Terkejut dengan kelakuan Daishin yang seperti tidak punya malu, tetapi tidak mampu berkata-kata untuk mengumpatnya. Menyadari jika kelakuan lelaki dan fantasinya memang cenderung gila kadang-kadang. Tetapi Daishin bukan sekadar laki-laki lagi, dia bahkan suaminya. Melihat objek pandangan yang membuat oleng, Osara berpaling. Sangat malu sendiri yang membuatnya jadi merasa tegang hingga mematung dan susah bernapas. Tetapi Daishin semakin mendekat dengan tidak tahu malu. “I… ini bajumu, Shin! Lekaslah pakai di kamar mandi!” tegur Osara sesaat kemudian. Mengulurkan sepasang baju piyama ke arah Daishin. Tetapi bukan memandang, pura-pura sambil merapikan guling di ranjang. Bukan mengambil baju yang diulurkan, telapak lebar berjari-jari panjang itu justru menangkap tangannya. Menarik perlahan dengan kuat hingga Osara berdiri tanpa mampu bertahan. “Apa…?” Osara bertanya gugup. Dirinya sudah ditarik lebih maju hingga sangat dekat dengan Daishin. Beberapa centi saja maju lagi, mereka akan r
Ternyata sedang hujan sangat deras disertai angin kencang di angkasa langit Jepang malam ini. Air menumpah jatuh hingga melimpah ruah di atas bumi Sakura. Belakangan ini memang acapkali hujan model serupa dan membawa hawa dingin seperti akan membekukan. Sangat dingin menggigit serasa menusuk dalam kulit hingga tembus sampai tulang. Namun, keadaan mencekam di luaran berbanding terbalik dengan hawa dalam kamar pada sebuah hotel elite di pusat kota di Tokyo. Sepasang insan sedang membakar diri dalam paduan hasrat yang membuncah. Meski keduanya masih mengaku tidak saling punya rasa cinta! Handuk yang sempat ditahan di pinggang, akhirnya dibiarkan jatuh juga di lantai. Maka tanpa selembar kain yang menutupi saat ini. Pemandangan erotis pun nyata tersuguh di depan mata. Osara terus terlihat malu dan membuai setengah hati tetapi Daishin tidak peduli. Perempuan anggun dan cantik yang sesaat lalu berpenampilan rapat tertutup, kini telah ditanggal seluruh baju dan juga kerudung yang hanya
Daishin tidak mau cut adegan enak itu begitu saja. Meski menghargai keinginan istri, tetapi juga tidak ingin merugi dengan menyiksa diri sendiri. Sebagai seorang casanova yang kaya pengalaman, penolakan Osara bukan terlalu sandungan. Masih terbentang seribu cara menuju Roma. Meski permainan berlanjut sebatas depan pintu, bukan halangan sama sekali dalam menggapai destinasi puncak dessah. Asalkan tidak mengerang sendiri dalam kamar mandi, Daishin masih merasakan kebahagian hakiki. “Sudah?” tanya Osara menunggu dengan merasa bersalah. Bukan tidak mengerti keinginan terdalam Daishin, dirinya pun sangat paham. Daishin yang terus berada di atas mengungkungnya, tidak menyahut seketika. Tetapi memeluk erat dan kuat. Nafasnya memburu berlomba dengan sisa erang desahnya. Menciumi di sepanjang pelipis mulusnya. Benar-benar menikmati pencapaiannya barusan. Ekspresinya sama dengan jalan yang fitempuh bisanya. “Terima kasih, Osa.” Daishin bersuara, berbisik tulus di telinga mungil Osara. T
