruh organ tubuhnya bagai dibelenggu. Ia kehilangan kemampuan untuk bergerak. Hanya tatapannya yang terus terkunci pada Kanya dan Raven sampai keduanya menghilang di balik pintu kaca toko roti.Bagai ditampar kesadaran Davva terhempas pada kenyataan.Laki-laki itu menggerakkan kaki, melanjutkan langkahnya yang tadi tertahan. Dengan membawa hatinya yang hancur dan praduga yang dibangun atas asumsinya sendiri Davva melangkah lunglai menuju ruang rawat Wanda.Wanda dan Lilis serentak melihat ke arah yang sama saat Davva membuka pintu lalu masuk.“Udah pulang?” tanya sang ibu retoris.“Udah, Ma,” jawab Davva pelan.“Dia rumahnya di mana sih?”“Rintik?” tanya balik Davva kehilangan fokus. Pertemuan dengan Kanya dan Raven tadi membuatnya blank seketika.“Kan barusan kamu mengantar Rintik. Gimana sih?”“Oh.” Lalu Davva menyebutkan alamat tempat tinggal Rintik dengan detail agar ibunya tidak lagi bertany
Davva menghela nafas ketika sebuah sepeda motor matic menyalip tanpa aba-aba di depan mobilnya sehingga ia harus mengerem mendadak dan hampir saja menabrak motor tersebut.Indonesia ternyata tidak banyak berubah. Masih saja banyak manusia yang suka bertindak sembarangan, tidak tertib dan acuh tak acuh pada peraturan lalu lintas. Nanti kalau sudah kena batunya baru pemilik kendaraan lain yang disalahkan.Davva kemudian berhenti dan ikut antri bersama barisan kendaraan lain saat lampu merah lalu lintas menyala. Davva baru saja mengantar Rintik pulang ke rumahnya. Tadi maksudnya hanya sebentar. Hanya mengantarnya saja lalu pulang. Tapi Rintik memaksa masuk dan berkenalan dengan orang tuanya. Jadilah Davva berbincang-bincang cukup lama dengan mereka. Orang tua Rintik begitu hangat dan pandai membangun percakapan hingga tanpa terasa hampir satu jam Davva berada di sana.Davva terkesiap ketika mendengar suara keras klakson dari barisan kendaraan di belakangnya. Ternyata lampu merah sudah ma