Sebab panggilan khas untuk lelaki Indonesia yang terdengar jelas di samping mereka, sedang di antrian tidak ada satu pun lelaki lain dari negara tersebut, Daishin dan Osara buru-buru menoleh. “Clara…!?” Daishin terkejut. Tidak menyangka bertemu dengan seupu jauh perempuan yang dulu sempat tinggal seatap. Sama diasuh oleh Mama Hana dan tinggal nyaman di rumah besar milik Khaisan. “Inikah dia … perempuan yang sudah kamu nikahi, Mas?” tanya Clara sambil menatap Osara penuh selidik. Osara juga membalas menatap lekat dan merasa pernah melihat. Seketika ingat jika wanita yang dipanggil Daishin bernama Clara itu adalah model senior. Cantik dan bertarif tinggi. Tentu saja dengan jam terbangnya sangat padat. Osara juga tahu jika Clara adalah model plus plus di agensi. Tapi, apa Daishin sudah pernah menyewa Clara? Secara dia memanglah good looking. Sangatlah cantik, tinggi dan berkulit putih. Osara menatap takjub sekaligus bertanya-tanya dalam diam. “Osara….” “Clara…” Mereka s
Daishin tidak berhak melarang saat Clara memutuskan menginap di hotel yang sama. Tidak juga menolak saat sepupu sangat jauh itu meminta ditemani dari mendaftar di lobi hingga selesai proses check-in. Namun, sebab sangat mengerti watak manjanya, Daishin hanya bersedia menunggu di lobi. Sebab Clara pun ingin bergabung untuk makan bersamanya. “Itu sepupu yang bagaimana?” tanya Osara enggan. Tetapi ingin tahu. “Sepupu sangat jauh. Aku adalah sepupu Mas Daehan dari pihak Mama Hana. Sedang Clara adalah sepupu Mas Daehan dari pihak Papa Samuel. Sama dengan Mas Khaisan. Namun, Clara dan Mas Khaisan juga sepupu jauh. Yang jelas, kami semua punya hubungan sepupu saling jauh.” Daishin sambil tertawa kecil. Merasa dirinya pun bingung dengan status sepupu_an tetapi berjauhan. Berkat rumah Khaisan lah mereka disatukan seperti saudara di bawah naungan atas nama Mama Hana dan Papa Samuel. Padahal saat kecil, mereka tidak peduli dengn status sepupu. Yang dipaham adalah mereka saudara dalam seb
Wajah cantik tanpa celanitu menatap melas dan sendu pada Osara. Merasa ini sungguh simalakama untuk menjawabnya. Daishin pun hanya bungkam menatapnya."Baiklah, jika kamu sangat ingin, silahkan saja, Mbak.” Osara akhirnya membolehkan. Merasa serba salah sebetulnya. Ingin menolak tetapi tidak tega. Meski seingatnya, Clara adalah model senior kelas atas yang sombong kala itu. “Osara, apa kamu tidak salah? Sudah kamu pikirkan sungguh-sungguh. Rumah itu bukan milikku, tetapi sudah milikmu. Itu privasimu. Jika keberatan, kamu bisa menolak,” ucap Daishin, terkejut dengan keputusan Osara yang tidak disangkanya. “Kenapa, Mas? Kamu tampak keberatan. Osara, terima kasih, ya. Kapan kita ke rumah kalian?” tanya Clara yang begitu bersemangat. Abai akan picingan mata Daishin padanya. “Itu akan kami kabarkan padamu, Cla. Sebab kami sedang berbulan madu di sini. Bisa jadi kami akan sedikit lama menginap di sini. Sekarang, sebaiknya kita segera makan. Sudah sangat malam. Makanlah, Osa.” Daishin men
“Maaf, Pak. Bagaimana lagi… kamarnya tinggal satu. Kalo soal razia, tenang saja. Hotel kami hanya mendapat sidak di akhir bulan. Ini masih tanggal tiga, nih, Pak … tanggal muda….” Daehan, pria gagah yang dipanggil Pak oleh resepsionis manis dan genit itu kian mengatup bibir. Menatap gusar pada Umi (Sazleen Shanumi), asisten rumah baru yang dia bawa. Wajahnya menebal dengan bibir membiru. Jiwa sosial Daehan sebagai lelaki gagal membatu. “Kamu dengar sendiri apa katanya barusan. Terserah, jika keberatan, kamu duduk saja di lobi hingga orangku datang, Um,” ujar Daehan pada wanita berkerudung panjang dan berbaju tebal tetapi basah kuyup. “Enggak, Pak. Saya tak keberatan. Tidak sanggup lagi di luaran, bisa beku…,” sahut Umi cepat. Meski dengan melawan gemelutukan gigi di mulut yang serasa amat kaku. Sangat kedinginan. Daehan agak terkejut, meski juga merasa lega. Jika ada apa-apa dengan asisten rumah yang baru dia jemput itu, dirinya juga yang kena. Kesal sekali dengan sopir pribad
Malang tak dapat ditolak, apalagi diprediksi. Seperti halnya kali ini. Petugas sidak kukuh memberi sanksi pada para penghuni kamar yang dilabel sedang mesum. Tidak kecuali dengan Daehan dan Umi. Wajah lelaki tampan itu memerah dan tegang. Tidak menyangka niatan berteduh jadi sesialan seperti ini. Umi menatap cemas pada petugas sidak yang barusan mendekati Daehan dan merraba tubuh besar itu tanpa segan. Meski pemilik badan mengibas kasar, para petugas abai dan semakin berwajah sinis setelahnya.“Alibi kalian sama sekali tidak masuk akal. Bisa jadi juga disertai ancaman dan kekerasan. Melihatmu yang tidak berpakaian dalam dan wajah wanita ini seperti habis dianiya, kalian masuk ke dalam daftar pasangan haram yang disanksi.” Petugas sidak berbicara tegas dan tajam.“Jangan menuduh. Sudah aku tegaskan, dia pekerjaku. Tidak ada kamar lagi. Aku kasihan sebab tadi kehujanan. Dia perempuan, tidak mungkin aku biarkan di luaran! Mukanya bengkak sebab suntik cantik, bukan tanganku yang bikin!”
Wajah cantik tanpa celanitu menatap melas dan sendu pada Osara. Merasa ini sungguh simalakama untuk menjawabnya. Daishin pun hanya bungkam menatapnya."Baiklah, jika kamu sangat ingin, silahkan saja, Mbak.” Osara akhirnya membolehkan. Merasa serba salah sebetulnya. Ingin menolak tetapi tidak tega. Meski seingatnya, Clara adalah model senior kelas atas yang sombong kala itu. “Osara, apa kamu tidak salah? Sudah kamu pikirkan sungguh-sungguh. Rumah itu bukan milikku, tetapi sudah milikmu. Itu privasimu. Jika keberatan, kamu bisa menolak,” ucap Daishin, terkejut dengan keputusan Osara yang tidak disangkanya. “Kenapa, Mas? Kamu tampak keberatan. Osara, terima kasih, ya. Kapan kita ke rumah kalian?” tanya Clara yang begitu bersemangat. Abai akan picingan mata Daishin padanya. “Itu akan kami kabarkan padamu, Cla. Sebab kami sedang berbulan madu di sini. Bisa jadi kami akan sedikit lama menginap di sini. Sekarang, sebaiknya kita segera makan. Sudah sangat malam. Makanlah, Osa.” Daishin men
Daishin tidak berhak melarang saat Clara memutuskan menginap di hotel yang sama. Tidak juga menolak saat sepupu sangat jauh itu meminta ditemani dari mendaftar di lobi hingga selesai proses check-in. Namun, sebab sangat mengerti watak manjanya, Daishin hanya bersedia menunggu di lobi. Sebab Clara pun ingin bergabung untuk makan bersamanya. “Itu sepupu yang bagaimana?” tanya Osara enggan. Tetapi ingin tahu. “Sepupu sangat jauh. Aku adalah sepupu Mas Daehan dari pihak Mama Hana. Sedang Clara adalah sepupu Mas Daehan dari pihak Papa Samuel. Sama dengan Mas Khaisan. Namun, Clara dan Mas Khaisan juga sepupu jauh. Yang jelas, kami semua punya hubungan sepupu saling jauh.” Daishin sambil tertawa kecil. Merasa dirinya pun bingung dengan status sepupu_an tetapi berjauhan. Berkat rumah Khaisan lah mereka disatukan seperti saudara di bawah naungan atas nama Mama Hana dan Papa Samuel. Padahal saat kecil, mereka tidak peduli dengn status sepupu. Yang dipaham adalah mereka saudara dalam seb
Sebab panggilan khas untuk lelaki Indonesia yang terdengar jelas di samping mereka, sedang di antrian tidak ada satu pun lelaki lain dari negara tersebut, Daishin dan Osara buru-buru menoleh. “Clara…!?” Daishin terkejut. Tidak menyangka bertemu dengan seupu jauh perempuan yang dulu sempat tinggal seatap. Sama diasuh oleh Mama Hana dan tinggal nyaman di rumah besar milik Khaisan. “Inikah dia … perempuan yang sudah kamu nikahi, Mas?” tanya Clara sambil menatap Osara penuh selidik. Osara juga membalas menatap lekat dan merasa pernah melihat. Seketika ingat jika wanita yang dipanggil Daishin bernama Clara itu adalah model senior. Cantik dan bertarif tinggi. Tentu saja dengan jam terbangnya sangat padat. Osara juga tahu jika Clara adalah model plus plus di agensi. Tapi, apa Daishin sudah pernah menyewa Clara? Secara dia memanglah good looking. Sangatlah cantik, tinggi dan berkulit putih. Osara menatap takjub sekaligus bertanya-tanya dalam diam. “Osara….” “Clara…” Mereka s
Daishin tidak mau cut adegan enak itu begitu saja. Meski menghargai keinginan istri, tetapi juga tidak ingin merugi dengan menyiksa diri sendiri. Sebagai seorang casanova yang kaya pengalaman, penolakan Osara bukan terlalu sandungan. Masih terbentang seribu cara menuju Roma. Meski permainan berlanjut sebatas depan pintu, bukan halangan sama sekali dalam menggapai destinasi puncak dessah. Asalkan tidak mengerang sendiri dalam kamar mandi, Daishin masih merasakan kebahagian hakiki. “Sudah?” tanya Osara menunggu dengan merasa bersalah. Bukan tidak mengerti keinginan terdalam Daishin, dirinya pun sangat paham. Daishin yang terus berada di atas mengungkungnya, tidak menyahut seketika. Tetapi memeluk erat dan kuat. Nafasnya memburu berlomba dengan sisa erang desahnya. Menciumi di sepanjang pelipis mulusnya. Benar-benar menikmati pencapaiannya barusan. Ekspresinya sama dengan jalan yang fitempuh bisanya. “Terima kasih, Osa.” Daishin bersuara, berbisik tulus di telinga mungil Osara. T
Ternyata sedang hujan sangat deras disertai angin kencang di angkasa langit Jepang malam ini. Air menumpah jatuh hingga melimpah ruah di atas bumi Sakura. Belakangan ini memang acapkali hujan model serupa dan membawa hawa dingin seperti akan membekukan. Sangat dingin menggigit serasa menusuk dalam kulit hingga tembus sampai tulang. Namun, keadaan mencekam di luaran berbanding terbalik dengan hawa dalam kamar pada sebuah hotel elite di pusat kota di Tokyo. Sepasang insan sedang membakar diri dalam paduan hasrat yang membuncah. Meski keduanya masih mengaku tidak saling punya rasa cinta! Handuk yang sempat ditahan di pinggang, akhirnya dibiarkan jatuh juga di lantai. Maka tanpa selembar kain yang menutupi saat ini. Pemandangan erotis pun nyata tersuguh di depan mata. Osara terus terlihat malu dan membuai setengah hati tetapi Daishin tidak peduli. Perempuan anggun dan cantik yang sesaat lalu berpenampilan rapat tertutup, kini telah ditanggal seluruh baju dan juga kerudung yang hanya
Terkejut dengan kelakuan Daishin yang seperti tidak punya malu, tetapi tidak mampu berkata-kata untuk mengumpatnya. Menyadari jika kelakuan lelaki dan fantasinya memang cenderung gila kadang-kadang. Tetapi Daishin bukan sekadar laki-laki lagi, dia bahkan suaminya. Melihat objek pandangan yang membuat oleng, Osara berpaling. Sangat malu sendiri yang membuatnya jadi merasa tegang hingga mematung dan susah bernapas. Tetapi Daishin semakin mendekat dengan tidak tahu malu. “I… ini bajumu, Shin! Lekaslah pakai di kamar mandi!” tegur Osara sesaat kemudian. Mengulurkan sepasang baju piyama ke arah Daishin. Tetapi bukan memandang, pura-pura sambil merapikan guling di ranjang. Bukan mengambil baju yang diulurkan, telapak lebar berjari-jari panjang itu justru menangkap tangannya. Menarik perlahan dengan kuat hingga Osara berdiri tanpa mampu bertahan. “Apa…?” Osara bertanya gugup. Dirinya sudah ditarik lebih maju hingga sangat dekat dengan Daishin. Beberapa centi saja maju lagi, mereka akan r
Osa langsung mengambil koper untuk digeret keluar dari kamar hotel. Kamar kenangan yang menyimpan tragedi konyol. Di mana dirinya dan Daishin sempat ada drama aneh salah kmar. Bisa-bisanya.... Osara pun tersenyum kecil. Tetapi melihat isi koper yang berantakan, membuatnya urung membuka pintu. Dia keluarkan semua di sofa untuk dirapikan ulang sambil menunggu Daishin. Juga terlihat sibuk mengemasi harta bendanya dari almari untuk dipindah juga ke koper sendiri. “Sebenarnya tiap ke hotel, apa yang kubawa kutinggal saja, Sa! Baru kali ini aku urusi!” seru Daishin dari ranjang. Bicaranya keras meski jarak ranjang ke sofa bukanlah jauh. “Tentu saja, Shin! Kamu biasanya cuma bawa cewek, pasti barangmu gak banyak. Kalo ini kan sebab kamu kemarin terbang dari Kuala Lumpur ke Tokyo!” Osara meralatnya sambil terus melipat baju. Daishin tidak menanggapi. Meski sebenar nya opini Osara setengah benar setengah salah. Entah, yang biasanya masa bodo dengan barang bawaan, kini ada rasa sayang dan
Daishin merasa senang saat berbelanja beberapa baju formal dan baju koko, semua warna adalah hasil pilihan istri. Sedang model dan potongan, masih paten dengan seleranya sendiri. Osara tidak diminta memilihkan modelnya. Konon… pria punya selera! “Itu baju siapa, Shin?” tanya Osa saat mereka berdua antri di depan kasir. Meski Daishin menyaran kan untuk duduk menunggu di kursi tepi, dia lebih memilih ikut di belakang punggung lebar suaminya. “Ini punya Mas Daehan, kebetulan ada nggantung di mobil buat siaga. Tadi dipinjemin padaku buat jamaah ke Masjid. Kenapa, Sa?” Daishin berbalik badan demi bisa melihat Osara saat menjelaskan. “Cepetan dilaundry dan dibalikin. Ntar koyak, badanmu kan gedhe.” Osara berkata sambil tersenyum. “Gak mungkin koyak lah, Sa. Mas Daehan jelas jelas lebih gedhe dari aku, dia tuh udah khas jadi bapak-bapak.” Daishin tertawa kecil. Sekilas ingat pada Daehan yang mengeluh sudah malas berolah raga belakangan ini. Asal pulang kerja lihat istri, ingin tidur sa
Meski kesal, Daishin terpaksa mengiyakan saat Osara bertanya apakah Tengku boleh join makan malam bersama. Wajah berseri itu tampak gembira kala dirinya mengangguk meski dengan perasaan tidak ikhlas! Osara telah bertukar gamis modis yang ndah dan berkerudung sangat anggun. Juga berbedak tipis yang kecantikannya lebih cetar membuat Daishin menahan napas ulang kali. Mereka pun keluar rumah dan menjemput taksi yang sudah menyandar di depan pintu pagar. Menuju destinasi di rumah makan internasional Art Tokyo di pusat kota.. “Lusa aku akan membeli mobil baru. Kamu ingin yang model apa, Osa?” tanya Daishin, coba menghempas rasa kesal akan adanya Tengku yang sebentar lagi bergabung. Osara menoleh dan menatapnya sambil berpikir sejenak. “Yang keren, sporty dan kelelakian… emm, yang macho, modelan tinggi. Jangan sedan, selain gak enak juga rawan.” Osara menjabarkan akan mobil yang dia suka. Daishin tersenyum dengan ktiteria kendaraan yang baru diajukan. Sesimpel itu… bukan soal mesin, ka